TetehnyaaJisung

Sebuah pengkhianatan.

Yang pertama kali saya lihat pagi itu setelah membuka pintu rumah adalah daksa milik Devanda yang sedang bersandar di pagar. Pagi itu tidak begitu cerah, langit seolah tau keadaan hati saya. Jujur kalau melihat pekarangan rumah saya jadi teringat kejadian subuh tadi dan juga Pradipa.

“Din, gimana?” tanya Devanda yang saya tidak tau apa konteksnya. Kemudian pria bersurai pekat itu mengangkat kurvanya luas. “Tidurmu nyenyak?”

Tuas saya membawa daksa untuk mendekat ke arah Devanda yang kini sudah berdiri tegak. Kuasanya tergerak untuk memasuk-kan ponsel ke dalam saku. “Lumayan, tapi cuma sebentar.”

“Yaudah, mau langsung?”

Saya mengangguk kecil setelah kembali mengunci pagar. Tiba-tiba jemari kekar milik pria itu mengisi ruang kosong pada jemari kiri saya. Entah kenapa rasanya berbeda, karena saya bukan tipikal gadis yang mudah disentuh kecuali dengan Ayah dan Pradipa.

“Dev ...”

Netra kecokelatan itu menatap saya penuh keyakinan seolah menguatkan tentang apa yang akan terjadi di kemudian waktu. “Maaf saya nggak izin dulu. Karena saya tau kalau kamu nggak akan izinin.”

Saya juga tidak tau kenapa tiba-tiba mengangguk seolah tersihir dengan kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. Karena jujur saya suka sekali tipikal suara milik Devanda begitu menenangkan untuk jiwa saya.

Pria itu membawa saya masuk ke dalam rumah mewah yang beda beberapa saja dari milik Ayah. Rumah mewah yang katanya selama ini hanya diisi oleh empat orang anggota keluarga juga tiga asisten.

“Makanan kesukaanmu apa?” “Nasi padang.”

Dia terkekeh kecil, berjalan ke arah lemari untuk mengambil apron lalu membalut dirinya sendiri. “Hari ini masak nasi padang, okay?”

“Memang bisa?” “Kamu ngeremehin saya?” Alisnya terangkat sebelah, begitu juga sudut bibirnya.

“Cuma nanya.” jawab saya sembari melangkah untuk mendekat ke arahnya. “Saya mau bantu, boleh?”

Kedua sudut bibir Devanda terangkat, ia juga menghentikan pergerakan untuk mengambil sayuran di dalam benda persegi pintu empat—kulkas. “Ya saya ajak kamu ke sini untuk ajari kamu masak, Din.”

Senyuman itu berubah menjadi tawa yang penuh kehangatan. Entah bermula dari mana, saya seperti menyukai bagaimana cara Devanda dalam menyikapi segala hal. Padahal saya belum tau dengan jelas siapa pria ini. Pria yang saya yakin pandai sekali menarik hati banyak gadis. Tapi saya belum.

Jujur, setiap kata dalam bab kali ini ditulis oleh Puan sambil memikirkan senyuman manis milik sang Tuan. Sehingga menghasilkan kata, kalimat juga paragraf lembut penuh cinta.

“Sini, pakai apron dulu.” Dia membalut tubuh saya menggunakan apron berwarna cokelat tua, mengikatnya dengan apik di bagian belakang. “Pertama, hati-hati karena saya nggak mau kamu terluka. Jangan mendekat ke arah kompor karena panas dan jangan sentuh pisau. Mengerti?”

Devanda ini ... membingungkan, sungguh.

“Terus saya harus apa, Dev?”

Dia terkekeh (lagi), “harusnya kamu diam aja. Karena saya nggak masalah kalau harus punya isteri yang nggak pandai memasak.”

“Bahas itu lagi?” “Iya, enggak.” Devanda beralih untuk mencuci daun singkong kemudian merebusnya dan diberi satu bubuk yang entah saya tidak tau apa namanya. “Soda kue, biar daun singkongnya lebih cepat empuk”

Saya mengangguk kecil, kemudian berjalan ke arah meja untuk sekedar memainkan sendok karena dari tadi Devanda benar-benar tidak membiarkan saya untuk melakukan apa-apa. “Dev, kasih saya kerjaan dong.”

Netra itu menatap saya dalam, “cintai saya, bisa?”

Harusnya saya biasa saja, tapi entah kenapa sedari awal saya sangat tidak mau kalau bahas perihal perasaan. Bagi saya, Devanda terlalu jauh dan cepat. Saya bahkan masih menginginkan Pradipa dan berharap ini adalah mimpi buruk yang Semesta berikan.

Tapi nyatanya, harapan adalah sekedar harapan. Saya tidak pernah bisa bangun dari mimpi buruk ini dan faktanya adalah Ibu benar-benar melakukan hal menyakitkan ini dan Pradipa benar-benar meninggalkan saya.

Saya tidak pernah suka ditinggalkan.

Dan bagi saya, kepergian paling menyakitkan bukanlah kematian. Tapi kepergian paling menyakitkan adalah Pradipa.

“Andini?”

Suara berat itu membuat saya mengalihkan atensi, seluruhnya ke arah wajahnya yang sedang terkejut. Wajah yang akhir-akhir ini selalu saya rindukan. Daksanya yang selalu ingin saya rengkuh dan masuk ke dalam pelukan yang hangat. Telinga yang saya inginkan untuk mendengar segala keluh kesah, juga jemari yang saya harapkan mengisi ruang kosong milik saya.

“Pra, duduk. Saya sama Andini lagi masak nasi padang. Nanti dicoba, ya.” kata Devanda berusaha mengalihkan isi hati saya. “Renjana mana?”

Pradipa menunjuk ke arah satu ruangan di belakangnya, ruangan mewah milik ia juga istrinya.

Rasanya aneh, begitu canggung dan saya tidak menyukai hal ini.

“Din,” “Di,”

Kami bersamaan membuat Devanda merengkuh daksa saya, dengan cepat mengecup puncak kepala tanpa permisi.

“Dev ...?”

