TetehnyaaJisung

Pradipa penipu sesungguhnya.

Masih dan akan selalu tentang Pradipa, pria manis si pemilik pelukan sehangat kopi. Saya tidak tau apa alasan pertiwi mempertemukan saya pada pria sehangat ia kalau pada akhirnya kami dipisahkan dengan alasan sederhana.

Saya sayang Andini bagaimanapun rupanya.

Tapi beberapa hari setelah kalimat itu diperdengarkan pada dunia dengan senyum semegah istana, ia menghilang. Benar-benar menghilang seperti tenggelam di palung terdalam. Saya tidak tau apa alasan-nya kala itu. Yang jelas ahad pukul lima lebih sedikit Ibu bilang, “Pradipa pergi ke Germany untuk menemui isterinya.

Awalnya saya ingin menangis, ingin sekali. Tapi saya sadar, Ibu bukanlah wanita yang akan mengelus puncak kepala saya dan mengeluarkan kalimat-kalimat menenangkan. Ibu lebih suka memukul saya dengan sapu.

Tapi di halaman ini saya tidak akan bercerita tentang Ibu. Saya ingin bercerita tentang dua puluh lima agustus, dua ribu sembilan belas. Tentang sebuah kata “maaf” yang berujung rasa sakit tiada dua. Tentang saya, Pradipa dan segala rasa yang berporak-poranda untuknya.

Dahulu, saya suka sekali mengadu tentang sesuatu yang tidak perlu. Karena katanya ia akan mendengarkan apapun yang akan keluar dari bibir saya, kecuali larangan karena terlalu sering minum kopi.

Pradipa itu sederhana, seperti setiap kata dalam buku ini. Sampai ketika saya mulai meletak-kan sebuah rasa untuknya, saya dihantam fakta yang paling menakutkan untuk didengar. Fakta sederhana bahwa ia telah memiliki seorang istri yang notabenya adalah atasan saya.

“Malam ini nggak pakai helm, ya.” “Kalau saya jatuh, gimana?” “Saya nggak akan membiarkan Andini jatuh.”

Kamu salah, Pradipa. Saya sudah terlanjut jatuh pada jurang yang seharusnya saya tidak bermain di sampingnya. Kali ini saya terlalu menyayangi Pradipa Purnawaman yang sudah memiliki seorang istri.

“Pradipa kamu pembohong.”

Ia menarik tangan saya untuk melingkar indah di tubuh kekarnya sehingga saya dapat kembali mencium bau tubuh yang sangat dirindukan.

“Andini, maaf.”

“Katamu jatuh cinta itu menyenangkan, tapi kenapa rasanya seperih ini?”

Pradipa menghentikan motornya, kemudian ia turun dan membiarkan saya untuk tetap duduk di atas jok. Netranya menatap saya dalam, kemudian menutup bersamaan dengan air mata yang mengalir.

“Di, kamu menangis?”

Pradipa mengangguk kecil, kemudian terkekeh sumbang. “Maafin saya ...”

“Di, bagaimana saya bisa memeluk daksa yang sudah menjadi milik wanita lain?”

“Bagaimana saya bisa mengadu pada pria yang bukan lagi pelindung saya?”

Saya menghela napas, menatap ia yang kini menarik saya untuk masuk ke dalam dekap. “Di, bagaimana rasanya dicintai seutuhnya? Dijadikan dunia kedua setelah Ibunya dalam waktu yang lama?”

“Saya nggak bisa menangis,” Tiba-tiba tangan saya yang sedari tadi meremat jaket kini berpindah tugas untuk meremat dada. “Rasanya hanya sesak dan itu menyakitkan.”

Pradipa penipu sesungguhnya.

Masih dan akan selalu tentang Pradipa, pria manis si pemilik pelukan sehangat kopi. Saya tidak tau apa alasan pertiwi mempertemukan saya pada pria sehangat ia kalau pada akhirnya kami dipisahkan dengan alasan sederhana.

Saya sayang Andini bagaimanapun rupanya.

Tapi beberapa hari setelah kalimat itu diperdengarkan pada dunia dengan senyum semegah istana, ia menghilang. Benar-benar menghilang seperti tenggelam di palung terdalam. Saya tidak tau apa alasan-nya kala itu. Yang jelas ahad pukul lima lebih sedikit Ibu bilang, “Pradipa pergi ke Germany untuk menemui isterinya.

Awalnya saya ingin menangis, ingin sekali. Tapi saya sadar, Ibu bukanlah wanita yang akan mengelus puncak kepala saya dan mengeluarkan kalimat-kalimat menenangkan. Ibu lebih suka memukul saya dengan sapu.

Tapi di halaman ini saya tidak akan bercerita tentang Ibu. Saya ingin bercerita tentang dua puluh lima agustus, dua ribu sembilan belas. Tentang sebuah kata “maaf” yang berujung rasa sakit tiada dua. Tentang saya, Pradipa dan segala rasa yang berporak-poranda untuknya.

Dahulu, saya suka sekali mengadu tentang sesuatu yang tidak perlu. Karena katanya ia akan mendengarkan apapun yang akan keluar dari bibir saya, kecuali larangan karena terlalu sering minum kopi.

