Luka tiap-tiap manusia.

Mata saya menyipit saat ada satu mobil berhenti tepat di hadapan dan membuka jendelanya. Sang pengendara tersenyum lebar, lalu melambaikan tangan ke arah saya. Berkali-kali saya memandang ia dan layar ponsel bergantian untuk memastikan kalau dia benar-benar Devanda, sebab sebelumnya kami belum pernah bertatap wajah secara langsung. Saya hanya mendengar tentangnya dari Ayah.

“Devanda, kan?”

Dia tertawa, kemudian membuka pintu mobil untuk saya. “Iya, Andini, ini saya. Kamu seperti naik taksi online aja.”

Setelahnya kami sama-sama diam, menatap ke arah jalanan yang kian berubah jadi senja. Saya menatap wajah langit yang sepertinya malam ini akan menangis lebat. Sedangkan jantung saya kini mulai berdetak hebat kala mengingat kejadian beberapa hari lalu. Dimana Pradipa meninggalkan saya untuk menyelamatkan dunianya untuk ke beberapa kali, sebelum wajahnya lebam parah.

Saya jadi ingat kata Ibunya Pradipa selama di rumah sakit kemarin, “Din, walau begitu Pra tidak pernah memukul Ayahnya. Ia hanya pasrah dibawah kukungan Ayahnya. Pra benar-benar sang penyelamat dunia.

Hari itu diakhiri dengan Ibunya Pradipa yang menangis tanpa henti. Sedang saya hanya diam sambil mengangguk sebab saya tidak bisa menangis.

“Dandelion?”

Beberapa menit lalu saya dan Devanda sampai di sebuah toko Bunga dan ia izin untuk keluar dan kembali membawa sebuket bunga Dandelion—bunga kesukaan saya—

“Mama suka Dandelion.”

dan ternyata Mama Devanda menyukai Dandelion.

Ia menarik napas, lalu mengembuskan-nya kasar. “Saya nggak tau artinya, tapi selama saya temani Mama sebelum kepergian-nya, Mama selalu minta dibawakan bunga ini.”

“Dev, Dandelion itu lambang kekuatan agar selalu bertahan dalam kondisi apapun.”

Seketika Devanda menginjak pedal rem yang membuat dahi saya langsung menabrak dashboard dengan segera.

“Andini, maaf!” pekik Devanda sambil mengusap pelan dahi saya dan meniupnya seperti ada luka bakar di sana.

Saya tertawa kecil, “Dev, saya nggak apa-apa. Ini nggak ada rasanya.”

Dia menarik tangan-nya kembali, kemudian menggaruk tengkuk yang sepertinya tidak gatal. Setelahnya terkekeh lugu sambil menatap buket di pangkuan-nya.

“Pantas aja Mama senang sekali kalau saya bawakan bunga ini.”

Setelah melihat senyum milik Devanda, rasanya aneh... jantung saya seperti dikelilingi kupu-kupu yang membuat saya ikut mengangkat kurva. Rasanya... aneh?

“Mama meninggal karena dianggap gila dan dimasuk-kan ke dalam rumah sakit jiwa sama Papa, Din.”

Dia menghela napas, tangan kirinya mengepal seolah menyalurkan emosi.

“Pinggirkan dulu mobilnya, Dev.” Jelas. Sebab kami nggak bisa melanjutkan perjalanan kalau pengemudinya sedang dilanda emosi.

Setelah menepikan mobil ke bahu jalan, Devanda mengubah posisi duduk agar sepenuhnya menghadap saya.

“Mama diselingkuhi, Andini...” Katanya sambil terisak. “Papa itu pengusaha terpandang se-Asia, Dini. Saat mama speak up tentang perselingkuhan di depan awak media saat keluar dari pengadilan .... Papa meminta reporter memutarbalik fakta bahwa Mama gila.”

“Semuanya resah kala itu, termasuk Mama dan saya.”

Saya diam, menatap Devanda yang sedang menangis pilu. Pertemuan hari pertama, diawali dengan kisah yang penuh dengan luka.

“Andini?” panggilnya. “Ya?” “Kamu percaya kalau Mama waras, kan?”