Dia berbisik di telinga kiri, “nanti saya jelaskan.”

“Din, rasa saya ke kamu masih utuh dan nggak akan pernah bisa berkurang.” ucap Pradipa tiba-tiba yang membuat jemari kiri Devanda mengepal keras.

“Kamu bicara seperti itu di rumah keluarga yang menyelamatkan kamu dan Ibumu, Pra?” Napasnya tersenggal, matanya juga memerah karena menahan sebuah emosi. “Saya memang nggak begitu menyukai Renjana juga Ibunya, tapi saya benci pengkhianatan.”

Sebuah pengkhianatan.

Yang pertama kali saya lihat pagi itu setelah membuka pintu rumah adalah daksa milik Devanda yang sedang bersandar di pagar. Pagi itu tidak begitu cerah, langit seolah tau keadaan hati saya. Jujur kalau melihat pekarangan rumah saya jadi teringat kejadian subuh tadi dan juga Pradipa.

“Din, gimana?” tanya Devanda yang saya tidak tau apa konteksnya. Kemudian pria bersurai pekat itu mengangkat kurvanya luas. “Tidurmu nyenyak?”

Tuas saya membawa daksa untuk mendekat ke arah Devanda yang kini sudah berdiri tegak. Kuasanya tergerak untuk memasuk-kan ponsel ke dalam saku. “Lumayan, tapi cuma sebentar.”

“Yaudah, mau langsung?”

Saya mengangguk kecil setelah kembali mengunci pagar. Tiba-tiba jemari kekar milik pria itu mengisi ruang kosong pada jemari kiri saya. Entah kenapa rasanya berbeda, karena saya bukan tipikal gadis yang mudah disentuh kecuali dengan Ayah dan Pradipa.

“Dev ...”

Netra kecokelatan itu menatap saya penuh keyakinan seolah menguatkan tentang apa yang akan terjadi di kemudian waktu. “Maaf saya nggak izin dulu. Karena saya tau kalau kamu nggak akan izinin.”

Saya juga tidak tau kenapa tiba-tiba mengangguk seolah tersihir dengan kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. Karena jujur saya suka sekali tipikal suara milik Devanda begitu menenangkan untuk jiwa saya.

Pria itu membawa saya masuk ke dalam rumah mewah yang beda beberapa saja dari milik Ayah. Rumah mewah yang katanya selama ini hanya diisi oleh empat orang anggota keluarga juga tiga asisten.

“Makanan kesukaanmu apa?” “Nasi padang.”

Dia terkekeh kecil, berjalan ke arah lemari untuk mengambil apron lalu membalut dirinya sendiri. “Hari ini masak nasi padang, okay?”

“Memang bisa?” “Kamu ngeremehin saya?” Alisnya terangkat sebelah, begitu juga sudut bibirnya.

“Cuma nanya.” jawab saya sembari melangkah untuk mendekat ke arahnya. “Saya mau bantu, boleh?”

Kedua sudut bibir Devanda terangkat, ia juga menghentikan pergerakan untuk mengambil sayuran di dalam benda persegi pintu empat—kulkas. “Ya saya ajak kamu ke sini untuk ajari kamu masak, Din.”

Senyuman itu berubah menjadi tawa yang penuh kehangatan. Entah bermula dari mana, saya seperti menyukai bagaimana cara Devanda dalam menyikapi segala hal. Padahal saya belum tau dengan jelas siapa pria ini. Pria yang saya yakin pandai sekali menarik hati banyak gadis. Tapi saya belum.

Jujur, setiap kata dalam bab kali ini ditulis oleh Puan sambil memikirkan senyuman manis milik sang Tuan. Sehingga menghasilkan kata, kalimat juga paragraf lembut penuh cinta.

“Sini, pakai apron dulu.” Dia membalut tubuh saya menggunakan apron berwarna cokelat tua, mengikatnya dengan apik di bagian belakang. “Pertama, hati-hati karena saya nggak mau kamu terluka. Jangan mendekat ke arah kompor karena panas dan jangan sentuh pisau. Mengerti?”

Devanda ini ... membingungkan, sungguh.

“Terus saya harus apa, Dev?”

Dia terkekeh (lagi), “harusnya kamu diam aja. Karena saya nggak masalah kalau harus punya isteri yang nggak pandai memasak.”

“Bahas itu lagi?” “Iya, enggak.” Devanda beralih untuk mencuci daun singkong kemudian merebusnya dan diberi satu bubuk yang entah saya tidak tau apa namanya. “Soda kue, biar daun singkongnya lebih cepat empuk”

Saya mengangguk kecil, kemudian berjalan ke arah meja untuk sekedar memainkan sendok karena dari tadi Devanda benar-benar tidak membiarkan saya untuk melakukan apa-apa. “Dev, kasih saya kerjaan dong.”

Netra itu menatap saya dalam, “cintai saya, bisa?”

Harusnya saya biasa saja, tapi entah kenapa sedari awal saya sangat tidak mau kalau bahas perihal perasaan. Bagi saya, Devanda terlalu jauh dan cepat. Saya bahkan masih menginginkan Pradipa dan berharap ini adalah mimpi buruk yang Semesta berikan.

Tapi nyatanya, harapan adalah sekedar harapan. Saya tidak pernah bisa bangun dari mimpi buruk ini dan faktanya adalah Ibu benar-benar melakukan hal menyakitkan ini dan Pradipa benar-benar meninggalkan saya.

Saya tidak pernah suka ditinggalkan.

Dan bagi saya, kepergian paling menyakitkan bukanlah kematian. Tapi kepergian paling menyakitkan adalah Pradipa.

“Andini?”

Suara berat itu membuat saya mengalihkan atensi, seluruhnya ke arah wajahnya yang sedang terkejut. Wajah yang akhir-akhir ini selalu saya rindukan. Daksanya yang selalu ingin saya rengkuh dan masuk ke dalam pelukan yang hangat. Telinga yang saya inginkan untuk mendengar segala keluh kesah, juga jemari yang saya harapkan mengisi ruang kosong milik saya.

