TetehnyaaJisung

Puzzle.

Sakya mengangkat kedua sudut bibir saat kendaraan beroda empat yang dikendarai oleh Aryasatya berhenti tepat di depan kediamannya. Tatapan Sakya beralih penuh ke arah pria yang tiga tahun yang lalu menjadi kekasihnya.

Hubungan mereka kandas karena saat itu Aryasatya izin untuk melanjutkan sekolah ke London. Dan saat itu, Sakya bukan perempuan yang mampu bertahan dalam satu hubungan jarak jauh. Alasan-nya satu, dekat aja ia bisa lupa kalau memiliki kekasih, apalagi jauh.

Thanks, Kak.”

Kini berganti, Aryasatya yang mengangkat kedua sudut bibirnya penuh. “Iya, sama-sama. Besok sekolah? Mau dijemput?”

Perempuan itu menggeleng, “Enggak perlu, Kak.”

Aryasatya tahu, sejak dulu Sakya memang tidak pernah memiliki rasa lebih untuk dirinya. Tapi entah kenapa, dua tahun hidup di London, Aryasatya justru tidak bisa melupakan Sakya. Menurutnya, Sakya itu berbeda.

“Masih suka karate?”

Sakya mengangguk.

“Masih suka mie rebus?” “Iya.” “Masih suka cokelat?” “Masih.” “Suka aku?”

Sakya diam dan menunduk yang membuat Aryasatya tertawa kecil. “Bercanda, Sa. Aku tahu, sampai kapanpun kamu enggak akan suka sama aku. Bahkan, alasan kamu minta putus waktu itu bukan karena kamu enggak bisa ldr, kan?”

“Kak, sorry ...” kata Sakya dengan suara kecil.

Aryasatya mengangguk, “Yaudah, sekarang kamu masuk.” Tatapan pria itu beralih ke arah pintu rumah bercat putih di hadapannya. “Itu udah ditungguin Sakha—? Sebentar, dia sama siapa? Itu bukan Nakula, kan?”

Mendengar pertanyaan itu, Sakya langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu rumah. Itu bukan Nakula, melainkan Gentala.

“Gentala?” “Siapa, Sa?”

Sakya kembali menoleh dengan bahu yang terangkat. Perlahan ia membuka pintu mobil, kemudian melambaikan tangan guna membuat Aryasatya segera pergi dari sana. “Hati-hati, Kak.”

“Iya.” jawab Aryasatya diiringi dengan kalimat sederhana dalam hatinya. “Aku bakalan hati-hati sampai rumah demi lihat kamu lagi besok.

Setelah memastikan mobil Aryasatya meninggalkan rumahnya, Sakya menghela napas. Kemudian perempuan itu berjalan, tertawa kecil di hadapan Sayakha juga Gebtala yang entah kenapa ada di sini.

“Temen lo, Sak?” Sakya menghentikan langkahnya saat di depan pintu, menatap Gentala yang juga menatapnya. “Ganteng juga.”

Setelah dua kata itu masuk ke dalam rungunya, Gentala langsung membuang muka. Ia benci dibilang tampan, entah dengan siapapun itu.

“Ayah nunggu lo di ruang keluarga.” kata Sayakha tanpa ada minat untuk menjawab pertanyaan Kakaknya tadi.

Sakya tahu kalau Ayahnya bukan seseorang yang mudah ingkar pada janjinya sendiri. Jadi tidak heran juga kalau Ayahnya menunggu sampai selarut ini padahal besok pasti ada setumpuk pekerjaan yang harus ia hadapi.

“Ayah,” panggil Sakya saat sampai di ruang keluarga, netranya tidak lepas dari pria paruh baya yang sedang memperhatikan ponselnya. “Sakya pulang.”

“Mau jadi apa kamu?” Kalimat tanya pertama yang keluar dari bibir Ayah ternyata mampu membuat air mata Sakya turun dari pelupuknya. Sebab Sakya juga bingung ingin jadi apa ia di masa depan.

Dari dulu, Sakya selalu diminta oleh Ayah dan Bunda untuk duduk di peringkat pertama. Berturut-turut Sakya selalu duduk di sana, peringkat satu. Tapi saat kelas lima sekolah dasar, tiba-tiba ia menjadi peringkat ke lima yang tidak bisa ikut dalam lomba cerdas cermat rutin diadakan setiap tahun oleh Yayasan sekolahnya. Di sana Ayah marah, marah sekali sampai Sakya dikurung seharian di dalam kamar mandi.

Dari dulu juga Sakya tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan sebuah kesalahan di rumah ini. Tidak pernah ada kata maklum untuk Sakya sebab Ayah selalu menghukumnya ketika ia melakukan sebuah kesalahan.

“Kamu lihat adikmu Sakha, selalu duduk di peringkat pertama, tidak ada nilai yang berada di bawah sembilan. Sebab Sakha selalu menuruti permintaan saya!” bentak Ayah yang membuat Sakya menunduk, takut.

“Sakya! Kamu dengar saya atau tidak?” Ayah membentak lagi, meninggikan intonasinya satu oktaf dari sebelumnya.

Sakya tidak menangis, ia hanya diam sambil menatap ujung sepatu conversenya. Sakya hanya bingung, kenapa ia tidak pernah bisa hidup untuk dirinya sendiri? Kenapa harus untuk Ayah? Kenapa harus untuk Bunda? Terakhir, kenapa harus seperti Sayakha?

Tangan Ayah terangkat, bersiap untuk kembali melukai putri pertamanya.

“Om,” Suara Gentala yang tiba-tiba datang itu memecah suasana. “Saya tahu ini lancang, tapi boleh saya bicara dengan Sakya?”

Api di netra Ayah kini padam sejak kedatangan Gentala. Pria paruh baya itu menghela, kemudian mengangguk dan pergi meninggalkan Sakya juga Gentala di ruang keluarga.

“Gue nginep di sini karena di rumah sepi.” kata Gentala sepeninggalan Ayah. Pria itu menghela, duduk sambil menatap Sakya yang masih menunduk.

Gentala tahu Sakya Rananta. Perempuan kuat yang sedari murid baru selalu masuk ke ruang konseling setiap minggunya. Kasusnya pasti ribut, terlambat atau paling parah mendorong Kakak kelas di tangga. Sebelumnya Gentala tidak pernah tahu kalau ada perempuan memiliki perilaku itu. Tapi setelah ia tahu ada Sakya Rananta di Bumi, ia menjadi ingin tahu tentang dunia perempuan itu—tentangnya yang berbeda.

