Pernah hampir menyerah.

Melihat luka lebam di wajah Pradipa tadi sejujurnya mengingatkan saya akan banyak cerita yang pernah saya alami. Terutama sewaktu kelas dua sekolah menengah, dulu saya pernah dirundung sama teman satu kelas. Entah, sampai detik ini saya juga tidak tau apa alasan-nya. Tapi yang jelas, setiap kejadian tidak akan pernah luput dari ingatan saya.

Saya ingat namanya, Kalisa Eka Putri. Hari ini ia sudah hidup bahagia dengan satu anaknya dan suami yang rupawan. Namun saya sempat berpikir bahwa Semesta tidak pernah adil. Kalisa yang merundung saya dibiarkan hidup dengan bahagia, memiliki keluarga dengan senyum manis. Sedangkan saya? Jatuh cinta saja tidak pernah. Saya terlalu takut untuk itu.

Dulu saya pernah didorong, dicaci, dan dimaki. Saya pernah takut bertemu manusia saat itu, saat lutut saya terluka parah dan tidak ada yang peduli. Hari itu adalah hari terakhir untuk saya bisa menangis pilu. Karena hari itu, Ibu tidak membuka-kan saya pintu ketika saya diminta pulang oleh pihak sekolah karena terlambat.

Hari itu pula saya tau kalau tidak ada satupun yang menerima saya di dunia. Dan perasaan Ibu pada saya adalah mutlak.

“Andini putri Ayah, nggak tidur?” Itu suara Ayah yang sedang menarik kursi makan lalu duduk sambil tersenyum kecil. Senyum yang saya sukai lebih dari apapun.

“Kalau nggak ada Ibu di rumah sepi ya, Yah.” balas saya dengan beralih topik.

Tanpa disangka, Ayah justru tertawa lagi. “Bukan-nya enak? Kamu jadi nggak sakit lagi.”

“Dini nggak pernah merasa sakit saat ada Ibu, Yah.”

Tangan Ayah terulur untuk mengelus puncak kepala saya dengan senyum di wajah yang semakin lama, semakin senja. “Kalau Ayah bilang Ibu belum bisa menerima Dini, masih bisa bilang nggak sakit?”

Saya diam, karena sebenarnya saya juga tidak tau bagaimana rasanya sakit. Tentang kalimat Ayah barusan, tanpa dijelaskanpun saya tau kalau Ibu memang belum menerima saya. Terbukti dari caranya tersenyum pada saya dan Kakak tiga hari lalu.

“Sebentar, ini siapa malam-malam bertamu?” tanya Ayah dengan nada kesal, beruntungnya tidak dengan sumpah serapah bahasa daerah.

Saya masih diam di posisi, melihat punggung Ayah yang kian hilang ditelan tembok penghubung antara ruang makan dan ruang keluarga. Sembari menunggu Ayah kembali dan melanjutkan percakapan tadi, ada baiknya saya coba kirim pesan pada Pradipa.

Tadi saat di warung tenda, saya melihat ia menangis kala lukanya diberi setetes alkohol. Saya pikir karena saya terlalu keras, jadi saya bergerak lebih perlahan. Tapi justru Pradipa mendunduk-kan kepala. Entah apa yang ada di pikiran-nya, tapi saya merasa agak aneh saja.

“Din, sudah malam. Ndang masuk kamar.” kata Ayah yanh baru saja datang dari arah luar dengan satu kantung putih berisi nasi kotak. “Ini ada tetangga baru pindah dari Bandung ke rumah putih di ujung itu.”

“Rumah Pak 'De Pur yang dijual itu udah laku, Yah?”

Ayah mengangguk, mengambil buah dari nasi kotak itu lalu menatap saya. “Sudah. Tadi yang antar anaknya yang kedua, sepertinya sedikit di atas kamu umurnya. Anaknya ramah juga, cuma gitu .... logatnya Sunda sekali.”

Saya tertawa kecil akibat mendengar kalimat protes dari Ayah mengenai anak si tetangga baru. “Emang namanya siapa, Yah?”

“Devanda kalau tidak salah. Tinggi, cuma terlihat agak pemalu.”

Saya tertawa sebab Ayah yang terlihat sok tau. “Ayah sok tau.”

“Ayah memang tau.” balasnya sambil menjulurkan lidah saat pisang yang ia kunyah seluruhnya telah ditelan.

Ayah memang seperti itu, berbeda jauh sekali dengan Ibu. Ayah selalu menganggap saya ada, berbeda jauh dengan Ibu yang bahkan untuk menatap saya saja enggan.