“Pra, duduk. Saya sama Andini lagi masak nasi padang. Nanti dicoba, ya.” kata Devanda berusaha mengalihkan isi hati saya. “Renjana mana?”

Pradipa menunjuk ke arah satu ruangan di belakangnya, ruangan mewah milik ia juga istrinya.

Rasanya aneh, begitu canggung dan saya tidak menyukai hal ini.

“Din,” “Di,”

Kami bersamaan membuat Devanda merengkuh daksa saya, dengan cepat mengecup puncak kepala tanpa permisi.

“Dev ...?”

Dia berbisik di telinga kiri, “nanti saya jelaskan.”

“Din, rasa saya ke kamu masih utuh dan nggak akan pernah bisa berkurang.” ucap Pradipa tiba-tiba yang membuat jemari kiri Devanda mengepal keras.

“Kamu bicara seperti itu di rumah keluarga yang menyelamatkan kamu dan Ibumu, Pra?” Napasnya tersenggal, matanya juga memerah karena menahan sebuah emosi. “Saya memang nggak begitu menyukai Renjana juga Ibunya, tapi saya benci pengkhianatan.”

Sebuah pengkhianatan.

Yang pertama kali saya lihat pagi itu setelah membuka pintu rumah adalah daksa milik Devanda yang sedang bersandar di pagar. Pagi itu tidak begitu cerah, langit seolah tau keadaan hati saya. Jujur kalau melihat pekarangan rumah saya jadi teringat kejadian subuh tadi dan juga Pradipa.

“Din, gimana?” tanya Devanda yang saya tidak tau apa konteksnya. Kemudian pria bersurai pekat itu mengangkat kurvanya luas. “Tidurmu nyenyak?”

Tuas saya membawa daksa untuk mendekat ke arah Devanda yang kini sudah berdiri tegak. Kuasanya tergerak untuk memasuk-kan ponsel ke dalam saku. “Lumayan, tapi cuma sebentar.”

“Yaudah, mau langsung?”

Saya mengangguk kecil setelah kembali mengunci pagar. Tiba-tiba jemari kekar milik pria itu mengisi ruang kosong pada jemari kiri saya. Entah kenapa rasanya berbeda, karena saya bukan tipikal gadis yang mudah disentuh kecuali dengan Ayah dan Pradipa.

“Dev ...”

Netra kecokelatan itu menatap saya penuh keyakinan seolah menguatkan tentang apa yang akan terjadi di kemudian waktu. “Maaf saya nggak izin dulu. Karena saya tau kalau kamu nggak akan izinin.”

Saya juga tidak tau kenapa tiba-tiba mengangguk seolah tersihir dengan kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. Karena jujur saya suka sekali tipikal suara milik Devanda begitu menenangkan untuk jiwa saya.

Pria itu membawa saya masuk ke dalam rumah mewah yang beda beberapa saja dari milik Ayah. Rumah mewah yang katanya selama ini hanya diisi oleh empat orang anggota keluarga juga tiga asisten.

“Makanan kesukaanmu apa?” “Nasi padang.”

Dia terkekeh kecil, berjalan ke arah lemari untuk mengambil apron lalu membalut dirinya sendiri. “Hari ini masak nasi padang, okay?”

“Memang bisa?” “Kamu ngeremehin saya?” Alisnya terangkat sebelah, begitu juga sudut bibirnya.

“Cuma nanya.” jawab saya sembari melangkah untuk mendekat ke arahnya. “Saya mau bantu, boleh?”

Kedua sudut bibir Devanda terangkat, ia juga menghentikan pergerakan untuk mengambil sayuran di dalam benda persegi pintu empat—kulkas. “Ya saya ajak kamu ke sini untuk ajari kamu masak, Din.”

Senyuman itu berubah menjadi tawa yang penuh kehangatan. Entah bermula dari mana, saya seperti menyukai bagaimana cara Devanda dalam menyikapi segala hal. Padahal saya belum tau dengan jelas siapa pria ini. Pria yang saya yakin pandai sekali menarik hati banyak gadis. Tapi saya belum.

Jujur, setiap kata dalam bab kali ini ditulis oleh Puan sambil memikirkan senyuman manis milik sang Tuan. Sehingga menghasilkan kata, kalimat juga paragraf lembut penuh cinta.

“Sini, pakai apron dulu.” Dia membalut tubuh saya menggunakan apron berwarna cokelat tua, mengikatnya dengan apik di bagian belakang. “Pertama, hati-hati karena saya nggak mau kamu terluka. Jangan mendekat ke arah kompor karena panas dan jangan sentuh pisau. Mengerti?”

Devanda ini ... membingungkan, sungguh.

“Terus saya harus apa, Dev?”

Dia terkekeh (lagi), “harusnya kamu diam aja. Karena saya nggak masalah kalau harus punya isteri yang nggak pandai memasak.”

“Bahas itu lagi?” “Iya, enggak.” Devanda beralih untuk mencuci daun singkong kemudian merebusnya dan diberi satu bubuk yang entah saya tidak tau apa namanya. “Soda kue, biar daun singkongnya lebih cepat empuk”

Saya mengangguk kecil, kemudian berjalan ke arah meja untuk sekedar memainkan sendok karena dari tadi Devanda benar-benar tidak membiarkan saya untuk melakukan apa-apa. “Dev, kasih saya kerjaan dong.”

Netra itu menatap saya dalam, “cintai saya, bisa?”

Harusnya saya biasa saja, tapi entah kenapa sedari awal saya sangat tidak mau kalau bahas perihal perasaan. Bagi saya, Devanda terlalu jauh dan cepat. Saya bahkan masih menginginkan Pradipa dan berharap ini adalah mimpi buruk yang Semesta berikan.

Tapi nyatanya, harapan adalah sekedar harapan. Saya tidak pernah bisa bangun dari mimpi buruk ini dan faktanya adalah Ibu benar-benar melakukan hal menyakitkan ini dan Pradipa benar-benar meninggalkan saya.

Saya tidak pernah suka ditinggalkan.

Dan bagi saya, kepergian paling menyakitkan bukanlah kematian. Tapi kepergian paling menyakitkan adalah Pradipa.