Puzzle.

Sakya mengangkat kedua sudut bibir saat kendaraan beroda empat yang dikendarai oleh Aryasatya berhenti tepat di depan kediamannya. Tatapannya beralih penuh ke arah pria yang dua tiga tahun yang lalu menjadi kekasihnya.

Hubungan mereka kandas karena saat itu Aryasatya izin untuk melanjutkan sekolah ke London. Dan saat itu, Sakya bukan perempuan yang mampu bertahan dalam satu hubungan jarak jauh. Alasan-nya satu, dekat aja ia bisa lupa kalau memiliki kekasih, apalagi jauh.

Thanks, Kak.”

Kini berganti, Aryasatya yang mengangkat kedua sudut bibirnya penuh. “Iya, sama-sama. Besok sekolah? Mau dijemput?”

Perempuan itu menggeleng, “Enggak perlu, Kak.”

Aryasatya tahu, sejak dulu Sakya memang tidak pernah memiliki rasa lebih untuk dirinya. Tapi entah kenapa, dua tahun hidup di London, Aryasatya justru tidak bisa melupakan Sakya. Menurutnya, Sakya itu berbeda.

“Masih suka karate?”

Sakya mengangguk.

“Masih suka mie rebus?” “Iya.” “Masih suka cokelat?” “Masih.” “Suka aku?”

Sakya diam dan menunduk yang membuat Aryasatya tertawa kecil. “Bercanda, Sa. Aku tahu, sampai kapanpun kamu enggak akan suka sama aku. Bahkan, alasan kamu minta putus waktu itu bukan karena kamu enggak bisa ldr, kan?”

“Kak, sorry ...” kata Sakya dengan suara kecil.

Aryasatya mengangguk, “Yaudah, sekarang kamu masuk.” Tatapan pria itu beralih ke arah pintu rumah bercat putih di hadapannya. “Itu udah ditungguin Sakha—? Sebentar, dia sama siapa? Itu bukan Nakula, kan?”

Mendengar pertanyaan itu, Sakya langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu rumah. Itu bukan Nakula, melainkan Gentala.

“Gentala?” “Siapa, Sa?”

Sakya kembali menoleh dengan bahu yang terangkat. Perlahan ia membuka pintu mobil, kemudian melambaikan tangan guna membuat Aryasatya segera pergi dari sana. “Hati-hati, Kak.”

“Iya.” jawab Aryasatya diiringi dengan kalimat sederhana dalam hatinya. “Aku bakalan hati-hati sampai rumah demi lihat kamu lagi besok.

Setelah memastikan mobil Aryasatya meninggalkan rumahnya, Sakya menghela napas. Kemudian perempuan itu berjalan, tertawa kecil di hadapan Sayakha juga Gebtala yang entah kenapa ada di sini.

“Temen lo, Sak?” Sakya menghentikan langkahnya saat di depan pintu, menatap Gentala yang juga menatapnya. “Ganteng juga.”

Setelah dua kata itu masuk ke dalam rungunya, Gentala langsung membuang muka. Ia benci dibilang tampan, entah dengan siapapun itu.

“Ayah nunggu lo di ruang keluarga.” kata Sayakha tanpa ada minat untuk menjawab pertanyaan Kakaknya tadi.

Sakya tahu kalau Ayahnya bukan seseorang yang mudah ingkar pada janjinya sendiri. Jadi tidak heran juga kalau Ayahnya menunggu sampai selarut ini padahal besok pasti ada setumpuk pekerjaan yang harus ia hadapi.

“Ayah,” panggil Sakya saat sampai di ruang keluarga, netranya tidak lepas dari pria paruh baya yang sedang memperhatikan ponselnya. “Sakya pulang.”

“Mau jadi apa kamu?” Kalimat tanya pertama yang keluar dari bibir Ayah ternyata mampu membuat air mata Sakya turun dari pelupuknya. Sebab Sakya juga bingung ingin jadi apa ia di masa depan.

Dari dulu, Sakya selalu diminta oleh Ayah dan Bunda untuk duduk di peringkat pertama. Berturut-turut Sakya selalu duduk di sana, peringkat satu. Tapi saat kelas lima sekolah dasar, tiba-tiba ia menjadi peringkat ke lima yang tidak bisa ikut dalam lomba cerdas cermat rutin diadakan setiap tahun oleh Yayasan sekolahnya. Di sana Ayah marah, marah sekali sampai Sakya dikurung seharian di dalam kamar mandi.

Dari dulu juga Sakya tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan sebuah kesalahan di rumah ini. Tidak pernah ada kata maklum untuk Sakya sebab Ayah selalu menghukumnya ketika ia melakukan sebuah kesalahan.

“Kamu lihat adikmu Sakha, selalu duduk di peringkat pertama, tidak ada nilai yang berada di bawah sembilan. Sebab Sakha selalu menuruti permintaan saya!” bentak Ayah yang membuat Sakya menunduk, takut.

“Sakya! Kamu dengar saya atau tidak?” Ayah membentak lagi, meninggikan intonasinya satu oktaf dari sebelumnya.

Sakya tidak menangis, ia hanya diam sambil menatap ujung sepatu conversenya. Sakya hanya bingung, kenapa ia tidak pernah bisa hidup untuk dirinya sendiri? Kenapa harus untuk Ayah? Kenapa harus untuk Bunda? Terakhir, kenapa harus seperti Sayakha?

Tangan Ayah terangkat, bersiap untuk kembali melukai putri pertamanya.

“Om,” Suara Gentala yang tiba-tiba datang itu memecah suasana. “Saya tahu ini lancang, tapi boleh saya bicara dengan Sakya?”

Api di netra Ayah kini padam sejak kedatangan Gentala. Pria paruh baya itu menghela, kemudian mengangguk dan pergi meninggalkan Sakya juga Gentala di ruang keluarga.

“Gue nginep di sini karena di rumah sepi.” kata Gentala sepeninggalan Ayah. Pria itu menghela, duduk sambil menatap Sakya yang masih menunduk.

