Kata Langit.
Renandika mengerinyit bingung sambil menatap layar ponsel yang menunjukkan ruang obrolannya bersama dengan gadis manis yang ia temui empat hari lalu di depan cafetaria. Helaan napas terdengar begitu saja bersamaan dengan kuasanya yang mulai terangkat untuk membuka pagar besi di hadapannya. Netra cokelatnya menerawang ke sana ke mari dan mendapati tiga pria yang sedang bermain playstation di ruang tengah.
“Permisi,” ucapnya. Namun karena ketiga pria itu sibuk dengan layar di hadapan masing-masing mereka bahkan tidak memedulikan Renandika yang bahkan sudah berdiri di sana hampir dua puluh menit.
Sedangkan di kamarnya Shaqueena berjalan ke arah kulkas kecil lalu mengambil lima cup cakes yang ia bawa dari cafe tadi. Senyum itu merekah lalu tuasnya berjalan untuk menuruni tangga dengan terburu. Netra cokelat itu semakin bersinar kala mendapati Renandika yang sudah berdiri di ruang tamu sambil menatap malas ke arah Mas Angkasa dengan dua teman-nya.
“Renan!” pekiknya yang mampu membuat Renandika menatap gadis yang sedikit terburu itu menuruni tangga.
Saking terburunya, Shaqueena bahkan tidak tau kalau ada satu gelas kecil yang tidak sengaja diletakkan di anak tangga terakhir oleh Angkasa. Alhasil, gelas itu jatuh dan tentu membuat si gadis berkaus putih itu ikut terjatuh karena terlalu licin.
“Queen!” Angkasa dengan cepat melempar stick di tangannya ke arah Yudha yang masih menatap Shaqueena ngeri—membayangkan betapa sakit tulang kakinya.
Refleks membawa Renandika untuk berlari lebih dulu ketimbang Angkasa sehingga membuat Shaqueena jatuh tepat di pelukannya. Aneh namun terasa dengan jelas bahwa detak jantung pria itu mulai tidak karuan kala ia menatap netra Shaqueena dalam.
Renandika tidak tau rasa apa itu, karena ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Malam ini tidak terlalu panas, tapi cukup membuat dahinya berkeringat. Akhirnya dia bangun dari posisinya—membiarkan Angkasa dan dua teman-nya menatap kebingungan.
“Dua kali gue ketemu lo, dua kali pula lo jatuh.” kata Renandika sambil membenarkan kemejanya dan menatap Shaqueena malas.
Gadis itu menunduk, merutuki kesalahan-nya. Ia juga berpikir tentang hal-hal yang tidak disukai oleh Renandika—terutama orang yang ceroboh dan memiliki banyak tingkah laku. “Maaf.”
“Queen, lo nggak apa-apa?” Angkasa tiba-tiba sadar dari lamunan, kuasanya tergerak untuk memutar-balik tubuh Shaqueena berkali-kali. “Ada yang sakit, nggak?”
Si manis menggeleng lugu, “enggak, Mas.”
“Ayo!” ajak Renandika sambil menarik tangan gadis itu untuk keluar dari kostan.
Entah kenapa, tapi saat Renandika menyentuh kulit Shaqueena rasanya ada getaran yang sulit sekali dijelaskan. Kendati begitu, pria berkemeja itu menyukainya.
“Mana cup cakes buat gue?” tanya-nya saat sudah di parkiran. Netra itu tidak mau lepas dari setiap pergerakan Shaqueena, diam-diam ia juga memerhatikan setiap inci kulit gadis itu—barang kali ada yang terluka karena jatuh tadi. “Sakit nggak?”
Shaqueena menyodorkan tas karton ke arah Renandika dengan tatapan tanya, “apanya?”
“Enggak.” Kuasa pria itu terangkat untuk menerima tas karton tersebut, lalu mengambil satu cup kue yang rasa red velvet. “Gue nggak main-main soal tadi.”
“Apa?”
“Kerja di tempat gue.” katanya sambil masih terus menelan kue di dalam mulut. “Nanti gue bilang Javiar buat ajarin lo jadi Photographer.”
“Wow!” Matanya membulat sempurna sedangkan kurvanya tertarik seluas himalaya dan sesempurna alam Semesta. “Renan, kamu ... kalau ada masalah, boleh cerita sama aku, kok.”
Kunyahan itu berhenti tiba-tiba, netranya menatap sang gadis yang menyandarkan tubuh di kap mobil putih Renandika. Sedetik berikutnya dia menunduk, dan kembali menatap Shaqueena dengan senyum tipisnya. “Gue nggak pernah ngadepin masalah yang berat. Lo nggak perlu khawatir.”
“Kamu hidup dengan baik di Bumi, ya?” Kuasa Shaqueena terangkat untuk merapikan surai pekat milik Renandika yang tertiup angin malam. “Renan, kenapa manusia suka bohong, sih? Mereka bilang baik-baik aja padahal mereka enggak.”
Pria itu mengulum bibirnya, berpikir juga atas jawab dari pertanyaan yang seharusnya mudah itu. Ia kembali menyodorkan tas karton ke arah Shaqueena yang diterima dengan manis oleh gadis itu. Kini Renandika ikut menyandarkan tubuhnya di kap mobil—seperti apa yang dilakukan Shaqueena. Keduanya menatap langit dengan bintang berhamburan di sana.
“Lo mau tau apa alasan manusia suka bohong?”
Si manis mengangguk, menatap Renandika dari sebelah kiri.
“Karena ... di saat mereka cerita ke orang lain kalau lagi nggak baik-baik aja, orang lain cuma sekedar mau tau—tanpa peduli apa solusi dari masalah yang diceritain.” jelasnya. Dia memejam, menarik napas sampai dadanya terasa sesak. “Dunia itu sempit, Queen.”
Gadis itu tersenyum bangga, sekarang Renandika kesayangannya sudah bisa memanggil nama. “Renandika, dunia itu luas.”
Renandika membuka mata, lalu menoleh ke arah kanan yang membuat netranya bertemu dengan milik Shaqueena.
“Beneran, dunia itu luas.” jelas Shaqueena sekali lagi. “Nggak cuma ada satu atau dua jiwa di dunia ini, Renan. Kamu nggak bisa memukul rata semuanya. Kamu nggak bisa bilang mereka cuma mau tau apa masalahmu.”
Tangan-nya yang bebas terangkat untuk menepuk pundak Renandika dua kali, seolah meleburkan beban yang ada di sana. “Kamu jangan nggak terlalu percaya sama orang di sekitarmu—tapi, jangan terlalu percaya juga.”
“Renan,” Dia kembali menoleh, menatap langit yang indah. Telunjuknya terangkat, “lihat ke arah langit kalau kamu lagi sedih, cerita dalam hati karena ada beberapa jiwa yang mendengarkan cerita kamu.”
“Nggak apa-apa nangis. Siapa bilang cowok nggak boleh nangis? Sini, suruh berantem sama aku orangnya.” katanya diiringi dengan tawa lembut yang membuat hati Renandika tiba-tiba saja menghangat.