“Andini?”

Suara berat itu membuat saya mengalihkan atensi, seluruhnya ke arah wajahnya yang sedang terkejut. Wajah yang akhir-akhir ini selalu saya rindukan. Daksanya yang selalu ingin saya rengkuh dan masuk ke dalam pelukan yang hangat. Telinga yang saya inginkan untuk mendengar segala keluh kesah, juga jemari yang saya harapkan mengisi ruang kosong milik saya.

“Pra, duduk. Saya sama Andini lagi masak nasi padang. Nanti dicoba, ya.” kata Devanda berusaha mengalihkan isi hati saya. “Renjana mana?”

Pradipa menunjuk ke arah satu ruangan di belakangnya, ruangan mewah milik ia juga istrinya.

Rasanya aneh, begitu canggung dan saya tidak menyukai hal ini.

“Din,” “Di,”

Kami bersamaan membuat Devanda merengkuh daksa saya, dengan cepat mengecup puncak kepala tanpa permisi.

“Dev ...?”

Dia berbisik di telinga kiri, “nanti saya jelaskan.”

“Din, rasa saya ke kamu masih utuh dan nggak akan pernah bisa berkurang.” ucap Pradipa tiba-tiba yang membuat jemari kiri Devanda mengepal keras.

“Kamu bicara seperti itu di rumah keluarga yang menyelamatkan kamu dan Ibumu, Pra?” Napasnya tersenggal, matanya juga memerah karena menahan sebuah emosi. “Saya memang nggak begitu menyukai Renjana juga Ibunya, tapi saya benci pengkhianatan.”

Manusia tidak berperasaan.

Setelah membaca pesan terakhir Pradipa, saya buru-buru berjalan ke arah jendela—untuk sekedar memastikan kalau ia berada di sana. Dan ternyata ia tidak sedang membual seperti sebelumnya. Pradipa benar-benar di sana, hanya saja dengan sebuah nikotin yang sesekali ia hisap?

Saya baru tau fakta yang satu ini. Pada akhirnya benar, saya bukanlah siapa-siapa dan tidak tau apapun tentang si gula jawa.

Perlahan saya membuka pintu rumah setelah membalut tubuh pakai jaket berwarna abu. Berjalan mengendap ke arah pintu agar ibu tidak terbangun dati mimpinya yang lebih indah dari pada kenyataan.

Daksa tegap yang sedang bersandar pada motor kesayangan-nya itu masih menatap ponsel, sama sekali tidak sadar akan kehadiran saya.

“Pra—”

“Pradi!”

Seorang perempuan berlari dari arah barah, menabrak-kan daksanya pada pria yang selalu saya rindukan. Yang saya lihat, netra perempuan itu bersinar bagai purnama di tengah malam.

Langkah saya terhenti di ujung pagar, menyaksikan pertunjukan yang seolah-olah disajikan dalam sebuah layar lebar. Mencintai Pradipa adalah sebuah luka kecil yang tidak kentara—namun selalu disiram pakai air jeruk yang rasanya tiada tara.

“Aku takut kehilangan kamu ...” kata perempuan itu.

Sedangkan si pria berusaha menjauhkan daksa keduanya, tersenyum sambil menatap perempuan-nya dalam. “Saya nggak akan ke mana-mana, Renjana.”

“Tapi kenapa kamu di sini? Ini—”

“Rumah Andini.” potong sekaligus jawab si gula jawa.

“Pra, Andini akan terus jadi kesayanganmu setelah Ibu, ya?”

Saya mendecih, mengalihkan pandang yang membuat saya kaget bukan kepalang. Karena pada akhirnya, saya dapat menangis karena menyaksikan sebuah pertunjukan tidak berskenario ini.

Dua kali saya menemukan diri sendiri menangis setelah kejadian beberapa tahun silam setelah merasa kalau dunia benar-benar tidak menginginkan saya.

“Renjana, dengar.” Pradipa menahan pundak perempuan itu, “Tidak ada yang pernah bisa menggantikan posisi An—”

“Kenapa masih di sini?”

Saya tidak lagi dapat mendengar suara tajam milik Pradipa ketika seseorang tiba dengan jaket biru kesukaan-nya. Dia Devanda dengan tatapan tidak suka. Rambutnya acak-acakan seperti orang yang baru saja bangun tidur.

“Saya mau temui Pradipa.”

Devanda mengalihkan pandangan ke arah Pradipa dan Renjana yang sama-sama saling mendekat, hendak menyatukan bibir satu sama lain. “Mau lihat orang bikin anak?”

“YA NGGAK BIKIN ANAK DI JALANAN NGGAK SIH, DEV?”

Manusia tidak berperasaan.

Setelah membaca pesan terakhir Pradipa, saya buru-buru berjalan ke arah jendela—untuk sekedar memastikan kalau ia berada di sana. Dan ternyata ia tidak sedang membual seperti sebelumnya. Pradipa benar-benar di sana, hanya saja dengan sebuah nikotin yang sesekali ia hisap?

Saya baru tau fakta yang satu ini. Pada akhirnya benar, saya bukanlah siapa-siapa dan tidak tau apapun tentang si gula jawa.

Perlahan saya membuka pintu rumah setelah membalut tubuh pakai jaket berwarna abu. Berjalan mengendap ke arah pintu agar ibu tidak terbangun dati mimpinya yang lebih indah dari pada kenyataan.

Daksa tegap yang sedang bersandar pada motor kesayangan-nya itu masih menatap ponsel, sama sekali tidak sadar akan kehadiran saya.

“Pra—”

“Pradi!”

Seorang perempuan berlari dari arah barah, menabrak-kan daksanya pada pria yang selalu saya rindukan. Yang saya lihat, netra perempuan itu bersinar bagai purnama di tengah malam.

Langkah saya terhenti di ujung pagar, menyaksikan pertunjukan yang seolah-olah disajikan dalam sebuah layar lebar. Mencintai Pradipa adalah sebuah luka kecil yang tidak kentara—namun selalu disiram pakai air jeruk yang rasanya tiada tara.