Gentala tahu Sakya Rananta. Perempuan kuat yang sedari murid baru selalu masuk ke ruang konseling setiap minggunya. Kasusnya pasti ribut, terlambat atau paling parah mendorong Kakak kelas di tangga. Sebelumnya Gentala tidak pernah tahu kalau ada perempuan memiliki perilaku itu. Tapi setelah ia tahu ada Sakya Rananta di Bumi, ia menjadi ingin tahu tentang dunia perempuan itu—tentangnya yang berbeda.

Aksara bersuara.

Bab 10.

Dia Aksara, pria yang kutemui satu tahun lalu.

Pria itu marah.

Pria berkaus putih itu mengepalkan tangan sampai buku jarinya memutih. Ia marah, pada dirinya sendiri. Ia marah saat membayangkan kalau wajah gadis yang sekarang berada di layar ponselnya itu tidak lagi bersama ia. Gadis itu sudah pergi—ah atau gadis itu sudah hilang saat ia pergi. Gadis itu tidak memilih untuk menunggu sebuah kepastian yang tidak bisa dipastikan.

Bukan, bukan karena gadis itu tidak setia—tapi karena ia tau diri, ia juga tau kalau bukan namanya lagi yang menjadi jawaban Pradipa suatu hari nanti.

“Pra, ayo antar Mas Devan dan Papa.” ajak perempuan dihadapannya yang sekarang sudah manis dengan gaun bergambar bunga.

“Saya nggak ikut.” jawab pria tadi—Pradipa, memakai jaket hitam juga topi putih yang satu tahun lalu diberikan oleh Andini ketika ia bertambah umur.

“Pra,” Renjana menahan pergelangan suaminya, menatap netra itu dalam. “Kenapa?”

Pradipa tidak bergeming saat Renjana bertanya, sebab ia juga tidak tau apa jawabannya. Tiba-tiba ia menghela pada detik kesepuluh, “Apanya?”

“Ada yang menganggu pikiranmu?” Lagi, Renjana tidak mau melepaskan pergelangan tangan Pradipa sebelum pria itu menjelaskan dengan pasti apa alasannya. “Kamu beda.”

“Saya nggak beda, Jana.”

Renjana menghela, pelan-pelan melepaskan pergelangan Pradipa—kemudian beralih untuk menggenggam jemari si pria manis itu. “Aku tau tentang perasaanmu ke Andini, Pra.”

Pradipa kembali diam tidak bergeming, ia juga tidak menolak genggaman manis dari Renjana.

“Aku tau bagaimana kuatnya perasaanmu untuk Andini, aku juga tau kalau diam-diam kamu mengikuti Andini di kegiatannya kan?” Renjana melukis sebuah senyum terpaksa, menatap netra Pradipa semakin dalam. “Maaf, ya? Maaf kalau aku nggak bisa lepasin kamu, Pradipa.”

Hati Pradipa hancur ketika kalimat itu masuk ke dalam rungunya. Pertanda bahwa Renjana memang sudah benar-benar meletakkan sebuah rasa untuk pria itu. Dan itu sebagai arti bahwa Pradipa memang tidak dikasih kesempatan oleh Semesta untuk kembali pada ia yang dulu.

“Renjana, jangan letakkan sebuah rasa untuk saya.”

Perempuan itu menggeleng, “Bukan lagi sebuah, Pra. Seluruh rasaku sempurna milik kamu. Seutuhnya.”

Hari ini Pradipa banyak diamnya, ia hanya menghela napas berkali-kali. Terlebih saat Ibu datang menghampiri dengan senyum selembut sutera.

“Kalian sudah siap untuk antar Mas Devan dan Papa?”

Renjana mengangguk, tidak begitu dengan Pradipa justru yang ingin sekali diselamatkan. Pradipa sungguh tidak ingin bertemu dengan Devanda—pria yang akan mengambil hati milik Andini. Tepatnya, pria yang akan membenahi patahan hati milik Andini. Menyusunnya seperti sedia kala.

Pada akhirnya, sekuat apapun usaha Pradipa, semuanya akan berakhir sia-sia. Karena seluruh rasa yang terlibat menyebabkan semuanya semakin rumit.

Daksa bermuara.

Kurva pria yang sebelumnya sedang bersandar di motornya itu terangkat setengah, kemudian meminta saya untuk mendekat. Aroma tubuhnya menyeruak masuk ke dalam indera penciuman, membuat kurva saya ikut melengkung seketika.

“Sudah makan?”

Saya menggeleng tanpa ragu, berusaha untuk jujur karena sebenarnya saya tidak memiliki napsu untuk menyantap makanan barang satu sendok.

“Pas sekali, saya mau ajak kamu ke toko kue.” katanya, menyodorkan pelindung kepala.

Saya melangkah untuk naik ke atas jok motornya, kemudian meletakkan jemari untuk meraih pinggangnya. “Dev, saya malu.”

Devanda diam saja, sibuk memfokuskan diri pada jalanan yang malam ini tampak lebih ramai ketimbang biasanya. Netra saya tidak pernah berhenti menyusuri setiap sudut kota, kota yang nantinya bisa jadi kenangan bagi saya. Kenangan tentang apa saja di kota yang sudah dua puluh tahun lebih saya tempati.

“Kamu mau kue apa? Hari ini saya turuti semua keinginanmu.” katanya, mencuri waktu kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Kuasa itu terangkat untuk menarik saya, maju dan memeluk punggung sempurnanya.

Di sini hangat, rasanya hampir mirip ketika saya selalu memeluk punggung Pradipa yang rasanya tidak pernah ada dua. Saya kembali mengingat hal itu, hal di mana semua hidup saya hanya dipenuhi oleh pria gula jawa.

“Apa saja, Dev.”

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, bersiap menjalankan motornya dan kembali menerobos angin malam. “Habis makan kue, mau ke mana?”

“Ke Ayah.”

Devanda bergeming cukup lama, sampai kita tiba di satu toko kue yang belum pernah saya masuki. Toko kue sederhana yang tertutup oleh beberapa pohonan, sehingga hampir tidak terlihat kalau di sana ada sebuah toko. Toko yang didesain dengan rapi dan cukup unik. Pasalnya, toko kue mana yang menyediakan ruang seperti perpustakaan?

“Selamat hari lahir, Andini.”

Setelah mengucapkan seribu keinginan dalam hati, kami menghabiskan waktu hanya untuk sekedar berceritera atau bahkan tertawa. Saya juga sampai lupa kalau ternyata Pradipa meninggalkan saya tepat di hari kelahiran. Berpikir tentang itu, apa sebaiknya saya tidak pernah lahir di dunia kalau pada akhirnya hanya ditinggalkan?

