Kesepian itu nggak enak.

Lengkungan tipis langsung terlukis di wajah Jingg saat mendapati Afnan yang sedang berjalan perlahan bersama payung yang dibawa. Ia segera bangkit dari kursi, berpamitan dengan beberapa perawat yang sedang berjaga di lobby.

“Udah?”

Perempuan itu mengangguk kecil, lalu berusaha mengambil alih payung dari tangan suaminya. Namun dengan cepat Afnan meninggikan payungnya membuat Jingga menatap kesal.

“Kok ngeselin?”

Pria itu tertawa kecil, lalu mengambil alih tas hitam milik Jingga. “Sini, aku yang bawain.”

Di sampingnya Jingga masih mengerinyit kebingungan, ada beberapa perubahan Afnan yang kelewat kentara. Biasanya, Afnan tidak akan bersikap seperti ini. Afnan akan membiarkan Jingga membawa payung dan tasnya sendiri, tapi hari ini berbeda.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Jingga memberhentikan langkahnya. “Kamu .... nggak habis ngelakuin kesalahan, kan, Nan?”

Gelengan di kepala Afnan lalu disertai dengan senyuman tipis itu membuat jantung Jingga berdebar bukan main. Apa .... tadi Afnan mendengar penuturannya di depan Biru? Tapi bukannya tadi di ICU tidak ada siapapun? Atau—

“Atau, aku yang ngelakuin kesalahan?”

Lagi-lagi Afnan menggelengkan kepalanya kali ini dilanjut dengan kecupan singkat. “Masuk, cepet. Di luar dingin, kita ngobrol di dalam, okay?”

Memang benar, kalau sudah masuk akhir tahun pasti Jakarta selalu disiram oleh air hujan tanpa henti. Membuat beberapa penduduk menerka-nerka tentang hari esok.

Besok banjir nggak, ya?

Besok kerja gimana?

Pada akhirnya Jingga masuk ke dalam mobil setelah menghela napasnya, memerhatikan Afnan yang memutari mobil untuk masuk ke dalam kursi kemudi.

“Kenapa?” tanya Jingga langsung yang membuat Afnan terkekeh kecil.

“Apanya?”

“Nan, kamu percaya sama aku, kan?” Jingga menatap Afnan yang sudah mulai menyalakan mesin mobil sepenuhnya. Perempuan itu menyadari satu hal yang sampai detik ini tidak akan pernah bisa ia lupakan.

Rasanya beda, beda sekali. Biru dengan Afnan adalah dua jiwa yang sama-sama tidak pernah dimengerti oleh Jingga. Biru dengan ketertutupannya dan Afnan dengan perasaan yang disembunyikannya.

“Kalau pertanyaan Rakha itu ganggu kamu, aku bakalan secepatnya kasih pengertian ke Rakha, Nan.”

Afnan tau, tau sekali kalau Jingga bisa diandalkan dalam menangani Rakha. Tapi Afnan juga tau jelas bahwa dirinya tidak berguna. Ia bisa memberikan seluruhnya pada Rakha; mainan seperti anak-anak lain, kendaraan agar tidak kepanasan pun kehujanan atau bahkan rumah baru. Tapi satu hal yang tidak bisa Afnan berikan pada Rakha,

yaitu seorang teman.

Afnan itu tunggal, dan dia mengerti bagaimana rasanya kesepian tanpa seorang Kakak ataupun Adik di sisinya. Tidak ada seorangpun yang bisa dibagi rasa, dibagi luka juga dibagi bahagia. Semua dinikmati sendirian dan terasa kurang.

Argh!” Pria itu mengerang frustasi, memukul stir mobilnya kencang yang membuat jantung Jingga hampir saja loncat dari tempatnya.

“Nan,” panggil Jingga dengan suara rendah dengan bulu yang meremang. Jingga takut kalau Afnan bakalan marah dan mengeluarkan emosinya, tapi keinginan untuk memeluk dan menenangkan pria itu jauh lebih besar dari pada rasa takutnya. “I'll be there.

“Kamu bukan satu-satunya orang yang punya kekurangan, Afnan.” jelas Jingga lalu meraih tubuh Afnan untuk didekap. “Aku sayang sama kamu segimana kamu. Tentang Rakha—”

“Bayi tabung, gimana?”