TetehnyaaJisung

Thanks.

“Kalau emang enggak mau kenal lagi sama Jessica, itu hak lo. Tapi lo harus terima permintaan maaf dia, ya, Sa?” kata Aryasatya setelah menjelaskan panjang lebar kepada gadis bersurai sebahu yang pelipisnya masih dibalut dengan perban. Kuasa pria itu terangkat untuk mengelusnya penuh sayang. “Kalau emang belum siap, enggak perlu memaafkan. Tapi yang penting lo tau dari sisi dia dulu kaya gimana, ya?”

Sakya diam, menatap lurus-lurus ke arah depan. Berkali-kali gadis itu menghela napasnya, berkali-kali juga bibirnya digigit dengan keras. Kalau mengingat semua luka yang ia dapatkan dalam masalah ini, maka Sakya akan sangat marah besar dengan Jessica. Tapi kalau mengingat seberapa banyak waktu yang Sakya habiskan bersama sahabatnya itu, Sakya merasa iba.

“Gue enggak marah, Kak Arya. Gue enggak marah sama Jessica juga sama Gentala. Gue cuma ...”

Aryasatya tersenyum sebab ia mengerti apa yang mau diucapkan oleh gadis kesayangannya. “Kecewa?”

Tidak ada yang bisa Sakya lakukan selain lagi-lagi mengatur napasnya yang berantakan. Tebakan Aryasatya terlalu tepat untuk ia jadikan sebuah alasan untuk tidak mau bertatap wajah dengan Jessica.

“Yaudah kalau emang enggak mau, gue text Jessica dulu.” lanjut Aryasatya sambil mengambil alih ponselnya di pangkuan Sakya—karena habis digunakan untuk menonton drama Korea.

Sebenarnya Sakya bisa saja memberi kesempatan pada Jessica untuk menjelaskan semua yang terjadi demi mengobati luka di hatinya, tapi di satu sisi lagi Sakya ingin menyudahi semuanya. Sebab hari demi hari rasanya justru lebih menyakitkan. Sakya bahkan rela menjadi figuran bodoh yang berdiri di antara Gentala juga Jessica.

“Kak, gue mau ketemu Jessica.” ucap Sakya tiba-tiba sambil menyentuh punggung tangan Aryasatya yang masih mengelus puncak kepalanya. “Gue mau tau semuanya dari sisi Jessica.”

Senyum megah milik Aryasatya langsung memancar dengan sempurna. Pria itu terlihat lebih tampan dari hari-hari sebelumnya dengan balutan kemeja berwarna biru. “Yaudah sebentar, gue minta kursi roda dulu.”

Beberapa menit selagi Aryasatya keluar dari ruang persegi itu, Sakya hanya bisa membayangkan hal-hal apa yang akan ia dengarkan dari bibir sahabatnya. Mulai dari sebuah kalimat maaf atau bahkan sebuah pembelaan. Namun apapun itu, Sakya akan mendengar semuanya sampai habis. Diam-diam gadis itu juga mempersiapkan hatinya untuk beberapa menit ke depan.

“Pelan-pelan,” Kuasa Aryasatya terulur untuk mengangkat daksa Sakya, membantu gadis itu duduk dengan sangat hati-hati.

Setiap Aryasatya memperlakukannya dengan sempurna, memperlakukannya dengan sebaik mungkin, harusnya Sakya bisa dengan mudah meletakkan sebuah rasa untuk pria itu. Tapi rasanya kenapa semuanya begitu sulit dari pada ia harus meletakkan rasanya untuk Gentala?

“Kak, berhenti.” Sakya menepuk punggung tangan Arya dua kali saat netranya mendapati Gentala yang duduk di kursi taman dengan posisi membelakanginya.

Sakya tahu betul kalau itu Gentala, ia tahu dengan porsi tubuh Gentala dan ia juga tahu setiap pergerakan milik pria itu. Jantungnya berdetak kencang, tangannya mengepal erat. Sakya senang sekali karena akhirnya ia bisa melihat kalau Gentala baik-baik saja.

“Mau ke Gentala?” tanya Aryasatya, sambil mengusap punggung Sakya. Pria itu tahu kalau ada seutas senyum penuh keikhlasan yang ditunjukan gadis itu pada dunia malam ini.

Sakya mengangguk kecil sebagai jawaban, senyumnya tidak pernah lepas dari setiap sudut bibir gadis itu. Namun saat baru saja Aryasatya melangkah tiga kali, seorang perempuan dengan dress hijau muda menghampiri Gentala. Sakya juga tahu kalau itu Jessica, terdengar dari suaranya.

“Kak, sebentar.” pinta Sakya lagi-lagi.

Netra Sakya juga Arya saya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Gentala pun Jessica. Keduanya tampak mengobrol dengan serius di taman yang sangat sepi ini—hanya ada dua pasien lain-nya juga perawat yang berlalu-lalang di koridor.

“Gentala ...” kata Sakya dengan nada yang bergetar namun cukup jelas masuk ke dalam rungu Jessica yang sedang mengecup Gentala tepat pada bibir pria itu.

“Sakya?” Gentala kalang-kabut, ia bingung

Dada Sakya naik dan turun secara cepat, menahan seluruh air yang bergerumul di kelopak matanya. Sakya tidak pernah mengira bahwa pemandangan ini akan ia dapatkan satu hari saat Tuhan hampir saja mengambil nyawanya. Dengan kekuatan penuh Sakya berdiri, dibantu dengan Aryasatya—tentu saja.

“Sakya,” ucap Aryasatya kecil, pria itu mendekatkan wajahnya. Perlahan namun pasti langsung mengecup pelan bibir Sakya selama satu menit. Sedangkan dua orang lain-nya hanya diam, sampai Aryasatya menarik tengkuk Sakya—mulai melumat bibir gadis itu di hadapan Gentala dengan mesra.

Sebuah usaha untuk membalas dendam, katanya dalam hati. Aryasatya bahkan tidak peduli berada dimana mereka sekarang. Yang ia mau hanya Gentala mendapatkan seluruh rasa sakit yang dirasakan oleh gadis kesayangannya—Sakya Rananta.

Thanks.

Egk tau mau nulis apa, udah egk sanggup. Mksh smsm. Thanks yuwerlkam ab tu yu.

Pain.

Lo terlalu banyak ambil peran.

Kalimat dari Gentala memutar terus-terusan di kepala Sakya, sampai gadis itu tidak sadar kalau langkah kaki sudah membawanya masuk ke dalam kelas yang ia tuju. Netranya menyisir setiap sudut ruangan yang hanya terisi oleh dua orang gadis juga satu orang pria yang sedang sibuk dengan ponsel mereka.

“Ada Nida?” tanya-nya, tanpa permisi.