Setelahnya pria itu benar-benar mengantar saya ke rumah sakit untuk bertemu Ayah yang masih di dalam satu ruang kosong, sendirian. Hal yang paling menakutkan di dunia adalah sendirian.

“Setelah dari Ayah, apa yang mau kamu lakukan?”

Saya mengalihkan pandang, tidak lagi menatap indahnya kota dari rooftop Rumah sakit. “Saya mau dipeluk Ibu, Dev.”

Devanda langsung menghentikan pergerakannya, berjalan kemudian meraih daksa saya untuk disembunyikan dalam dadanya yang bidang. Seluruh aroma tubuhnya masuk ke dalam hidung. Saya diam saja kala daksanya bergetar, sampai rungu saya mendengar satu kalimat penuh sesal dari bibirnya.

“Saya nggak bisa mewujudkannya untuk yang satu itu, Andini. Maaf.” katanya yang membuat saya merasa menyesal adalah, Devanda sembari menangis kala mengungkap.

“Dev,” Saya menjauhkan daksanya, menatap netra basah itu dalam. “Makasih buat hari ini.”

Kekehan Devanda adalah satu hal yang tidak pernah terlewat semenjak kami saling mengenal. Kekehan lucu yang membuat siapa saja gemas kepada ia.

“Makasih udah mewujudkan keinginan saya beberapa tahun lalu. Jalan-jalan pakai seragam walau nggak bersama pacar, makan kue dan meniup lilin di hari kelahiran, ditambah dengan pelukan hangat.”

Dia mengangguk, “Saya mau kasih kabar buruk.”

“Bercanda.” Saya tertawa.

Dia mengerinyit, “Serius.”

“Ada apa?” Devanda benar-benar membuat saya takut.

“Besok saya berangkat ke Singapore.” “Lama?”

“Nggak tau,” jawabnya. “Itu sebabnya saya nggak mau janji untuk tetap berada sama kamu, Andini. Saya tau kalau saya akan tiba-tiba pergi walau bukan pergi dalam arti sesungguhnya.”

Daksa bermuara.

Kurva pria yang sebelumnya sedang bersandar di motornya itu terangkat setengah, kemudian meminta saya untuk mendekat. Aroma tubuhnya menyeruak masuk ke dalam indera penciuman, membuat kurva saya ikut melengkung seketika.

“Sudah makan?”

Saya menggeleng tanpa ragu, berusaha untuk jujur karena sebenarnya saya tidak memiliki napsu untuk menyantap makanan barang satu sendok.

“Pas sekali, saya mau ajak kamu ke toko kue.” katanya, menyodorkan pelindung kepala.

Saya melangkah untuk naik ke atas jok motornya, kemudian meletakkan jemari untuk meraih pinggangnya. “Dev, saya malu.”

Devanda diam saja, sibuk memfokuskan diri pada jalanan yang malam ini tampak lebih ramai ketimbang biasanya. Netra saya tidak pernah berhenti menyusuri setiap sudut kota, kota yang nantinya bisa jadi kenangan bagi saya. Kenangan tentang apa saja di kota yang sudah dua puluh tahun lebih saya tempati.

“Kamu mau kue apa? Hari ini saya turuti semua keinginanmu.” katanya, mencuri waktu kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Kuasa itu terangkat untuk menarik saya, maju dan memeluk punggung sempurnanya.

Di sini hangat, rasanya hampir mirip ketika saya selalu memeluk punggung Pradipa yang rasanya tidak pernah ada dua. Saya kembali mengingat hal itu, hal di mana semua hidup saya hanya dipenuhi oleh pria gula jawa.

“Apa saja, Dev.”

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, bersiap menjalankan motornya dan kembali menerobos angin malam. “Habis makan kue, mau ke mana?”

“Ke Ayah.”

Devanda bergeming cukup lama, sampai kita tiba di satu toko kue yang belum pernah saya masuki. Toko kue sederhana yang tertutup oleh beberapa pohonan, sehingga hampir tidak terlihat kalau di sana ada sebuah toko. Toko yang didesain dengan rapi dan cukup unik. Pasalnya, toko kue mana yang menyediakan ruang seperti perpustakaan?

“Selamat hari lahir, Andini.”

Setelah mengucapkan seribu keinginan dalam hati, kami menghabiskan waktu hanya untuk sekedar berceritera atau bahkan tertawa. Saya juga sampai lupa kalau ternyata Pradipa meninggalkan saya tepat di hari kelahiran. Berpikir tentang itu, apa sebaiknya saya tidak pernah lahir di dunia kalau pada akhirnya hanya ditinggalkan?

Setelahnya pria itu benar-benar mengantar saya ke rumah sakit untuk bertemu Ayah yang masih di dalam satu ruang kosong, sendirian. Hal yang paling menakutkan di dunia adalah sendirian.

“Setelah dari Ayah, apa yang mau kamu lakukan?”

Saya mengalihkan pandang, tidak lagi menatap indahnya kota dari rooftop Rumah sakit. “Saya mau dipeluk Ibu, Dev.”

Devanda langsung menghentikan pergerakannya, berjalan kemudian meraih daksa saya untuk disembunyikan dalam dadanya yang bidang. Seluruh aroma tubuhnya masuk ke dalam hidung. Saya diam saja kala daksanya bergetar, sampai rungu saya mendengar satu kalimat penuh sesal dari bibirnya.

“Saya nggak bisa mewujudkannya untuk yang satu itu, Andini. Maaf.” katanya yang membuat saya merasa menyesal adalah, Devanda sembari menangis kala mengungkap.

“Dev,” Saya menjauhkan daksanya, menatap netra basah itu dalam. “Makasih buat hari ini.”

Kekehan Devanda adalah satu hal yang tidak pernah terlewat semenjak kami saling mengenal. Kekehan lucu yang membuat siapa saja gemas kepada ia.

“Makasih udah mewujudkan keinginan saya beberapa tahun lalu. Jalan-jalan pakai seragam walau nggak bersama pacar, makan kue dan meniup lilin di hari kelahiran, ditambah dengan pelukan hangat.”

Dia mengangguk, “Saya mau kasih kabar buruk.”

