Bunga ketulusan.
Perempuan itu menghela napasnya pelan, membuka masker dan pelindung kepalanya secara bergantian. Netra pekat tidak mau lepas dari daksa yang terbaring lemah dengan alunan komputer di sampingnya. Detak jantungnya sudah mulai stabil beberapa hari ini, namun netranya tidak kunjung terbuka. Padahal, ada beberapa jiwa yang mengharapkan kesembuhan-nya, mengharapkan tawanya juga tatapan matanya yang hangat.
“Mas Biru.” Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit, sebuah senyum yang ia usahakan dengan sekuat tenaga. Karena entah kenapa, setelah mengetahui alasan dengan jelas bahwa Biru melindunginya dengan cara yang salah—hati Jingga merasa sangat bersalah. “Ternyata bener kata Bang Jo, Biru dan Jingga itu nggak akan pernah cocok.”
Netra itu makin mantap daksa si pria dalam, helaan napas terdengar berkali-kali. Sekarang ia bahkan harus menahan napasnya karena ada beberapa kalimat yang tercekat di tenggorokan. Rasanya ingin sekali mengungkap, tapi kenapa sulit sekali?
Jingga sadar akan posisinya, Jingga tau diri karena ia bukan lagi siapa-siapa.
Ingin sekali rasanya mengangkat kuasa untuk mengelus surai pekat itu, membisik-kan kalimat-kalimat penenang atau bahkan membacakan beberapa bait kalimat dalam kitab suci. Tapi rasanya, semua sia-sia.
Tidak, Jingga tidak sedang mengharapkan kembalinya sesuatu yang telah hilang atau parahnya, kepulangan seseorang ke dalam rumah. Karena Jingga bukan lagi rumahnya. Bukan. Jingga hanya ... merindukan pria ini.
Jingga merindukan Birunya.
Seperti senja yang tidak akan bisa hidup tanpa langit yang memiliki dasar berwarna biru. Begitu hangat dan menenangkan.
“Mas, udah dua bulan di sini ... nggak bosan?” Jantungnya berdetak cepat kala beberapa kalimat keluar manis dari bibir, diiringi dengan air mata yang mengalir deras tanpa mau dihentikan layaknya sumber air. “Mas Biru nggak kangen sama Rakha?”
“Rakha sudah besar, Mas.”
“Rakha tumbuh jadi pria remaja yang sudah menghafal tiga puluh juz sejak umur delapan tahun. Afnan bener-bener jagain Jingga, menuntun Jingga dan sayang sama Rakha layaknya anak sendiri.” Bahunya naik-turun menahan sesak di dalam dada. Sebenarnya Jingga tidak lagi kuat untuk sekedar mengeluarkan satu katapun, tapi semuanya terpaksa karena ia rasa harus berbincang dengan Biru hari ini.
Tadi setelah menyelesaikan beberapa operasi dan pasien di bawah pengawasan-nya, Jingga langsung berjalan ke ruang ICU untuk sekedar memeriksa keadaan Biru. Tapi sukmanya meminta tetap di sana walau sudah selesai menyelesaikan tugasnya. Berbincang, bercerita atau bahkan bernostalgia—kembali dalam masa lalu yang terasa menyenangkan.
“Kemarin pas hari Ayah, Rakha ke sini sendiri tanpa Afnan. Dia naik sepedah karena belum punya surat izin mengemudi.” Netra Jingga beralih ke arah nakas untuk menatap sebuket bunga yang mengering di sana. “Itu dari Rakha, di sebelahnya ada radio dari Ayahnya Mas Biru. Setiap malam Jingga diminta menyalakan radio itu, isinya surat-surat dalam kitab suci.”
Jingga ingat sekali waktu ia bertatapan dengan Rakha di lorong ruang ICU, waktu itu Jingga tidak tau kalau Rakha ingin mengunjungi Ayahnya. Karena Rakha sama sekali tidak bicara atau memberi kabar. Saat itu Jingga tanya, “kok kasih bunga untuk Ayah?“
Pria kecil yang beranjak remaja itu mengangguk, “Bunda, bunga itu bukan hanya sebagai simbol kematian—tapi juga ketulusan, kata Saranita. Kalau Rakha bawa cokelat, Ayah nggak bisa makan. Tapi kalau Rakha bawa bunga, Ayah bisa lihat nanti ketika bangun, walau bunganya udah kering.“
Hatinya menghangat sehingga menimbulkan senyum tipis denan hati yang tersayat. Jingga mulai sibuk berandai-andai kala itu,
Andai ia tidak berpisah dengan Biru.
Andai ia tidak pernah meminta ditalak.
dan andai,
Afnan tidak pernah menawarkan hati untuknya.
Tapi semua bukan berarti bahwa Jingga masih mencintai Biru, atau parahnya Jingga tidak memiliki rasa untuk Afnan. Dan ternyata Winar benar,
“Rasa Jingga ke Afnan adalah rasa yang paling benar, tanpa paksaan.” Hanya saja waktunya salah atau mungkin terburu.
Tapi kadang, semua yang udah terjadi memang harus dijadikan pelajaran dan jangan sampai terulang. Setiap jiwa di dunia ini memang layak memiliki pilihan untuk dirinya sendiri, tanpa paksaan atau bahkan penantian—sebagaimana Jingga yang selalu menunggu kepulangan seorang Biru, waktu dulu.