TetehnyaaJisung

Pradipa dan dunianya.

Satu menit lalu Pradipa sudah sampai di rumah saya dan Ayah langsung menyambutnya dengan senyum semegah dunia. Malam itu saya lihat Pradipa menyipitkan matanya, dan saya tau dengan jelas kalau ia sedang tersenyum di balik masker putihnya. Omong-omong soal itu, saya juga kurang paham karena ia memakai masker.

“Mau langsung berangkat?” tanya Ayah yang mendapat anggukan sopan dari Pradipa. Pria itu dengan segera menyalimi tangan Ayah, lalu menggenggam erat jemari saya.

Rasanya biasa saja, karena saya dan ia sudah dua tahun berteman.

Saat sampai di depan, seperti sudah kewajiban—ia memakaikan saya helm dengan lembut. Matanya kembali menyipit, “sudah siap?”

Setelah memastikan saya duduk dengan aman dan nyaman, Pradipa menjalankan motornya perlahan. Menembus jalanan kota yang lumayan dingin karena sore tadi sempat hujan deras. Seolah tau kalau saya kedinginan, Pradipa menarik satu tangan saya untuk melingkari daksanya dan dimasuk-kan ke dalam saku hoodie hitam yang ia gunakan.

“Dingin, ya?” “Iya.”

Kalau ada yang bertanya, apa Andini memiliki rasa kepada Pradipa? jawaban-nya adalah,

tidak.

Karena saya tidak tau bagaimana rasanya memiliki sebuah rasa—termasuk jatuh cinta. Pradipa, baik. Baik sekali sampai semesta kirim manusia itu untuk menjadi teman dekat saya. Dan saya sering sekali merasa beruntung sebab ia dihadirkan di sini.

Kata Ayah, tidak ada alasan untuk tidak jatuh cinta pada Pradipa. Tapi saya punya satu alasan, hati saya .... hati saya tidak bisa merasakan hal itu.

“Hati-hati.” kata Pradipa saat saya turun dari motornya.

Kami sudah sampai di salah satu warung tenda tengah kota. Pradipa bukanlah teman pria yang sering mengajak saya makan di rumah makan megah, bukan pula teman pria yang membelikan saya barang-barang mewah. Tapi ia adalah pria pertama yang memperlakukan saya seperti Ayah.

“Sate ayam atau kambing?” “Kamu?” “Saya nggak bisa dibuat jadi sate, Dini.”

Saya tertawa, “bukan, bukan. Maksud saya, kamu mau sate apa?”

“Kayak biasa, sate Ayam.” katanya sembari menyipitkan mata, memberi pertanda bahwa ia membentangkan sebuah senyum selebar Samudera.

“Yaudah, saya samain aja.”

Pradipa mengangguk, lalu berjalan untuk memesan dua porsi sate Ayam dan minuman-nya.

Kemarin saya sempat ditanya sama Kakak Ipar saya mengenai Pradipa. Katanya, “Pradipa itu baik, Din. Mas nggak yakin kalau nggak ada dua cowok dan cewek berteman tanpa ada sebuah rasa di dalamnya.

Sayangnya, saya selalu bertentangan mengenai sebuah rasa. Dan saya selalu bingung, memang apa yang menyenangkan dari jatuh cinta? Dan, apa salahnya kalau pria dan wanita menjalin sebuah pertemanan tanpa sebuah rasa?

Apa itu terasa aneh?

Saya rasa tidak.

“Kamu besok jadi buka rekening, kan, Din?” tanya Pradipa yang baru saja kembali, ia duduk di hadapan saya sembari membuka maskernya.

Mata saya membola kala mendapati beberapa lebam di wajah pria itu. “Di, kamu kenapa?”

Dia mendesah lirih saat kemari saya menyentuh lebamnya di bagian kiri bibir. Pelan-pelan ia merogoh saku hoodienya untuk mengambil satu botol alkohol kecil juga kapas.

“Boleh minta tolong obati?”

Saya diam, melempar tatapan ke arah alkohol dan Pradipa bergantian. Kemudian mendesah malas, “ini kenapa?”

“Kan saya udah bilang, habis menyelamatkan dunia.” katanya sambil tertawa kecil.

Diam-diam tangan saya bergerak untuk menuangkan alkohol ke atas kapas lalu menempelkan-nya ke beberapa lebam di wajah itu. “Saya tanya serius, loh.”

“Saya jawabnya juga serius.”

Setelah itu ada Ibu si pemilik warung tenda yang mengantar dua porsi sate ayam dan minumnya. Tapi mata saya masih fokus pada wajah Pradipa sedangkan pria itu mengucapkan terima kasih kepada si Ibu.

Pradipa manis sekali, entah fisik atau hatinya. Perlakuan-nya juga selembut sutera, beruntung sekali orang tuanya memiliki anak pria sebaik ia. Kalau boleh jujur, Pradipa itu pria yang punya pemikiran seluas jumantara karena itu pemilik Perusahaan memilih ia sebagai tim inti dalam sebuah project besar padahal baru dua tahun bekerja.

“Dimakan dulu, Din. Jangan lihatin saya sebegitunya, nanti saya kepedean.”