Setiap insan yang ada di dalam sana menoleh karena suara milik Sakya mengintruksi. Salah satu dari mereka mengangkat tangannya, “Di Kantin kayanya, Sa. Eh elo Sakya yang anak kelas sebelas itu, kan?”

Sakya mengangguk, “Yo, thanks. Gue cabut duluan, Kak.”

Beberapa bagian dari mereka mengenal Sakya karena gadis itu sangat sering dibicarakan. Perihal kelakuan yang selalu berbanding terbalik dengan segudang prestasinya. Bahkan terkadang mereka tidak percaya kalau Saya Rananta yang memiliki kebiasaan buruk adalah Sakya Rananta yang selalu duduk di peringkat satu. Sebagian memilih untuk tidak peduli, tapi sebagian lain-nya memilih untuk berteriak kagum.

“Sakya!”

Netra Sakya kembali memindai seisi kantin yang seperti biasanya—selalu ramai. Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit saat ia mendapati Jessica yang sedang makan nasi goreng bersama dengan Harsa. Merasa kenal dengan beberapa orang di meja sana, Sakya mendekat ke arah mereka.

“Sini, Sa.” tawar Raksaka, menggeser daksanya agar Sakya dapat duduk di sana. “Eh tapi lo pesen makan dulu sana.”

“Lo udah pesen semua?” tanya Sakya, menatap satu persatu temannya termasuk Nakula yang sedang fokus pada layar ponselnya. Yang lain mengangguk, sedangkan Nakula masih sibuk sendiri yang membuat Sakya memukul meja kantin cukup keras.

“KAGET GUE, AN—” pekik Nakula terputus saat ia mendapati Sakya yang sedang berdiri sambil menatapnya sengit.

“Makan enggak lo?”

Helaan napas terdengar keluar dengan keras dari bibir Nakula. Ia meletakkan ponsel Harsa yang sedari tadi dipinjam, kemudian berjalan sambil menggandeng Sakya ke arah stand bakso di kantin.

Namun baru langkah ketiga, seseorang terdengar menggebrak meja yang diduduki oleh teman mereka. Hal itu membuat Sakya pun Nakula memutar masing-masing tubuhnya, mendapati Jessica yang seragamnya sudah basah karena disiram air jeruk oleh gadis berambut panjang. Sakya tidak tahu siapa gadis itu, tapi ia langsung menarik kerah bajunya kasar.

“Maksud lo apa nyiram temen gue?” tanya Sakya sambil mengatur emosinya.

Melihat Sakya, gadis berambut sepinggang itu tertawa remeh. “Jadi lo babunya?”

Tangan kanan Sakya pindah tugas untuk mencengram kasar pergelangan Nida—gadis itu. “Lo ada masalah apa?”

“Lo yang ada masalah apa?” teriak Nida yang membuat seluruh atmosfer berubah mencekam. Semua pasang mata tertuju pada Nida juga Sakya, termasuk seorang pria yang baru saja menginjakkan kakinya satu langkah di kantin—Gentala. “Sakya Rananta, gadis perokok yang semua orang tahu kalau lo enggak akan bisa punya masa depan.”

Sakya mundur beberapa langkah. Kelemahan gadis sekuat Sakya hanya satu, ketika seseorang sudah membahas tentang masa depan. Karena itu membuat beban di pundak Sakya seolah meminta untuk segera dilahirkan. Semua berawal dari Ayah yang membuat Sakya hidup dalam rasa yang membingungkan ini.

“Kenapa mundur? Lo takut sama gue?” tanya Nida, tangan gadis itu terangkat untuk menampar pipi kiri milik Sakya.

Tidak tinggal diam, Sakya kembali maju—melawan segala ketakutannya demi membela Jessica juga harga dirinya sendiri. Tangannya terkepal erat sampai buku jarinya memutih, kemudian dilayangkan satu pukulan tepat di pipi mulus milik Nida. “Satu pukulan untuk lo, karena meremehkan masa depan gue.”

“Sa, udah ...” lirih Jessica sambil mengelus tangan kiri Sakya. Genangan air sudah bergerumul di kedua netranya. “Sa, ini di sekolah.”

“Jes, lo enggak usah takut. Lagian, lo kenapa diem aja, sih?” Sakya kesal, ia menatap Jessica dengan tatapan marahnya.

Di dunia ini, selama enam tahun terakhir hanya Jessica yang selalu ada di sisi Sakya. Hanya Jessica yang selalu mau mengerti, hanya Jessica yang bisa memposisikan dirinya sebagai Sakya, hanya Jessica yang tahu bagaimana dunia Sakya Rananta.

“Lo tuh, anj—” Kalimat Nida terputus karena Harsa tiba-tiba saja memasukkan gorengan yang selalu disediakan di setiap meja kantin. Padahal, tangan gadis itu sudah siap untuk kembali menyerang ke arah Sakya.

“Telen dulu, Kak.” kata Raksaka sembari menyodorkan es teh milik Jessica ke arah Nida.

“Ada apaan, sih?” Ini dia, Gentala. Baru datang bagaikan pahlawan yang kesiangan. Kendati begitu, aura yang ia keluarkan tetap begitu mematikan bagi gadis-gadis terutama adik kelas.

“Ini orang aneh, tiba-tiba nyiram Jejes pakai air jeruk.” adu Nakula menggebu.

Netra Gentala memperhatikan Jessica dari atas ke bawah, begitu terus sampai hampir lima kali. Kemudian pria itu menghela, “Kak Nida, lo dipanggil Bu Ira di BK.”

“Kok gue aja? Ini si Sakya, gimana? Dia udah nonjok gue, Gentala.”

Gentala mengalihkan pandang, ia menatap tajam Sakya yang hanya diam bahkan sesekali membuang pandangan ke arah lain. Gentala semakin yakin, Sakya Rananta bukan gadis yang dengan mudah ditaklukan. Rasanya Gentala ingin menyerah untuk mewujudkan seluruh permintaan orang yang ia sayang satu bulan lalu. “Sakya, istirahat gue tunggu di ruang Osis

“Gue enggak mau nginjekin kaki di ruang Osis, enggak sudi.”

Gentala menghela, “Istirahat kedua, gue tunggu di depan ruang guru.”

Mendapat tatapan tajam dari pria yang sudah berstatus sebagai kekasihnya, Sakya langsung mengambil pergelangan tangan Jessika. “Gue ada baju di loker, ayo ganti.”

“Enggak perlu, Jessica biar pakai baju gue.” Gentala dengan cepat mengambil pergelangan tangan Jessica, membawa pergi gadis itu entah kemana.

“Dasar, ketua Osis gila!” kata Sakya. Tapi dengan begitu, hatinya terasa tidak biasa saat menatap pergelangan tangan Jessica yang digenggam erat oleh Gentala. Kejadian barusan membuat sebelah sudut bibir Sakya terangkat, dunia kembali bermain-main.