“Bercanda.” Saya tertawa.

Dia mengerinyit, “Serius.”

“Ada apa?” Devanda benar-benar membuat saya takut.

“Besok saya berangkat ke Singapore.” “Lama?” “Nggak tau, tapi saya janji nggak akan lama.” katanya.

Jemari hangat milik Ayah.

“Andini, ayo turun. Mas Arya sama Mbak Helen sudah di depan.”

Saya menekan knop pintu perlahan, disambut dengan senyum manis milik Ayah. Senyum yang sumpah demi apapun terasa seperti teh manis yang hangat. Bolamata yang terang bagai purnama itu menyipit seketika saat melihat saya. “Anak Ayah belum mandi?”

“Belum, Yah. Andini mandi dulu, ya.” jawab saya, memasang wajah malas yang seharusnya Ayah mengerti. Tentang saya yang tidak pernah menginginkan sebuah perjodohan tidak masuk akal ini.

Harusnya semua ini bisa dikatakan balas dendam untuk Pradipa, tapi saya bukan manusia yang hidup dengan hati kotor seperti itu. Ah, kata lainnya adalah saya begitu pasrah, terkadang. Tapi entah kenapa, saya kukuh ingin menolak dengan apa yang sudah direncanakan.

“Malah melamun.” Ayah tertawa, menggerakkan kuasa saya pelan. “Ayo turun ke bawah, nggak apa-apa belum mandi. Yang penting cantik.”

Ayah memang separuh dari diri saya, perlakuan lembut yang berbanding terbalik dengan Ibu. Tapi tiba-tiba, Ayah menghentikan langkah saat di anak tangga. Kuasa yang sebelumnya menggenggam jemari saya kini berpindah tugas untuk meremat dadanya sendiri. Napas Ayah tersenggal dan pelan-pelan daksa itu terguling sampai anak tangga terakhir.

“Ayah!”

Itu suara Ibu, matanya menatap saya tajam—kemudian kembali beralih kepada Ayah dan berusaha menepuk pipi pria itu perlahan. Suara langkah kaki berbondong memasuki ruang tengah, itu milik Mas Arya juga Mbak Helen yang menatap saya kebingungan.

“Andini, Ayah kenapa?” tanya Mbak Helen setelah meminta suaminya untuk membawa Ayah masuk ke dalam mobil.

Saya menggeleng, dan rasanya aneh. Kenapa juga saya diam tidak bergeming bagaikan patung di saat Ayah justru sudah terbaring lemah di bawah sana? Andini bodoh.

“Andini ... nggak tau, Mbak. Sumpah demi apapun Andini nggak tau.”

Kuasa perempuan yang paling saya sayang di rumah ini terangkat, menampar saya satu kali. “Kalau Ayah sampai kenapa-napa, kamu berarti pembunuh.”

Mundur beberapa langkah, sampai akhirnya Mbak Helen menarik tangan saya untuk ikut membawa Ayah ke rumah sakit. Suasananya begitu mencekam terlebih suara Ibu yang menangis punya getaran tersendiri bagi saya.

“Ibu ...” “Diam.” Jemari telunjuk Ibu terangkat, menuding saya penuh amarah. “Kamu punya dendam apa sama keluarga saya sampai harus dorong suami saya?”

Saya diam bukan karena saya merasa bahwa saya yang mendorong Ayah, tapi saya diam karena saya tidak mau melihat Ibu lebih marah. Saya memang tidak memiliki sebuah perasaan, tapi saya memiliki hati.

“Dok, tolong selamatkan Ayah saya.” Mbak Helen meminta pada seorang pria yang tubuhnya dibalut dengan jas berwarn putih.

Sedangkan saya hanya diam, duduk di sebelah Mas Arya dengan kebingungan. Rasanya aneh, padahal Ayah terlihat baik-baik saja tadi. Senyumnya juga terlihat tidak mau luntur saat jemarinya menggenggam tangan saya.

“Saya nggak pernah mau maafin kamu, Andini.” teriak Ibu, membuat seluruh pasang mata di koridor memperhatikan kami. Dan saya benci menjadi pusat perhatian.

“Bu, kita harus tau penjelasan Andini dulu. Jangan asal bicara seperti ini.” bela Mas Arya sambil berdiri, berusaha menjauhkan daksa Ibu dari hadapan saya.

Saya kehabisan kata untuk memberi sebuah penjelasan, saya hanya merasa takut kalau nanti ternyata Dokter tidak lagi bisa menyelamatkan Ayah. Saya takut kalau tidak ada lagi seseorang yang menjadi alasan saya untuk bertahan di atas segalanya.

Hidup saya terdengar begitu menyedihkan, tapi Ayah seperti penghapus di atas coretan pensil.

“Andini ke toilet dulu.” pamit saya, berjalan ke arah luar untuk sekedar mencari udara segar. Saya ingin menangis ... tapi rasanya hanya sesak dan itu seperti membunuh.

Langkah saya terhenti saat melihat seseorang yang baru saja keluar dari ruangan bersamaan dengan seorang Dokter. Dari tubuhnya, saya seperti mengenal ia—terlebih saat ia mengarahkan wajahnya ke samping.

“Terima kasih, Dok.” katanya.

Dan sesuai dengan dugaan, pria itu adalah seseorang yang saya kenal. Ia langsung pergi entah kemana saat Dokternya kembali masuk ke dalam ruangan. Langkah saya berjalan mengikuti setelah akhirnya membaca tulisan di pintu ruangan Dokter tadi.

“Spesialis Onkologi?” Mata saya berkedip beberapa saat, “Devanda? Onkologi bukannya kanker?”

Sebuah pengkhianatan.

Yang pertama kali saya lihat pagi itu setelah membuka pintu rumah adalah daksa milik Devanda yang sedang bersandar di pagar. Pagi itu tidak begitu cerah, langit seolah tau keadaan hati saya. Jujur kalau melihat pekarangan rumah saya jadi teringat kejadian subuh tadi dan juga Pradipa.

“Din, gimana?” tanya Devanda yang saya tidak tau apa konteksnya. Kemudian pria bersurai pekat itu mengangkat kurvanya luas. “Tidurmu nyenyak?”

Tuas saya membawa daksa untuk mendekat ke arah Devanda yang kini sudah berdiri tegak. Kuasanya tergerak untuk memasuk-kan ponsel ke dalam saku. “Lumayan, tapi cuma sebentar.”