Saya Andini.

Perkenalkan, saya Farahia Andini—mereka biasa memanggil saya Andini atau sekedar Dini. Kata Ayah, saya gadis si pemilik senyum semegah istana. Kata Ayah, saya si gadis pemilik bola mata tajam yang pekat. Kata Ayah juga, saya gadis si pemilik hati seluas jumantara.

Dua puluh tiga tahun tinggal di Bumi membuat saya merasa bangga dengan diri sendiri.

“Dini, kamu nggak kerja?”

Ah itu, wanita yang senyumnya mampu membuat saya jauh lebih baik namanya Raisha, Ibu saya.

Kata Ayah, dulu Ibu adalah satu-satunya orang yang bersedih ketika Tuhan mengizinkan saya untuk hidup di bumi. Ibu bahkan menentang takdir Tuhan karena saya dihadirkan di hidupnya yang sempurna. Jauh sebelum ada saya, Ibu baik-baik saja. Tapi sejak Ibu tau kalau ada nyawa di dalam daksanya, ia marah pada Semesta. Kehadiran saya sempat disebut sebuah kecelakaan oleh Ibu.

Kata Ayah pula, dulu Ibu seorang wanita karir yang hebat. Apapun yang Ibu mau, pasti terlaksana dengan baik. Tapi sejak Tuhan kirimkan saya di hidup Ibu untuk melengkapi harinya—semua hancur.

“Sebentar lagi Dini berangkat, Bu.”

Tidak tau bagaimana, tapi Ibu sudah berdiri di hadapan saya—memukul saya dengan sapu andalan-nya. “Kamu itu! Jangan jadi pemalas! Cepat berangkat sekarang!”

Saya tersenyum ketika bagian dari gagang sapu menyentuh kepala saya cukup keras. Kemudian mengambil tangan Ibu untuk disalimi.

Jangan tanya rasanya seperti apa, saya tidak tau. Yang terasa hanya perih di permukaan kulit kepala, tapi perasaan saya biasa saja.

Saya terlalu terbiasa sampai akhirnya mati rasa. Sejak kecil, Ibu benci melihat saya menangis, jadi saya lebih memilih diam dan tidak memberontak saat sekalipun Ibu membanting daksa saya ke segala arah.

Di detik ini saya masih berpegang teguh pada kalimat keyakinan bahwa Ibu tidak suka melihat saya menangis karena Ibu tidak mau saya terlihat lemah.

Mungkin, saking seringnya memendam sebuah rasa—saya jadi kehilangan seluruh rasa.

“Din!”

Sambil mengangkat kurva saya melambaikan tangan ke arah pria yang baru saja berhenti di depan pagar dengan motor kesayangan-nya. “Bareng lagi?”

Dia mengangguk, kemudian buru-buru membantu saya untuk memakai helm dengan senyum manis yang diidamkan seluruh kaum hawa.

Kenalkan, dia Pradipa teman sekantor saya sejak dua tahun lalu. Pria pemilik senyum semanis gula jawa dan kalimat selembut sutera.

“Sudah siap?”

Setelah pertanyaan itu dilontarkan dan memeriksa bahwa saya sudah duduk dengan aman, Pradipa menjalankan sepedah motornya. Katanya itu hadiah dari Ibunya lima tahun lalu yang ia jaga sampai hari ini.

Pemberian dari Ibu adalah sebuah anugerah bagi saya, Dini. Jadi saya harus menjaganya.” katanya waktu itu.

Pemberian dari Ibu adalah anugerah? Lalu buku tulis kosong pemberian dari Ibu tujuh tahun lalu saat saya duduk di kursi sekolah menengah adalah anugerah?

“Kenapa diam?” Pradipa menatap saya lewat kaca spion sebelah kiri. Motornya berhenti sebab lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah seketika.

Saya tertawa, “Di, bagaimana rasanya bisa menangis, ya?”

Saya Andini.

Perkenalkan, saya Farahia Andini—mereka biasa memanggil saya Andini atau sekedar Dini. Kata Ayah, saya gadis si pemilik senyum semegah istana. Kata Ayah, saya si gadis pemilik bola mata tajam yang pekat. Kata Ayah juga, saya gadis si pemilik hati seluas jumantara.

Dua puluh tiga tahun tinggal di Bumi membuat saya merasa bangga dengan diri sendiri.

“Dini, kamu nggak kerja?”

Ah itu, wanita yang senyumnya mampu membuat saya jauh lebih baik namanya Raisha, Ibu saya.

Kata Ayah, dulu Ibu adalah satu-satunya orang yang bersedih ketika Tuhan mengizinkan saya untuk hidup di bumi. Ibu bahkan menentang takdir Tuhan karena saya dihadirkan di hidupnya yang sempurna. Jauh sebelum ada saya, Ibu baik-baik saja. Tapi sejak Ibu tau kalau ada nyawa di dalam daksanya, ia marah pada Semesta. Kehadiran saya sempat disebut sebuah kecelakaan oleh Ibu.maaf

Kata Ayah pula, dulu Ibu seorang wanita karir yang hebat. Apapun yang Ibu mau, pasti terlaksana dengan baik. Tapi sejak Tuhan kirimkan saya di hidup Ibu untuk melengkapi harinya—semua hancur.

