TetehnyaaJisung

Melukis luka.

Kalau saya bilang Pradipa adalah orang yang lebih dari sekedar kata baik, apa berlebihan? Sepertinya tidak. Buktinya Ayah selalu bilang kalau Pradipa itu patut untuk mendapat banyak cinta karena pribadinya.

“Sudah.” Dia tersenyum kecil setelah memakaikan saya helm dan membantu saya untuk duduk duluan di atas motornya.

Drrrt Drrrt

Pradipa menatap saya dan layar ponselnya bergantian. Setelah saya mengangguk, ia baru mengangkat sebuah panggilan di sana. Namun, yang membuat saya heran adalah wajahnya langsung memerah seperti orang yang sedang menahan amarah.

“Iya, Mas Pradi langsung pulang.” katanya yang langsung menutup panggilan.

Matanya menatap saya bingung, kemudian memakai pelindung untuk kepalanya sendiri. Kali ini, tidak ada kelembutan Pradipa untuk mengendarai sepeda motornya. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengenggam jemari saya erat.

Ada banyak pertanyaan di benak saya tentang ia. Tentang Pradipa dan dunianya, tentang siapa yang menghubungi ia tadi sampai sebegitu parahnya kekhawatiran, tentang Pradipa dan akan selalu Pradipa.

“Din, nanti kamu tolong bawa Ibu ke luar, ya? Kalau ada yang apa-apain, teriak aja.”

Saya mengangguk, lalu Pradipa membantu saya untuk turun dari motornya. Membawa daksa saya untuk masuk ke dalam rumah sederhana bercat hijau muda yang dipenuhi dengan suara bantingan barang. Saya lihat tangan Pradipa mengepal sore itu, sedangkan jemari kirinya menggenggam erat milik saya.

“Din, kamu mau bantu saya untuk menyelamatkan dunia, kan?”

Saya mengangguk lugu, bingung akan kalimatnya yang bergetar seolah ia menahan tangis. Tapi dengan cepat Pradipa membawa saya masuk ke dalam rumah sederhana-nya. Dan saya susah payah berjalan mendekat ke arah Ibunya yang sudah duduk di lantai sembari menangis pilu. Sedangkan seorang pria yang tidak pernah saya temui itu bersiap untuk melempar vas bunga ke arah Ibu Pradipa.

Reflek membawa saya untuk melindungi Ibunya sehingga membuat punggung saya dihantam kuat oleh vas bunga yang lumayan besar. Mata Ibu Pradipa membulat kala itu, “Andini?”

Saya tersenyum kecil, “saya nggak apa-apa, Bu. Jangan khawatir. Ayo kita keluar, biar Pradipa yang urus segalanya.”

Perempuan berbaju putih itu mengangguk, membantu saya untuk berdiri dan berjalan sampai halaman. Sedangkan di dalam sana berkali-kali benda berjatuhan, disusul bau anyir setelahnya.

“Bu, ini ada apa?”

Ibu tersenyum kecil, “Pra nggak pernah cerita apapun tentang dunianya ke kamu, Din?”

Jelas, saya langsung menggelengkan kepala.

“Pradipa selalu bilang kalau dunianya adalah Ibu, dan ketika ia bilang sedang menyelamatkan dunia ... itu artinya ia sedang menyelamatkan Ibu.” katanya sambil tersenyum, tangan kasar khas keibuan mengelus wajah saya sembari menangis pilu. “Pra punya banyak luka karena Ibu, Din. Ibu selalu minta Pradipa untuk nggak benci sama Ayahnya—tapi Pradi nggak bisa, Dini.”

“Bu, ini berawal dari apa? Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga. Kenapa nggak melapor?”

Ibunya Pradipa menggeleng, jemarinya tergerak untuk menyelipkan rambut saya ke belakang telinga. “Kami nggak bisa, Dini.”

“Kenapa, Bu? Kalian punya bukti.” “Tapi kami nggak punya saksi.” “Tetangga?”

Ibu menatap ke sekeliling, “kamu lihat? Mana peduli orang sekitar terhadap kami, Andini? Kami miskin.”

Saya diam sejenak, mencerna segala kalimat Ibunya Pradipa sedari tadi. Itu artinya, sudah lama pula mereka mengalami hal serupa, kan? Tapi kenapa Pradipa tidak pernah memberitau saya satu hal penting ini?

“Bu, Andini bisa jadi saksi.”

Ibu tersenyum bersamaan dengan seorang pria berkaus hitam yang tadi memukuli Ibu keluar dari rumah sederhana keluarga Pradipa. Dia tersenyum miring ke arah saya lalu pergi dengan membanting pintu pagar besi yang sudah mulai berkarat.

“Bu, ayo kita lihat Pradi.” kata saya.

Kami berjalan perlahan, beriringan. Sampai di ruang tengah semua terasa aneh, terlalu berantakan. Sampai indera penciuman saya mencium bau anyir lebih kuat sebelum akhirnya Ibunya Pradipa berlari ke arah daksa yang sudah tidak sadarkan diri di samping sofa.

Itu ... Pradipa dengan pisau yang menancap diperutnya. Matanya sedikit memejam menahan sakit. Sedangkan jantung saya rasanya seperti ingin lepas dari tempat, namun tangan saya tetap bergerak untuk menelepon Ambulance.

“Pra, maafin Ibu ...”

Pradipa tersenyum manis, manis sekali. Dengan mata yang hampir terpejam ia mengatakan satu kalimat manis untuk Ibunya. “Bu ... surga dan dunianya Pradi selamat, kan?”