Sakya pernah tidak percaya dengan sebuah kata bernama Cinta sebab Ayah selalu bilang kalau ia cinta dengan Sakya, tapi itu justru membuat Sakya tidak mengerti. Kemudian melalui Aryasatya gadis itu belajar kalau setiap cinta itu berbeda—tergantung bagaimana seseorang mengolahnya. Namun anehnya, kenapa ia tidak bisa meletakkan perasaan tulus pada Artasatya?

Untuk Gentala, Sakya tidak tahu harus bagaimana, ia tidak atau bahkan belum meletakkan seluruh rasanya pada Gentala. Tapi setelah ia kembali merasa lebih baik untuk mencintai, rasanya seperti ia hidup dalam sebuah kebimbangan.

Sakya tidak pernah bisa melangkah dengan tenang, sebab Dunia dan sesisinya seperti selalu mencengkramnya.

It's love?

cr. Jamong.

Pria berseragam sekolah itu mengangkat kedua sudut bibir saat netranya menangkap seorang gadis yang sedang melambaikan tangan penuh semangat. Dia Sakya Rananta, gadis yang sejak empat tahun lalu memiliki ruang sendiri di pikiran Gentala. Sebelumnya ia tidak berani bertegur sapa, hanya menuliskan seluruh perasaan-nya pada buku bersampul putih yang beberapa tahun lalu diberikan oleh Ayahnya.

“Ganteng, diem aja.” kata Sakya yang baru saja tiba, ia menyenggol lengan Gentala yang sedari tadi hanya diam sambil tersenyum manis.

Menurut Gentala, Sakya Rananta itu seperti penyihir. Sebab gadis itu mampu dengan mudah membuat harinya yang lelah menjadi lebih berwarna. Sakya Rananta itu berbeda dari siapapun dan Gentala penasaran akan hal itu.

“Mau makan dulu?” tanya Gentala sambil meraih ransel Sakya yang hanya dipakai di satu bahu. “Tasnya taruh di kursi belakang aja.”

Sakya tidak bergeming, ia merasa aneh diperlakukan seperti ini. Perlakuan halus yang sebelumnya hanya ia dapatkan dalam diri Aryasatya, hari ini Tuhan tunjukkan lagi satu jiwa yang mampu melakukan hal itu. Anehnya, Sakya langsung merasa jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat bahkan saat sampai ia duduk di kursi sebelah kemudian dalam mobil hitam kesayangan Gentala.

“Jadi gimana, Sa?” tanya Gentala memecah keheningan yang terjadi. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri sebelum mengeluarkan tanya untuk sebuah kepastian. “Gue gak maksa lo buat punya status, kita bisa jalanin dulu kalau lo mau.”

Hening. Selain suara radio yang beberapa menit lalu dinyalakan oleh Gentala, ada banyak suara lain yang memenuhi isi kepala Sakya. Sebenarnya Sakya tidak pernah tau bagaimana rasanya jatuh cinta dan ia tidak mengerti bagaimana menelaah rasa itu. Tapi dengan Gentala, semua rasa sukanya perlahan berubah menjadi kepedulian-kepedulian sederhana. Mulai dari gadis itu yang mengingat dengan jelas siapa Gentala sampai rasa yang bergejolak saat mereka berhadapan.

“Gue harap lo gak salah, ya, Ta.” kata Sakya, membuat Gentala menghentikan mobilnya di bahu jalan. “Ta, gue banyak kurangnya, gue banyak takutnya. Gue terkadang bahkan enggak bisa mengendalikan perasaan gue sendiri, gimana gue bisa bertanggung jawab atas perasaan lo ke gue?”

“Sa, dengerin gue,” Gentala melepas sabuk, duduk menghadap Sakya dengan tatapan hangatnya. “Enggak ada yang minta lo tanggung jawab atas perasaan gue. Ini perasaan gue, biar jadi tanggung jawab gue.”

Sakya tidak pernah mengerti bagaimana caranya menghargai setiap perasaan, sebab hatinya terlalu sering terluka. Ia juga tidak mengerti bagaimana caranya mengatasi situasi serius seperti ini, sebab hidupnya seperti dibuat main-main oleh Semesta. Bahkan Sakya sempat berpikir, dunia adalah kepura-puraan. Dan Bumi adalah sebuah panggung untuk bersandiwara. Sebab di sana Sakya diminta menghargai perasaan orang lain yang bahkan sama sekali tidak pernah menghargai dirinya.

“Sa, gue gak maksa. Karena gue tahu, everything takes time. Gue cuma

“Gue mau.” potong Sakya, ia juga membalas tatapan dalam nan hangat milik Gentala. Untuk pertama kalinya, Sakya merasa getaran hebat yang menjalar di setiap aliran darahnya. Tidak lupa sebuah rasa paksa yang membuat bibirnya terangkat ikhlas. “Tapi gue enggak mau ada yang tahu perihal status kita, ya, Ta? Soal Ayah ...”

“Gue tahu, gue paham.” Gentala tersenyum senang dengan pancaran mata sebening embun. Dengan cepat, ia menarik daksa milik Sakya untuk masuk ke dalam dekapnya. Kemudian berbisik, “Makasih, gue sayang sama lo.”

Pada akhirnya untuk Gentala, rasanya berhasil berlabuh pada seorang gadis yang memang sudah ia siapkan ruang di hatinya. Memiliki Sakya tidak membuat Gentala untuk mengubah gadis itu, karena setiap perubahan akan terjadi karena kemauan orang itu sendiri. Sakya sempurna untuk perasaan Gentala dan itu sudah cukup.

“Mau makan dimana?” tanya Gentala, ia kembali menjalankan kendaraan roda empatnya.

Sakya menipiskan bibir untuk meredam seluruh rasa aneh di hatinya. “Gue udah makan di Bude, jadi gue temenin lo aja.”

“Enggak, ini khusus untuk merayakan hari lahir lo.” jawab Gentala, melirik sekilas gadis di sebelahnya. “Sorry soal kemarin, gue enggak ta—”

“Makan di resto kesukaan Ayah aja. Masih lurus ke depan, nanti ada pertigaan belok kiri.” potong Sakya cepat.

Gentala hanya mengangguk dan fokus kembali mengendari mobil. Dari potongan kalimat barusan ia menyadari satu hal, Sakya bukan tipikal gadis yang dengan mudah membahas hal-hal yang sudah ia lewati. Dan bagi Gentala,

jatuh cinta dengan Sakya bukan hal yang salah.

It's love?

cr. Jamong.