“Yaudah, mau langsung?”

Saya mengangguk kecil setelah kembali mengunci pagar. Tiba-tiba jemari kekar milik pria itu mengisi ruang kosong pada jemari kiri saya. Entah kenapa rasanya berbeda, karena saya bukan tipikal gadis yang mudah disentuh kecuali dengan Ayah dan Pradipa.

“Dev ...”

Netra kecokelatan itu menatap saya penuh keyakinan seolah menguatkan tentang apa yang akan terjadi di kemudian waktu. “Maaf saya nggak izin dulu. Karena saya tau kalau kamu nggak akan izinin.”

Saya juga tidak tau kenapa tiba-tiba mengangguk seolah tersihir dengan kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. Karena jujur saya suka sekali tipikal suara milik Devanda begitu menenangkan untuk jiwa saya.

Pria itu membawa saya masuk ke dalam rumah mewah yang beda beberapa saja dari milik Ayah. Rumah mewah yang katanya selama ini hanya diisi oleh empat orang anggota keluarga juga tiga asisten.

“Makanan kesukaanmu apa?” “Nasi padang.”

Dia terkekeh kecil, berjalan ke arah lemari untuk mengambil apron lalu membalut dirinya sendiri. “Hari ini masak nasi padang, okay?”

“Memang bisa?” “Kamu ngeremehin saya?” Alisnya terangkat sebelah, begitu juga sudut bibirnya.

“Cuma nanya.” jawab saya sembari melangkah untuk mendekat ke arahnya. “Saya mau bantu, boleh?”

Kedua sudut bibir Devanda terangkat, ia juga menghentikan pergerakan untuk mengambil sayuran di dalam benda persegi pintu empat—kulkas. “Ya saya ajak kamu ke sini untuk ajari kamu masak, Din.”

Senyuman itu berubah menjadi tawa yang penuh kehangatan. Entah bermula dari mana, saya seperti menyukai bagaimana cara Devanda dalam menyikapi segala hal. Padahal saya belum tau dengan jelas siapa pria ini. Pria yang saya yakin pandai sekali menarik hati banyak gadis. Tapi saya belum.

Jujur, setiap kata dalam bab kali ini ditulis oleh Puan sambil memikirkan senyuman manis milik sang Tuan. Sehingga menghasilkan kata, kalimat juga paragraf lembut penuh cinta.

“Sini, pakai apron dulu.” Dia membalut tubuh saya menggunakan apron berwarna cokelat tua, mengikatnya dengan apik di bagian belakang. “Pertama, hati-hati karena saya nggak mau kamu terluka. Jangan mendekat ke arah kompor karena panas dan jangan sentuh pisau. Mengerti?”

Devanda ini ... membingungkan, sungguh.

“Terus saya harus apa, Dev?”

Dia terkekeh (lagi), “harusnya kamu diam aja. Karena saya nggak masalah kalau harus punya isteri yang nggak pandai memasak.”

“Bahas itu lagi?” “Iya, enggak.” Devanda beralih untuk mencuci daun singkong kemudian merebusnya dan diberi satu bubuk yang entah saya tidak tau apa namanya. “Soda kue, biar daun singkongnya lebih cepat empuk”

Saya mengangguk kecil, kemudian berjalan ke arah meja untuk sekedar memainkan sendok karena dari tadi Devanda benar-benar tidak membiarkan saya untuk melakukan apa-apa. “Dev, kasih saya kerjaan dong.”

Netra itu menatap saya dalam, “cintai saya, bisa?”

Harusnya saya biasa saja, tapi entah kenapa sedari awal saya sangat tidak mau kalau bahas perihal perasaan. Bagi saya, Devanda terlalu jauh dan cepat. Saya bahkan masih menginginkan Pradipa dan berharap ini adalah mimpi buruk yang Semesta berikan.

Tapi nyatanya, harapan adalah sekedar harapan. Saya tidak pernah bisa bangun dari mimpi buruk ini dan faktanya adalah Ibu benar-benar melakukan hal menyakitkan ini dan Pradipa benar-benar meninggalkan saya.

Saya tidak pernah suka ditinggalkan.

Dan bagi saya, kepergian paling menyakitkan bukanlah kematian. Tapi kepergian paling menyakitkan adalah Pradipa.

“Andini?”

Suara berat itu membuat saya mengalihkan atensi, seluruhnya ke arah wajahnya yang sedang terkejut. Wajah yang akhir-akhir ini selalu saya rindukan. Daksanya yang selalu ingin saya rengkuh dan masuk ke dalam pelukan yang hangat. Telinga yang saya inginkan untuk mendengar segala keluh kesah, juga jemari yang saya harapkan mengisi ruang kosong milik saya.

“Pra, duduk. Saya sama Andini lagi masak nasi padang. Nanti dicoba, ya.” kata Devanda berusaha mengalihkan isi hati saya. “Renjana mana?”

Pradipa menunjuk ke arah satu ruangan di belakangnya, ruangan mewah milik ia juga istrinya.

Rasanya aneh, begitu canggung dan saya tidak menyukai hal ini.

“Din,” “Di,”

Kami bersamaan membuat Devanda merengkuh daksa saya, dengan cepat mengecup puncak kepala tanpa permisi.

“Dev ...?”

Dia berbisik di telinga kiri, “nanti saya jelaskan.”

“Din, rasa saya ke kamu masih utuh dan nggak akan pernah bisa berkurang.” ucap Pradipa tiba-tiba yang membuat jemari kiri Devanda mengepal keras.

“Kamu bicara seperti itu di rumah keluarga yang menyelamatkan kamu dan Ibumu, Pra?” Napasnya tersenggal, matanya juga memerah karena menahan sebuah emosi. “Saya memang nggak begitu menyukai Renjana juga Ibunya, tapi saya benci pengkhianatan.”

##Sebuah pengkhianatan.

Yang pertama kali saya lihat pagi itu setelah membuka pintu rumah adalah daksa milik Devanda yang sedang bersandar di pagar. Pagi itu tidak begitu cerah, langit seolah tau keadaan hati saya. Jujur kalau melihat pekarangan rumah saya jadi teringat kejadian subuh tadi dan juga Pradipa.

“Din, gimana?” tanya Devanda yang saya tidak tau apa konteksnya. Kemudian pria bersurai pekat itu mengangkat kurvanya luas. “Tidurmu nyenyak?”