Ibu menatapku sendu diikuti dengan Pradipa. “Andini, selama saya nggak—”

“Di, saya aja belum bisa menyelamatkan dunia saya. Tolong jangan beri beban dengan meninggalkan saya dan duniamu.”

Melukis luka.

Kalau saya bilang Pradipa adalah orang yang lebih dari sekedar kata baik, apa berlebihan? Sepertinya tidak. Buktinya Ayah selalu bilang kalau Pradipa itu patut untuk mendapat banyak cinta karena pribadinya.

“Sudah.” Dia tersenyum kecil setelah memakaikan saya helm dan membantu saya untuk duduk duluan di atas motornya.

Drrrt Drrrt

Pradipa menatap saya dan layar ponselnya bergantian. Setelah saya mengangguk, ia baru mengangkat sebuah panggilan di sana. Namun, yang membuat saya heran adalah wajahnya langsung memerah seperti orang yang sedang menahan amarah.

“Iya, Mas Pradi langsung pulang.” katanya yang langsung menutup panggilan.

Matanya menatap saya bingung, kemudian memakai pelindung untuk kepalanya sendiri. Kali ini, tidak ada kelembutan Pradipa untuk mengendarai sepeda motornya. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengenggam jemari saya erat.

Ada banyak pertanyaan di benak saya tentang ia. Tentang Pradipa dan dunianya, tentang siapa yang menghubungi ia tadi sampai sebegitu parahnya kekhawatiran, tentang Pradipa dan akan selalu Pradipa.

“Din, nanti kamu tolong bawa Ibu ke luar, ya? Kalau ada yang apa-apain, teriak aja.”

Saya mengangguk, lalu Pradipa membantu saya untuk turun dari motornya. Membawa daksa saya untuk masuk ke dalam rumah sederhana bercat hijau muda yang dipenuhi dengan suara bantingan barang. Saya lihat tangan Pradipa mengepal sore itu, sedangkan jemari kirinya menggenggam erat milik saya.

“Din, kamu mau bantu saya untuk menyelamatkan dunia, kan?”

Saya mengangguk lugu, bingung akan kalimatnya yang bergetar seolah ia menahan tangis. Tapi dengan cepat Pradipa membawa saya masuk ke dalam rumah sederhana-nya. Dan saya susah payah berjalan mendekat ke arah Ibunya yang sudah duduk di lantai sembari menangis pilu. Sedangkan seorang pria yang tidak pernah saya temui itu bersiap untuk melempar vas bunga ke arah Ibu Pradipa.

Reflek membawa saya untuk melindungi Ibunya sehingga membuat punggung saya dihantam kuat oleh vas bunga yang lumayan besar. Mata Ibu Pradipa membulat kala itu, “Andini?”

Saya tersenyum kecil, “saya nggak apa-apa, Bu. Jangan khawatir. Ayo kita keluar, biar Pradipa yang urus segalanya.”

Perempuan berbaju putih itu mengangguk, membantu saya untuk berdiri dan berjalan sampai halaman. Sedangkan di dalam sana berkali-kali benda berjatuhan, disusul bau anyir setelahnya.

“Bu, ini ada apa?”

Ibu tersenyum kecil, “Pra nggak pernah cerita apapun tentang dunianya ke kamu, Din?”

Jelas, saya langsung menggelengkan kepala.

“Pradipa selalu bilang kalau dunianya adalah Ibu, dan ketika ia bilang sedang menyelamatkan dunia ... itu artinya ia sedang menyelamatkan Ibu.” katanya sambil tersenyum, tangan kasar khas keibuan mengelus wajah saya sembari menangis pilu. “Pra punya banyak luka karena Ibu, Din. Ibu selalu minta Pradipa untuk nggak benci sama Ayahnya—tapi Pradi nggak bisa, Dini.”

“Bu, ini berawal dari apa? Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga. Kenapa nggak melapor?”

Ibunya Pradipa menggeleng, jemarinya tergerak untuk menyelipkan rambut saya ke belakang telinga. “Kami nggak bisa, Dini.”

“Kenapa, Bu? Kalian punya bukti.” “Tapi kami nggak punya saksi.” “Tetangga?”

Ibu menatap ke sekeliling, “kamu lihat? Mana peduli orang sekitar terhadap kami, Andini? Kami miskin.”

Saya diam sejenak, mencerna segala kalimat Ibunya Pradipa sedari tadi. Itu artinya, sudah lama pula mereka mengalami hal serupa, kan? Tapi kenapa Pradipa tidak pernah memberitau saya satu hal penting ini?

“Bu, Andini bisa jadi saksi.”

Ibu tersenyum bersamaan dengan seorang pria berkaus hitam yang tadi memukuli Ibu keluar dari rumah sederhana keluarga Pradipa. Dia tersenyum miring ke arah saya lalu pergi dengan membanting pintu pagar besi yang sudah mulai berkarat.

“Bu, ayo kita lihat Pradi.” kata saya.

Kami berjalan perlahan, beriringan. Sampai di ruang tengah semua terasa aneh, terlalu berantakan. Sampai indera penciuman saya mencium bau anyir lebih kuat sebelum akhirnya Ibunya Pradipa berlari ke arah daksa yang sudah tidak sadarkan diri di samping sofa.

Itu ... Pradipa dengan pisau yang menancap diperutnya. Matanya sedikit memejam menahan sakit. Sedangkan jantung saya rasanya seperti ingin lepas dari tempat, namun tangan saya tetap bergerak untuk menelepon Ambulance.