“Sebentar lagi Dini berangkat, Bu.”

Tidak tau bagaimana, tapi Ibu sudah berdiri di hadapan saya—memukul saya dengan sapu andalan-nya. “Kamu itu! Jangan jadi pemalas! Cepat berangkat sekarang!”

Saya tersenyum ketika bagian dari gagang sapu menyentuh kepala saya cukup keras. Kemudian mengambil tangan Ibu untuk disalimi.

Jangan tanya rasanya seperti apa, saya tidak tau. Yang terasa hanya perih di permukaan kulit kepala, tapi perasaan saya biasa saja.

Saya terlalu terbiasa sampai akhirnya mati rasa. Sejak kecil, Ibu benci melihat saya menangis, jadi saya lebih memilih diam dan tidak memberontak saat sekalipun Ibu membanting daksa saya ke segala arah.

Di detik ini saya masih berpegang teguh pada kalimat keyakinan bahwa Ibu tidak suka melihat saya menangis karena Ibu tidak mau saya terlihat lemah.

Mungkin, saking seringnya memendam sebuah rasa—saya jadi kehilangan seluruh rasa.

“Din!”

Sambil mengangkat kurva saya melambaikan tangan ke arah pria yang baru saja berhenti di depan pagar dengan motor kesayangan-nya. “Bareng lagi?”

Dia mengangguk, kemudian buru-buru membantu saya untuk memakai helm dengan senyum manis yang diidamkan seluruh kaum hawa.

Kenalkan, dia Pradipa teman sekantor saya sejak dua tahun lalu. Pria pemilik senyum semanis gula jawa dan kalimat selembut sutera.

“Sudah siap?”

Setelah pertanyaan itu dilontarkan dan memeriksa bahwa saya sudah duduk dengan aman, Pradipa menjalankan sepedah motornya. Katanya itu hadiah dari Ibunya lima tahun lalu yang ia jaga sampai hari ini.

Pemberian dari Ibu adalah sebuah anugerah bagi saya, Dini. Jadi saya harus menjaganya.” katanya waktu itu.

Pemberian dari Ibu adalah anugerah? Lalu buku tulis kosong pemberian dari Ibu tujuh tahun lalu saat saya duduk di kursi sekolah menengah adalah anugerah?

“Kenapa diam?” Pradipa menatap saya lewat kaca spion sebelah kiri. Motornya berhenti sebab lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah seketika.

Saya tertawa, “Di, bagaimana rasanya bisa menangis, ya?”

Saya Andini.

Perkenalkan, saya Farahia Andini—mereka biasa memanggil saya Andini atau sekedar Dini. Kata Ayah, saya gadis si pemilik senyum semegah istana. Kata Ayah, saya si gadis pemilik bola mata tajam yang pekat. Kata Ayah juga, saya gadis si pemilik hati seluas jumantara.

Dua puluh tiga tahun tinggal di Bumi membuat saya merasa bangga dengan diri sendiri.

“Dini, kamu nggak kerja?”

Ah itu, wanita yang senyumnya mampu membuat saya jauh lebih baik namanya Raisha, Ibu saya.

Kata Ayah, dulu Ibu adalah satu-satunya orang yang bersedih ketika Tuhan mengizinkan saya untuk hidup di bumi. Ibu bahkan menentang takdir Tuhan karena saya dihadirkan di hidupnya yang sempurna. Jauh sebelum ada saya, Ibu baik-baik saja. Tapi sejak Ibu tau kalau ada nyawa di dalam daksanya, ia marah pada Semesta. Kehadiran saya sempat disebut sebuah kecelakaan oleh Ibu.maaf

Kata Ayah pula, dulu Ibu seorang wanita karir yang hebat. Apapun yang Ibu mau, pasti terlaksana dengan baik. Tapi sejak Tuhan kirimkan saya di hidup Ibu untuk melengkapi harinya—semua hancur.

“Sebentar lagi Dini berangkat, Bu.”

Tidak tau bagaimana, tapi Ibu sudah berdiri di hadapan saya—memukul saya dengan sapu andalan-nya. “Kamu itu! Jangan jadi pemalas! Cepat berangkat sekarang!”

Saya tersenyum ketika bagian dari gagang sapu menyentuh kepala saya cukup keras. Kemudian mengambil tangan Ibu untuk disalimi.

Jangan tanya rasanya seperti apa, saya tidak tau. Yang terasa hanya perih di permukaan kulit kepala, tapi perasaan saya biasa saja.

Saya terlalu terbiasa sampai akhirnya mati rasa. Sejak kecil, Ibu benci melihat saya menangis, jadi saya lebih memilih diam dan tidak memberontak saat sekalipun Ibu membanting daksa saya ke segala arah.

Di detik ini saya masih berpegang teguh pada kalimat keyakinan bahwa Ibu tidak suka melihat saya menangis karena Ibu tidak mau saya terlihat lemah.

Mungkin, saking seringnya memendam sebuah rasa—saya jadi kehilangan seluruh rasa.

