Sedikit melawan takdir.

Tepat pukul enam pagi Jingga membuka matanya, kuasanya terangkat untuk meraba nakas. Tadi setelah sholat subuh, Afnan menyarankan-nya untuk tidur lagi sebab besok Jingga akan berangkat ke Lampung—yang mana akan menyita waktu perempuan itu untuk beristirahat. Afnan tipikal pria yang sangat menghargai waktu, apalagi untuk sekedar meluruskan tubuh.

Jantung Jingga berdegup kencang kala Naren menjawab sebuah kalimat tanya penuh luka. Air mata itu berhasil lolos membasahi pipi bagian kiri. Jemarinya mengepal kuat selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh. Jingga bahkan sampai menggigit bibir bawah guna meredam suara tangis, ia jelas tidak mau membangunkan Afnan.

“Mas ... Biru ...” katanya. Dengan cepat perempuan itu menapak-kan kaki di atas lantai walau rasanya ia seperti mengapung. Kakinya lemas, bahkan untuk menopang daksanya sendiripun tidak mampu. “Mas Biru ... Jingga belum minta maaf sama Mas Biru ...”

Benar. Jingga memang benar-benar belum meminta maaf secara langsung pun tidak langsung tentang apa yang terjadi di hari sebelumnya. Bukan, bukan Jingga tidak peduli akan perasaan Biru kepadanya. Tapi Jingga bingung, bagaimana ia harus memulainya?

Seluruh rasanya sudah dimiliki oleh pria tampan yang sekarang sedang menutup matanya di atas kasur, tapi ada sebagian rasa yang tidak mampu ia jelaskan tentang Biru. Jingga tidak lagi mengingunkan Biru, ia juga tidak menyesali tentang perceraian mereka—tapi, satu rasa itu begitu kuat. Rasa yang entah, Jingga sendiri tidak mengerti.

Jemari yang sedari tadi mengepal kuat selimut kini berpindah tugas untuk memukul dadanya sendiri, berharap rasa sesak itu hilang dengan sendirinya. Jingga melepas Biru, Jingga mengikhlakan Biru, tapi itu semua bukan berarti Jingga mengaminkan kalau Semesta membawa pergi pria itu untuk selamanya.

“Nan, bangun ...” Ia memutari ranjang, duduk di tepi Afnan yang masih hadir dalam mimpi. “Afnan ...” Suaranya melemah dan diiringi isak yang sedari tadi ia tahan.

Sedangkan Afnan yang mendengar isak penuh pilu itu langsung bangun dari posisinya, “Ga, Ga,—hey semuanya baik-baik aja, kan?”

Iya, Jingga juga berharapnya begitu. Tapi takdir membawa perempuan itu menggeleng lemah, masih dengan tangisan pilu menyayat jiwa. “Aku gagal, Nan.”

Afnan diam, tapi kuasanya terangkat untuk mengelus rambut legam milik Jingga seolah memberikan ketenangan yang ia punya. Afnan tahu dengan jelas bahwa Jingga punya alasan tersendiri kenapa ia menangis sebegitu pilunya di pagi hari seperti ini.

“Mas Biru meninggal, Nan ...” Sekali lagi, suaranya sedikit lebih mengeras yang langsung membuat Afnan mematung. Darahn pria berdesir hebat kala daksa milik Jingga runtuh di hadapan-nya.

“Ga,” Afnan menghela napasnya, membawa daksa sang istri untuk masuk ke dalam pelukan hangatnya. “Allah lebih sayang sama Mas Biru ketimbang kita. Mas Biru udah nggak sakit lagi, Ga. Mas Biru udah nggak kesiksa lagi dengan adanya beberapa alat di tubuh. Mas Biru—”

“Aku belum minta maaf sama Mas Biru, Afnan ...” katanya. Ia menengadahkan wajah yang langsung dihadapkan dengan wajah Afnan yang tetap terlihat rupawan walau dari bawah dan cahaya yang minim. “Gimana caranya aku jelasin ke Rakha, Nan? Gimana kalau Rakha malah benci sama aku, Nan? Gimana kalau Rak—”

Afnan mendesis, telunjuknya ia letak-kan di depan bibir Jingga yang membuat perempuan itu menghentikan kalimatnya tanpa karena. Afnan tahu, membahas Biru adalah luka bagi Jingga. Dan Afnan jelas tahu, istrinya itu masih belum bisa menerima apapun yang terjadi di masa lalu.

Jika Jingga bilang kalau seluruh rasanya adalah milik Afnan, maka pria itu dengan cepat menyanggah. Karena sejatinya sebuah rasa tidak akan pernah utuh.

“Jangan ngomong gitu, Ga. Itu sama aja kamu melawan takdir, kan?”