“Pra, maafin Ibu ...”

Pradipa tersenyum manis, manis sekali. Dengan mata yang hampir terpejam ia mengatakan satu kalimat manis untuk Ibunya. “Bu ... surga dan dunuanya Pradi selamat, kan?”

Ibu menatapku sendu diikuti dengan Pradipa. “Andini, selama saya nggak—”

“Di, saya aja belum bisa menyelamatkan dunia saya. Tolong jangan beri beban dengan meninggalkan saya dan duniamu.”

Melukis luka.

Kalau saya bilang Pradipa adalah orang yang lebih dari sekedar kata baik, apa berlebihan? Sepertinya tidak. Buktinya Ayah selalu bilang kalau Pradipa itu patut untuk mendapat banyak cinta karena pribadinya.

“Sudah.” Dia tersenyum kecil setelah memakaikan saya helm dan membantu saya untuk duduk duluan di atas motornya.

Drrrt Drrrt

Pradipa menatap saya dan layar ponselnya bergantian. Setelah saya mengangguk, ia baru mengangkat sebuah panggilan di sana. Namun, yang membuat saya heran adalah wajahnya langsung memerah seperti orang yang sedang menahan amarah.

“Iya, Mas Pradi langsung pulang.” katanya yang langsung menutup panggilan.

Matanya menatap saya bingung, kemudian memakai pelindung untuk kepalanya sendiri. Kali ini, tidak ada kelembutan Pradipa untuk mengendarai sepeda motornya. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengenggam jemari saya erat.

Ada banyak pertanyaan di benak saya tentang ia. Tentang Pradipa dan dunianya, tentang siapa yang menghubungi ia tadi sampai sebegitu parahnya kekhawatiran, tentang Pradipa dan akan selalu Pradipa.

“Din, nanti kamu tolong bawa Ibu ke luar, ya? Kalau ada yang apa-apain, teriak aja.”

Saya mengangguk, lalu Pradipa membantu saya untuk turun dari motornya. Membawa daksa saya untuk masuk ke dalam rumah sederhana bercat hijau muda yang dipenuhi dengan suara bantingan barang. Saya lihat tangan Pradipa mengepal sore itu, sedangkan jemari kirinya menggenggam erat milik saya.

“Din, kamu mau bantu saya untuk menyelamatkan dunia, kan?”

Saya mengangguk lugu, bingung akan kalimatnya yang bergetar seolah ia menahan tangis. Tapi dengan cepat Pradipa membawa saya masuk ke dalam rumah sederhana-nya. Dan saya susah payah berjalan mendekat ke arah Ibunya yang sudah duduk di lantai sembari menangis pilu. Sedangkan seorang pria yang tidak pernah saya temui itu bersiap untuk melempar vas bunga ke arah Ibu Pradipa.

Reflek membawa saya untuk melindungi Ibunya sehingga membuat punggung saya dihantam kuat oleh vas bunga yang lumayan besar. Mata Ibu Pradipa membulat kala itu, “Andini?”

Saya tersenyum kecil, “saya nggak apa-apa, Bu. Jangan khawatir. Ayo kita keluar, biar Pradipa yang urus segalanya.”

Perempuan berbaju putih itu mengangguk, membantu saya untuk berdiri dan berjalan sampai halaman. Sedangkan di dalam sana berkali-kali benda berjatuhan, disusul bau anyir setelahnya.

“Bu, ini ada apa?”

Ibu tersenyum kecil, “Pra nggak pernah cerita apapun tentang dunianya ke kamu, Din?”

Jelas, saya langsung menggelengkan kepala.

“Pradipa selalu bilang kalau dunianya adalah Ibu, dan ketika ia bilang sedang menyelamatkan dunia ... itu artinya ia sedang menyelamatkan Ibu.” katanya sambil tersenyum, tangan kasar khas keibuan mengelus wajah saya sembari menangis pilu. “Pra punya banyak luka karena Ibu, Din. Ibu selalu minta Pradipa untuk nggak benci sama Ayahnya—tapi Pradi nggak bisa, Dini.”

“Bu, ini berawal dari apa? Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga. Kenapa nggak melapor?”

Ibunya Pradipa menggeleng, jemarinya tergerak untuk menyelipkan rambut saya ke belakang telinga. “Kami nggak bisa, Dini.”

“Kenapa, Bu? Kalian punya bukti.” “Tapi kami nggak punya saksi.” “Tetangga?”

Ibu menatap ke sekeliling, “kamu lihat? Mana peduli orang sekitar terhadap kami, Andini? Kami miskin.”

Saya diam sejenak, mencerna segala kalimat Ibunya Pradipa sedari tadi. Itu artinya, sudah lama pula mereka mengalami hal serupa, kan? Tapi kenapa Pradipa tidak pernah memberitau saya satu hal penting ini?

“Bu, Andini bisa jadi saksi.”

Ibu tersenyum bersamaan dengan seorang pria berkaus hitam yang tadi memukuli Ibu keluar dari rumah sederhana keluarga Pradipa. Dia tersenyum miring ke arah saya lalu pergi dengan membanting pintu pagar besi yang sudah mulai berkarat.

“Bu, ayo kita lihat Pradi.” kata saya.

Kami berjalan perlahan, beriringan. Sampai di ruang tengah semua terasa aneh, terlalu berantakan. Sampai indera penciuman saya mencium bau anyir lebih kuat sebelum akhirnya Ibunya Pradipa berlari ke arah daksa yang sudah tidak sadarkan diri di samping sofa.