“Din!”

Sambil mengangkat kurva saya melambaikan tangan ke arah pria yang baru saja berhenti di depan pagar dengan motor kesayangan-nya. “Bareng lagi?”

Dia mengangguk, kemudian buru-buru membantu saya untuk memakai helm dengan senyum manis yang diidamkan seluruh kaum hawa.

Kenalkan, dia Pradipa teman sekantor saya sejak dua tahun lalu. Pria pemilik senyum semanis gula jawa dan kalimat selembut sutera.

“Sudah siap?”

Setelah pertanyaan itu dilontarkan dan memeriksa bahwa saya sudah duduk dengan aman, Pradipa menjalankan sepedah motornya. Katanya itu hadiah dari Ibunya lima tahun lalu yang ia jaga sampai hari ini.

Pemberian dari Ibu adalah sebuah anugerah bagi saya, Dini. Jadi saya harus menjaganya.” katanya waktu itu.

Pemberian dari Ibu adalah anugerah? Lalu buku tulis kosong pemberian dari Ibu tujuh tahun lalu saat saya duduk di kursi sekolah menengah adalah anugerah?

“Kenapa diam?” Pradipa menatap saya lewat kaca spion sebelah kiri. Motornya berhenti sebab lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah seketika.

Saya tertawa, “Di, bagaimana rasanya bisa menangis, ya?”

Saya Andini.

Perkenalkan, saya Farahia Andini—mereka biasa memanggil saya Andini atau sekedar Dini. Kata Ayah, saya gadis si pemilik senyum semegah istana. Kata Ayah, saya si gadis pemilik bola mata tajam yang pekat. Kata Ayah juga, saya gadis si pemilik hati seluas jumantara.

Dua puluh tiga tahun tinggal di Bumi membuat saya merasa bangga dengan diri sendiri.

“Dini, kamu nggak kerja?”

Ah itu, wanita yang senyumnya mampu membuat saya jauh lebih baik namanya Raisha, Ibu saya.

Kata Ayah, dulu Ibu adalah satu-satunya orang yang bersedih ketika Tuhan mengizinkan saya untuk hidup di bumi. Ibu bahkan menentang takdir Tuhan karena saya dihadirkan di hidupnya yang sempurna. Jauh sebelum ada saya, Ibu baik-baik saja. Tapi sejak Ibu tau kalau ada nyawa di dalam daksanya, ia marah pada Semesta. Kehadiran saya sempat disebut sebuah kecelakaan oleh Ibu.maaf

Kata Ayah pula, dulu Ibu seorang wanita karir yang hebat. Apapun yang Ibu mau, pasti terlaksana dengan baik. Tapi sejak Tuhan kirimkan saya di hidup Ibu untuk melengkapi harinya—semua hancur.

“Sebentar lagi Dini berangkat, Bu.”

Tidak tau bagaimana, tapi Ibu sudah berdiri di hadapan saya—memukul saya dengan sapu andalan-nya. “Kamu itu! Jangan jadi pemalas! Cepat berangkat sekarang!”

Saya tersenyum ketika bagian dari gagang sapu menyentuh kepala saya cukup keras. Kemudian mengambil tangan Ibu untuk disalimi.

Jangan tanya rasanya seperti apa, saya tidak tau. Yang terasa hanya perih di permukaan kulit kepala, tapi perasaan saya biasa saja.

Saya terlalu terbiasa sampai akhirnya mati rasa. Sejak kecil, Ibu benci melihat saya menangis, jadi saya lebih memilih diam dan tidak memberontak saat sekalipun Ibu membanting daksa saya ke segala arah.

Di detik ini saya masih berpegang teguh pada kalimat keyakinan bahwa Ibu tidak suka melihat saya menangis karena Ibu tidak mau saya terlihat lemah.

Mungkin, saking seringnya memendam sebuah rasa—saya jadi kehilangan seluruh rasa.

“Din!”

Sambil mengangkat kurva saya melambaikan tangan ke arah pria yang baru saja berhenti di depan pagar dengan motor kesayangan-nya. “Bareng lagi?”

Dia mengangguk, kemudian buru-buru membantu saya untuk memakai helm dengan senyum manis yang diidamkan seluruh kaum hawa.

Kenalkan, dia Pradipa teman sekantor saya sejak dua tahun lalu. Pria pemilik senyum semanis gula jawa dan kalimat selembut sutera.

“Sudah siap?”

Setelah pertanyaan itu dilontarkan dan memeriksa bahwa saya sudah duduk dengan aman, Pradipa menjalankan sepedah motornya. Katanya itu hadiah dari Ibunya lima tahun lalu yang ia jaga sampai hari ini.

Pemberian dari Ibu adalah sebuah anugerah bagi saya, Dini. Jadi saya harus menjaganya.” katanya waktu itu.

Pemberian dari Ibu adalah anugerah? Lalu buku tulis kosong pemberian dari Ibu tujuh tahun lalu saat saya duduk di kursi sekolah menengah adalah anugerah?

“Kenapa diam?” Pradipa menatap saya lewat kaca spion sebelah kiri. Motornya berhenti sebab lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah seketika.