“Aku takut kehilangan kamu ...” kata perempuan itu.

Sedangkan si pria berusaha menjauhkan daksa keduanya, tersenyum sambil menatap perempuan-nya dalam. “Saya nggak akan ke mana-mana, Renjana.”

“Tapi kenapa kamu di sini? Ini—”

“Rumah Andini.” potong sekaligus jawab si gula jawa.

“Pra, Andini akan terus jadi kesayanganmu setelah Ibu, ya?”

Saya mendecih, mengalihkan pandang yang membuat saya kaget bukan kepalang. Karena pada akhirnya, saya dapat menangis karena menyaksikan sebuah pertunjukan tidak berskenario ini.

Dua kali saya menemukan diri sendiri menangis setelah kejadian beberapa tahun silam setelah merasa kalau dunia benar-benar tidak menginginkan saya.

“Renjana, dengar.” Pradipa menahan pundak perempuan itu, “Tidak ada yang pernah bisa menggantikan posisi An—”

“Kenapa masih di sini?”

Saya tidak lagi dapat mendengar suara tajam milik Pradipa ketika seseorang tiba dengan jaket biru kesukaan-nya. Dia Devanda dengan tatapan tidak suka. Rambutnya acak-acakan seperti orang yang baru saja bangun tidur.

“Saya mau temui Pradipa.”

Devanda mengalihkan pandangan ke arah Pradipa dan Renjana yang sama-sama saling mendekat, hendak menyatukan bibir satu sama lain. “Mau lihat orang bikin anak?”

“YA NGGAK BIKIN ANAK DI JALANAN NGGAK SIH, DEV?”

Manusia tidak berperasaan.

Setelah membaca pesan terakhir Pradipa, saya buru-buru berjalan ke arah jendela—untuk sekedar memastikan kalau ia berada di sana. Dan ternyata ia tidak sedang membual seperti sebelumnya. Pradipa benar-benar di sana, hanya saja dengan sebuah nikotin yang sesekali ia hisap?

Saya baru tau fakta yang satu ini. Pada akhirnya benar, saya bukanlah siapa-siapa dan tidak tau apapun tentang si gula jawa.

Perlahan saya membuka pintu rumah setelah membalut tubuh pakai jaket berwarna abu. Berjalan mengendap ke arah pintu agar ibu tidak terbangun dati mimpinya yang lebih indah dari pada kenyataan.

Daksa tegap yang sedang bersandar pada motor kesayangan-nya itu masih menatap ponsel, sama sekali tidak sadar akan kehadiran saya.

“Pra—”

“Pradi!”

Seorang perempuan berlari dari arah barah, menabrak-kan daksanya pada pria yang selalu saya rindukan. Yang saya lihat, netra perempuan itu bersinar bagai purnama di tengah malam.

Langkah saya terhenti di ujung pagar, menyaksikan pertunjukan yang seolah-olah disajikan dalam sebuah layar lebar. Mencintai Pradipa adalah sebuah luka kecil yang tidak kentara—namun selalu disiram pakai air jeruk yang rasanya tiada tara.

“Aku takut kehilangan kamu ...” kata perempuan itu.

Sedangkan si pria berusaha menjauhkan daksa keduanya, tersenyum sambil menatap perempuan-nya dalam. “Saya nggak akan ke mana-mana, Renjana.”

“Tapi kenapa kamu di sini? Ini—”

“Rumah Andini.” potong sekaligus jawab si gula jawa.

“Pra, Andini akan terus jadi kesayanganmu setelah Ibu, ya?”

Saya mendecih, mengalihkan pandang yang membuat saya kaget bukan kepalang. Karena pada akhirnya, saya dapat menangis karena menyaksikan sebuah pertunjukan tidak berskenario ini.

Dua kali saya menemukan diri sendiri menangis setelah kejadian beberapa tahun silam setelah merasa kalau dunia benar-benar tidak menginginkan saya.

“Renjana, dengar.” Pradipa menahan pundak perempuan itu, “Tidak ada yang pernah bisa menggantikan posisi An—”

“Kenapa masih di sini?”

Saya tidak lagi dapat mendengar suara tajam milik Pradipa ketika seseorang tiba dengan jaket biru kesukaan-nya. Dia Devanda dengan tatapan tidak suka. Rambutnya acak-acakan seperti orang yang baru saja bangun tidur.

“Saya mau temui Pradipa.”

Devanda mengalihkan pandangan ke arah Pradipa dan Renjana yang sama-sama saling mendekat, hendak menyatukan bibir satu sama lain. “Mau lihat orang bikin anak?”

“YA NGGAK BIKIN ANAK DI JALANAN NGGAK SIH, DEV?”

Lepas dari genggaman.

Seperti yang sudah diberitau sebelumnya, saya mengundurkan diri dari perusahaan. Bukan tidak profesional dalam sebuah pekerjaan, tapi tentang bagaimana rasanya setiap hari menatap kepergian. Karena yang saya dengar, Pradipa akan bekerja lagi sebagai CEO di sana. Lalu, apa tugas saya hanya untuk menyaksikan sepasang insan itu menjalankan Perusahaan?

Pradipa pembohong, dan itu faktanya.

Tapi untuk hal ini tidak seluruhnya salah ia, sebab saya juga yang memiliki rasa. Seharusnya, saat saya mempercayai Pradipa—saya tidak bisa membawa seluruh rasa untuknya. Sehingga tidak begitu menyakitkan seperti ini. Saya hampir lupa bahwa segalanya yang Semesta berikan itu seperti angin lembut tapi tidak mampu menghilangkan kebisingan di kepala. Seperti pasir yang bisa saja hilang dari genggaman sebab selalu punya jalan untuk pergi.

“Kamu kenapa resign?”

Saya mengalihkan pandang ke arah Devanda yang sedang memakan kacang. “Menurutmu?”

“Saya nggak tau, maka-nya saya tanya.” Dia menjawab santai.

Sore itu saya hanya tertawa kecil, kembali menatap pemandangan ke arah laut biru.