Itu ... Pradipa dengan pisau yang menancap diperutnya. Matanya sedikit memejam menahan sakit. Sedangkan jantung saya rasanya seperti ingin lepas dari tempat, namun tangan saya tetap bergerak untuk menelepon Ambulance.

“Pra, maafin Ibu ...”

Pradipa tersenyum manis, manis sekali. Dengan mata yang hampir terpejam ia mengatakan satu kalimat manis untuk Ibunya. “Bu ... surga dan dunuanya Pradi selamat, kan?”

Ibu menatapku sendu diikuti dengan Pradipa. “Andini, selama saya nggak—”

“Di, saya aja belum bisa menyelamatkan dunia saya. Tolong jangan beri beban dengan meninggalkan saya dan duniamu.”

Melukis luka.

Kalau saya bilang Pradipa adalah orang yang lebih dari sekedar kata baik, apa berlebihan? Sepertinya tidak. Buktinya Ayah selalu bilang kalau Pradipa itu patut untuk mendapat banyak cinta karena pribadinya.

“Sudah.” Dia tersenyum kecil setelah memakaikan saya helm dan membantu saya untuk duduk duluan di atas motornya.

Drrrt Drrrt

Pradipa menatap saya dan layar ponselnya bergantian. Setelah saya mengangguk, ia baru mengangkat sebuah panggilan di sana. Namun, yang membuat saya heran adalah wajahnya langsung memerah seperti orang yang sedang menahan amarah.

“Iya, Mas Pradi langsung pulang.” katanya yang langsung menutup panggilan.

Matanya menatap saya bingung, kemudian memakai pelindung untuk kepalanya sendiri. Kali ini, tidak ada kelembutan Pradipa untuk mengendarai sepeda motornya. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengenggam jemari saya erat.

Ada banyak pertanyaan di benak saya tentang ia. Tentang Pradipa dan dunianya, tentang siapa yang menghubungi ia tadi sampai sebegitu parahnya kekhawatiran, tentang Pradipa dan akan selalu Pradipa.

“Din, nanti kamu tolong bawa Ibu ke luar, ya? Kalau ada yang apa-apain, teriak aja.”

Saya mengangguk, lalu Pradipa membantu saya untuk turun dari motornya. Membawa daksa saya untuk masuk ke dalam rumah sederhana bercat hijau muda yang dipenuhi dengan suara bantingan barang. Saya lihat tangan Pradipa mengepal sore itu, sedangkan jemari kirinya menggenggam erat milik saya.

“Din, kamu mau bantu saya untuk menyelamatkan dunia, kan?”

Saya mengangguk lugu, bingung akan kalimatnya yang bergetar seolah ia menahan tangis. Tapi dengan cepat Pradipa membawa saya masuk ke dalam rumah sederhana-nya. Dan saya susah payah berjalan mendekat ke arah Ibunya yang sudah duduk di lantai sembari menangis pilu. Sedangkan seorang pria yang tidak pernah saya temui itu bersiap untuk melempar vas bunga ke arah Ibu Pradipa.

Reflek membawa saya untuk melindungi Ibunya sehingga membuat punggung saya dihantam kuat oleh vas bunga yang lumayan besar. Mata Ibu Pradipa membulat kala itu, “Andini?”

Saya tersenyum kecil, “saya nggak apa-apa, Bu. Jangan khawatir. Ayo kita keluar, biar Pradipa yang urus segalanya.”

Perempuan berbaju putih itu mengangguk, membantu saya untuk berdiri dan berjalan sampai halaman. Sedangkan di dalam sana berkali-kali benda berjatuhan, disusul bau anyir setelahnya.

“Bu, ini ada apa?”

Ibu tersenyum kecil, “Pra nggak pernah cerita apapun tentang dunianya ke kamu, Din?”

Jelas, saya langsung menggelengkan kepala.

“Pradipa selalu bilang kalau dunianya adalah Ibu, dan ketika ia bilang sedang menyelamatkan dunia ... itu artinya ia sedang menyelamatkan Ibu.” katanya sambil tersenyum, tangan kasar khas keibuan mengelus wajah saya sembari menangis pilu. “Pra punya banyak luka karena Ibu, Din. Ibu selalu minta Pradipa untuk nggak benci sama Ayahnya—tapi Pradi nggak bisa, Dini.”

“Bu, ini berawal dari apa? Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga. Kenapa nggak melapor?”

Ibunya Pradipa menggeleng, jemarinya tergerak untuk menyelipkan rambut saya ke belakang telinga. “Kami nggak bisa, Dini.”

“Kenapa, Bu? Kalian punya bukti.” “Tapi kami nggak punya saksi.” “Tetangga?”

Ibu menatap ke sekeliling, “kamu lihat? Mana peduli orang sekitar terhadap kami, Andini? Kami miskin.”

Saya diam sejenak, mencerna segala kalimat Ibunya Pradipa sedari tadi. Itu artinya, sudah lama pula mereka mengalami hal serupa, kan? Tapi kenapa Pradipa tidak pernah memberitau saya satu hal penting ini?

“Bu, Andini bisa jadi saksi.”

Ibu tersenyum bersamaan dengan seorang pria berkaus hitam yang tadi memukuli Ibu keluar dari rumah sederhana keluarga Pradipa. Dia tersenyum miring ke arah saya lalu pergi dengan membanting pintu pagar besi yang sudah mulai berkarat.

“Bu, ayo kita lihat Pradi.” kata saya.

