Bumi seluas papan catur.

Devanda tersenyum ke arah saya setelah menekan knop pintu kamar Pradipa yang tadi diberi tau oleh pusat informasi. Langkah membawa saya untuk masuk ke dalam, mencari bilik yang diisi oleh Pradipa. Seketika kedua kurva saya terangkat penuh kala netra mendengar suara seseorang yang saya cari sedang berbincang—yang entah dengan siapa.

“Permisi, Pra—”

Mata saya membulat sempurna ketika mendapati seseorang yang sedang duduk sembari membantu Pradipa makan malam. Dia Renjana, pimpinan baru di perusahaan kami bekerja.

Pradipa menatap saya terkejut, sedangkan gadis di sampingnya tersenyum kaku.

Loh? Mas Devan?” suara itu keluar dari bibir indah milik Renjana.

Hal itu tentu membuat saya langsung menatap gadis itu dan Devanda bergantian, “kamu kenal, Dev?”

Devanda memalingkan wajah, “saya keluar dulu, cari angin.” katanya. Mata saya menatap punggung itu yang kian hilang karena tertutupnya pintu ruangan.

Eum ... Di, saya tunggu di depan—” “Nggak usah, Din. Saya aja yang keluar sekalian mau ngobrol sama Mas Devan.” potong Renjana sambil menyodorkan piring rumah sakit ke hadapan saya.

Jujur, saya bingung. Sebenarnya ada apa ini? Renjana tau Pradipa sedangkan ia belum pernah bertemu karena baru hari itu Renjana datang ke kantor sebagai pimpinan perusahaan, kan?

“Din?”

Saya terkesiap ketika Pradipa memegang pergelangan tangan saya, menatap netra penuh harap yang sebenarnya saya tidak tau apa keinginan pria itu. “Itu ... makan? Mau makan?”

Pradipa tertawa manis, tawa yang jujur saja akhir-akhir ini saya rindukan. Tawa yang sebenarnya punya arti paling besar di dunia setelah tawa milik Ayah.

“Saya habis makan. Kamu sudah?” Pradipa menarik saya untuk ikutan duduk di ranjangnya dengan senyum megah kepunyaan ia.

Saya mengangguk ragu karena sebenarnya saya belum makan malam. “Tadi saya ke rumahmu, Di. Duniamu baik-baik aja, katanya mau ke sini besok.”

Lengan kekar Pradipa membawa saya ke peluknya yang hangat, menghirup puncak kepala saya dalam-dalam sampai dada terasa sesak. Tubuhnya bergetar hebat yang saya tau kalau Pradipa sedang menangis pilu. Saya bukan tipikal gadis yang akan bertanya kenapa saat melihat beberapa orang menangis, sebab saya tau ... tidak semua air mata memiliki luka.

“Maaf.” bisik Pradipa yang masih mampu saya dengar.

Saya menengadah, mengelap air mata sialan itu yang membuat wajah Pradipa semakin pucat. “Kamu nggak punya salah sama saya, Di.”

“Din, ingat kata saya, ya? Semua manusia berhak merasakan sebuah rasa termasuk kamu.” katanya.

Saya tertawa, mengelus puncak kepalanya lembut. “Kamu bantu saya kan, Di?”

Pradipa diam, hanya tersenyum tapi tidak semegah dunia. Saya tidak tau apa artinya, tapi saya tau bahwa Pradipa sedang mengusahakan kalimat saya, keinginan saya.

“Di, rasa pertama yang ingin saya dapat adalah jatuh cinta. Katanya menyenangkan.”

Dia mengangguk setuju, “saya resign dari kantor, Din.”

Seketika saya menjauhkan daksanya, “kenapa?”

“Kamu tau kalau saya begitu mencintai kopi, kan? Saya mau buka kedai.”

Jantung saya hampir saja lepas karena menunggu jawaban itu. “Oh mau jadi pengusaha, nih?”

Dia tertawa, dan entah keberanian dari mana mengecup pipi saya sekilas. “Di!”

“Saya sayang sama kamu, Andini.”

Tapi mungkin malam itu saya tidak mendengar jeritan Pradipa dalam hati, memberi tau kalau ternyata Semesta tidak menyukai rasanya pada saya.