Saya tertawa, “Di, bagaimana rasanya bisa menangis, ya?”

Saya Andini.

Perkenalkan, saya Farahia Andini—mereka biasa memanggil saya Andini atau sekedar Dini. Kata Ayah, saya gadis si pemilik senyum semegah istana. Kata Ayah, saya si gadis pemilik bola mata tajam yang pekat. Kata Ayah juga, saya gadis si pemilik hati seluas jumantara.

Dua puluh tiga tahun tinggal di Bumi membuat saya merasa bangga dengan diri sendiri.

“Dini, kamu nggak kerja?”

Ah itu, wanita yang senyumnya mampu membuat saya jauh lebih baik namanya Raisha, Ibu saya.

Kata Ayah, dulu Ibu adalah satu-satunya orang yang bersedih ketika Tuhan mengizinkan saya untuk hidup di bumi. Ibu bahkan menentang takdir Tuhan karena saya dihadirkan di hidupnya yang sempurna. Jauh sebelum ada saya, Ibu baik-baik saja. Tapi sejak Ibu tau kalau ada nyawa di dalam daksanya, ia marah pada Semesta. Kehadiran saya sempat disebut sebuah kecelakaan oleh Ibu.maaf

Kata Ayah pula, dulu Ibu seorang wanita karir yang hebat. Apapun yang Ibu mau, pasti terlaksana dengan baik. Tapi sejak Tuhan kirimkan saya di hidup Ibu untuk melengkapi harinya—semua hancur.

“Sebentar lagi Dini berangkat, Bu.”

Tidak tau bagaimana, tapi Ibu sudah berdiri di hadapan saya—memukul saya dengan sapu andalan-nya. “Kamu itu! Jangan jadi pemalas! Cepat berangkat sekarang!”

Saya tersenyum ketika bagian dari gagang sapu menyentuh kepala saya cukup keras. Kemudian mengambil tangan Ibu untuk disalimi.

Jangan tanya rasanya seperti apa, saya tidak tau. Yang terasa hanya perih di permukaan kulit kepala, tapi perasaan saya biasa saja.

Saya terlalu terbiasa sampai akhirnya mati rasa. Sejak kecil, Ibu benci melihat saya menangis, jadi saya lebih memilih diam dan tidak memberontak saat sekalipun Ibu membanting daksa saya ke segala arah.

Di detik ini saya masih berpegang teguh pada kalimat keyakinan bahwa Ibu tidak suka melihat saya menangis karena Ibu tidak mau saya terlihat lemah.

Mungkin, saking seringnya memendam sebuah rasa—saya jadi kehilangan seluruh rasa.

“Din!”

Sambil mengangkat kurva saya melambaikan tangan ke arah pria yang baru saja berhenti di depan pagar dengan motor kesayangan-nya. “Bareng lagi?”

Dia mengangguk, kemudian buru-buru membantu saya untuk memakai helm dengan senyum manis yang diidamkan seluruh kaum hawa.

Kenalkan, dia Pradipa teman sekantor saya sejak dua tahun lalu. Pria pemilik senyum semanis gula jawa dan kalimat selembut sutera.

“Sudah siap?”

Setelah pertanyaan itu dilontarkan dan memeriksa bahwa saya sudah duduk dengan aman, Pradipa menjalankan sepedah motornya. Katanya itu hadiah dari Ibunya lima tahun lalu yang ia jaga sampai hari ini.

Pemberian dari Ibu adalah sebuah anugerah bagi saya, Dini. Jadi saya harus menjaganya.” katanya waktu itu.

Pemberian dari Ibu adalah anugerah? Lalu buku tulis kosong pemberian dari Ibu tujuh tahun lalu saat saya duduk di kursi sekolah menengah adalah anugerah?

“Kenapa diam?” Pradipa menatap saya lewat kaca spion sebelah kiri. Motornya berhenti sebab lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah seketika.

Saya tertawa, “Di, bagaimana rasanya bisa menangis, ya?”

Saya Andini.

Perkenalkan, saya Farahia Andini—mereka biasa memanggil saya Andini atau sekedar Dini. Kata Ayah, saya gadis si pemilik senyum semegah istana. Kata Ayah, saya si gadis pemilik bola mata tajam yang pekat. Kata Ayah juga, saya gadis si pemilik hati seluas jumantara.

Dua puluh tiga tahun tinggal di Bumi membuat saya merasa bangga dengan diri sendiri.

“Dini, kamu nggak kerja?”

Ah itu, wanita yang senyumnya mampu membuat saya jauh lebih baik namanya Raisha, Ibu saya.

Kata Ayah, dulu Ibu adalah satu-satunya orang yang bersedih ketika Tuhan mengizinkan saya untuk hidup di bumi. Ibu bahkan menentang takdir Tuhan karena saya dihadirkan di hidupnya yang sempurna. Jauh sebelum ada saya, Ibu baik-baik saja. Tapi sejak Ibu tau kalau saya ada di dalam perutnya, ia marah pada Semesta. Kehadiran saya sempat disebut sebuah kecelakaan oleh Ibu.