Pria berseragam sekolah itu mengangkat kedua sudut bibir saat netranya menangkap seorang gadis yang sedang melambaikan tangan penuh semangat. Dia Sakya Rananta, gadis yang sejak empat tahun lalu memiliki ruang sendiri di pikiran Gentala. Sebelumnya ia tidak berani bertegur sapa, hanya menuliskan seluruh perasaan-nya pada buku bersampul putih yang beberapa tahun lalu diberikan oleh Ayahnya.

“Ganteng, diem aja.” kata Sakya yang baru saja tiba, ia menyenggol lengan Gentala yang sedari tadi hanya diam sambil tersenyum manis.

Menurut Gentala, Sakya Rananta itu seperti penyihir. Sebab gadis itu mampu dengan mudah membuat harinya yang lelah menjadi lebih berwarna. Sakya Rananta itu berbeda dari siapapun dan Gentala penasaran akan hal itu.

“Mau makan dulu?” tanya Gentala sambil meraih ransel Sakya yang hanya dipakai di satu bahu. “Tasnya taruh di kursi belakang aja.”

Sakya tidak bergeming, ia merasa aneh diperlakukan seperti ini. Perlakuan halus yang sebelumnya hanya ia dapatkan dalam diri Aryasatya, hari ini Tuhan tunjukkan lagi satu jiwa yang mampu melakukan hal itu. Anehnya, Sakya langsung merasa jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat bahkan saat sampai ia duduk di kursi sebelah kemudian dalam mobil hitam kesayangan Gentala.

“Jadi gimana, Sa?” tanya Gentala memecah keheningan yang terjadi. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri sebelum mengeluarkan tanya untuk sebuah kepastian. “Gue gak maksa lo buat punya status, kita bisa jalanin dulu kalau lo mau.”

Hening. Selain suara radio yang beberapa menit lalu dinyalakan oleh Gentala, ada banyak suara lain yang memenuhi isi kepala Sakya. Sebenarnya Sakya tidak pernah tau bagaimana rasanya jatuh cinta dan ia tidak mengerti bagaimana menelaah rasa itu. Tapi dengan Gentala, semua rasa sukanya perlahan berubah menjadi kepedulian-kepedulian sederhana. Mulai dari gadis itu yang mengingat dengan jelas siapa Gentala sampai rasa yang bergejolak saat mereka berhadapan.

“Gue harap lo gak salah, ya, Ta.” kata Sakya, membuat Gentala menghentikan mobilnya di bahu jalan. “Ta, gue banyak kurangnya, gue banyak takutnya. Gue terkadang bahkan enggak bisa mengendalikan perasaan gue sendiri, gimana gue bisa bertanggung jawab atas perasaan lo ke gue?”

“Sa, dengerin gue,” Gentala melepas sabuk, duduk menghadap Sakya dengan tatapan hangatnya. “Enggak ada yang minta lo tanggung jawab atas perasaan gue. Ini perasaan gue, biar jadi tanggung jawab gue.”

Sakya tidak pernah mengerti bagaimana caranya menghargai setiap perasaan, sebab hatinya terlalu sering terluka. Ia juga tidak mengerti bagaimana caranya mengatasi situasi serius seperti ini, sebab hidupnya seperti dibuat main-main oleh Semesta. Bahkan Sakya sempat berpikir, dunia adalah kepura-puraan. Dan Bumi adalah sebuah panggung untuk bersandiwara. Sebab di sana Sakya diminta menghargai perasaan orang lain yang bahkan sama sekali tidak pernah menghargai dirinya.

“Sa, gue gak maksa. Karena gue tahu, everything takes time. Gue cuma

“Gue mau.” potong Sakya, ia juga membalas tatapan dalam nan hangat milik Gentala. Untuk pertama kalinya, Sakya merasa getaran hebat yang menjalar di setiap aliran darahnya. Tidak lupa sebuah rasa paksa yang membuat bibirnya terangkat ikhlas. “Tapi gue enggak mau ada yang tahu perihal status kita, ya, Ta? Soal Ayah ...”

“Gue tahu, gue paham.” Gentala tersenyum senang dengan pancaran mata sebening embun. Dengan cepat, ia menarik daksa milik Sakya untuk masuk ke dalam dekapnya. Kemudian berbisik, “Makasih, gue sayang sama lo.”

Pada akhirnya untuk Gentala, rasanya berhasil berlabuh pada seorang gadis yang memang sudah ia siapkan ruang di hatinya. Memiliki Sakya tidak membuat Gentala untuk mengubah gadis itu, karena setiap perubahan akan terjadi karena kemauan orang itu sendiri. Sakya sempurna untuk perasaan Gentala dan itu sudah cukup.

“Mau makan dimana?” tanya Gentala, ia kembali menjalankan kendaraan roda empatnya.

Sakya menipiskan bibir untuk meredam seluruh rasa aneh di hatinya. “Gue udah makan di Bude, jadi gue temenin lo aja.”

“Enggak, ini khusus untuk merayakan hari lahir lo.” jawab Gentala, melirik sekilas gadis di sebelahnya. “Sorry soal kemarin, gue enggak ta—”

“Makan di resto kesukaan Ayah aja. Masih lurus ke depan, nanti ada pertigaan belok kiri.” potong Sakya cepat.

Gentala hanya mengangguk dan fokus kembali mengendari mobil. Dari potongan kalimat barusan ia menyadari satu hal, Sakya bukan tipikal gadis yang dengan mudah membahas hal-hal yang sudah ia lewati. Dan bagi Gentala,

jatuh cinta dengan Sakya bukan hal yang salah.

It's love?

cr. owner

Pria berseragam sekolah itu mengangkat kedua sudut bibir saat netranya menangkap seorang gadis yang sedang melambaikan tangan penuh semangat. Dia Sakya Rananta, gadis yang sejak empat tahun lalu memiliki ruang sendiri di pikiran Gentala. Sebelumnya ia tidak berani bertegur sapa, hanya menuliskan seluruh perasaan-nya pada buku bersampul putih yang beberapa tahun lalu diberikan oleh Ayahnya.

“Ganteng, diem aja.” kata Sakya yang baru saja tiba, ia menyenggol lengan Gentala yang sedari tadi hanya diam sambil tersenyum manis.

Menurut Gentala, Sakya Rananta itu seperti penyihir. Sebab gadis itu mampu dengan mudah membuat harinya yang lelah menjadi lebih berwarna. Sakya Rananta itu berbeda dari siapapun dan Gentala penasaran akan hal itu.

“Mau makan dulu?” tanya Gentala sambil meraih ransel Sakya yang hanya dipakai di satu bahu. “Tasnya taruh di kursi belakang aja.”

Sakya tidak bergeming, ia merasa aneh diperlakukan seperti ini. Perlakuan halus yang sebelumnya hanya ia dapatkan dalam diri Aryasatya, hari ini Tuhan tunjukkan lagi satu jiwa yang mampu melakukan hal itu. Anehnya, Sakya langsung merasa jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat bahkan saat sampai ia duduk di kursi sebelah kemudian dalam mobil hitam kesayangan Gentala.

