Sepasang iris penuh luka.
Saya menghela napas saat menekan knop pintu yang ternyata langsung dihadiahi tatapan selamat datang dari Ibu—yang kata orang-orang sangat menakutkan. Namun bagi saya, iris itu begitu lembut dan penuh dengan luka. Sebab tatapan kebencian begitu lekat di sana.
“Andini pulang.” kata saya.
Ibu berjalan sedikit cepat, membuat saya tidak perlu repot-repot untuk menghampiri. Tangan-nya terangkat untuk menyibak rambut saya, sehingga memperlihatkan leher. Kulit Ibu adalah sentuhan terlembut bagi saya.
Saya tau, apa yang akan saya dapat setelah ini. Itu sebabnya, saya memejam seolah menikmati hadiah dari Ibu.
Beberapa detik selanjutnya, Ibu mencekik saya tanpa ampun sampai rasanya saya tidak lagi dapat bernapas. Saya seperti merasakan bahwa Tuhan akan membawa saya pada detik itu. Kata Ayah, jangan pernah meminta kata ampun ketika Ibu sedang seperti ini. Karena ia akan merasa puas dan ada keinginan untuk melakukan lebih. Jangan pula menangis, sebab Ibu benci air mata.
Saya suka dilakukan seperti ini, sebab air mata saya bisa berkumpul di pelupuk mata. Dan saya ... menangis.
“Andini!”
Pejaman mata saya terbuka dan mendapati Devanda sedang melebarkan mata, dengan segera menjauhkan tangan Ibu dari leher saya. Sedangkan saya terbatuk tanpa ada kata ampun.
“Kamu nggak apa-apa?” “Saya nggak apa-apa.”
Tatapan khawatir milik Devanda berpindah ke arah Ibu yang sedang menatap saya tajam. Bibirnya tidak berhenti mengucapkan sumpah serapah yang sudah jelas untuk saya.
“Tante, ini namanya kekerasan pada anak.” kata Devanda selembut mungkin. Dia menyisir rambutnya dengan jemari, “sudah berapa lama?”
Ibu justru tertawa. Tawa yang selama ini selalu saya lihat, “anak? Di bukan anak saya.”
“Tante, maaf—” “Dev, udah.” Entah kenapa tangan saya langsung terangkat untuk mengehentikan pergerakan Devanda yang ingin mendekat ke arah Ibu. Jemari pria itu sudah terkepal kuat sampai buku jarinya memutih. “Kamu ngapain di sini?”
Dia menatap saya setelah memastikan kalau Ibu sudah masuk ke dalam rumah. “Tadi saya dengar suara kegaduhan, makannya ke sini.”
Kegaduhan? Seingat saya tadi bahkan tidak ada suara sekecil apapun yang saya keluarkan ketika Ibu mulai mencekik leher.
“Oh, itu ... Tadi Ibu lagi nonton televisi.” kata saya sambil menunjuk ke arah televisi yang menyala di ruang tengah.
“Suaranya nggak sebesar itu, Andini.” katanya. Yang saya lihat, sorot matanya kian melembut. Persis seperti milik Pradipa yang hari ini justru saya rindukan.
Entah kenapa dan tidak tau ini bisa disebut dengan rindu atau tidak. Yang jelas, saya ingin lihat Pradipa.
“Dev, mau antarkan saya ke rumah sakit?”
Devanda kembali terlihat khawatir, ia memeriksa saya di bagian leher. “Sakit banget, Din?”
“Enggak, enggak.” Saya tertawa, menjauhkan tubuhnya dari hadapan saya. “Saya ... rindu Pradipa.”
Malam itu Devanda diam selama satu menit di depan pintu rumah, menatap saya dengan tatapan yang saya tidak mengerti apa artinya. Pada menit ke dua, ia tersenyum kaku. “Ayo, saya antar.”
“Saya izin Ibu dulu.” “Boleh?” “Izin-nya nggak menemui Pradi, tapi pergi makan sama kamu. Pasti boleh.”
Dia mengangguk setuju, lalu berjalan untuk duduk di kursi teras. Sedang saya berjalan menuju kamar Ibu, mengetuknya hati-hati. Namun yang didapat hanya suara isak tangis. Membuat jantung saya bergetar hebat untuk pertama kalinya karena saya dapat mendengar Ibu menangis. Rasanya ... sakit, tapi tetap—saya tidak dapat menangis.
“Bu, Andini nggak pernah minta dilahirkan ...”