Jemari hangat milik Ayah.
“Andini, ayo turun. Mas Arya sama Mbak Helen sudah di depan.”
Saya menekan knop pintu perlahan, disambut dengan senyum manis milik Ayah. Senyum yang sumpah demi apapun terasa seperti teh manis yang hangat. Bolamata yang terang bagai purnama itu menyipit seketika saat melihat saya. “Anak Ayah belum mandi?”
“Belum, Yah. Andini mandi dulu, ya.” jawab saya, memasang wajah malas yang seharusnya Ayah mengerti. Tentang saya yang tidak pernah menginginkan sebuah perjodohan tidak masuk akal ini.
Harusnya semua ini bisa dikatakan balas dendam untuk Pradipa, tapi saya bukan manusia yang hidup dengan hati kotor seperti itu. Ah, kata lainnya adalah saya begitu pasrah, terkadang. Tapi entah kenapa, saya kukuh ingin menolak dengan apa yang sudah direncanakan.
“Malah melamun.” Ayah tertawa, menggerakkan kuasa saya pelan. “Ayo turun ke bawah, nggak apa-apa belum mandi. Yang penting cantik.”
Ayah memang separuh dari diri saya, perlakuan lembut yang berbanding terbalik dengan Ibu. Tapi tiba-tiba, Ayah menghentikan langkah saat di anak tangga. Kuasa yang sebelumnya menggenggam jemari saya kini berpindah tugas untuk meremat dadanya sendiri. Napas Ayah tersenggal dan pelan-pelan daksa itu terguling sampai anak tangga terakhir.
“Ayah!”
Itu suara Ibu, matanya menatap saya tajam—kemudian kembali beralih kepada Ayah dan berusaha menepuk pipi pria itu perlahan. Suara langkah kaki berbondong memasuki ruang tengah, itu milik Mas Arya juga Mbak Helen yang menatap saya kebingungan.
“Andini, Ayah kenapa?” tanya Mbak Helen setelah meminta suaminya untuk membawa Ayah masuk ke dalam mobil.
Saya menggeleng, dan rasanya aneh. Kenapa juga saya diam tidak bergeming bagaikan patung di saat Ayah justru sudah terbaring lemah di bawah sana? Andini bodoh.
“Andini ... nggak tau, Mbak. Sumpah demi apapun Andini nggak tau.”
Kuasa perempuan yang paling saya sayang di rumah ini terangkat, menampar saya satu kali. “Kalau Ayah sampai kenapa-napa, kamu berarti pembunuh.”
Mundur beberapa langkah, sampai akhirnya Mbak Helen menarik tangan saya untuk ikut membawa Ayah ke rumah sakit. Suasananya begitu mencekam terlebih suara Ibu yang menangis punya getaran tersendiri bagi saya.
“Ibu ...” “Diam.” Jemari telunjuk Ibu terangkat, menuding saya penuh amarah. “Kamu punya dendam apa sama keluarga saya sampai harus dorong suami saya?”
Saya diam bukan karena saya merasa bahwa saya yang mendorong Ayah, tapi saya diam karena saya tidak mau melihat Ibu lebih marah. Saya memang tidak memiliki sebuah perasaan, tapi saya memiliki hati.
“Dok, tolong selamatkan Ayah saya.” Mbak Helen meminta pada seorang pria yang tubuhnya dibalut dengan jas berwarn putih.
Sedangkan saya hanya diam, duduk di sebelah Mas Arya dengan kebingungan. Rasanya aneh, padahal Ayah terlihat baik-baik saja tadi. Senyumnya juga terlihat tidak mau luntur saat jemarinya menggenggam tangan saya.
“Saya nggak pernah mau maafin kamu, Andini.” teriak Ibu, membuat seluruh pasang mata di koridor memperhatikan kami. Dan saya benci menjadi pusat perhatian.
“Bu, kita harus tau penjelasan Andini dulu. Jangan asal bicara seperti ini.” bela Mas Arya sambil berdiri, berusaha menjauhkan daksa Ibu dari hadapan saya.
Saya kehabisan kata untuk memberi sebuah penjelasan, saya hanya merasa takut kalau nanti ternyata Dokter tidak lagi bisa menyelamatkan Ayah. Saya takut kalau tidak ada lagi seseorang yang menjadi alasan saya untuk bertahan di atas segalanya.
Hidup saya terdengar begitu menyedihkan, tapi Ayah seperti penghapus di atas coretan pensil.
“Andini ke toilet dulu.” pamit saya, berjalan ke arah luar untuk sekedar mencari udara segar. Saya ingin menangis ... tapi rasanya hanya sesak dan itu seperti membunuh.
Langkah saya terhenti saat melihat seseorang yang baru saja keluar dari ruangan bersamaan dengan seorang Dokter. Dari tubuhnya, saya seperti mengenal ia—terlebih saat ia mengarahkan wajahnya ke samping.
“Terima kasih, Dok.” katanya.
Dan sesuai dengan dugaan, pria itu adalah seseorang yang saya kenal. Ia langsung pergi entah kemana saat Dokternya kembali masuk ke dalam ruangan. Langkah saya berjalan mengikuti setelah akhirnya membaca tulisan di pintu ruangan Dokter tadi.
“Spesialis Onkologi?” Mata saya berkedip beberapa saat, “Devanda? Onkologi bukannya kanker?”