Kami berjalan perlahan, beriringan. Sampai di ruang tengah semua terasa aneh, terlalu berantakan. Sampai indera penciuman saya mencium bau anyir lebih kuat sebelum akhirnya Ibunya Pradipa berlari ke arah daksa yang sudah tidak sadarkan diri di samping sofa.

Itu ... Pradipa dengan pisau yang menancap diperutnya. Matanya sedikit memejam menahan sakit. Sedangkan jantung saya rasanya seperti ingin lepas dari tempat, namun tangan saya tetap bergerak untuk menelepon Ambulance.

“Pra, maafin Ibu ...”

Pradipa tersenyum manis, manis sekali. Dengan mata yang hampir terpejam ia mengatakan satu kalimat manis untuk Ibunya. “Bu ... surga dan dunuanya Pradi selamat, kan?”

Ibu menatapku sendu diikuti dengan Pradipa. “Andini, selama saya nggak—”

“Di, saya aja belum bisa menyelamatkan dunia saya. Tolong jangan beri beban dengan meninggalkan saya dan duniamu.”

Melukis luka.

Kalau saya bilang Pradipa adalah orang yang lebih dari sekedar kata baik, apa berlebihan? Sepertinya tidak. Buktinya Ayah selalu bilang kalau Pradipa itu patut untuk mendapat banyak cinta karena pribadinya.

“Sudah.” Dia tersenyum kecil setelah memakaikan saya helm dan membantu saya untuk duduk duluan di atas motornya.

Drrrt Drrrt

Pradipa menatap saya dan layar ponselnya bergantian. Setelah saya mengangguk, ia baru mengangkat sebuah panggilan di sana. Namun, yang membuat saya heran adalah wajahnya langsung memerah seperti orang yang sedang menahan amarah.

“Iya, Mas Pradi langsung pulang.” katanya yang langsung menutup panggilan.

Matanya menatap saya bingung, kemudian memakai pelindung untuk kepalanya sendiri. Kali ini, tidak ada kelembutan Pradipa untuk mengendarai sepeda motornya. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengenggam jemari saya erat.

Ada banyak pertanyaan di benak saya tentang ia. Tentang Pradipa dan dunianya, tentang siapa yang menghubungi ia tadi sampai sebegitu parahnya kekhawatiran, tentang Pradipa dan akan selalu Pradipa.

“Din, nanti kamu tolong bawa Ibu ke luar, ya? Kalau ada yang apa-apain, teriak aja.”

Saya mengangguk, lalu Pradipa membantu saya untuk turun dari motornya. Membawa daksa saya untuk masuk ke dalam rumah sederhana bercat hijau muda yang dipenuhi dengan suara bantingan barang. Saya lihat tangan Pradipa mengepal sore itu, sedangkan jemari kirinya menggenggam erat milik saya.

“Din, kamu mau bantu saya untuk menyelamatkan dunia, kan?”

Saya mengangguk lugu, bingung akan kalimatnya yang bergetar seolah ia menahan tangis. Tapi dengan cepat Pradipa membawa saya masuk ke dalam rumah sederhana-nya. Dan saya susah payah berjalan mendekat ke arah Ibunya yang sudah duduk di lantai sembari menangis pilu. Sedangkan seorang pria yang tidak pernah saya temui itu bersiap untuk melempar vas bunga ke arah Ibu Pradipa.

Reflek membawa saya untuk melindungi Ibunya sehingga membuat punggung saya dihantam kuat oleh vas bunga yang lumayan besar. Mata Ibu Pradipa membulat kala itu, “Andini?”

Saya tersenyum kecil, “saya nggak apa-apa, Bu. Jangan khawatir. Ayo kita keluar, biar Pradipa yang urus segalanya.”

Perempuan berbaju putih itu mengangguk, membantu saya untuk berdiri dan berjalan sampai halaman. Sedangkan di dalam sana berkali-kali benda berjatuhan, disusul bau anyir setelahnya.

“Bu, ini ada apa?”

Ibu tersenyum kecil, “Pra nggak pernah cerita apapun tentang dunianya ke kamu, Din?”

Jelas, saya langsung menggelengkan kepala.

“Pradipa selalu bilang kalau dunianya adalah Ibu, dan ketika ia bilang sedang menyelamatkan dunia ... itu artinya ia sedang menyelamatkan Ibu.” katanya sambil tersenyum, tangan kasar khas keibuan mengelus wajah saya sembari menangis pilu. “Pra punya banyak luka karena Ibu, Din. Ibu selalu minta Pradipa untuk nggak benci sama Ayahnya—tapi Pradi nggak bisa, Dini.”

“Bu, ini berawal dari apa? Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga. Kenapa nggak melapor?”

Ibunya Pradipa menggeleng, jemarinya tergerak untuk menyelipkan rambut saya ke belakang telinga. “Kami nggak bisa, Dini.”

“Kenapa, Bu? Kalian punya bukti.” “Tapi kami nggak punya saksi.” “Tetangga?”

Ibu menatap ke sekeliling, “kamu lihat? Mana peduli orang sekitar terhadap kami, Andini? Kami miskin.”

Saya diam sejenak, mencerna segala kalimat Ibunya Pradipa sedari tadi. Itu artinya, sudah lama pula mereka mengalami hal serupa, kan? Tapi kenapa Pradipa tidak pernah memberitau saya satu hal penting ini?

“Bu, Andini bisa jadi saksi.”

Ibu tersenyum bersamaan dengan seorang pria berkaus hitam yang tadi memukuli Ibu keluar dari rumah sederhana keluarga Pradipa. Dia tersenyum miring ke arah saya lalu pergi dengan membanting pintu pagar besi yang sudah mulai berkarat.