Kata Ayah pula, dulu Ibu seorang wanita karir yang hebat. Apapun yang Ibu mau, pasti terlaksana dengan baik. Tapi sejak Tuhan kirimkan saya di daksa Ibu, untuk melengkapi harinya—semua hancur.

“Sebentar lagi Dini berangkat, Bu.”

Tidak tau bagaimana, tapi Ibu sudah berdiri di hadapan saya—memukul saya dengan sapu andalan-nya. “Kamu itu! Jangan jadi pemalas! Cepat berangkat sekarang!”

Saya tersenyum ketika bagian dari gagang sapu menyentuh kepala saya cukup keras. Kemudian mengambil tangan Ibu untuk disalimi.

Jangan tanya rasanya seperti apa, saya tidak tau. Yang terasa hanya perih di permukaan kulit kepala, tapi perasaan saya biasa saja.

Saya terlalu terbiasa sampai akhirnya mati rasa. Sejak kecil, Ibu benci melihat saya menangis, jadi saya lebih memilih diam dan tidak memberontak saat sekalipun Ibu membanting daksa saya ke segala arah.

Di detik ini saya masih berpegang teguh pada kalimat keyakinan bahwa Ibu tidak suka melihat saya menangis karena Ibu tidak mau saya terlihat lemah.

Mungkin, saking seringnya memendam sebuah rasa—saya jadi kehilangan seluruh rasa.

“Din!”

Sambil mengangkat kurva, saya melambaikan tangan ke arah pria yang baru saja berhenti di depan pagar dengan motor kesayangan-nya. “Bareng lagi?”

Dia mengangguk, kemudian buru-buru membantu saya untuk memakai helm dengan senyum manis yang diidamkan seluruh kaum hawa.

Kenalkan, dia Pradipa teman sekantor saya sejak dua tahun lalu.

Untuk apa hati diciptakan?

Kenapa harus ia?

Hari ini sudah berapa kali Jingga menangis? Air mata-air mata sialan itu terus mengalir deras seolah tidak mau dihentikan sejak dua jam yang lalu. Tepatnya sejak Pak Bayu diminta langsung oleh Afnan untuk mengantar istrinya ke Rumah Sakit. Di sepanjang perjalanan yang mampu menghabiskan waktu tiga puluh menit tidak pernah dilewatkan oleh Jingga untuk berdo'a, memohon pada Semesta kalau semuanya hanyalah mimpi dan omong kosong belaka.

Tapi pagi ini, saat melihat daksa Biru yang mulai membeku di ruang ICU kakinya melemas. Jantungnya seolah berhenti kala matanya menangkap senyum manis yang menghiasi wajah pria itu. Kurvanya mengingatkan Jingga pada hari itu—hari di mana Biru menikahi perempuan lain tepat di hadapan-nya. Ciuman terakhir, juga pelukan terakhir.

“Mas Biru ...” Jingga menunduk dalam, kuasanya terangkat untul mengelus surai pekat milik Biru. Dengan sedikit gemetar, kuasa itu berpindah ke jemari lentik yang berada tepat di atas perut si pria. Alat-alat yang sejak beberapa bulan lalu melekat pada daksa itu kini sudah tidak dapat lagi digunakan, sudah tidak dapat lagi menopang dan membantunya bertahan pada dunia. “Sekarang udah nggak sakit, kan, Mas?”

“Bunda waktu itu bilang ke Jingga kalau Mas Biru nggak pernah merasa bahagia kecuali sama Jingga.” Setelahnya terdengar helaan napas, bersamaan dengan isak tangis yang semakin mengeras. Jingga tidak tau apa lagi yang harus ia utarakan, tidak tau apa lagi yang harus dimengerti. “Hari ini ... Jingga datang ke sini bukan lagi untuk periksa keadaan Mas Biru, tapi untuk jawab dari pertanyaan satu hari sebelum Rakha dilahirkan.”

“Ga, untuk apa hati diciptakan?”

Perempuan berkerudung hitam itu menangis lagi, hal yang sebenarnya lelah sekali untuk ia lakukan. Berkali-kali Jingga selalu menjadi karakter lemah dalam bukunya, Jinggapun lelah, Semesta ...

“Mas, hati diciptakan untuk merasakan seluruh rasa. Rasa sakit dan terluka adalah salah satu dari bagian-nya. Mas Biru tahu untuk apa manusia ada?” Kuasa yang sebelumnya menggenggam jemari Biru itu berpindah tugas untuk meremat dadanya sendiri, menyakiti diri dari bagian luar.

Masih ingat kalau ia tidak suka dilukai dari dalam, kan?

“Manusia diciptakan untuk terluka, Mas Biru ...” lanjutnya. Netra itu berhenti pada wajah Biru yang sengat menenangkan. Allah pasti memanggilnya karena ia terlalu merindukan pria ini. Pasti. “Kalau manusia nggak terluka, dia mana pernah tau bagaimana rasanya terluka, kan? Bisa-bisa dia selalu melukai orang di sekitarnya.”

Jingga melepas seluruh bagian tubuhnya yang menyentuh Biru kala dua orang perawat datang menghampiri, hendak membawa daksa itu pergi dari ruangan ini.