Pradipa itu sederhana, seperti setiap kata dalam buku ini. Sampai ketika saya mulai meletak-kan sebuah rasa untuknya, saya dihantam fakta yang paling menakutkan untuk didengar. Fakta sederhana bahwa ia telah memiliki seorang istri yang notabenya adalah atasan saya.

“Malam ini nggak pakai helm, ya.” “Kalau saya jatuh, gimana?” “Saya nggak akan membiarkan Andini jatuh.”

Kamu salah, Pradipa. Saya sudah terlanjut jatuh pada jurang yang seharusnya saya tidak bermain di sampingnya. Kali ini saya terlalu menyayangi Pradipa Purnawaman yang sudah memiliki seorang istri.

“Pradipa kamu pembohong.”

Ia menarik tangan saya untuk melingkar indah di tubuh kekarnya sehingga saya dapat kembali mencium bau tubuh yang sangat dirindukan.

“Andini, maaf.”

“Katamu jatuh cinta itu menyenangkan, tapi kenapa rasanya seperih ini?”

Pradipa menghentikan motornya, kemudian ia turun dan membiarkan saya untuk tetap duduk di atas jok. Netranya menatap saya dalam, kemudian menutup bersamaan dengan air mata yang mengalir.

“Di, kamu menangis?”

Pradipa mengangguk kecil, kemudian terkekeh sumbang. “Maafin saya ...”

“Di, bagaimana saya bisa memeluk daksa yang sudah menjadi milik wanita lain?”

“Bagaimana saya bisa mengadu pada pria yang bukan lagi pelindung saya?”

Saya menghela napas, menatap ia yang kini menarik saya untuk masuk ke dalam dekap. “Di, bagaimana rasanya dicintai seutuhnya? Dijadikan dunia kedua setelah Ibunya dalam waktu yang lama?”

“Saya nggak bisa menangis,” Tiba-tiba tangan saya yang sedari tadi meremat jaket kini berpindah tugas untuk meremat dada. “Rasanya hanya sesak dan itu menyakitkan.”

Kehilangan paling menyakitkan

Sore itu Pradipa benar-benar berdiri di depan pagar Perusahaan tempat saya bekerja. Iris kecokelatan-nya menyambut saya hangat, dia merentangkan tangan bersiap untuk memeluk. Namun sedetik setelah arah pandang berpindah ke arah mobil yang baru saja keluar dari parkiran, Pradipa langsung terdiam kaku.

“Di, ada apa?”

Pradipa menggeleng ragu, “nggak ada. Mau jalan sekarang?”

Saya bukan tipikal insan yang akan memaksa siapapun untuk bercerita tentang keresahan-nya. Tapi, untuk kali ini saya ingin tau sekali apa yang ada di benak Pradipa sehingga pria itu tidak lagi pernah mengeluarkan senyum semanis gula jawa.

“Saya rindu suasana Jogjakarta.” katanya.

Saya terkekeh, kemudian meletak-kan dagu saya di bahu kanan pria itu. Sebab Pradipa menarik tangan saya untuk melingkar indah di perutnya. Tidak apa, tolong seperti ini dulu barang sebentar.

“Memangnya kamu dari kemarin dimana, Di?” “Terperangkap.” “Terperangkap?”

Ia mengangguk kecil, menghentikan motor saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. “Di hati Andini.”

Bisa saja.

“Di, kemarin Ibumu hubungi saya. Katanya, saat saya meletak-kan sebuah rasa, saya juga harus tau kalau konsekuensinya adalah terluka.”

Saya tau kalau Pradipa menatap saya melalui spion kirinya, wajahnya tidak secerah hari-hari lain. “Iya?”

“Tapi kalau saya jatuh hati sama kamu, saya nggak akan terluka, kan, Di? Sebab kamu nggak akan membiarkan saya terluka, kan?”

Pradipa menghentikan motornya di depan sebuah kedai kopi langganan kami sejak satu tahun silam. Kedai kopi yang sepi namun memiliki cita rasa tinggi.

“Andini, dengar saya.” Pradipa mengulum bibirnya, dia menatap saya tepat pada netra. “Saat kamu meletak-kan sebuah rasa, tolong jangan pernah berharap apapun.”

“Tapi kamu mau bantu saya kan, Di?” “Andini ...” “Di, kalau saat ini saya bilang sayang sama kamu. Percaya?”

Dia terkekeh, kemudian membawa saya pada dekap yang menghangatkan. Namun sore itu saya tidak tau kalau ternyata Pradipa juga menyimpan sebuah luka yang katanya sulit sekali disembuhkan.

“Di, kamu nggak akan pernah ninggalin saya, kan?”

Pradipa mengangkat kurvanya megah, kemudian tangan-nya terangkat untuk mengacak rambut saya. “Saya nggak janji, tapi saya berusaha untuk itu, Andini.”

“Duduk.” Pradipa membawa saya untuk duduk di kursi kedai kopi, lalu kembali menatap saya sambil tersenyum. “Saya rindu.”

“Baru beberapa hari nggak ketemu, Di.”