“Bu, ayo kita lihat Pradi.” kata saya.

Kami berjalan perlahan, beriringan. Sampai di ruang tengah semua terasa aneh, terlalu berantakan. Sampai indera penciuman saya mencium bau anyir lebih kuat sebelum akhirnya Ibunya Pradipa berlari ke arah daksa yang sudah tidak sadarkan diri di samping sofa.

Itu ... Pradipa dengan pisau yang menancap diperutnya. Matanya sedikit memejam menahan sakit. Sedangkan jantung saya rasanya seperti ingin lepas dari tempat, namun tangan saya tetap bergerak untuk menelepon Ambulance.

“Pra, maafin Ibu ...”

Pradipa tersenyum manis, manis sekali. Dengan mata yang hampir terpejam ia mengatakan satu kalimat manis untuk Ibunya. “Bu ... surga dan dunuanya Pradi selamat, kan?”

Ibu menatapku sendu diikuti dengan Pradipa. “Andini, selama saya nggak—”

“Di, saya aja belum bisa menyelamatkan dunia saya. Tolong jangan beri beban dengan meninggalkan saya dan duniamu.”

Perasaan dan suapan kebab dari Pradipa.

“Din, kamu nggak apa-apa?”

Kalimat tanya pertama hari itu yang keluar dari bibir milik seorang Pradipa. Pagi ini tidak ada senyum semanis gula Jawa lagi, tidak ada juga pancaran mata sebening embun. Semuanya sirna seperti ditenggelamkan dalam Samudera. Yang ada hanya tatapan kekhawatiran berasamaan dengan ia yang melempar tas hitamnya cukup kasar.

Pradipa berlutut di hadapan saya, menatap kaki kiri saya yang dibalut gips dan celana hitam. Kemudian ia menengadah, “Din, kok bisa?”

Dilihat dari sini, saya baru menyadari satu hal bahwa luka lebam di wajah Pradipa semakin parah dan bertambah banyak. “Di? Menyelamatkan dunia lagi?”

Ia menunduk, “iya.”

“Di, duniamu begitu besar, ya? Sampai kamu harus terluka sebegitu parahnya?”

Pradipa diam, membawa daksanya untuk kembali berdiri di hadapan saya yang masih duduk di kursi. Kurvanya ia tarik saat ini, tapi tidak seluas himalaya—seperti biasanya. Senyum kali ini terlihat lebih kaku dan terpaksa.

“Di, dulu Ibu saya juga punya dunia yang begitu besar sampai ia nggak bisa menggenggamnya.” Saya tertawa kecil, menatap Pradipa yang masih bergeming di tempatnya. “Udah, udah. Jangan dibahas.”

Pradipa masih diam.

“Di, setiap orang itu punya luka. Lihat, luka di kaki saya itu didapat setelah saya menyelamatkan dunia Ibu. Luka di wajahmu? Itu kamu dapat setelah menyelamatkan dunia-mu, kan?” Saya menarik tangan Pradipa, mengenggamnya seolah menyalurkan sedikit kekuatan yang saya punya. Menatapnya tepat pada netra adalah kesukaan saya. Dia punya bolamata cokelat tua yang sempurna.

“Di, kamu yang minta saya untuk mengeluh malam itu, kan?”

Pradipa mengangguk, kemudian tersenyum kecil.

“Selagi bisa, ayo menangis. Kamu nggak perlu tahan semua rasa yang bisa kamu rasakan, Di. Menahan segalanya itu penyakit, Di. Kamu ingat penyebab saya nggak pernah bisa menangis, kan?”

“Jangan dilanjut.” “Saya mati rasa, Di. Semua manusia di bumi berhak atas semua rasa, kecuali saya.”

“Andini, kamu manusia dan kamu berhak atas segala rasa.” balasnya yang saya yakini untuk memperingati. Kemudian membawa daksa saya untuk masuk ke dalam pelukan-nya yang sangat hangat. “Din, boleh saya jujur tentang perasaan saya?”

Saya tertawa, memang kenapa? Semua manusia berhak untuk jujur, kan?

“Saya jatuh cinta sama kamu, Din.”

Diam. Semuanya terlalu tiba-tiba sampai saya sendiri bingung untuk menanggapi. Meletak-kan dan mengungkap sebuah rasa bukanlah hal yang mudah—katanya. Rasanya biasa saja, seperti kita memiliki topik obrolan biasa—tidak ada bumbu perasaan di dalamnya.

“Tapi kamu tau ...” “Saya tau, dan saya berusaha untuk itu.”

Untuk beberapa detik kami saling diam, menatap satu sama lain melalui netra. Sampai pada akhirnya tangan Pradipa terulur untuk mengambil kotak makan saya dari laci meja.

“Kamu buat sendiri?”

Saya mengangguk sedangkan ia memasuk-kan satu gigitan kebab ke dalam mulutnya.

“Enak! Kamu harus coba.” katanya sambil melayangkan satu suapan kebab untuk saya.

Saya tau makanan kesukaan Pradipa, hal apa yang ia lakukan sampai dengan warna kesukaan-nya. Tapi saya tidak pernah tau bahwa Pradipa adalah pria yang pandai dalam menyembunyikan sebuah rasa. Termasuk rasa cinta dibalik perlakuan-nya yang memabuk-kan.

Di, kalau kamu membaca halaman ini ... maaf, saya belum bisa jatuh cinta.

Ibu dan sepotong kue.

