Menjadi bagian dari Semesta.
Menjadi bagian dari Semesta adalah hal yang tidak pernah terduga, dan tidak pernah aku inginkan. Tapi ada satu hal yang membuatku ingin terus hidup dengan lama di dunia yang fana ini, satu orang yang membuatku merasa beruntung kalau ternyata ... ada begitu banyak hal yang aku ciptakan untuk kata bahagia.
Mark, namanya. Senyum manis dan menenangkan selalu ia pamerkan setiap menatap mataku, amarahnya tidak pernah dikeluarkan walau mungkin dalam hati ia ingin sekali mencaci. Dia baik, dia tampan, dan dia terlalu istimewa. Sampai kadang aku berpikir, pantaskah aku?
Beberapa tahun lalu, ketika kita sedang melihat indahnya Jakarta dari atas rooftop Apartment-nya, dia pernah bilang satu hal sederhana yang sampai detik ini susah sekali untuk kulupa.
“Kalau aku bisa beli seluruh Semesta beserta isinya untuk kamu, pasti bakalan aku beli.”
Mengingat hal itu cukup membuat kurvaku melebar seluas himalaya, terlebih saat wajah pria tampan kesayanganku itu mencul karena menjawab panggilan videoku.
“Hai!” sapanya sambil tersenyum manis, untuk beberapa saat tatapan-nya beralih dari layar.
Aku tersenyum kecil, “Mark? Kamu sambil ngerjain tugas, ya?”
Mark mengangkat buku tebalnya, memerkan sampul hijau tua itu ke hadapan layar—agar aku dapat melihatnya dengan jelas. “Iya. Nggak apa-apa, kan? Deadline-nya jam sepuluh.”
“Di sana jam tujuh pagi, ya?” tanyaku sambil mengambil satu bungkus makanan ringan yang tadi dibelikan Renjun.
Dehaman berat kesukaanku akhirnya dapat kudengar lagi, “Di sana jam sepuluh, kan? Kok pulangnya malam banget?— Oh iya, *how was your day, anak manis?” tanyanya. Sumpah demi apapun, pertanyaan itu tidak pernah alfa dari setiap malamku sebelum tidur. Karena entah kenapa, sesibuk-sibuknya seorang Mark Adijaya, dia pasti menyempatkan diri untum memberiku kabar barang lima detik.
Aku senang setiap ia mengirim pesan, walau di cuma satu kalimat seperti, Hari ini aku sibuk, kamu nggak apa-apa aku tinggal, kan? Don't skip your dinner, ya. Nanti aku kabarin lagi.“
“Hari ini aku seneng, Mark. Udah lama banget nggak keliling Jakarta, sibuk ngurus cafe sama kuliah.” jawabku sambil merebahkan diri di kasur, laptopnya aku letak-kan di samping bantal agar dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Kalian tau? Sebelum meninggalkan Jakarta untuk beberapa waktu, Mark sempat menitipkan cafe yang didirikan sendiri kepadaku. Katanya, itu salah satu sumber penghasilan-nya padahal ia masih bisa meminta bantuan pada orang tua. Aku kagum sama Mark, kagum sekali. Usianya masih muda saat itu, tapi sudah memikirkan masa depan dengan matang.
Ini salah satu alasan kenapa aku selalu berpikir tentang aku yang pantas mendapatkan hatinya atau tidak?
“Oh, ya? Kamu jangan terlalu keras sama dirimu sediri, ya? Kalau lagi capek banget nggak udah control cafe, nanti aku suruh Renjun aja.” katanya dengan fokus yang sepenuhnya ke arah layar laptop, kemudian disusul dengan seruputan kopi dari cangkir berwarna putih.
“Mark, apa aku beneran pantes dapetin kamu?”
Mark yang tadinya sibuk dengan beberapa lembar kertas, akhirnya duduk menyandar sepenuhnya di sofa, dengan laptop yang ada di pangkuan-nya. “Listen to me, nggak ada orang yang nggak pantas untuk banyak hal, Sa. Kamu pantas untuk apapun yang kamu dapetin, untuk apapun yang kamu punya.”
Aku mengangguk ragu karena sumpah demi apapun ... aku ingin menangis sejadi-jadinya. Mark adalah orang yang selalu membantuku bangun dari masa-masa terpuruk-ku, satu-satunya manusia yang selalu meyakinkan kalau aku adalah makhluk yang berguna.
“Kamu ngantuk? Matanya merah gitu,”
Aku mengangguk lagi, berbohong. Karena sejujurnya aku bukan mengantuk, tapi ingin menangis.
Mark ... aku kangen kamu.
Dia berpindah tempat, lalu tertawa manis. “Kalau mau tidur, tidur aja, ya. Tapi laptopnya taruh di samping kamu, aku mau jadi wajah terakhir yang kamu lihat sebelum tidur.”
Kini gantian, aku yang tersenyum penuh. “Kamu kurang tidur, ya, Mark?”
“Enggak,” dia menggelengkan kepalanya, namun pandangan itu sengaja dibuang. “Aku selalu tidur cukup.”
“Bohong.” telak. Mark kalah telak sekarang. “Kamu kalau bohong pasti nggak berani tatap mataku.”
“Maaf ... aku kebut semua tugas biar liburan Semester ini bisa pulang ke Jakarta.” katanya, dilanjut dengan helaan napas panjang. “Sa, yang kangen bukan kamu aja, tapi aku juga ...”