Pradipa tertawa. Tawa yang selama ini saya tunggu-tunggu adalah tawa yang membuat saya ikut tersenyum karena-nya. Tanpa sadar, saya juga merasa nyaman bersama Pradipa. Perihal saya yang terlalu menggantungkan diri pada ia, itu benar adanya.

“Di, kamu tau kehilangan seperti apa yang paling menyakitkan?”

Dia menggeleng sambil menyeruput kopi yang baru saja diantar oleh salah satu pelayan pria. “Kematian?”

“Bukan, lah. Sebab semua orang pasti mati, Di. Tapi kehilangan yang paling menyakitkan adalah di saat kita melihat orang yang disayang bahagia.”

Dia menatap saya serius, “kamu tau bagaimana rasanya kehilangan, Din?”

“Sejauh ini biasa saja, Di. Saya kan nggak bisa merasakan sebuah rasa.”

Pradipa adalah pria yang saya bersumpah kalau berbicara dengan ia—pasti saya tidak mampu menatapnya lebih dari lima menit.

“Kalau saya yang hilang, bagaimana, Din?”

Kehilangan paling menyakitkan

Sore itu Pradipa benar-benar berdiri di depan pagar Perusahaan tempat saya bekerja. Iris kecokelatan-nya menyambut saya hangat, dia merentangkan tangan bersiap untuk memeluk. Namun sedetik setelah arah pandang berpindah ke arah mobil yang baru saja keluar dari parkiran, Pradipa langsung terdiam kaku.

“Di, ada apa?”

Pradipa menggeleng ragu, “nggak ada. Mau jalan sekarang?”

Saya bukan tipikal insan yang akan memaksa siapapun untuk bercerita tentang keresahan-nya. Tapi, untuk kali ini saya ingin tau sekali apa yang ada di benak Pradipa sehingga pria itu tidak lagi pernah mengeluarkan senyum semanis gula jawa.

“Saya rindu suasana Jogjakarta.” katanya.

Saya terkekeh, kemudian meletak-kan dagu saya di bahu kanan pria itu. Sebab Pradipa menarik tangan saya untuk melingkar indah di perutnya. Tidak apa, tolong seperti ini dulu barang sebentar.

“Memangnya kamu dari kemarin dimana, Di?” “Terperangkap.” “Terperangkap?”

Ia mengangguk kecil, menghentikan motor saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. “Di hati Andini.”

Bisa saja.

“Di, kemarin Ibumu hubungi saya. Katanya, saat saya meletak-kan sebuah rasa, saya juga harus tau kalau konsekuensinya adalah terluka.”

Saya tau kalau Pradipa menatap saya melalui spion kirinya, wajahnya tidak secerah hari-hari lain. “Iya?”

“Tapi kalau saya jatuh hati sama kamu, saya nggak akan terluka, kan, Di? Sebab kamu nggak akan membiarkan saya terluka, kan?”

Pradipa menghentikan motornya di depan sebuah kedai kopi langganan kami sejak satu tahun silam. Kedai kopi yang sepi namun memiliki cita rasa tinggi.

“Andini, dengar saya.” Pradipa mengulum bibirnya, dia menatap saya tepat pada netra. “Saat kamu meletak-kan sebuah rasa, tolong jangan pernah berharap apapun.”

“Tapi kamu mau bantu saya kan, Di?” “Andini ...” “Di, kalau saat ini saya bilang sayang sama kamu. Percaya?”

Dia terkekeh, kemudian membawa saya pada dekap yang menghangatkan. Namun sore itu saya tidak tau kalau ternyata Pradipa juga menyimpan sebuah luka yang katanya sulit sekali disembuhkan.

“Di, kamu nggak akan pernah ninggalin saya, kan?”

Pradipa mengangkat kurvanya megah, kemudian tangan-nya terangkat untuk mengacak rambut saya. “Saya nggak janji, tapi saya berusaha untuk itu, Andini.”

“Duduk.” Pradipa membawa saya untuk duduk di kursi kedai kopi, lalu kembali menatap saya sambil tersenyum. “Saya rindu.”

“Baru beberapa hari nggak ketemu, Di.”

Pradipa tertawa. Tawa yang selama ini saya tunggu-tunggu adalah tawa yang membuat saya ikut tersenyum karena-nya. Tanpa sadar, saya juga merasa nyaman bersama Pradipa. Perihal saya yang terlalu menggantungkan diri pada ia, itu benar adanya.

“Di, kamu tau kehilangan seperti apa yang paling menyakitkan?”

Dia menggeleng sambil menyeruput kopi yang baru saja diantar oleh salah satu pelayan pria. “Kematian?”

“Bukan, lah. Sebab semua orang pasti mati, Di. Tapi kehilangan yang paling menyakitkan adalah di saat kita melihat orang yang disayang bahagia.”

Dia menatap saya serius, “kamu tau bagaimana rasanya kehilangan, Din?”

“Sejauh ini biasa saja, Di. Saya kan nggak bisa merasakan sebuah rasa.”

Pradipa adalah pria yang saya bersumpah kalau berbicara dengan ia—pasti saya tidak mampu menatapnya lebih dari lima menit.

“Kalau saya yang hilang, bagaimana, Din?”

