Melukis luka.

Kalau saya bilang Pradipa adalah orang yang lebih dari sekedar kata baik, apa berlebihan? Sepertinya tidak. Buktinya Ayah selalu bilang kalau Pradipa itu patut untuk mendapat banyak cinta karena pribadinya.

“Sudah.” Dia tersenyum kecil setelah memakaikan saya helm dan membantu saya untuk duduk duluan di atas motornya.

Drrrt Drrrt

Pradipa menatap saya dan layar ponselnya bergantian. Setelah saya mengangguk, ia baru mengangkat sebuah panggilan di sana. Namun, yang membuat saya heran adalah wajahnya langsung memerah seperti orang yang sedang menahan amarah.

“Iya, Mas Pradi langsung pulang.” katanya yang langsung menutup panggilan.

Matanya menatap saya bingung, kemudian memakai pelindung untuk kepalanya sendiri. Kali ini, tidak ada kelembutan Pradipa untuk mengendarai sepeda motornya. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengenggam jemari saya erat.

Ada banyak pertanyaan di benak saya tentang ia. Tentang Pradipa dan dunianya, tentang siapa yang menghubungi ia tadi sampai sebegitu parahnya kekhawatiran, tentang Pradipa dan akan selalu Pradipa.

“Din, nanti kamu tolong bawa Ibu ke luar, ya? Kalau ada yang apa-apain, teriak aja.”

Saya mengangguk, lalu Pradipa membantu saya untuk turun dari motornya. Membawa daksa saya untuk masuk ke dalam rumah sederhana bercat hijau muda yang dipenuhi dengan suara bantingan barang. Saya lihat tangan Pradipa mengepal sore itu, sedangkan jemari kirinya menggenggam erat milik saya.

“Din, kamu mau bantu saya untuk menyelamatkan dunia, kan?”

Saya mengangguk lugu, bingung akan kalimatnya yang bergetar seolah ia menahan tangis. Tapi dengan cepat Pradipa membawa saya masuk ke dalam rumah sederhana-nya. Dan saya susah payah berjalan mendekat ke arah Ibunya yang sudah duduk di lantai sembari menangis pilu. Sedangkan seorang pria yang tidak pernah saya temui itu bersiap untuk melempar vas bunga ke arah Ibu Pradipa.

Reflek membawa saya untuk melindungi Ibunya sehingga membuat punggung saya dihantam kuat oleh vas bunga yang lumayan besar. Mata Ibu Pradipa membulat kala itu, “Andini?”

Saya tersenyum kecil, “saya nggak apa-apa, Bu. Jangan khawatir. Ayo kita keluar, biar Pradipa yang urus segalanya.”

Perempuan berbaju putih itu mengangguk, membantu saya untuk berdiri dan berjalan sampai halaman. Sedangkan di dalam sana berkali-kali benda berjatuhan, disusul bau anyir setelahnya.

“Bu, ini ada apa?”

Ibu tersenyum kecil, “Pra nggak pernah cerita apapun tentang dunianya ke kamu, Din?”

Jelas, saya langsung menggelengkan kepala.

“Pradipa selalu bilang kalau dunianya adalah Ibu, dan ketika ia bilang sedang menyelamatkan dunia ... itu artinya ia sedang menyelamatkan Ibu.” katanya sambil tersenyum, tangan kasar khas keibuan mengelus wajah saya sembari menangis pilu. “Pra punya banyak luka karena Ibu, Din. Ibu selalu minta Pradipa untuk nggak benci sama Ayahnya—tapi Pradi nggak bisa, Dini.”

“Bu, ini berawal dari apa? Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga. Kenapa nggak melapor?”

Ibunya Pradipa menggeleng, jemarinya tergerak untuk menyelipkan rambut saya ke belakang telinga. “Kami nggak bisa, Dini.”

“Kenapa, Bu? Kalian punya bukti.” “Tapi kami nggak punya saksi.” “Tetangga?”

Ibu menatap ke sekeliling, “kamu lihat? Mana peduli orang sekitar terhadap kami, Andini? Kami miskin.”

Saya diam sejenak, mencerna segala kalimat Ibunya Pradipa sedari tadi. Itu artinya, sudah lama pula mereka mengalami hal serupa, kan? Tapi kenapa Pradipa tidak pernah memberitau saya satu hal penting ini?

“Bu, Andini bisa jadi saksi.”

Ibu tersenyum bersamaan dengan seorang pria berkaus hitam yang tadi memukuli Ibu keluar dari rumah sederhana keluarga Pradipa. Dia tersenyum miring ke arah saya lalu pergi dengan membanting pintu pagar besi yang sudah mulai berkarat.

“Bu, ayo kita lihat Pradi.” kata saya.

Kami berjalan perlahan, beriringan. Sampai di ruang tengah semua terasa aneh, terlalu berantakan. Sampai indera penciuman saya mencium bau anyir lebih kuat sebelum akhirnya Ibunya Pradipa berlari ke arah daksa yang sudah tidak sadarkan diri di samping sofa.

Itu ... Pradipa dengan pisau yang menancap diperutnya. Matanya sedikit memejam menahan sakit. Sedangkan jantung saya rasanya seperti ingin lepas dari tempat, namun tangan saya tetap bergerak untuk menelepon Ambulance.

“Pra, maafin Ibu ...”

Pradipa tersenyum manis, manis sekali. Dengan mata yang hampir terpejam ia mengatakan satu kalimat manis untuk Ibunya. “Bu ... surga dan dunuanya Pradi selamat, kan?”

Ibu menatapku sendu diikuti dengan Pradipa. “Andini, selama saya nggak—”

“Di, saya aja belum bisa menyelamatkan dunia saya. Tolong jangan beri beban dengan meninggalkan saya dan duniamu.”