Kehilangan paling menyakitkan
Sore itu Pradipa benar-benar berdiri di depan pagar Perusahaan tempat saya bekerja. Iris kecokelatan-nya menyambut saya hangat, dia merentangkan tangan bersiap untuk memeluk. Namun sedetik setelah arah pandang berpindah ke arah mobil yang baru saja keluar dari parkiran, Pradipa langsung terdiam kaku.
“Di, ada apa?”
Pradipa menggeleng ragu, “nggak ada. Mau jalan sekarang?”
Saya bukan tipikal insan yang akan memaksa siapapun untuk bercerita tentang keresahan-nya. Tapi, untuk kali ini saya ingin tau sekali apa yang ada di benak Pradipa sehingga pria itu tidak lagi pernah mengeluarkan senyum semanis gula jawa.
“Saya rindu suasana Jogjakarta.” katanya.
Saya terkekeh, kemudian meletak-kan dagu saya di bahu kanan pria itu. Sebab Pradipa menarik tangan saya untuk melingkar indah di perutnya. Tidak apa, tolong seperti ini dulu barang sebentar.
“Memangnya kamu dari kemarin dimana, Di?” “Terperangkap.” “Terperangkap?”
Ia mengangguk kecil, menghentikan motor saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. “Di hati Andini.”
Bisa saja.
“Di, kemarin Ibumu hubungi saya. Katanya, saat saya meletak-kan sebuah rasa, saya juga harus tau kalau konsekuensinya adalah terluka.”
Saya tau kalau Pradipa menatap saya melalui spion kirinya, wajahnya tidak secerah hari-hari lain. “Iya?”
“Tapi kalau saya jatuh hati sama kamu, saya nggak akan terluka, kan, Di? Sebab kamu nggak akan membiarkan saya terluka, kan?”
Pradipa menghentikan motornya di depan sebuah kedai kopi langganan kami sejak satu tahun silam. Kedai kopi yang sepi namun memiliki cita rasa tinggi.
“Andini, dengar saya.” Pradipa mengulum bibirnya, dia menatap saya tepat pada netra. “Saat kamu meletak-kan sebuah rasa, tolong jangan pernah berharap apapun.”
“Tapi kamu mau bantu saya kan, Di?” “Andini ...” “Di, kalau saat ini saya bilang sayang sama kamu. Percaya?”
Dia terkekeh, kemudian membawa saya pada dekap yang menghangatkan. Namun sore itu saya tidak tau kalau ternyata Pradipa juga menyimpan sebuah luka yang katanya sulit sekali disembuhkan.
“Di, kamu nggak akan pernah ninggalin saya, kan?”
Pradipa mengangkat kurvanya megah, kemudian tangan-nya terangkat untuk mengacak rambut saya. “Saya nggak janji, tapi saya berusaha untuk itu, Andini.”
“Duduk.” Pradipa membawa saya untuk duduk di kursi kedai kopi, lalu kembali menatap saya sambil tersenyum. “Saya rindu.”
“Baru beberapa hari nggak ketemu, Di.”
Pradipa tertawa. Tawa yang selama ini saya tunggu-tunggu adalah tawa yang membuat saya ikut tersenyum karena-nya. Tanpa sadar, saya juga merasa nyaman bersama Pradipa. Perihal saya yang terlalu menggantungkan diri pada ia, itu benar adanya.
“Di, kamu tau kehilangan seperti apa yang paling menyakitkan?”
Dia menggeleng sambil menyeruput kopi yang baru saja diantar oleh salah satu pelayan pria. “Kematian?”
“Bukan, lah. Sebab semua orang pasti mati, Di. Tapi kehilangan yang paling menyakitkan adalah di saat kita melihat orang yang disayang bahagia.”
Dia menatap saya serius, “kamu tau bagaimana rasanya kehilangan, Din?”
“Sejauh ini biasa saja, Di. Saya kan nggak bisa merasakan sebuah rasa.”
Pradipa adalah pria yang saya bersumpah kalau berbicara dengan ia—pasti saya tidak mampu menatapnya lebih dari lima menit.
“Kalau saya yang hilang, bagaimana, Din?”