Untuk suapan terakhir saya kunyah sambil tersenyum saat tau Ibu ternyata membawa daksanya berjalan mendekat. Walau tidak ada wajah yang damai di sana, tapi saya tetap bersyukur sebab Ibu pasti ingin berbicara mengenai satu hal.

“Mana ATM kamu?” “Ya?”

Ibu berdecak malas malam itu, “tadi habis buka rekening, kan? Mana ATM-nya?”

“Ada. Disimpan sama Andini, Bu.” jawab saya, sebisa mungkin dengan nada yang lembut.

Tapi bukan-nya tersenyum, Ibu justru menendang kaki saya cukup keras. “Kamu itu boros, Andini! Baru buka rekening aja udah beli makanan online seperti ini!”

“Bu, ini dibelikan Devan yang baru saja pindah ke Rumah Pak 'De Pur yang dulu.”

Setelahnya tangan Ibu terangkat untuk melayangkan sebuah pukulan cukup keras di atas kepala saya. Dengan begitu, saya juga berusaha untuk menutupi bagian kepala—namun tidak dengan memohon untuk ia segera berhenti.

“Sudah pandai berbohong, Andini?” “Bu, Andini nggak bohong. Sumpah!”

Lagi, tangan Ibu terangkat untuk menjambak rambut dan membuat saya bangun dari posisi. Setelah itu, Ibu mendorong cukup keras daksa saya ke arah motor Ayah yang memang sudah dimasuk-kan ke ruang tamu sebab kami tidak punya garasi.

Saya bukan lahir dari keluarga penuh harta, bukan juga dengan tawa.

“Andini!” Itu suara Ayah.

Ayah berlari tergesa dengan sarung birunya mengangkat motor yang meniban kaki kanan saya. Kemudian Ayah berjongkok di hadapan saya, membantu meluruskan kaki. Namun anehnya ... kaki saya mati rasa.

“Yah ... ujung kaki Andini nggak kerasa kalau Ayah pegang.” kata saya, biasa aja.

Normalnya ini akan terasa menyakitkan dan seharusnya saya menangis pilu saat tau kalau ternyata kaki saya patah. Sebab Ayah berkali-kali menekan ujung kaki namun tetap tidak ada rasanya.

“Kita ke rumah sakit, ya, Nduk?”

Saya mengangguk ragu, memerhatikan Ibu yang masih memegang sapu. “Bu ... Andini izin ke rumah sakit sama Ayah. Nanti ATM-nya ambil saja di dompet hitam, ya.”

“Bu ... maaf kalau malam ini Andini membuat amarah Ibu memuncak. Maaf kalau Andini belum bisa jadi anak yang begitu berguna, tapi Andini selalu berusaha untuk itu, Bu.” kata saya.

Ayah menatap saya Iba, tapi saya membenci hal itu. Tapi Ibu menatap saya dingin, dan saya menyukainya.

Kalimat Ibu yang terakhir saya dengar sebelum dibawa oleh Ayah adalah, “pergi saja. Saya atau dunia nggak ada yang membutuhkan kamu.”

*Bu ... kalau Andini tau jika Ibu nggak pernah menginginkan Andini, Andini nggak akan minta Tuhan untuk mengutus Andini ke Bumi.

Bu ... Andini menyesal pernah dilahirkan dari rahim manusia sempurna seperti Ibu. Bukan, bukan berarti Andini nggak suka punya Ibu.

Tapi karena Andini nggak bisa berdampingan dengan Ibu. Andini se-enggak diinginkan itu sama dunia ya, Bu?*

Nduk artinya panggilan anak perempuan untuk orang Jawa.

Ibu dan sepotong kue.

Untuk suapan terakhir sama kunyah sambil tersenyum saat tau Ibu ternyata membawa daksanya berjalan mendekat. Walau tidak ada wajah yang damai di sana, tapi saya tetap bersyukur sebab Ibu pasti ingin berbicara mengenai satu hal.

“Mana ATM kamu?” “Ya?”

Ibu berdecak malas malam itu, “tadi habis buka rekening, kan? Mana ATM-nya?”

“Ada. Disimpan sama Andini, Bu.” jawab saya, sebisa mungkin dengan nada yang lembut.

Tapi bukan-nya tersenyum, Ibu justru menendang kaki saya cukup keras. “Kamu itu boros, Andini! Baru buka rekening aja udah beli makanan online seperti ini!”

“Bu, ini dibelikan Devan yang baru saja pindah ke Rumah Pak 'De Pur yang dulu.”

Setelahnya tangan Ibu terangkat untuk melayangkan sebuah pukulan cukup keras di atas kepala saya. Dengan begitu, saya juga berusaha untuk menutupi bagian kepala—namun tidak dengan memohon untuk ia segera berhenti.

“Sudah pandai berbohong, Andini?” “Bu, Andini nggak bohong. Sumpah!”

Lagi, tangan Ibu terangkat untuk menjambak rambut dan membuat saya bangun dari posisi. Setelah itu, Ibu mendorong cukup keras daksa saya ke arah motor Ayah yang memang sudah dimasuk-kan ke ruang tamu sebab kami tidak punya garasi.

Saya bukan lahir dari keluarga penuh harta, bukan juga dengan tawa.

“Andini!” Itu suara Ayah.

Ayah berlari tergesa dengan sarung birunya mengangkat motor yang meniban kaki kanan saya. Kemudian Ayah berjongkok di hadapan saya, membantu meluruskan kaki. Namun anehnya ... kaki saya mati rasa.