Kamu tau apa yang paling menyakitkan dari sebuah kepergian?

Mengikhlaskan.

Sedikit melawan takdir.

Tepat pukul enam pagi Jingga membuka matanya, kuasanya terangkat untuk meraba nakas. Tadi setelah sholat subuh, Afnan menyarankan-nya untuk tidur lagi sebab besok Jingga akan berangkat ke Lampung—yang mana akan menyita waktu perempuan itu untuk beristirahat. Afnan tipikal pria yang sangat menghargai waktu, apalagi untuk sekedar meluruskan tubuh.

Jantung Jingga berdegup kencang kala Naren menjawab sebuah kalimat tanya penuh luka. Air mata itu berhasil lolos membasahi pipi bagian kiri. Jemarinya mengepal kuat selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh. Jingga bahkan sampai menggigit bibir bawah guna meredam suara tangis, ia jelas tidak mau membangunkan Afnan.

“Mas ... Biru ...” katanya. Dengan cepat perempuan itu menapak-kan kaki di atas lantai walau rasanya ia seperti mengapung. Kakinya lemas, bahkan untuk menopang daksanya sendiripun tidak mampu. “Mas Biru ... Jingga belum minta maaf sama Mas Biru ...”

Benar. Jingga memang benar-benar belum meminta maaf secara langsung pun tidak langsung tentang apa yang terjadi di hari sebelumnya. Bukan, bukan Jingga tidak peduli akan perasaan Biru kepadanya. Tapi Jingga bingung, bagaimana ia harus memulainya?

Seluruh rasanya sudah dimiliki oleh pria tampan yang sekarang sedang menutup matanya di atas kasur, tapi ada sebagian rasa yang tidak mampu ia jelaskan tentang Biru. Jingga tidak lagi mengingunkan Biru, ia juga tidak menyesali tentang perceraian mereka—tapi, satu rasa itu begitu kuat. Rasa yang entah, Jingga sendiri tidak mengerti.

Jemari yang sedari tadi mengepal kuat selimut kini berpindah tugas untuk memukul dadanya sendiri, berharap rasa sesak itu hilang dengan sendirinya. Jingga melepas Biru, Jingga mengikhlakan Biru, tapi itu semua bukan berarti Jingga mengaminkan kalau Semesta membawa pergi pria itu untuk selamanya.

“Nan, bangun ...” Ia memutari ranjang, duduk di tepi Afnan yang masih hadir dalam mimpi. “Afnan ...” Suaranya melemah dan diiringi isak yang sedari tadi ia tahan.

Sedangkan Afnan yang mendengar isak penuh pilu itu langsung bangun dari posisinya, “Ga, Ga,—hey semuanya baik-baik aja, kan?”

Iya, Jingga juga berharapnya begitu. Tapi takdir membawa perempuan itu menggeleng lemah, masih dengan tangisan pilu menyayat jiwa. “Aku gagal, Nan.”

Afnan diam, tapi kuasanya terangkat untuk mengelus rambut legam milik Jingga seolah memberikan ketenangan yang ia punya. Afnan tahu dengan jelas bahwa Jingga punya alasan tersendiri kenapa ia menangis sebegitu pilunya di pagi hari seperti ini.

“Mas Biru meninggal, Nan ...” Sekali lagi, suaranya sedikit lebih mengeras yang langsung membuat Afnan mematung. Darahn pria berdesir hebat kala daksa milik Jingga runtuh di hadapan-nya.

“Ga,” Afnan menghela napasnya, membawa daksa sang istri untuk masuk ke dalam pelukan hangatnya. “Allah lebih sayang sama Mas Biru ketimbang kita. Mas Biru udah nggak sakit lagi, Ga. Mas Biru udah nggak kesiksa lagi dengan adanya beberapa alat di tubuh. Mas Biru—”

“Aku belum minta maaf sama Mas Biru, Afnan ...” katanya. Ia menengadahkan wajah yang langsung dihadapkan dengan wajah Afnan yang tetap terlihat rupawan walau dari bawah dan cahaya yang minim. “Gimana caranya aku jelasin ke Rakha, Nan? Gimana kalau Rakha malah benci sama aku, Nan? Gimana kalau Rak—”

Afnan mendesis, telunjuknya ia letak-kan di depan bibir Jingga yang membuat perempuan itu menghentikan kalimatnya tanpa karena. Afnan tahu, membahas Biru adalah luka bagi Jingga. Dan Afnan jelas tahu, istrinya itu masih belum bisa menerima apapun yang terjadi di masa lalu.

Jika Jingga bilang kalau seluruh rasanya adalah milik Afnan, maka pria itu dengan cepat menyanggah. Karena sejatinya sebuah rasa tidak akan pernah utuh.

“Jangan ngomong gitu, Ga. Itu sama aja kamu melawan takdir, kan?”

Menjadi bagian dari Semesta.

Menjadi bagian dari Semesta adalah hal yang tidak pernah terduga, dan tidak pernah aku inginkan. Tapi ada satu hal yang membuatku ingin terus hidup dengan lama di dunia yang fana ini, satu orang yang membuatku merasa beruntung kalau ternyata ... ada begitu banyak hal yang aku ciptakan untuk kata bahagia.