“Jadi gimana, Sa?” tanya Gentala memecah keheningan yang terjadi. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri sebelum mengeluarkan tanya untuk sebuah kepastian. “Gue gak maksa lo buat punya status, kita bisa jalanin dulu kalau lo mau.”

Hening. Selain suara radio yang beberapa menit lalu dinyalakan oleh Gentala, ada banyak suara lain yang memenuhi isi kepala Sakya. Sebenarnya Sakya tidak pernah tau bagaimana rasanya jatuh cinta dan ia tidak mengerti bagaimana menelaah rasa itu. Tapi dengan Gentala, semua rasa sukanya perlahan berubah menjadi kepedulian-kepedulian sederhana. Mulai dari gadis itu yang mengingat dengan jelas siapa Gentala sampai rasa yang bergejolak saat mereka berhadapan.

“Gue harap lo gak salah, ya, Ta.” kata Sakya, membuat Gentala menghentikan mobilnya di bahu jalan. “Ta, gue banyak kurangnya, gue banyak takutnya. Gue terkadang bahkan enggak bisa mengendalikan perasaan gue sendiri, gimana gue bisa bertanggung jawab atas perasaan lo ke gue?”

“Sa, dengerin gue,” Gentala melepas sabuk, duduk menghadap Sakya dengan tatapan hangatnya. “Enggak ada yang minta lo tanggung jawab atas perasaan gue. Ini perasaan gue, biar jadi tanggung jawab gue.”

Sakya tidak pernah mengerti bagaimana caranya menghargai setiap perasaan, sebab hatinya terlalu sering terluka. Ia juga tidak mengerti bagaimana caranya mengatasi situasi serius seperti ini, sebab hidupnya seperti dibuat main-main oleh Semesta. Bahkan Sakya sempat berpikir, dunia adalah kepura-puraan. Dan Bumi adalah sebuah panggung untuk bersandiwara. Sebab di sana Sakya diminta menghargai perasaan orang lain yang bahkan sama sekali tidak pernah menghargai dirinya.

“Sa, gue gak maksa. Karena gue tahu, everything takes time. Gue cuma

“Gue mau.” potong Sakya, ia juga membalas tatapan dalam nan hangat milik Gentala. Untuk pertama kalinya, Sakya merasa getaran hebat yang menjalar di setiap aliran darahnya. Tidak lupa sebuah rasa paksa yang membuat bibirnya terangkat ikhlas. “Tapi gue enggak mau ada yang tahu perihal status kita, ya, Ta? Soal Ayah ...”

“Gue tahu, gue paham.” Gentala tersenyum senang dengan pancaran mata sebening embun. Dengan cepat, ia menarik daksa milik Sakya untuk masuk ke dalam dekapnya. Kemudian berbisik, “Makasih, gue sayang sama lo.”

Pada akhirnya untuk Gentala, rasanya berhasil berlabuh pada seorang gadis yang memang sudah ia siapkan ruang di hatinya. Memiliki Sakya tidak membuat Gentala untuk mengubah gadis itu, karena setiap perubahan akan terjadi karena kemauan orang itu sendiri. Sakya sempurna untuk perasaan Gentala dan itu sudah cukup.

“Mau makan dimana?” tanya Gentala, ia kembali menjalankan kendaraan roda empatnya.

Sakya menipiskan bibir untuk meredam seluruh rasa aneh di hatinya. “Gue udah makan di Bude, jadi gue temenin lo aja.”

“Enggak, ini khusus untuk merayakan hari lahir lo.” jawab Gentala, melirik sekilas gadis di sebelahnya. “Sorry soal kemarin, gue enggak ta—”

“Makan di resto kesukaan Ayah aja. Masih lurus ke depan, nanti ada pertigaan belok kiri.” potong Sakya cepat.

Gentala hanya mengangguk dan fokus kembali mengendari mobil. Dari potongan kalimat barusan ia menyadari satu hal, Sakya bukan tipikal gadis yang dengan mudah membahas hal-hal yang sudah ia lewati. Dan bagi Gentala,

jatuh cinta dengan Sakya bukan hal yang salah.

It's love?

Pria berseragam sekolah itu mengangkat kedua sudut bibir saat netranya menangkap seorang gadis yang sedang melambaikan tangan penuh semangat. Dia Sakya Rananta, gadis yang sejak empat tahun lalu memiliki ruang sendiri di pikiran Gentala. Sebelumnya ia tidak berani bertegur sapa, hanya menuliskan seluruh perasaan-nya pada buku bersampul putih yang beberapa tahun lalu diberikan oleh Ayahnya.

“Ganteng, diem aja.” kata Sakya yang baru saja tiba, ia menyenggol lengan Gentala yang sedari tadi hanya diam sambil tersenyum manis.

Menurut Gentala, Sakya Rananta itu seperti penyihir. Sebab gadis itu mampu dengan mudah membuat harinya yang lelah menjadi lebih berwarna. Sakya Rananta itu berbeda dari siapapun dan Gentala penasaran akan hal itu.

“Mau makan dulu?” tanya Gentala sambil meraih ransel Sakya yang hanya dipakai di satu bahu. “Tasnya taruh di kursi belakang aja.”

Sakya tidak bergeming, ia merasa aneh diperlakukan seperti ini. Perlakuan halus yang sebelumnya hanya ia dapatkan dalam diri Aryasatya, hari ini Tuhan tunjukkan lagi satu jiwa yang mampu melakukan hal itu. Anehnya, Sakya langsung merasa jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat bahkan saat sampai ia duduk di kursi sebelah kemudian dalam mobil hitam kesayangan Gentala.

“Jadi gimana, Sa?” tanya Gentala memecah keheningan yang terjadi. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri sebelum mengeluarkan tanya untuk sebuah kepastian. “Gue gak maksa lo buat punya status, kita bisa jalanin dulu kalau lo mau.”

Hening. Selain suara radio yang beberapa menit lalu dinyalakan oleh Gentala, ada banyak suara lain yang memenuhi isi kepala Sakya. Sebenarnya Sakya tidak pernah tau bagaimana rasanya jatuh cinta dan ia tidak mengerti bagaimana menelaah rasa itu. Tapi dengan Gentala, semua rasa sukanya perlahan berubah menjadi kepedulian-kepedulian sederhana. Mulai dari gadis itu yang mengingat dengan jelas siapa Gentala sampai rasa yang bergejolak saat mereka berhadapan.

“Gue harap lo gak salah, ya, Ta.” kata Sakya, membuat Gentala menghentikan mobilnya di bahu jalan. “Ta, gue banyak kurangnya, gue banyak takutnya. Gue terkadang bahkan enggak bisa mengendalikan perasaan gue sendiri, gimana gue bisa bertanggung jawab atas perasaan lo ke gue?”