Sepasang iris penuh luka.

Saya menghela napas saat menekan knop pintu yang ternyata langsung dihadiahi tatapan selamat datang dari Ibu—yang kata orang-orang sangat menakutkan. Namun bagi saya, iris itu begitu lembut dan penuh dengan luka. Sebab tatapan kebencian begitu lekat di sana.

“Andini pulang.” kata saya.

Ibu berjalan sedikit cepat, membuat saya tidak perlu repot-repot untuk menghampiri. Tangan-nya terangkat untuk menyibak rambut saya, sehingga memperlihatkan leher. Kulit Ibu adalah sentuhan terlembut bagi saya.

Saya tau, apa yang akan saya dapat setelah ini. Itu sebabnya, saya memejam seolah menikmati hadiah dari Ibu.

Beberapa detik selanjutnya, Ibu mencekik saya tanpa ampun sampai rasanya saya tidak lagi dapat bernapas. Saya seperti merasakan bahwa Tuhan akan membawa saya pada detik itu. Kata Ayah, jangan pernah meminta kata ampun ketika Ibu sedang seperti ini. Karena ia akan merasa puas dan ada keinginan untuk melakukan lebih. Jangan pula menangis, sebab Ibu benci air mata.

Saya suka dilakukan seperti ini, sebab air mata saya bisa berkumpul di pelupuk mata. Dan saya ... menangis.

“Andini!”

Pejaman mata saya terbuka dan mendapati Devanda sedang melebarkan mata, dengan segera menjauhkan tangan Ibu dari leher saya. Sedangkan saya terbatuk tanpa ada kata ampun.

“Kamu nggak apa-apa?” “Saya nggak apa-apa.”

Tatapan khawatir milik Devanda berpindah ke arah Ibu yang sedang menatap saya tajam. Bibirnya tidak berhenti mengucapkan sumpah serapah yang sudah jelas untuk saya.

“Tante, ini namanya kekerasan pada anak.” kata Devanda selembut mungkin. Dia menyisir rambutnya dengan jemari, “sudah berapa lama?”

Ibu justru tertawa. Tawa yang selama ini selalu saya lihat, “anak? Di bukan anak saya.”

“Tante, maaf—” “Dev, udah.” Entah kenapa tangan saya langsung terangkat untuk mengehentikan pergerakan Devanda yang ingin mendekat ke arah Ibu. Jemari pria itu sudah terkepal kuat sampai buku jarinya memutih. “Kamu ngapain di sini?”

Dia menatap saya setelah memastikan kalau Ibu sudah masuk ke dalam rumah. “Tadi saya dengar suara kegaduhan, makannya ke sini.”

Kegaduhan? Seingat saya tadi bahkan tidak ada suara sekecil apapun yang saya keluarkan ketika Ibu mulai mencekik leher.

“Oh, itu ... Tadi Ibu lagi nonton televisi.” kata saya sambil menunjuk ke arah televisi yang menyala di ruang tengah.

“Suaranya nggak sebesar itu, Andini.” katanya. Yang saya lihat, sorot matanya kian melembut. Persis seperti milik Pradipa yang hari ini justru saya rindukan.

Entah kenapa dan tidak tau ini bisa disebut dengan rindu atau tidak. Yang jelas, saya ingin lihat Pradipa.

“Dev, mau antarkan saya ke rumah sakit?”

Devanda kembali terlihat khawatir, ia memeriksa saya di bagian leher. “Sakit banget, Din?”

“Enggak, enggak.” Saya tertawa, menjauhkan tubuhnya dari hadapan saya. “Saya ... rindu Pradipa.”

Malam itu Devanda diam selama satu menit di depan pintu rumah, menatap saya dengan tatapan yang saya tidak mengerti apa artinya. Pada menit ke dua, ia tersenyum kaku. “Ayo, saya antar.”

“Saya izin Ibu dulu.” “Boleh?” “Izin-nya nggak menemui Pradi, tapi pergi makan sama kamu. Pasti boleh.”

Dia mengangguk setuju, lalu berjalan untuk duduk di kursi teras. Sedang saya berjalan menuju kamar Ibu, mengetuknya hati-hati. Namun yang didapat hanya suara isak tangis. Membuat jantung saya bergetar hebat untuk pertama kalinya karena saya dapat mendengar Ibu menangis. Rasanya ... sakit, tapi tetap—saya tidak dapat menangis.

“Bu, Andini nggak pernah minta dilahirkan ...”

Sepasang iris penuh luka.

Saya menghela napas saat menekan knop pintu yang ternyata langsung dihadiahi tatapan selamat datang dari Ibu—yang kata orang-orang sangat menakutkan. Namun bagi saya, iris itu begitu lembut dan penuh dengan luka. Sebab tatapan kebencian begitu lekat di sana.

“Andini pulang.” kata saya.

Ibu berjalan sedikit cepat, membuat saya tidak perlu repot-repot untuk menghampiri. Tangan-nya terangkat untuk menyibak rambut saya, sehingga memperlihatkan leher. Kulit Ibu adalah sentuhan terlembut bagi saya.