Tiga menit kemudian saya mendengar helaan napas dari bibir Devanda. Dia tidak mengalihkan netranya dari angkasa.

“Andini adalah sebuah rahasia.” katanya tiba-tiba yang saya tidak mengerti apa dari makna-nya.

“Rahasia?”

Dia mengangguk yakin. Kini arah pandangnya beralih ke arah saya, “Rahasia Semesta.”

“Kenapa begitu?” “Kamu terlalu sulit ditebak.”

Ah, hanya itu rupanya. Omong-omong saya dan Devanda sedang berada di pantai daerah Gunung Kidul. Pantai yang biasanya saya kunjungi bersama Pradipa.

“Dev, saya boleh tanya?”

Devan mengangguk kecil, “tanya aja.” Sepenuhnya menghadap ke arah saya.

“Kamu kenal Renjana?”

Kemudian ia langsung menoleh saya cepat, menatap tepat pada mata. “Anak dari Ibu sambung saya.”

“Renjana ... adikmu?” “Adik tiri.” koreksinya.

Dunia terasa seluas papan catur kalau jalan-nya seperti ini. Semua secara tiba-tiba dan terlalu mengejutkan membuat saya bingung bukan kepalang. Daya ingat saya mulai tertarik dari hal-hal yang berkaitan namun saya tidak dapat menyadarinya. Mulai dari lift di Perusahaan sampai dengan Renjana yang terlihat terkejut saat di rumah sakit malam itu.

“Memang kamu nggak sadar?” “Ya—?” Saya menatap ia penuh kebingungan. Berjuta tanya tidak dapat dikeluarkan karena lidah terasa kelu.

Devanda tertawa kecil, kembali memperhatikan matahari tenggelam di ufuk sana. “Pertemuan pertama kita itu bukan di depan rumahmu.”

“Saya nggak pernah lihat kamu sebelumnya?” “Pernah, tapi nggak sadar.” Ia kembali mengoreksi membuat saya kembali mengingat-ingat hal lama. “Satu tahun lalu saat Papa perkenalin Renjana di Perusahaan, Andini. Saya di belakang Papa—”

“Kamu ... putra Pak Arya yang nggak mau meneruskan Perusahaan itu?”

Dia mengangguk kecil, tangan kanan-nya beralih untuk mengambil cola yang sebelumnya kami beli di minimarket.

“Kenapa, Dev?” “Apanya?” “Nggak mau meneruskan Perusahaan.”

Devanda memejamkan mata, membiarkan semilir angin lembut itu menyapu seluruh wajahnya. “Saya banyak liburnya kalau kerja nanti.”

“Terus sekarang kamu kerja apa?” “Kenapa? Kamu nggak mau menikah sama pria yang tidak berpenghasilan, ya?”

Saya diam, mencerna kalimat Devanda yang terasa rumpang. Setiap kalimat yang keluar dari bibir tipis itu selalu saja membuat saya menguras pikiran untuk menemukan jawaban tepat. Devanda terlalu tinggi dan sulit dimengerti.

“Saya nggak sedang melamar kamu.”

Saya mengalihkan pandang.

“Saya bukan orang yang pandai memberikan sebuah harap, Andini. Saya mau semuanya berjalan sebagaimana Semesta mengaturnya.” lanjut Devanda, meneguk satu kaleng cola di tangan. “Saya nggak mau seperti matahari di ujung sana, bisa hilang kapan saja.”

“Terus maunya kaya apa?” “Langit Biru.” “Tapi langit nggak selamanya Biru.” “Tapi dia selamanya menutupi pilu.”

Lepas dari genggaman.

Seperti yang sudah diberitau sebelumnya, saya mengundurkan diri dari perusahaan. Bukan tidak profesional dalam sebuah pekerjaan, tapi tentang bagaimana rasanya setiap hari menatap kepergian. Karena yang saya dengar, Pradipa akan bekerja lagi sebagai CEO di sana. Lalu, apa tugas saya hanya untuk menyaksikan sepasang insan itu menjalankan Perusahaan?

Pradipa pembohong, dan itu faktanya.

Tapi untuk hal ini tidak seluruhnya salah ia, sebab saya juga yang memiliki rasa. Seharusnya, saat saya mempercayai Pradipa—saya tidak bisa membawa seluruh rasa untuknya. Sehingga tidak begitu menyakitkan seperti ini. Saya hampir lupa bahwa segalanya yang Semesta berikan itu seperti angin lembut tapi tidak mampu menghilangkan kebisingan di kepala. Seperti pasir yang bisa saja hilang dari genggaman sebab selalu punya jalan untuk pergi.

“Kamu kenapa resign?”

Saya mengalihkan pandang ke arah Devanda yang sedang memakan kacang. “Menurutmu?”

“Saya nggak tau, maka-nya saya tanya.” Dia menjawab santai.

Sore itu saya hanya tertawa kecil, kembali menatap pemandangan ke arah laut biru.

Tiga menit kemudian saya mendengar helaan napas dari bibir Devanda. Dia tidak mengalihkan netranya dari angkasa.

“Andini adalah sebuah rahasia.” katanya tiba-tiba yang saya tidak mengerti apa dari makna-nya.

“Rahasia?”

Dia mengangguk yakin. Kini arah pandangnya beralih ke arah saya, “Rahasia Semesta.”

“Kenapa begitu?” “Kamu terlalu sulit ditebak.”

Ah, hanya itu rupanya. Omong-omong saya dan Devanda sedang berada di pantai daerah Gunung Kidul. Pantai yang biasanya saya kunjungi bersama Pradipa.

“Dev, saya boleh tanya?”

Devan mengangguk kecil, “tanya aja.” Sepenuhnya menghadap ke arah saya.

“Kamu kenal Renjana?”

Kemudian ia langsung menoleh saya cepat, menatap tepat pada mata. “Anak dari Ibu sambung saya.”

“Renjana ... adikmu?” “Adik tiri.” koreksinya.