Mark, namanya. Senyum manis dan menenangkan selalu ia pamerkan setiap menatap mataku, amarahnya tidak pernah dikeluarkan walau mungkin dalam hati ia ingin sekali mencaci. Dia baik, dia tampan, dan dia terlalu istimewa. Sampai kadang aku berpikir, pantaskah aku?

Beberapa tahun lalu, ketika kita sedang melihat indahnya Jakarta dari atas rooftop Apartment-nya, dia pernah bilang satu hal sederhana yang sampai detik ini susah sekali untuk kulupa.

“Kalau aku bisa beli seluruh Semesta beserta isinya untuk kamu, pasti bakalan aku beli.”

Mengingat hal itu cukup membuat kurvaku melebar seluas himalaya, terlebih saat wajah pria tampan kesayanganku itu mencul karena menjawab panggilan videoku.

“Hai!” sapanya sambil tersenyum manis, untuk beberapa saat tatapan-nya beralih dari layar.

Aku tersenyum kecil, “Mark? Kamu sambil ngerjain tugas, ya?”

Mark mengangkat buku tebalnya, memerkan sampul hijau tua itu ke hadapan layar—agar aku dapat melihatnya dengan jelas. “Iya. Nggak apa-apa, kan? Deadline-nya jam sepuluh.”

“Di sana jam tujuh pagi, ya?” tanyaku sambil mengambil satu bungkus makanan ringan yang tadi dibelikan Renjun.

Dehaman berat kesukaanku akhirnya dapat kudengar lagi, “Di sana jam sepuluh, kan? Kok pulangnya malam banget?— Oh iya, *how was your day, anak manis?” tanyanya. Sumpah demi apapun, pertanyaan itu tidak pernah alfa dari setiap malamku sebelum tidur. Karena entah kenapa, sesibuk-sibuknya seorang Mark Adijaya, dia pasti menyempatkan diri untum memberiku kabar barang lima detik.

Aku senang setiap ia mengirim pesan, walau di cuma satu kalimat seperti, Hari ini aku sibuk, kamu nggak apa-apa aku tinggal, kan? Don't skip your dinner, ya. Nanti aku kabarin lagi.

“Hari ini aku seneng, Mark. Udah lama banget nggak keliling Jakarta, sibuk ngurus cafe sama kuliah.” jawabku sambil merebahkan diri di kasur, laptopnya aku letak-kan di samping bantal agar dapat melihat wajahnya dengan jelas.

Kalian tau? Sebelum meninggalkan Jakarta untuk beberapa waktu, Mark sempat menitipkan cafe yang didirikan sendiri kepadaku. Katanya, itu salah satu sumber penghasilan-nya padahal ia masih bisa meminta bantuan pada orang tua. Aku kagum sama Mark, kagum sekali. Usianya masih muda saat itu, tapi sudah memikirkan masa depan dengan matang.

Ini salah satu alasan kenapa aku selalu berpikir tentang aku yang pantas mendapatkan hatinya atau tidak?

“Oh, ya? Kamu jangan terlalu keras sama dirimu sediri, ya? Kalau lagi capek banget nggak udah control cafe, nanti aku suruh Renjun aja.” katanya dengan fokus yang sepenuhnya ke arah layar laptop, kemudian disusul dengan seruputan kopi dari cangkir berwarna putih.

“Mark, apa aku beneran pantes dapetin kamu?”

Mark yang tadinya sibuk dengan beberapa lembar kertas, akhirnya duduk menyandar sepenuhnya di sofa, dengan laptop yang ada di pangkuan-nya. “Listen to me, nggak ada orang yang nggak pantas untuk banyak hal, Sa. Kamu pantas untuk apapun yang kamu dapetin, untuk apapun yang kamu punya.”

Aku mengangguk ragu karena sumpah demi apapun ... aku ingin menangis sejadi-jadinya. Mark adalah orang yang selalu membantuku bangun dari masa-masa terpuruk-ku, satu-satunya manusia yang selalu meyakinkan kalau aku adalah makhluk yang berguna.

“Kamu ngantuk? Matanya merah gitu,”

Aku mengangguk lagi, berbohong. Karena sejujurnya aku bukan mengantuk, tapi ingin menangis.

Mark ... aku kangen kamu.

Dia berpindah tempat, lalu tertawa manis. “Kalau mau tidur, tidur aja, ya. Tapi laptopnya taruh di samping kamu, aku mau jadi wajah terakhir yang kamu lihat sebelum tidur.”

Kini gantian, aku yang tersenyum penuh. “Kamu kurang tidur, ya, Mark?”

“Enggak,” dia menggelengkan kepalanya, namun pandangan itu sengaja dibuang. “Aku selalu tidur cukup.”

“Bohong.” telak. Mark kalah telak sekarang. “Kamu kalau bohong pasti nggak berani tatap mataku.”

“Maaf ... aku kebut semua tugas biar liburan Semester ini bisa pulang ke Jakarta.” katanya, dilanjut dengan helaan napas panjang. “Sa, yang kangen bukan kamu aja, tapi aku juga ...”