Kayak anak muda aja!
Jingga meletakkan ponselnya di atas nakas sesaat setelah membaca pesan terakhir yang dikirimkan oleh Afnan. Napasnya terhela begitu saja saat netranya menangkap hamburan bintang di jumantara. Tuasnya melangkah ke arah balkon dengan jemari yang menggenggam secangkir kopi buatannya.
Sebenarnya rasa apa ini?
Jingga tidak pernah mengharapkan dirinya untuk kembali pada Biru, tapi kenapa kekhawatiran selalu memuncak ketika ia menghadapi kondisi pria itu saat ini. Jantungnya bahkan berdetak cepat kala mendapati Biru yang sempat menghentikan detaknya.
Dengan segera, tangannya yang bebas mengambil tape recorder di saku bajunya, kembali menyumpal telinga dengan earphone lalu netra menatap jumantara. Cuaca hari ini cerah, seolah Semesta tidak membiarkannya bersedih begitu saja.
Sedetik berikutnya, telinga langsung diisi oleh suara Biru yang menghangatkan.
“Jingga, kamu masih di sana?“
Entah apa yang membawa Jingga tiba-tiba menganggukkan kepalanya, ia memasukkan kembali tape recorder ke dalam saku baju dengan ear phone yang menyumpal kedua telinga. Kini jemarinya memegang cangkir dengan erat seolah menyalurkan rasa nyeri di dalam dada.
“Kalau kamu masih di sini, kamu tau apa keinginan terbesar aku? Do'a yang selalu aku utarakan saat di depan Allah?“
“Sederhana, Ga .... aku cuma mau kamu hidup bahagia, dengan atau tanpa aku. Aku juga minta Allah ambil nyawa kamu sebelum aku, tapi .... kalau ternyata Allah ambil nyawaku sebelum kamu itu bukan berarti Allah nggak mengabulkan do'aku.“
“Mas Biru, Jingga sakit .... Itu adalah kalimat yang paling benci untuk aku dengar. Aku nggak suka kamu sakit apalagi tertekan, aku nggak suka lihat kamu keluarin air mata, Ga. Makannya, ketika kamu dengar ini .... jangan nangis, ya?“
Cengkraman tangan di cangkir semakin erat dirasa, sampai buku jari perempuan itu memutih. Ia sedang mengusahakan air matanya tidak lagi jatuh membasahi pipi, tapi kenapa dada terasa sesak luar biasa?
“Rekaman ke dua, direkam setelah Biru dan Jingga menikah. Hai, Jingga? Ini aku, Biru. Kamu hari ini kelihatan capek banget, ya? Ikut Ibu ke pasar terus ke rumah Bunda. Aku ajak kamu lihat rumah barunya, nanti aja, ya?“
“Aku dengar suaramu ngaji tadi, bagus—jauh lebih bagus dari pada di Jogja waktu itu. Tajwidnya sudah hampir sempurna, nanti aku ajarin lagi, ya?“
“Kamu tau kalimat apa yang paling aku suka, Jingga? Ketika kamu panggil aku dengan 'mas' suaramu selembut sutera, jemarimu sehangat mentari pagi, hatimu seluas samudera. Aku merasa bangga punya kamu saat ini, bangga sama diriku sendiri dan bahagia. Tapi ada sebagian diriku yang sedih, Ga. Semuanya akan cepat berlalu, dan semakin banyak kebohongan yang aku utarakan hingga hari ini. Aku ....“
Dengan suara seraknya, Biru mengusahakan sebuah kalimat. “Aku .... nggak siap kalau harus kehilangan kamu dalam waktu cepat.“
Jingga langsung melepaskan earphonenya dengan kasar, menarik napas sebisa mungkin untuk menetralkan detak jantung. Kakinya melemas hingga membuat ia menjatuhkan diri untuk duduk di atas lantai balkon. Perempuan itu membiarkan angin malam menerpa wajahnya yang sudah dibasahi oleh air mata.
“Kenapa nangis?”
Suara Afnan tiba-tiba memenuhi indera pendengaran yang membuat Jingga langsung menengadah, menatap wajah pria yang sudah memeluk daksanya. “Nggak ada orang yang suka lihat kamu nangis, Ga. Termasuk Mas Biru dan aku.”
Jingga meletakkan cangkirnya di atas lantai lalu mengeratkan tangannya untuk memeluk Afnan yang sedang tersenyum tipis. “Maafin aku. Maafin aku kalau harus selalu nangisin orang yang jelas-jelas nyakitin aku, Nan. Maafin aku kalau .... kalau bikin kamu ngerasa nggak layak. Maafin aku, tolong ....”
“Liat mata aku, Ga!” perintah Afnan yang membuat Jingga menatap netra kecokelatan itu sendu. Di dalam bolamata itu terdapat ketenangan yang diciptakan oleh si pria. “Jangan minta maaf, kamu nggak salah. Aku tau, tau banget kalau setelah tau alasan kenapa Mas Biru jahat sama kamu .... itu bikin kamu tambah susah untuk ngelupain Mas Biru, kan? Tapi Ga,”
“Ini udah berbelas tahun setelah kalian bercerai, apa kamu nggak punya sedikitpun rasa buat aku?” Tanya pria itu penuh penekanan.
Ini yang Jingga nggak suka dari Afnan, pria itu memiliki pikiran yang cukup keras untuk diruntuhkan. Egois walau tidak selamanya ingin menang sendiri.
“Rasaku .... seluruhnya untuk kamu, Nan.”
Afnan menghela napas, “Tapi kenapa masih ada Mas Biru di sini? Di saat kita harus melanjutkan semua cerita kita berdua.”
“Karena .... Mas Biru pernah masuk ke dalam bagian hidup aku, Nan. Mas Biru juga Ayahnya Rakha, jadi mau nggak mau, suka nggak suka— kita harus emang melibatkan Mas Biru.” Jawabnya sambil menahan napas, takut Afnan semakin marah akan jawabannya. “Tapi Demi Allah .... bertahun-tahun, rasaku ke kamu emang semakin bertambah, Nan.”
Afnan menghela napasnya, menatap netra Jingga dan tidak ada kebohongan i sana atas kalimat terakhirnya. “Okay, Then. Kiss me.“
“Kaya anak muda aja kamu!” Balasnya diiringi tawa yang membuat Afnan mengerucutkan bibir dan sedikit menjauhkan daksanya.
Melihat hal itu Jingga langsung mendekatkan bibirnya ke telinga Afnan. “Jangan disini, di dalam aja. Malu kalau dilihat tetangga.” Lalu pergi masuk ke dalam kamar.
Ditempatnya Afnan masih diam, menatap hamburan bintang di langit. Ia tidak tau apa yang dikatakan Biru dalam tape recordernya. Tapi Afnan yakin dan percaya sepenuhnya bahwa Biru bukanlah orang yang ingin menghancurkan rumah tangganya.