Saya tau, apa yang akan saya dapat setelah ini. Itu sebabnya, saya memejam seolah menikmati hadiah dari Ibu.

Beberapa detik selanjutnya, Ibu mencekik saya tanpa ampun sampai rasanya saya tidak lagi dapat bernapas. Saya seperti merasakan bahwa Tuhan akan membawa saya pada detik itu. Kata Ayah, jangan pernah meminta kata ampun ketika Ibu sedang seperti ini. Karena ia akan merasa puas dan ada keinginan untuk melakukan lebih. Jangan pula menangis, sebab Ibu benci air mata.

Saya suka dilakukan seperti ini, sebab air mata saya bisa berkumpul di pelupuk mata. Dan saya ... menangis.

“Andini!”

Pejaman mata saya terbuka dan mendapati Devanda sedang melebarkan mata, dengan segera menjauhkan tangan Ibu dari leher saya. Sedangkan saya terbatuk tanpa ada kata ampun.

“Kamu nggak apa-apa?” “Saya nggak apa-apa.”

Tatapan khawatir milik Devanda berpindah ke arah Ibu yang sedang menatap saya tajam. Bibirnya tidak berhenti mengucapkan sumpah serapah yang sudah jelas untuk saya.

“Tante, ini namanya kekerasan pada anak.” kata Devanda selembut mungkin. Dia menyisir rambutnya dengan jemari, “sudah berapa lama?”

Ibu justru tertawa. Tawa yang selama ini selalu saya lihat, “anak? Di bukan anak saya.”

“Tante, maaf—” “Dev, udah.” Entah kenapa tangan saya langsung terangkat untuk mengehentikan pergerakan Devanda yang ingin mendekat ke arah Ibu. Jemari pria itu sudah terkepal kuat sampai buku jarinya memutih. “Kamu ngapain di sini?”

Dia menatap saya setelah memastikan kalau Ibu sudah masuk ke dalam rumah. “Tadi saya dengar suara kegaduhan, makannya ke sini.”

Kegaduhan? Seingat saya tadi bahkan tidak ada suara sekecil apapun yang saya keluarkan ketika Ibu mulai mencekik leher.

“Oh, itu ... Tadi Ibu lagi nonton televisi.” kata saya sambil menunjuk ke arah televisi yang menyala di ruang tengah.

“Suaranya nggak sebesar itu, Andini.” katanya. Yang saya lihat, sorot matanya kian melembut. Persis seperti milik Pradipa yang hari ini justru saya rindukan.

Entah kenapa dan tidak tau ini bisa disebut dengan rindu atau tidak. Yang jelas, saya ingin lihat Pradipa.

“Dev, mau antarkan saya ke rumah sakit?”

Devanda kembali terlihat khawatir, ia memeriksa saya di bagian leher. “Sakit banget, Din?”

“Enggak, enggak.” Saya tertawa, menjauhkan tubuhnya dari hadapan saya. “Saya ... rindu Pradipa.”

Malam itu Devanda diam selama satu menit di depan pintu rumah, menatap saya dengan tatapan yang saya tidak mengerti apa artinya. Pada menit ke dua, ia tersenyum kaku. “Ayo, saya antar.”

“Saya izin Ibu dulu.” “Boleh?” “Izin-nya nggak menemui Pradi, tapi pergi makan sama kamu. Pasti boleh.”

Dia mengangguk setuju, lalu berjalan untuk duduk di kursi teras. Sedang saya berjalan menuju kamar Ibu, mengetuknya hati-hati. Namun yang didapat hanya suara isak tangis. Membuat jantung saya bergetar hebat untuk pertama kalinya karena saya dapat mendengar Ibu menangis. Rasanya ... sakit, tapi tetap—saya tidak dapat menangis.

“Bu, Andini nggak pernah minta dilahirkan ...”

Sepasang iris penuh luka.

Saya menghela napas saat menekan knop pintu yang ternyata langsung dihadiahi tatapan selamat datang dari Ibu—yang kata orang-orang sangat menakutkan. Namun bagi saya, iris itu begitu lembut dan penuh dengan luka. Sebab tatapan kebencian begitu lekat di sana.

“Andini pulang.” kata saya.

Ibu berjalan sedikit cepat, membuat saya tidak perlu repot-repot untuk menghampiri. Tangan-nya terangkat untuk menyibak rambut saya, sehingga memperlihatkan leher. Kulit Ibu adalah sentuhan terlembut bagi saya.

Saya tau, apa yang akan saya dapat setelah ini. Itu sebabnya, saya memejam seolah menikmati hadiah dari Ibu.

Beberapa detik selanjutnya, Ibu mencekik saya tanpa ampun sampai rasanya saya tidak lagi dapat bernapas. Saya seperti merasakan bahwa Tuhan akan membawa saya pada detik itu. Kata Ayah, jangan pernah meminta kata ampun ketika Ibu sedang seperti ini. Karena ia akan merasa puas dan ada keinginan untuk melakukan lebih. Jangan pula menangis, sebab Ibu benci air mata.

Saya suka dilakukan seperti ini, sebab air mata saya bisa berkumpul di pelupuk mata. Dan saya ... menangis.

“Andini!”