Dunia terasa seluas papan catur kalau jalan-nya seperti ini. Semua secara tiba-tiba dan terlalu mengejutkan membuat saya bingung bukan kepalang. Daya ingat saya mulai tertarik dari hal-hal yang berkaitan namun saya tidak dapat menyadarinya. Mulai dari lift di Perusahaan sampai dengan Renjana yang terlihat terkejut saat di rumah sakit malam itu.

“Memang kamu nggak sadar?” “Ya—?” Saya menatap ia penuh kebingungan. Berjuta tanya tidak dapat dikeluarkan karena lidah terasa kelu.

Devanda tertawa kecil, kembali memperhatikan matahari tenggelam di ufuk sana. “Pertemuan pertama kita itu bukan di depan rumahmu.”

“Saya nggak pernah lihat kamu sebelumnya?” “Pernah, tapi nggak sadar.” Ia kembali mengoreksi membuat saya kembali mengingat-ingat hal lama. “Satu tahun lalu saat Papa perkenalin Renjana di Perusahaan, Andini. Saya di belakang Papa—”

“Kamu ... putra Pak Arya yang nggak mau meneruskan Perusahaan itu?”

Dia mengangguk kecil, tangan kanan-nya beralih untuk mengambil cola yang sebelumnya kami beli di minimarket.

“Kenapa, Dev?” “Apanya?” “Nggak mau meneruskan Perusahaan.”

Devanda memejamkan mata, membiarkan semilir angin lembut itu menyapu seluruh wajahnya. “Saya banyak liburnya kalau kerja nanti.”

“Terus sekarang kamu kerja apa?” “Kenapa? Kamu nggak mau menikah sama pria yang tidak berpenghasilan, ya?”

Saya diam, mencerna kalimat Devanda yang terasa rumpang. Setiap kalimat yang keluar dari bibir tipis itu selalu saja membuat saya menguras pikiran untuk menemukan jawaban tepat. Devanda terlalu tinggi dan sulit dimengerti.

“Saya nggak sedang melamar kamu.”

Saya mengalihkan pandang.

“Saya bukan orang yang pandai memberikan sebuah harap, Andini. Saya mau semuanya berjalan sebagaimana Semesta mengaturnya.” lanjut Devanda, meneguk satu kaleng cola di tangan. “Saya nggak mau seperti matahari di ujung sana, bisa hilang kapan saja.”

“Terus maunya kaya apa?” “Langit Biru.” “Tapi langit nggak selamanya Biru.” “Tapi dia selamanya menutupi pilu.”

Lepas dari genggaman.

Seperti yang sudah diberitau sebelumnya, saya mengundurkan diri dari perusahaan. Bukan tidak profesional dalam sebuah pekerjaan, tapi tentang bagaimana rasanya setiap hari menatap kepergian. Karena yang saya dengar, Pradipa akan bekerja lagi sebagai CEO di sana. Lalu, apa tugas saya hanya untuk menyaksikan sepasang insan itu menjalankan Perusahaan?

Pradipa pembohong, dan itu faktanya.

Tapi untuk hal ini tidak seluruhnya salah ia, sebab saya juga yang memiliki rasa. Seharusnya, saat saya mempercayai Pradipa—saya tidak bisa membawa seluruh rasa untuknya. Sehingga tidak begitu menyakitkan seperti ini. Saya hampir lupa bahwa segalanya yang Semesta berikan itu seperti angin lembut tapi tidak mampu menghilangkan kebisingan di kepala. Seperti pasir yang bisa saja hilang dari genggaman sebab selalu punya jalan untuk pergi.

“Kamu kenapa resign?”

Saya mengalihkan pandang ke arah Devanda yang sedang memakan kacang. “Menurutmu?”

“Saya nggak tau, maka-nya saya tanya.” Dia menjawab santai.

Sore itu saya hanya tertawa kecil, kembali menatap pemandangan ke arah laut biru.

Tiga menit kemudian saya mendengar helaan napas dari bibir Devanda. Dia tidak mengalihkan netranya dari angkasa.

“Andini adalah sebuah rahasia.” katanya tiba-tiba yang saya tidak mengerti apa dari makna-nya.

“Rahasia?”

Dia mengangguk yakin. Kini arah pandangnya beralih ke arah saya, “Rahasia Semesta.”

“Kenapa begitu?” “Kamu terlalu sulit ditebak.”

Ah, hanya itu rupanya. Omong-omong saya dan Devanda sedang berada di pantai daerah Gunung Kidul. Pantai yang biasanya saya kunjungi bersama Pradipa.

“Dev, saya boleh tanya?”

Devan mengangguk kecil, “tanya aja.” Sepenuhnya menghadap ke arah saya.

“Kamu kenal Renjana?”

Kemudian ia langsung menoleh saya cepat, menatap tepat pada mata. “Anak dari Ibu sambung saya.”

“Renjana ... adikmu?” “Adik tiri.” koreksinya.

Dunia terasa seluas papan catur kalau jalan-nya seperti ini. Semua secara tiba-tiba dan terlalu mengejutkan membuat saya bingung bukan kepalang. Daya ingat saya mulai tertarik dari hal-hal yang berkaitan namun saya tidak dapat menyadarinya. Mulai dari lift di Perusahaan sampai dengan Renjana yang terlihat terkejut saat di rumah sakit malam itu.

“Memang kamu nggak sadar?” “Ya—?” Saya menatap ia penuh kebingungan. Berjuta tanya tidak dapat dikeluarkan karena lidah terasa kelu.

Devanda tertawa kecil, kembali memperhatikan matahari tenggelam di ufuk sana. “Pertemuan pertama kita itu bukan di depan rumahmu.”

“Saya nggak pernah lihat kamu sebelumnya?” “Pernah, tapi nggak sadar.” Ia kembali mengoreksi membuat saya kembali mengingat-ingat hal lama. “Satu tahun lalu saat Papa perkenalin Renjana di Perusahaan, Andini. Saya di belakang Papa—”

“Kamu ... putra Pak Arya yang nggak mau meneruskan Perusahaan itu?”

Dia mengangguk kecil, tangan kanan-nya beralih untuk mengambil cola yang sebelumnya kami beli di minimarket.

“Kenapa, Dev?” “Apanya?” “Nggak mau meneruskan Perusahaan.”