“Sa, dengerin gue,” Gentala melepas sabuk, duduk menghadap Sakya dengan tatapan hangatnya. “Enggak ada yang minta lo tanggung jawab atas perasaan gue. Ini perasaan gue, biar jadi tanggung jawab gue.”

Sakya tidak pernah mengerti bagaimana caranya menghargai setiap perasaan, sebab hatinya terlalu sering terluka. Ia juga tidak mengerti bagaimana caranya mengatasi situasi serius seperti ini, sebab hidupnya seperti dibuat main-main oleh Semesta. Bahkan Sakya sempat berpikir, dunia adalah kepura-puraan. Dan Bumi adalah sebuah panggung untuk bersandiwara. Sebab di sana Sakya diminta menghargai perasaan orang lain yang bahkan sama sekali tidak pernah menghargai dirinya.

“Sa, gue gak maksa. Karena gue tahu, everything takes time. Gue cuma

“Gue mau.” potong Sakya, ia juga membalas tatapan dalam nan hangat milik Gentala. Untuk pertama kalinya, Sakya merasa getaran hebat yang menjalar di setiap aliran darahnya. Tidak lupa sebuah rasa paksa yang membuat bibirnya terangkat ikhlas. “Tapi gue enggak mau ada yang tahu perihal status kita, ya, Ta? Soal Ayah ...”

“Gue tahu, gue paham.” Gentala tersenyum senang dengan pancaran mata sebening embun. Dengan cepat, ia menarik daksa milik Sakya untuk masuk ke dalam dekapnya. Kemudian berbisik, “Makasih, gue sayang sama lo.”

Pada akhirnya untuk Gentala, rasanya berhasil berlabuh pada seorang gadis yang memang sudah ia siapkan ruang di hatinya. Memiliki Sakya tidak membuat Gentala untuk mengubah gadis itu, karena setiap perubahan akan terjadi karena kemauan orang itu sendiri. Sakya sempurna untuk perasaan Gentala dan itu sudah cukup.

“Mau makan dimana?” tanya Gentala, ia kembali menjalankan kendaraan roda empatnya.

Sakya menipiskan bibir untuk meredam seluruh rasa aneh di hatinya. “Gue udah makan di Bude, jadi gue temenin lo aja.”

“Enggak, ini khusus untuk merayakan hari lahir lo.” jawab Gentala, melirik sekilas gadis di sebelahnya. “Sorry soal kemarin, gue enggak ta—”

“Makan di resto kesukaan Ayah aja. Masih lurus ke depan, nanti ada pertigaan belok kiri.” potong Sakya cepat.

Gentala hanya mengangguk dan fokus kembali mengendari mobil. Dari potongan kalimat barusan ia menyadari satu hal, Sakya bukan tipikal gadis yang dengan mudah membahas hal-hal yang sudah ia lewati. Dan bagi Gentala,

jatuh cinta dengan Sakya bukan hal yang salah.

It's love?

Pria berseragam sekolah itu mengangkat kedua sudut bibir saat netranya menangkap seorang gadis yang sedang melambaikan tangan penuh semangat. Dia Sakya Rananta, gadis yang sejak empat tahun lalu memiliki ruang sendiri di pikiran Gentala. Sebelumnya ia tidak berani bertegur sapa, hanya menuliskan seluruh perasaan-nya pada buku bersampul putih yang beberapa tahun lalu diberikan oleh Ayahnya.

“Ganteng, diem aja.” kata Sakya yang baru saja tiba, ia menyenggol lengan Gentala yang sedari tadi hanya diam sambil tersenyum manis.

Menurut Gentala, Sakya Rananta itu seperti penyihir. Sebab gadis itu mampu dengan mudah membuat harinya yang lelah menjadi lebih berwarna. Sakya Rananta itu berbeda dari siapapun dan Gentala penasaran akan hal itu.

“Mau makan dulu?” tanya Gentala sambil meraih ransel Sakya yang hanya dipakai di satu bahu. “Tasnya taruh di kursi belakang aja.”

Sakya tidak bergeming, ia merasa aneh diperlakukan seperti ini. Perlakuan halus yang sebelumnya hanya ia dapatkan dalam diri Aryasatya, hari ini Tuhan tunjukkan lagi satu jiwa yang mampu melakukan hal itu. Anehnya, Sakya langsung merasa jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat bahkan saat sampai ia duduk di kursi sebelah kemudian dalam mobil hitam kesayangan Gentala.

“Jadi gimana, Sa?” tanya Gentala memecah keheningan yang terjadi. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri sebelum mengeluarkan tanya untuk sebuah kepastian. “Gue gak maksa lo buat punya status, kita bisa jalanin dulu kalau lo mau.”

Hening. Selain suara radio yang beberapa menit lalu dinyalakan oleh Gentala, ada banyak suara lain yang memenuhi isi kepala Sakya. Sebenarnya Sakya tidak pernah tau bagaimana rasanya jatuh cinta dan ia tidak mengerti bagaimana menelaah rasa itu. Tapi dengan Gentala, semua rasa sukanya perlahan berubah menjadi kepedulian-kepedulian sederhana. Mulai dari gadis itu yang mengingat dengan jelas siapa Gentala sampai rasa yang bergejolak saat mereka berhadapan.

“Gue harap lo gak salah, ya, Ta.” kata Sakya, membuat Gentala menghentikan mobilnya di bahu jalan. “Ta, gue banyak kurangnya, gue banyak takutnya. Gue terkadang bahkan enggak bisa mengendalikan perasaan gue sendiri, gimana gue bisa bertanggung jawab atas perasaan lo ke gue?”

“Sa, dengerin gue,” Gentala melepas sabuk, duduk menghadap Sakya dengan tatapan hangatnya. “Enggak ada yang minta lo tanggung jawab atas perasaan gue. Ini perasaan gue, biar jadi tanggung jawab gue.”

Sakya tidak pernah mengerti bagaimana caranya menghargai setiap perasaan, sebab hatinya terlalu sering terluka. Ia juga tidak mengerti bagaimana caranya mengatasi situasi serius seperti ini, sebab hidupnya seperti dibuat main-main oleh Semesta. Bahkan Sakya sempat berpikir, dunia adalah kepura-puraan. Dan Bumi adalah sebuah panggung untuk bersandiwara. Sebab di sana Sakya diminta menghargai perasaan orang lain yang bahkan sama sekali tidak pernah menghargai dirinya.