Pejaman mata saya terbuka dan mendapati Devanda sedang melebarkan mata, dengan segera menjauhkan tangan Ibu dari leher saya. Sedangkan saya terbatuk tanpa ada kata ampun.

“Kamu nggak apa-apa?” “Saya nggak apa-apa.”

Tatapan khawatir milik Devanda berpindah ke arah Ibu yang sedang menatap saya tajam. Bibirnya tidak berhenti mengucapkan sumpah serapah yang sudah jelas untuk saya.

“Tante, ini namanya kekerasan pada anak.” kata Devanda selembut mungkin. Dia menyisir rambutnya dengan jemari, “sudah berapa lama?”

Ibu justru tertawa. Tawa yang selama ini selalu saya lihat, “anak? Di bukan anak saya.”

“Tante, maaf—” “Dev, udah.” Entah kenapa tangan saya langsung terangkat untuk mengehentikan pergerakan Devanda yang ingin mendekat ke arah Ibu. Jemari pria itu sudah terkepal kuat sampai buku jarinya memutih. “Kamu ngapain di sini?”

Dia menatap saya setelah memastikan kalau Ibu sudah masuk ke dalam rumah. “Tadi saya dengar suara kegaduhan, makannya ke sini.”

Kegaduhan? Seingat saya tadi bahkan tidak ada suara sekecil apapun yang saya keluarkan ketika Ibu mulai mencekik leher.

“Oh, itu ... Tadi Ibu lagi nonton televisi.” kata saya sambil menunjuk ke arah televisi yang menyala di ruang tengah.

“Suaranya nggak sebesar itu, Andini.” katanya. Yang saya lihat, sorot matanya kian melembut. Persis seperti milik Pradipa yang hari ini justru saya rindukan.

Entah kenapa dan tidak tau ini bisa disebut dengan rindu atau tidak. Yang jelas, saya ingin lihat Pradipa.

“Dev, mau antarkan saya ke rumah sakit?”

Devanda kembali terlihat khawatir, ia memeriksa saya di bagian leher. “Sakit banget, Din?”

“Enggak, enggak.” Saya tertawa, menjauhkan tubuhnya dari hadapan saya. “Saya ... rindu Pradipa.”

Malam itu Devanda diam selama satu menit di depan pintu rumah, menatap saya dengan tatapan yang saya tidak mengerti apa artinya. Pada menit ke dua, ia tersenyum kaku. “Ayo, saya antar.”

“Saya izin Ibu dulu.” “Boleh?” “Izin-nya nggak menemui Pradi, tapi pergi makan sama kamu. Pasti boleh.”

Dia mengangguk setuju, lalu berjalan untuk duduk di kursi teras. Sedang saya berjalan menuju kamar Ibu, mengetuknya hati-hati. Namun yang didapat hanya suara isak tangis. Membuat jantung saya bergetar hebat untuk pertama kalinya karena saya dapat mendengar Ibu menangis. Rasanya ... sakit, tapi tetap—saya tidak dapat menangis.

“Bu, Andini nggak pernah minta dilahirkan ...”

Bumi seluas papan catur.

Devanda tersenyum ke arah saya setelah menekan knop pintu kamar Pradipa yang tadi diberi tau oleh pusat informasi. Langkah membawa saya untuk masuk ke dalam, mencari bilik yang diisi oleh Pradipa. Seketika kedua kurva saya terangkat penuh kala netra mendengar suara seseorang yang saya cari sedang berbincang—yang entah dengan siapa.

“Permisi, Pra—”

Mata saya membulat sempurna ketika mendapati seseorang yang sedang duduk sembari membantu Pradipa makan malam. Dia Renjana, pimpinan baru di perusahaan kami bekerja.

Pradipa menatap saya terkejut, sedangkan gadis di sampingnya tersenyum kaku.

Loh? Mas Devan?” suara itu keluar dari bibir indah milik Renjana.

Hal itu tentu membuat saya langsung menatap gadis itu dan Devanda bergantian, “kamu kenal, Dev?”

Devanda memalingkan wajah, “saya keluar dulu, cari angin.” katanya. Mata saya menatap punggung itu yang kian hilang karena tertutupnya pintu ruangan.

Eum ... Di, saya tunggu di depan—” “Nggak usah, Din. Saya aja yang keluar sekalian mau ngobrol sama Mas Devan.” potong Renjana sambil menyodorkan piring rumah sakit ke hadapan saya.

Jujur, saya bingung. Sebenarnya ada apa ini? Renjana tau Pradipa sedangkan ia belum pernah bertemu karena baru hari itu Renjana datang ke kantor sebagai pimpinan perusahaan, kan?

“Din?”

Saya terkesiap ketika Pradipa memegang pergelangan tangan saya, menatap netra penuh harap yang sebenarnya saya tidak tau apa keinginan pria itu. “Itu ... makan? Mau makan?”

Pradipa tertawa manis, tawa yang jujur saja akhir-akhir ini saya rindukan. Tawa yang sebenarnya punya arti paling besar di dunia setelah tawa milik Ayah.

“Saya habis makan. Kamu sudah?” Pradipa menarik saya untuk ikutan duduk di ranjangnya dengan senyum megah kepunyaan ia.