Tuas saya membawa daksa untuk mendekat ke arah Devanda yang kini sudah berdiri tegak. Kuasanya tergerak untuk memasuk-kan ponsel ke dalam saku. “Lumayan, tapi cuma sebentar.”

“Yaudah, mau langsung?”

Saya mengangguk kecil setelah kembali mengunci pagar. Tiba-tiba jemari kekar milik pria itu mengisi ruang kosong pada jemari kiri saya. Entah kenapa rasanya berbeda, karena saya bukan tipikal gadis yang mudah disentuh kecuali dengan Ayah dan Pradipa.

“Dev ...”

Netra kecokelatan itu menatap saya penuh keyakinan seolah menguatkan tentang apa yang akan terjadi di kemudian waktu. “Maaf saya nggak izin dulu. Karena saya tau kalau kamu nggak akan izinin.”

Saya juga tidak tau kenapa tiba-tiba mengangguk seolah tersihir dengan kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. Karena jujur saya suka sekali tipikal suara milik Devanda begitu menenangkan untuk jiwa saya.

Pria itu membawa saya masuk ke dalam rumah mewah yang beda beberapa saja dari milik Ayah. Rumah mewah yang katanya selama ini hanya diisi oleh empat orang anggota keluarga juga tiga asisten.

“Makanan kesukaanmu apa?” “Nasi padang.”

Dia terkekeh kecil, berjalan ke arah lemari untuk mengambil apron lalu membalut dirinya sendiri. “Hari ini masak nasi padang, okay?”

“Memang bisa?” “Kamu ngeremehin saya?” Alisnya terangkat sebelah, begitu juga sudut bibirnya.

“Cuma nanya.” jawab saya sembari melangkah untuk mendekat ke arahnya. “Saya mau bantu, boleh?”

Kedua sudut bibir Devanda terangkat, ia juga menghentikan pergerakan untuk mengambil sayuran di dalam benda persegi pintu empat—kulkas. “Ya saya ajak kamu ke sini untuk ajari kamu masak, Din.”

Senyuman itu berubah menjadi tawa yang penuh kehangatan. Entah bermula dari mana, saya seperti menyukai bagaimana cara Devanda dalam menyikapi segala hal. Padahal saya belum tau dengan jelas siapa pria ini. Pria yang saya yakin pandai sekali menarik hati banyak gadis. Tapi saya belum.

Jujur, setiap kata dalam bab kali ini ditulis oleh Puan sambil memikirkan senyuman manis milik sang Tuan. Sehingga menghasilkan kata, kalimat juga paragraf lembut penuh cinta.

“Sini, pakai apron dulu.” Dia membalut tubuh saya menggunakan apron berwarna cokelat tua, mengikatnya dengan apik di bagian belakang. “Pertama, hati-hati karena saya nggak mau kamu terluka. Jangan mendekat ke arah kompor karena panas dan jangan sentuh pisau. Mengerti?”

Devanda ini ... membingungkan, sungguh.

“Terus saya harus apa, Dev?”

Dia terkekeh (lagi), “harusnya kamu diam aja. Karena saya nggak masalah kalau harus punya isteri yang nggak pandai memasak.”

“Bahas itu lagi?” “Iya, enggak.” Devanda beralih untuk mencuci daun singkong kemudian merebusnya dan diberi satu bubuk yang entah saya tidak tau apa namanya. “Soda kue, biar daun singkongnya lebih cepat empuk”

Saya mengangguk kecil, kemudian berjalan ke arah meja untuk sekedar memainkan sendok karena dari tadi Devanda benar-benar tidak membiarkan saya untuk melakukan apa-apa. “Dev, kasih saya kerjaan dong.”

Netra itu menatap saya dalam, “cintai saya, bisa?”

Harusnya saya biasa saja, tapi entah kenapa sedari awal saya sangat tidak mau kalau bahas perihal perasaan. Bagi saya, Devanda terlalu jauh dan cepat. Saya bahkan masih menginginkan Pradipa dan berharap ini adalah mimpi buruk yang Semesta berikan.

Tapi nyatanya, harapan adalah sekedar harapan. Saya tidak pernah bisa bangun dari mimpi buruk ini dan faktanya adalah Ibu benar-benar melakukan hal menyakitkan ini dan Pradipa benar-benar meninggalkan saya.

Saya tidak pernah suka ditinggalkan.

Dan bagi saya, kepergian paling menyakitkan bukanlah kematian. Tapi kepergian paling menyakitkan adalah Pradipa.

“Andini?”

Suara berat itu membuat saya mengalihkan atensi, seluruhnya ke arah wajahnya yang sedang terkejut. Wajah yang akhir-akhir ini selalu saya rindukan. Daksanya yang selalu ingin saya rengkuh dan masuk ke dalam pelukan yang hangat. Telinga yang saya inginkan untuk mendengar segala keluh kesah, juga jemari yang saya harapkan mengisi ruang kosong milik saya.

“Pra, duduk. Saya sama Andini lagi masak nasi padang. Nanti dicoba, ya.” kata Devanda berusaha mengalihkan isi hati saya. “Renjana mana?”

Pradipa menunjuk ke arah satu ruangan di belakangnya, ruangan mewah milik ia juga istrinya.

Rasanya aneh, begitu canggung dan saya tidak menyukai hal ini.

“Din,” “Di,”

Kami bersamaan membuat Devanda merengkuh daksa saya, dengan cepat mengecup puncak kepala tanpa permisi.

“Dev ...?”

Dia berbisik di telinga kiri, “nanti saya jelaskan.”

“Din, rasa saya ke kamu masih utuh dan nggak akan pernah bisa berkurang.” ucap Pradipa tiba-tiba yang membuat jemari kiri Devanda mengepal keras.

“Kamu bicara seperti itu di rumah keluarga yang menyelamatkan kamu dan Ibumu, Pra?” Napasnya tersenggal, matanya juga memerah karena menahan sebuah emosi. “Saya memang nggak begitu menyukai Renjana juga Ibunya, tapi saya benci pengkhianatan.”

Sebuah pengkhianatan.

Yang pertama kali saya lihat pagi itu setelah membuka pintu rumah adalah daksa milik Devanda yang sedang bersandar di pagar. Pagi itu tidak begitu cerah, langit seolah tau keadaan hati saya. Jujur kalau melihat pekarangan rumah saya jadi teringat kejadian subuh tadi dan juga Pradipa.