Devanda memejamkan mata, membiarkan semilir angin lembut itu menyapu seluruh wajahnya. “Saya banyak liburnya kalau kerja nanti.”

“Terus sekarang kamu kerja apa?” “Kenapa? Kamu nggak mau menikah sama pria yang tidak berpenghasilan, ya?”

Saya diam, mencerna kalimat Devanda yang terasa rumpang. Setiap kalimat yang keluar dari bibir tipis itu selalu saja membuat saya menguras pikiran untuk menemukan jawaban tepat. Devanda terlalu tinggi dan sulit dimengerti.

“Saya nggak sedang melamar kamu.”

Saya mengalihkan pandang.

“Saya bukan orang yang pandai memberikan sebuah harap, Andini. Saya mau semuanya berjalan sebagaimana Semesta mengaturnya.” lanjut Devanda, meneguk satu kaleng cola di tangan. “Saya nggak mau seperti matahari di ujung sana, bisa hilang kapan saja.”

“Terus maunya kaya apa?” “Langit Biru.” “Tapi langit nggak selamanya Biru.” “Tapi dia selamanya menutupi pilu.”

Lepas dari genggaman.

Seperti yang sudah diberitau sebelumnya, saya mengundurkan diri dari perusahaan. Bukan tidak profesional dalam sebuah pekerjaan, tapi tentang bagaimana rasanya setiap hari menatap kepergian. Karena yang saya dengar, Pradipa akan bekerja lagi sebagai CEO di sana. Lalu, apa tugas saya hanya untuk menyaksikan sepasang insan itu menjalankan Perusahaan?

Pradipa pembohong, dan itu faktanya.

Tapi untuk hal ini tidak seluruhnya salah ia, sebab saya juga yang memiliki rasa. Seharusnya, saat saya mempercayai Pradipa—saya tidak bisa membawa seluruh rasa untuknya. Sehingga tidak begitu menyakitkan seperti ini. Saya hampir lupa bahwa segalanya yang Semesta berikan itu seperti angin lembut tapi tidak mampu menghilangkan kebisingan di kepala. Seperti pasir yang bisa saja hilang dari genggaman sebab selalu punya jalan untuk pergi.

“Kamu kenapa resign?”

Saya mengalihkan pandang ke arah Devanda yang sedang memakan kacang. “Menurutmu?”

“Saya nggak tau, maka-nya saya tanya.” Dia menjawab santai.

Sore itu saya hanya tertawa kecil, kembali menatap pemandangan ke arah laut biru.

Tiga menit kemudian saya mendengar helaan napas dari bibir Devanda. Dia tidak mengalihkan netranya dari angkasa.

“Andini adalah sebuah rahasia.” katanya tiba-tiba yang saya tidak mengerti apa dari makna-nya.

“Rahasia?”

Dia mengangguk yakin. Kini arah pandangnya beralih ke arah saya, “Rahasia Semesta.”

“Kenapa begitu?” “Kamu terlalu sulit ditebak.”

Ah, hanya itu rupanya. Omong-omong saya dan Devanda sedang berada di pantai daerah Gunung Kidul. Pantai yang biasanya saya kunjungi bersama Pradipa.

“Dev, saya boleh tanya?”

Devan mengangguk kecil, “tanya aja.” Sepenuhnya menghadap ke arah saya.

“Kamu kenal Renjana?”

Kemudian ia langsung menoleh saya cepat, menatap tepat pada mata. “Anak dari Ibu sambung saya.”

“Renjana ... adikmu?” “Adik tiri.” koreksinya.

Dunia terasa seluas papan catur kalau jalan-nya seperti ini. Semua secara tiba-tiba dan terlalu mengejutkan membuat saya bingung bukan kepalang. Daya ingat saya mulai tertarik dari hal-hal yang berkaitan namun saya tidak dapat menyadarinya. Mulai dari lift di Perusahaan sampai dengan Renjana yang terlihat terkejut saat di rumah sakit malam itu.

“Memang kamu nggak sadar?” “Ya—?” Saya menatap ia penuh kebingungan. Berjuta tanya tidak dapat dikeluarkan karena lidah terasa kelu.

Devanda tertawa kecil, kembali memperhatikan matahari tenggelam di ufuk sana. “Pertemuan pertama kita itu bukan di depan rumahmu.”

“Saya nggak pernah lihat kamu sebelumnya?” “Pernah, tapi nggak sadar.” Ia kembali mengoreksi membuat saya kembali mengingat-ingat hal lama. “Satu tahun lalu saat Papa perkenalin Renjana di Perusahaan, Andini. Saya di belakang Papa—”

“Kamu ... putra Pak Arya yang nggak mau meneruskan Perusahaan itu?”

Dia mengangguk kecil, tangan kanan-nya beralih untuk mengambil cola yang sebelumnya kami beli di minimarket.

“Kenapa, Dev?” “Apanya?” “Nggak mau meneruskan Perusahaan.”

Devanda memejamkan mata, membiarkan semilir angin lembut itu menyapu seluruh wajahnya. “Saya banyak liburnya kalau kerja nanti.”

“Terus sekarang kamu kerja apa?” “Kenapa? Kamu nggak mau menikah sama pria yang tidak berpenghasilan, ya?”

Saya diam, mencerna kalimat Devanda yang terasa rumpang. Setiap kalimat yang keluar dari bibir tipis itu selalu saja membuat saya menguras pikiran untuk menemukan jawaban tepat. Devanda terlalu tinggi dan sulit dimengerti.

“Saya nggak sedang melamar kamu.”

Saya mengalihkan pandang.

“Saya bukan orang yang pandai memberikan sebuah harap, Andini. Saya mau semuanya berjalan sebagaimana Semesta mengaturnya.” lanjut Devanda, meneguk satu kaleng cola di tangan. “Saya nggak mau seperti matahari di ujung sana, bisa hilang kapan saja.”

“Terus maunya kaya apa?” “Langit Biru.” “Tapi langit nggak selamanya Biru.” “Tapi dia selamanya menutupi pilu.”