Saya mengangguk ragu karena sebenarnya saya belum makan malam. “Tadi saya ke rumahmu, Di. Duniamu baik-baik aja, katanya mau ke sini besok.”

Lengan kekar Pradipa membawa saya ke peluknya yang hangat, menghirup puncak kepala saya dalam-dalam sampai dada terasa sesak. Tubuhnya bergetar hebat yang saya tau kalau Pradipa sedang menangis pilu. Saya bukan tipikal gadis yang akan bertanya kenapa saat melihat beberapa orang menangis, sebab saya tau ... tidak semua air mata memiliki luka.

“Maaf.” bisik Pradipa yang masih mampu saya dengar.

Saya menengadah, mengelap air mata sialan itu yang membuat wajah Pradipa semakin pucat. “Kamu nggak punya salah sama saya, Di.”

“Din, ingat kata saya, ya? Semua manusia berhak merasakan sebuah rasa termasuk kamu.” katanya.

Saya tertawa, mengelus puncak kepalanya lembut. “Kamu bantu saya kan, Di?”

Pradipa diam, hanya tersenyum tapi tidak semegah dunia. Saya tidak tau apa artinya, tapi saya tau bahwa Pradipa sedang mengusahakan kalimat saya, keinginan saya.

“Di, rasa pertama yang ingin saya dapat adalah jatuh cinta. Katanya menyenangkan.”

Dia mengangguk setuju, “saya resign dari kantor, Din.”

Seketika saya menjauhkan daksanya, “kenapa?”

“Kamu tau kalau saya begitu mencintai kopi, kan? Saya mau buka kedai.”

Jantung saya hampir saja lepas karena menunggu jawaban itu. “Oh mau jadi pengusaha, nih?”

Dia tertawa, dan entah keberanian dari mana mengecup pipi saya sekilas. “Di!”

“Saya sayang sama kamu, Andini.”

Tapi mungkin malam itu saya tidak mendengar jeritan Pradipa dalam hati, memberi tau kalau ternyata Semesta tidak menyukai rasanya pada saya.

Luka tiap-tiap manusia.

Mata saya menyipit saat ada satu mobil berhenti tepat di hadapan dan membuka jendelanya. Sang pengendara tersenyum lebar, lalu melambaikan tangan ke arah saya. Berkali-kali saya memandang ia dan layar ponsel bergantian untuk memastikan kalau dia benar-benar Devanda, sebab sebelumnya kami belum pernah bertatap wajah secara langsung. Saya hanya mendengar tentangnya dari Ayah.

“Devanda, kan?”

Dia tertawa, kemudian membuka pintu mobil untuk saya. “Iya, Andini, ini saya. Kamu seperti naik taksi online aja.”

Setelahnya kami sama-sama diam, menatap ke arah jalanan yang kian berubah jadi senja. Saya menatap wajah langit yang sepertinya malam ini akan menangis lebat. Sedangkan jantung saya kini mulai berdetak hebat kala mengingat kejadian beberapa hari lalu. Dimana Pradipa meninggalkan saya untuk menyelamatkan dunianya untuk ke beberapa kali, sebelum wajahnya lebam parah.

Saya jadi ingat kata Ibunya Pradipa selama di rumah sakit kemarin, “Din, walau begitu Pra tidak pernah memukul Ayahnya. Ia hanya pasrah dibawah kukungan Ayahnya. Pra benar-benar sang penyelamat dunia.

Hari itu diakhiri dengan Ibunya Pradipa yang menangis tanpa henti. Sedang saya hanya diam sambil mengangguk sebab saya tidak bisa menangis.

“Dandelion?”

Beberapa menit lalu saya dan Devanda sampai di sebuah toko Bunga dan ia izin untuk keluar dan kembali membawa sebuket bunga Dandelion—bunga kesukaan saya—

“Mama suka Dandelion.”

dan ternyata Mama Devanda menyukai Dandelion.

Ia menarik napas, lalu mengembuskan-nya kasar. “Saya nggak tau artinya, tapi selama saya temani Mama sebelum kepergian-nya, Mama selalu minta dibawakan bunga ini.”

“Dev, Dandelion itu lambang kekuatan agar selalu bertahan dalam kondisi apapun.”

Seketika Devanda menginjak pedal rem yang membuat dahi saya langsung menabrak dashboard dengan segera.

“Andini, maaf!” pekik Devanda sambil mengusap pelan dahi saya dan meniupnya seperti ada luka bakar di sana.

Saya tertawa kecil, “Dev, saya nggak apa-apa. Ini nggak ada rasanya.”

Dia menarik tangan-nya kembali, kemudian menggaruk tengkuk yang sepertinya tidak gatal. Setelahnya terkekeh lugu sambil menatap buket di pangkuan-nya.

“Pantas aja Mama senang sekali kalau saya bawakan bunga ini.”

Setelah melihat senyum milik Devanda, rasanya aneh... jantung saya seperti dikelilingi kupu-kupu yang membuat saya ikut mengangkat kurva. Rasanya... aneh?

“Mama meninggal karena dianggap gila dan dimasuk-kan ke dalam rumah sakit jiwa sama Papa, Din.”