“Din, gimana?” tanya Devanda yang saya tidak tau apa konteksnya. Kemudian pria bersurai pekat itu mengangkat kurvanya luas. “Tidurmu nyenyak?”

Tuas saya membawa daksa untuk mendekat ke arah Devanda yang kini sudah berdiri tegak. Kuasanya tergerak untuk memasuk-kan ponsel ke dalam saku. “Lumayan, tapi cuma sebentar.”

“Yaudah, mau langsung?”

Saya mengangguk kecil setelah kembali mengunci pagar. Tiba-tiba jemari kekar milik pria itu mengisi ruang kosong pada jemari kiri saya. Entah kenapa rasanya berbeda, karena saya bukan tipikal gadis yang mudah disentuh kecuali dengan Ayah dan Pradipa.

“Dev ...”

Netra kecokelatan itu menatap saya penuh keyakinan seolah menguatkan tentang apa yang akan terjadi di kemudian waktu. “Maaf saya nggak izin dulu. Karena saya tau kalau kamu nggak akan izinin.”

Saya juga tidak tau kenapa tiba-tiba mengangguk seolah tersihir dengan kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. Karena jujur saya suka sekali tipikal suara milik Devanda begitu menenangkan untuk jiwa saya.

Pria itu membawa saya masuk ke dalam rumah mewah yang beda beberapa saja dari milik Ayah. Rumah mewah yang katanya selama ini hanya diisi oleh empat orang anggota keluarga juga tiga asisten.

“Makanan kesukaanmu apa?” “Nasi padang.”

Dia terkekeh kecil, berjalan ke arah lemari untuk mengambil apron lalu membalut dirinya sendiri. “Hari ini masak nasi padang, okay?”

“Memang bisa?” “Kamu ngeremehin saya?” Alisnya terangkat sebelah, begitu juga sudut bibirnya.

“Cuma nanya.” jawab saya sembari melangkah untuk mendekat ke arahnya. “Saya mau bantu, boleh?”

Kedua sudut bibir Devanda terangkat, ia juga menghentikan pergerakan untuk mengambil sayuran di dalam benda persegi pintu empat—kulkas. “Ya saya ajak kamu ke sini untuk ajari kamu masak, Din.”

Senyuman itu berubah menjadi tawa yang penuh kehangatan. Entah bermula dari mana, saya seperti menyukai bagaimana cara Devanda dalam menyikapi segala hal. Padahal saya belum tau dengan jelas siapa pria ini. Pria yang saya yakin pandai sekali menarik hati banyak gadis. Tapi saya belum.

Jujur, setiap kata dalam bab kali ini ditulis oleh Puan sambil memikirkan senyuman manis milik sang Tuan. Sehingga menghasilkan kata, kalimat juga paragraf lembut penuh cinta.

“Sini, pakai apron dulu.” Dia membalut tubuh saya menggunakan apron berwarna cokelat tua, mengikatnya dengan apik di bagian belakang. “Pertama, hati-hati karena saya nggak mau kamu terluka. Jangan mendekat ke arah kompor karena panas dan jangan sentuh pisau. Mengerti?”

Devanda ini ... membingungkan, sungguh.

“Terus saya harus apa, Dev?”

Dia terkekeh (lagi), “harusnya kamu diam aja. Karena saya nggak masalah kalau harus punya isteri yang nggak pandai memasak.”

“Bahas itu lagi?” “Iya, enggak.” Devanda beralih untuk mencuci daun singkong kemudian merebusnya dan diberi satu bubuk yang entah saya tidak tau apa namanya. “Soda kue, biar daun singkongnya lebih cepat empuk”

Saya mengangguk kecil, kemudian berjalan ke arah meja untuk sekedar memainkan sendok karena dari tadi Devanda benar-benar tidak membiarkan saya untuk melakukan apa-apa. “Dev, kasih saya kerjaan dong.”

Netra itu menatap saya dalam, “cintai saya, bisa?”

Harusnya saya biasa saja, tapi entah kenapa sedari awal saya sangat tidak mau kalau bahas perihal perasaan. Bagi saya, Devanda terlalu jauh dan cepat. Saya bahkan masih menginginkan Pradipa dan berharap ini adalah mimpi buruk yang Semesta berikan.

Tapi nyatanya, harapan adalah sekedar harapan. Saya tidak pernah bisa bangun dari mimpi buruk ini dan faktanya adalah Ibu benar-benar melakukan hal menyakitkan ini dan Pradipa benar-benar meninggalkan saya.

Saya tidak pernah suka ditinggalkan.

Dan bagi saya, kepergian paling menyakitkan bukanlah kematian. Tapi kepergian paling menyakitkan adalah Pradipa.

“Andini?”

Suara berat itu membuat saya mengalihkan atensi, seluruhnya ke arah wajahnya yang sedang terkejut. Wajah yang akhir-akhir ini selalu saya rindukan. Daksanya yang selalu ingin saya rengkuh dan masuk ke dalam pelukan yang hangat. Telinga yang saya inginkan untuk mendengar segala keluh kesah, juga jemari yang saya harapkan mengisi ruang kosong milik saya.

“Pra, duduk. Saya sama Andini lagi masak nasi padang. Nanti dicoba, ya.” kata Devanda berusaha mengalihkan isi hati saya. “Renjana mana?”

Pradipa menunjuk ke arah satu ruangan di belakangnya, ruangan mewah milik ia juga istrinya.

Rasanya aneh, begitu canggung dan saya tidak menyukai hal ini.

“Din,” “Di,”

Kami bersamaan membuat Devanda merengkuh daksa saya, dengan cepat mengecup puncak kepala tanpa permisi.

“Dev ...?”

Dia berbisik di telinga kiri, “nanti saya jelaskan.”

“Din, rasa saya ke kamu masih utuh dan nggak akan pernah bisa berkurang.” ucap Pradipa tiba-tiba yang membuat jemari kiri Devanda mengepal keras.

“Kamu bicara seperti itu di rumah keluarga yang menyelamatkan kamu dan Ibumu, Pra?” Napasnya tersenggal, matanya juga memerah karena menahan sebuah emosi. “Saya memang nggak begitu menyukai Renjana juga Ibunya, tapi saya benci pengkhianatan.”