“Yah ... ujung kaki Andini nggak kerasa kalau Ayah pegang.” kata saya, biasa aja.

Normalnya ini akan terasa menyakitkan dan seharusnya saya menangis pilu saat tau kalau ternyata kaki saya patah. Sebab Ayah berkali-kali menekan ujung kaki namun tetap tidak ada rasanya.

“Kita ke rumah sakit, ya, Nduk?”

Saya mengangguk ragu, memerhatikan Ibu yang masih memegang sapu. “Bu ... Andini izin ke rumah sakit sama Ayah. Nanti ATM-nya ambil saja di dompet hitam, ya.”

“Bu ... maaf kalau malam ini Andini membuat amarah Ibu memuncak. Maaf kalau Andini belum bisa jadi anak yang begitu berguna, tapi Andini selalu berusaha untuk itu, Bu.” kata saya.

Ayah menatap saya Iba, tapi saya membenci hal itu. Tapi Ibu menatap saya dingin, dan saya menyukainya.

Hhhh

Pernah hampir menyerah.

Melihat luka lebam di wajah Pradipa tadi sejujurnya mengingatkan saya akan banyak cerita yang pernah saya alami. Terutama sewaktu kelas dua sekolah menengah, dulu saya pernah dirundung sama teman satu kelas. Entah, sampai detik ini saya juga tidak tau apa alasan-nya. Tapi yang jelas, setiap kejadian tidak akan pernah luput dari ingatan saya.

Saya ingat namanya, Kalisa Eka Putri. Hari ini ia sudah hidup bahagia dengan satu anaknya dan suami yang rupawan. Namun saya sempat berpikir bahwa Semesta tidak pernah adil. Kalisa yang merundung saya dibiarkan hidup dengan bahagia, memiliki keluarga dengan senyum manis. Sedangkan saya? Jatuh cinta saja tidak pernah. Saya terlalu takut untuk itu.

Dulu saya pernah didorong, dicaci, dan dimaki. Saya pernah takut bertemu manusia saat itu, saat lutut saya terluka parah dan tidak ada yang peduli. Hari itu adalah hari terakhir untuk saya bisa menangis pilu. Karena hari itu, Ibu tidak membuka-kan saya pintu ketika saya diminta pulang oleh pihak sekolah karena terlambat.

Hari itu pula saya tau kalau tidak ada satupun yang menerima saya di dunia. Dan perasaan Ibu pada saya adalah mutlak.

“Andini putri Ayah, nggak tidur?” Itu suara Ayah yang sedang menarik kursi makan lalu duduk sambil tersenyum kecil. Senyum yang saya sukai lebih dari apapun.

“Kalau nggak ada Ibu di rumah sepi ya, Yah.” balas saya dengan beralih topik.

Tanpa disangka, Ayah justru tertawa lagi. “Bukan-nya enak? Kamu jadi nggak sakit lagi.”

“Dini nggak pernah merasa sakit saat ada Ibu, Yah.”

Tangan Ayah terulur untuk mengelus puncak kepala saya dengan senyum di wajah yang semakin lama, semakin senja. “Kalau Ayah bilang Ibu belum bisa menerima Dini, masih bisa bilang nggak sakit?”

Saya diam, karena sebenarnya saya juga tidak tau bagaimana rasanya sakit. Tentang kalimat Ayah barusan, tanpa dijelaskanpun saya tau kalau Ibu memang belum menerima saya. Terbukti dari caranya tersenyum pada saya dan Kakak tiga hari lalu.

“Sebentar, ini siapa malam-malam bertamu?” tanya Ayah dengan nada kesal, beruntungnya tidak dengan sumpah serapah bahasa daerah.

Saya masih diam di posisi, melihat punggung Ayah yang kian hilang ditelan tembok penghubung antara ruang makan dan ruang keluarga. Sembari menunggu Ayah kembali dan melanjutkan percakapan tadi, ada baiknya saya coba kirim pesan pada Pradipa.

Tadi saat di warung tenda, saya melihat ia menangis kala lukanya diberi setetes alkohol. Saya pikir karena saya terlalu keras, jadi saya bergerak lebih perlahan. Tapi justru Pradipa mendunduk-kan kepala. Entah apa yang ada di pikiran-nya, tapi saya merasa agak aneh saja.

“Din, sudah malam. Ndang masuk kamar.” kata Ayah yanh baru saja datang dari arah luar dengan satu kantung putih berisi nasi kotak. “Ini ada tetangga baru pindah dari Bandung ke rumah putih di ujung itu.”

“Rumah Pak 'De Pur yang dijual itu udah laku, Yah?”

Ayah mengangguk, mengambil buah dari nasi kotak itu lalu menatap saya. “Sudah. Tadi yang antar anaknya yang kedua, sepertinya sedikit di atas kamu umurnya. Anaknya ramah juga, cuma gitu .... logatnya Sunda sekali.”

Saya tertawa kecil akibat mendengar kalimat protes dari Ayah mengenai anak si tetangga baru. “Emang namanya siapa, Yah?”

“Devanda kalau tidak salah. Tinggi, cuma terlihat agak pemalu.”

Saya tertawa sebab Ayah yang terlihat sok tau. “Ayah sok tau.”

“Ayah memang tau.” balasnya sambil menjulurkan lidah saat pisang yang ia kunyah seluruhnya telah ditelan.

Ayah memang seperti itu, berbeda jauh sekali dengan Ibu. Ayah selalu menganggap saya ada, berbeda jauh dengan Ibu yang bahkan untuk menatap saya saja enggan.