Perasaan dan suapan kebab dari Pradipa.
“Din, kamu nggak apa-apa?”
Kalimat tanya pertama hari itu yang keluar dari bibir milik seorang Pradipa. Pagi ini tidak ada senyum semanis gula Jawa lagi, tidak ada juga pancaran mata sebening embun. Semuanya sirna seperti ditenggelamkan dalam Samudera. Yang ada hanya tatapan kekhawatiran berasamaan dengan ia yang melempar tas hitamnya cukup kasar.
Pradipa berlutut di hadapan saya, menatap kaki kiri saya yang dibalut gips dan celana hitam. Kemudian ia menengadah, “Din, kok bisa?”
Dilihat dari sini, saya baru menyadari satu hal bahwa luka lebam di wajah Pradipa semakin parah dan bertambah banyak. “Di? Menyelamatkan dunia lagi?”
Ia menunduk, “iya.”
“Di, duniamu begitu besar, ya? Sampai kamu harus terluka sebegitu parahnya?”
Pradipa diam, membawa daksanya untuk kembali berdiri di hadapan saya yang masih duduk di kursi. Kurvanya ia tarik saat ini, tapi tidak seluas himalaya—seperti biasanya. Senyum kali ini terlihat lebih kaku dan terpaksa.
“Di, dulu Ibu saya juga punya dunia yang begitu besar sampai ia nggak bisa menggenggamnya.” Saya tertawa kecil, menatap Pradipa yang masih bergeming di tempatnya. “Udah, udah. Jangan dibahas.”
Pradipa masih diam.
“Di, setiap orang itu punya luka. Lihat, luka di kaki saya itu didapat setelah saya menyelamatkan dunia Ibu. Luka di wajahmu? Itu kamu dapat setelah menyelamatkan dunia-mu, kan?” Saya menarik tangan Pradipa, mengenggamnya seolah menyalurkan sedikit kekuatan yang saya punya. Menatapnya tepat pada netra adalah kesukaan saya. Dia punya bolamata cokelat tua yang sempurna.
“Di, kamu yang minta saya untuk mengeluh malam itu, kan?”
Pradipa mengangguk, kemudian tersenyum kecil.
“Selagi bisa, ayo menangis. Kamu nggak perlu tahan semua rasa yang bisa kamu rasakan, Di. Menahan segalanya itu penyakit, Di. Kamu ingat penyebab saya nggak pernah bisa menangis, kan?”
“Jangan dilanjut.” “Saya mati rasa, Di. Semua manusia di bumi berhak atas semua rasa, kecuali saya.”
“Andini, kamu manusia dan kamu berhak atas segala rasa.” balasnya yang saya yakini untuk memperingati. Kemudian membawa daksa saya untuk masuk ke dalam pelukan-nya yang sangat hangat. “Din, boleh saya jujur tentang perasaan saya?”
Saya tertawa, memang kenapa? Semua manusia berhak untuk jujur, kan?
“Saya jatuh cinta sama kamu, Din.”
Diam. Semuanya terlalu tiba-tiba sampai saya sendiri bingung untuk menanggapi. Meletak-kan dan mengungkap sebuah rasa bukanlah hal yang mudah—katanya. Rasanya biasa saja, seperti kita memiliki topik obrolan biasa—tidak ada bumbu perasaan di dalamnya.
“Tapi kamu tau ...” “Saya tau, dan saya berusaha untuk itu.”
Untuk beberapa detik kami saling diam, menatap satu sama lain melalui netra. Sampai pada akhirnya tangan Pradipa terulur untuk mengambil kotak makan saya dari laci meja.
“Kamu buat sendiri?”
Saya mengangguk sedangkan ia memasuk-kan satu gigitan kebab ke dalam mulutnya.
“Enak! Kamu harus coba.” katanya sambil melayangkan satu suapan kebab untuk saya.
Saya tau makanan kesukaan Pradipa, hal apa yang ia lakukan sampai dengan warna kesukaan-nya. Tapi saya tidak pernah tau bahwa Pradipa adalah pria yang pandai dalam menyembunyikan sebuah rasa. Termasuk rasa cinta dibalik perlakuan-nya yang memabuk-kan.
Di, kalau kamu membaca halaman ini ... maaf, saya belum bisa jatuh cinta.