“Sa, gue gak maksa. Karena gue tahu, everything takes time. Gue cuma

“Gue mau.” potong Sakya, ia juga membalas tatapan dalam nan hangat milik Gentala. Untuk pertama kalinya, Sakya merasa getaran hebat yang menjalar di setiap aliran darahnya. Tidak lupa sebuah rasa paksa yang membuat bibirnya terangkat ikhlas. “Tapi gue enggak mau ada yang tahu perihal status kita, ya, Ta? Soal Ayah ...”

“Gue tahu, gue paham.” Gentala tersenyum senang dengan pancaran mata sebening embun. Dengan cepat, ia menarik daksa milik Sakya untuk masuk ke dalam dekapnya. Kemudian berbisik, “Makasih, gue sayang sama lo.”

Puzzle.

Sakya mengangkat kedua sudut bibir saat kendaraan beroda empat yang dikendarai oleh Aryasatya berhenti tepat di depan kediamannya. Tatapan Sakya beralih penuh ke arah pria yang tiga tahun yang lalu menjadi kekasihnya.

Hubungan mereka kandas karena saat itu Aryasatya izin untuk melanjutkan sekolah ke London. Dan saat itu, Sakya bukan perempuan yang mampu bertahan dalam satu hubungan jarak jauh. Alasan-nya satu, dekat aja ia bisa lupa kalau memiliki kekasih, apalagi jauh.

Thanks, Kak.”

Kini berganti, Aryasatya yang mengangkat kedua sudut bibirnya penuh. “Iya, sama-sama. Besok sekolah? Mau dijemput?”

Perempuan itu menggeleng, “Enggak perlu, Kak.”

Aryasatya tahu, sejak dulu Sakya memang tidak pernah memiliki rasa lebih untuk dirinya. Tapi entah kenapa, dua tahun hidup di London, Aryasatya justru tidak bisa melupakan Sakya. Menurutnya, Sakya itu berbeda.

“Masih suka karate?”

Sakya mengangguk.

“Masih suka mie rebus?” “Iya.” “Masih suka cokelat?” “Masih.” “Suka aku?”

Sakya diam dan menunduk yang membuat Aryasatya tertawa kecil. “Bercanda, Sa. Aku tahu, sampai kapanpun kamu enggak akan suka sama aku. Bahkan, alasan kamu minta putus waktu itu bukan karena kamu enggak bisa ldr, kan?”

“Kak, sorry ...” kata Sakya dengan suara kecil.

Aryasatya mengangguk, “Yaudah, sekarang kamu masuk.” Tatapan pria itu beralih ke arah pintu rumah bercat putih di hadapannya. “Itu udah ditungguin Sakha—? Sebentar, dia sama siapa? Itu bukan Nakula, kan?”

Mendengar pertanyaan itu, Sakya langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu rumah. Itu bukan Nakula, melainkan Gentala.

“Gentala?” “Siapa, Sa?”

Sakya kembali menoleh dengan bahu yang terangkat. Perlahan ia membuka pintu mobil, kemudian melambaikan tangan guna membuat Aryasatya segera pergi dari sana. “Hati-hati, Kak.”

“Iya.” jawab Aryasatya diiringi dengan kalimat sederhana dalam hatinya. “Aku bakalan hati-hati sampai rumah demi lihat kamu lagi besok.

Setelah memastikan mobil Aryasatya meninggalkan rumahnya, Sakya menghela napas. Kemudian perempuan itu berjalan, tertawa kecil di hadapan Sayakha juga Gentala yang entah kenapa ada di sini.

“Temen lo, Sak?” Sakya menghentikan langkahnya saat di depan pintu, menatap Gentala yang juga menatapnya. “Ganteng juga.”

Setelah dua kata itu masuk ke dalam rungunya, Gentala langsung membuang muka. Ia benci dibilang tampan, entah dengan siapapun itu.

“Ayah nunggu lo di ruang keluarga.” kata Sayakha tanpa ada minat untuk menjawab pertanyaan Kakaknya tadi.

Sakya tahu kalau Ayahnya bukan seseorang yang mudah ingkar pada janjinya sendiri. Jadi tidak heran juga kalau Ayahnya menunggu sampai selarut ini padahal besok pasti ada setumpuk pekerjaan yang harus ia hadapi.

“Ayah,” panggil Sakya saat sampai di ruang keluarga, netranya tidak lepas dari pria paruh baya yang sedang memperhatikan ponselnya. “Sakya pulang.”

“Mau jadi apa kamu?” Kalimat tanya pertama yang keluar dari bibir Ayah ternyata mampu dada Sakya terasa berat. Sebab Sakya juga bingung ingin jadi apa ia di masa depan.

Dari dulu, Sakya selalu diminta oleh Ayah dan Bunda untuk duduk di peringkat pertama. Berturut-turut Sakya selalu duduk di sana, peringkat satu. Tapi saat kelas lima sekolah dasar, tiba-tiba ia menjadi peringkat ke lima yang tidak bisa ikut dalam lomba cerdas cermat rutin diadakan setiap tahun oleh Yayasan sekolahnya. Di sana Ayah marah, marah sekali sampai Sakya dikurung seharian di dalam kamar mandi.

Dari dulu juga Sakya tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan sebuah kesalahan di rumah ini. Tidak pernah ada kata maklum untuk Sakya sebab Ayah selalu menghukumnya ketika ia melakukan sebuah kesalahan.

“Kamu lihat adikmu Sakha, selalu duduk di peringkat pertama, tidak ada nilai yang berada di bawah sembilan. Sebab Sakha selalu menuruti permintaan saya!” bentak Ayah yang membuat Sakya menunduk, takut.

“Sakya! Kamu dengar saya atau tidak?” Ayah membentak lagi, meninggikan intonasinya satu oktaf dari sebelumnya.

Sakya tidak menangis, ia hanya diam sambil menatap ujung sepatu conversenya. Sakya hanya bingung, kenapa ia tidak pernah bisa hidup untuk dirinya sendiri? Kenapa harus untuk Ayah? Kenapa harus untuk Bunda? Terakhir, kenapa harus seperti Sayakha?

Tangan Ayah terangkat, bersiap untuk kembali melukai putri pertamanya.

“Om,” Suara Gentala yang tiba-tiba datang itu memecah suasana. “Saya tahu ini lancang, tapi boleh saya bicara dengan Sakya?”

Api di netra Ayah kini padam sejak kedatangan Gentala. Pria paruh baya itu menghela, kemudian mengangguk dan pergi meninggalkan Sakya juga Gentala di ruang keluarga.

“Gue nginep di sini karena di rumah sepi.” kata Gentala sepeninggalan Ayah. Pria itu menghela, duduk sambil menatap Sakya yang masih menunduk.