Dia menghela napas, tangan kirinya mengepal seolah menyalurkan emosi.

“Pinggirkan dulu mobilnya, Dev.” Jelas. Sebab kami nggak bisa melanjutkan perjalanan kalau pengemudinya sedang dilanda emosi.

Setelah menepikan mobil ke bahu jalan, Devanda mengubah posisi duduk agar sepenuhnya menghadap saya.

“Mama diselingkuhi, Andini...” Katanya sambil terisak. “Papa itu pengusaha terpandang se-Asia, Dini. Saat mama speak up tentang perselingkuhan di depan awak media saat keluar dari pengadilan .... Papa meminta reporter memutarbalik fakta bahwa Mama gila.”

“Semuanya resah kala itu, termasuk Mama dan saya.”

Saya diam, menatap Devanda yang sedang menangis pilu. Pertemuan hari pertama, diawali dengan kisah yang penuh dengan luka.

“Andini?” panggilnya. “Ya?” “Kamu percaya kalau Mama waras, kan?”

Luka tiap-tiap manusia.

Mata saya menyipit saat ada satu mobil berhenti tepat di hadapan dan membuka jendelanya. Sang pengendara tersenyum lebar, lalu melambaikan tangan ke arah saya. Berkali-kali saya memandang ia dan layar ponsel bergantian untuk memastikan kalau dia benar-benar Devanda, sebab sebelumnya kami belum pernah bertatap wajah secara langsung. Saya hanya mendengar tentangnya dari Ayah.

“Devanda, kan?”

Dia tertawa, kemudian membuka pintu mobil untuk saya. “Iya, Andini, ini saya. Kamu seperti naik taksi online aja.”

Setelahnya kami sama-sama diam, menatap ke arah jalanan yang kian berubah jadi senja. Saya menatap wajah langit yang sepertinya malam ini akan menangis lebat. Sedangkan jantung saya kini mulai berdetak hebat kala mengingat kejadian beberapa hari lalu. Dimana Pradipa meninggalkan saya untuk menyelamatkan dunianya untuk ke beberapa kali, sebelum wajahnya lebam parah.

Saya jadi ingat kata Ibunya Pradipa selama di rumah sakit kemarin, “Din, walau begitu Pra tidak pernah memukul Ayahnya. Ia hanya pasrah dibawah kukungan Ayahnya. Pra benar-benar sang penyelamat dunia.

Hari itu diakhiri dengan Ibunya Pradipa yang menangis tanpa henti. Sedang saya hanya diam sambil mengangguk sebab saya tidak bisa menangis.

“Dandelion?”

Beberapa menit lalu saya dan Devanda sampai di sebuah toko Bunga dan ia izin untuk keluar dan kembali membawa sebuket bunga Dandelion—bunga kesukaan saya—

“Mama suka Dandelion.”

dan ternyata Mama Devanda menyukai Dandelion.

Ia menarik napas, lalu mengembuskan-nya kasar. “Saya nggak tau artinya, tapi selama saya temani Mama sebelum kepergian-nya, Mama selalu minta dibawakan bunga ini.”

“Dev, Dandelion itu lambang kekuatan agar selalu bertahan dalam kondisi apapun.”

Seketika Devanda menginjak pedal rem yang membuat dahi saya langsung menabrak dashboard dengan segera.

“Andini, maaf!” pekik Devanda sambil mengusap pelan dahi saya dan meniupnya seperti ada luka bakar di sana.

Saya tertawa kecil, “Dev, saya nggak apa-apa. Ini nggak ada rasanya.”

Dia menarik tangan-nya kembali, kemudian menggaruk tengkuk yang sepertinya tidak gatal. Setelahnya terkekeh lugu sambil menatap buket di pangkuan-nya.

“Pantas aja Mama senang sekali kalau saya bawakan bunga ini.”

Setelah melihat senyum milik Devanda, rasanya aneh... jantung saya seperti dikelilingi kupu-kupu yang membuat saya ikut mengangkat kurva. Rasanya... aneh?

“Mama meninggal karena dianggap gila dan dimasuk-kan ke dalam rumah sakit jiwa sama Papa, Din.”

Dia menghela napas, tangan kirinya mengepal seolah menyalurkan emosi.

“Pinggirkan dulu mobilnya, Dev.” Jelas. Sebab kami nggak bisa melanjutkan perjalanan kalau pengemudinya sedang dilanda emosi.

Setelah menepikan mobil ke bahu jalan, Devanda mengubah posisi duduk agar sepenuhnya menghadap saya.

“Mama diselingkuhi, Andini...” Katanya sambil terisak. “Papa itu pengusaha terpandang se-Asia, Dini. Saat mama speak up tentang perselingkuhan di depan awak media saat keluar dari pengadilan .... Papa meminta reporter memutarbalik fakta bahwa Mama gila.”

“Semuanya resah kala itu, termasuk Mama dan saya.”

Saya diam, menatap Devanda yang sedang menangis pilu. Pertemuan hari pertama, diawali dengan kisah yang penuh dengan luka.

“Andini?” panggilnya. “Ya?” “Kamu percaya kalau Mama waras, kan?”