Gentala tahu Sakya Rananta. Perempuan kuat yang sedari murid baru selalu masuk ke ruang konseling setiap minggunya. Kasusnya pasti ribut, terlambat atau paling parah mendorong Kakak kelas di tangga. Sebelumnya Gentala tidak pernah tahu kalau ada perempuan memiliki perilaku itu. Tapi setelah ia tahu ada Sakya Rananta di Bumi, ia menjadi ingin tahu tentang dunia perempuan itu—tentangnya yang berbeda.

Puzzle.

Sakya mengangkat kedua sudut bibir saat kendaraan beroda empat yang dikendarai oleh Aryasatya berhenti tepat di depan kediamannya. Tatapan Sakya beralih penuh ke arah pria yang tiga tahun yang lalu menjadi kekasihnya.

Hubungan mereka kandas karena saat itu Aryasatya izin untuk melanjutkan sekolah ke London. Dan saat itu, Sakya bukan perempuan yang mampu bertahan dalam satu hubungan jarak jauh. Alasan-nya satu, dekat aja ia bisa lupa kalau memiliki kekasih, apalagi jauh.

Thanks, Kak.”

Kini berganti, Aryasatya yang mengangkat kedua sudut bibirnya penuh. “Iya, sama-sama. Besok sekolah? Mau dijemput?”

Perempuan itu menggeleng, “Enggak perlu, Kak.”

Aryasatya tahu, sejak dulu Sakya memang tidak pernah memiliki rasa lebih untuk dirinya. Tapi entah kenapa, dua tahun hidup di London, Aryasatya justru tidak bisa melupakan Sakya. Menurutnya, Sakya itu berbeda.

“Masih suka karate?”

Sakya mengangguk.

“Masih suka mie rebus?” “Iya.” “Masih suka cokelat?” “Masih.” “Suka aku?”

Sakya diam dan menunduk yang membuat Aryasatya tertawa kecil. “Bercanda, Sa. Aku tahu, sampai kapanpun kamu enggak akan suka sama aku. Bahkan, alasan kamu minta putus waktu itu bukan karena kamu enggak bisa ldr, kan?”

“Kak, sorry ...” kata Sakya dengan suara kecil.

Aryasatya mengangguk, “Yaudah, sekarang kamu masuk.” Tatapan pria itu beralih ke arah pintu rumah bercat putih di hadapannya. “Itu udah ditungguin Sakha—? Sebentar, dia sama siapa? Itu bukan Nakula, kan?”

Mendengar pertanyaan itu, Sakya langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu rumah. Itu bukan Nakula, melainkan Gentala.

“Gentala?” “Siapa, Sa?”

Sakya kembali menoleh dengan bahu yang terangkat. Perlahan ia membuka pintu mobil, kemudian melambaikan tangan guna membuat Aryasatya segera pergi dari sana. “Hati-hati, Kak.”

“Iya.” jawab Aryasatya diiringi dengan kalimat sederhana dalam hatinya. “Aku bakalan hati-hati sampai rumah demi lihat kamu lagi besok.

Setelah memastikan mobil Aryasatya meninggalkan rumahnya, Sakya menghela napas. Kemudian perempuan itu berjalan, tertawa kecil di hadapan Sayakha juga Gentala yang entah kenapa ada di sini.

“Temen lo, Sak?” Sakya menghentikan langkahnya saat di depan pintu, menatap Gentala yang juga menatapnya. “Ganteng juga.”

Setelah dua kata itu masuk ke dalam rungunya, Gentala langsung membuang muka. Ia benci dibilang tampan, entah dengan siapapun itu.

“Ayah nunggu lo di ruang keluarga.” kata Sayakha tanpa ada minat untuk menjawab pertanyaan Kakaknya tadi.

Sakya tahu kalau Ayahnya bukan seseorang yang mudah ingkar pada janjinya sendiri. Jadi tidak heran juga kalau Ayahnya menunggu sampai selarut ini padahal besok pasti ada setumpuk pekerjaan yang harus ia hadapi.

“Ayah,” panggil Sakya saat sampai di ruang keluarga, netranya tidak lepas dari pria paruh baya yang sedang memperhatikan ponselnya. “Sakya pulang.”

“Mau jadi apa kamu?” Kalimat tanya pertama yang keluar dari bibir Ayah ternyata mampu membuat air mata Sakya turun dari pelupuknya. Sebab Sakya juga bingung ingin jadi apa ia di masa depan.

Dari dulu, Sakya selalu diminta oleh Ayah dan Bunda untuk duduk di peringkat pertama. Berturut-turut Sakya selalu duduk di sana, peringkat satu. Tapi saat kelas lima sekolah dasar, tiba-tiba ia menjadi peringkat ke lima yang tidak bisa ikut dalam lomba cerdas cermat rutin diadakan setiap tahun oleh Yayasan sekolahnya. Di sana Ayah marah, marah sekali sampai Sakya dikurung seharian di dalam kamar mandi.

Dari dulu juga Sakya tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan sebuah kesalahan di rumah ini. Tidak pernah ada kata maklum untuk Sakya sebab Ayah selalu menghukumnya ketika ia melakukan sebuah kesalahan.

“Kamu lihat adikmu Sakha, selalu duduk di peringkat pertama, tidak ada nilai yang berada di bawah sembilan. Sebab Sakha selalu menuruti permintaan saya!” bentak Ayah yang membuat Sakya menunduk, takut.

“Sakya! Kamu dengar saya atau tidak?” Ayah membentak lagi, meninggikan intonasinya satu oktaf dari sebelumnya.

Sakya tidak menangis, ia hanya diam sambil menatap ujung sepatu conversenya. Sakya hanya bingung, kenapa ia tidak pernah bisa hidup untuk dirinya sendiri? Kenapa harus untuk Ayah? Kenapa harus untuk Bunda? Terakhir, kenapa harus seperti Sayakha?

Tangan Ayah terangkat, bersiap untuk kembali melukai putri pertamanya.

“Om,” Suara Gentala yang tiba-tiba datang itu memecah suasana. “Saya tahu ini lancang, tapi boleh saya bicara dengan Sakya?”

Api di netra Ayah kini padam sejak kedatangan Gentala. Pria paruh baya itu menghela, kemudian mengangguk dan pergi meninggalkan Sakya juga Gentala di ruang keluarga.

“Gue nginep di sini karena di rumah sepi.” kata Gentala sepeninggalan Ayah. Pria itu menghela, duduk sambil menatap Sakya yang masih menunduk.

Gentala tahu Sakya Rananta. Perempuan kuat yang sedari murid baru selalu masuk ke ruang konseling setiap minggunya. Kasusnya pasti ribut, terlambat atau paling parah mendorong Kakak kelas di tangga. Sebelumnya Gentala tidak pernah tahu kalau ada perempuan memiliki perilaku itu. Tapi setelah ia tahu ada Sakya Rananta di Bumi, ia menjadi ingin tahu tentang dunia perempuan itu—tentangnya yang berbeda.