TetehnyaaJisung

Kata Ayah.

Dulu kata Ayah, Sakya adalah anak perempuan yang bahunya harus sekuat baja. Karena selain anak perempuan pertama, ia juga cucu pertama. Gadis paling utama yang diharapkan kesuksesan-nya apalagi oleh Kakek.

Dulu kata Ayah, seorang anak sama sekali tidak dianjurkan untuk menolak permintaan orangtua. Itu sebabnya sampai detik ini Sakya tidak pernah tahu bagaimana rasanya menolak sebuah permintaan. Sakya hanya menerima, menerima dan berusaha mengikhlaskan segalanya yang ia terima.

Terkesan mengerikan memang, tapi kalau bukan karena Ayah, mungkin sampai detik ini anak gadis itu tidak pernah tahu bagaimana caranya menghargai perasaan orang lain.

Bagi Sakya, pendewasaan diri paling mudah adalah dengan cara terpaksa. Sebab jika tidak terpaksa karena Ayah, Sakya tidak pernah bisa merasakan apa-apa yang sudah ia lewati selama dua puluh dua tahun ia hidup di Bumi.

“Sakya dengar Ayah, kan, Nak?” Suara Ayah bergetar memasuki rungu milik Sakya yang membuat gadis itu dengan cepat menghapus jejak air matanya kemudian menerbitkan seutas senyum manis kesukaan Ayah.

Putri Ayah satu-satunya itu mengangguk, “Sakya ... Sakya bersedia menikah sama laki-laki pilihan Ayah kalau memang hari ini Gentala enggak datang, Yah.”

Pada akhirnya, putri Ayah yang satu ini memang tidak pernah memiliki kartu kesempatan untuk menolak seluruh permintaan orang lain terhadap dirinya. Sekali lagi ia harus mengorbankan dirinya, perasaanya untuk orang yang ia sayang.

Sakya bukan gadis yang buruk dalam menjalani sebuah hubungan dengan orang lain, tapi Sakya gadis yang sangat buruk dalam menjalani sebuah hubungan dengan dirinya sendiri.

Sebuah kurva di bibir Ayah tertarik begitu saja saat ia masuk ke dalam bolamata cokelat tua putrinya. “Ayah enggak mau Sakya menikah dengan terpaksa, tapi Ayah ingin sekali lihat Sakya jadi pengantin, Nak.”

Kuasa Sakya terangkat begitu saja untuk menggenggam jemari milik Ayah. Satu bulir air mata terjun dengan bebas melewati pipinya tanpa dipinta. Bibirnya bergetar, sulit sekali untuk mengatakan dua atau bahkan sebuah kalimat penolakan. Dia menggeleng tanpa ragu, menatap Ayah tepat pada netranya—berusaha meyakinkan pria berusia senja itu lewat sana. “Sakya enggak merasa dipaksa sama Ayah. Kalau besok Sakya menikah, Ayah harus sembuh, ya?”

Ayah tidak mengangguk, tidak juga memberikan sebuah kalimat penenang untuk putri satu-satunya itu. Tapi dalam diam, dalam hatinya Ayah selalu meminta pada Yang Kuasa agar diberi hidup lebih lama lagi.

“Menikah itu Sakral, Sakya. Hanya dilakukan satu kali seumur hidup. Semoga.” tutur Ayah penuh harap, jemarinya mengenggam erat milik Sakya. Harapan-harapan yang ia pupuk selama ini akhirnya dapat bertumbuh juga berkat Sakya. “Sakya ...”

“Iya, Ayah?”

Melihat bulir air mata putrinya yang turun berkali-kali membuat hati Ayah terasa sakit. Tapi di depan Sakya, Ayah berusaha menyampaikan satu lagi harapannya. “Ayah berharap kalau Sakya tidak mengucap kalimat perceraian untuk suami Sakya nanti.”

Lagi, lagi, dan lagi Sakya harus menerima, kan?

“Pasti. Pasti, Ayah.” katanya yakin.

Lewat Ayah, Sakya belajar bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini termasuk perasaan. Perpisahan yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu adalah sebagai bukti bahwa seribu kalimat cinta akan dikalahkan dengan satu kalimat perpisahan.

“Sakya,” panggil Ayah yang langsung diikuti dengan batuk tanpa henti.

Sakya berdiri dari tempatnya, membantu Ayah untuk duduk. Namun saat itu, darah terus mengalir dari bibir Ayah yang membuat Sakya semakin kalang-kabut. Gadis itu berteriak sekuat tenaga untuk memanggil tim medis untuk menangani Ayah.

Yang pertama kali membuka pintu ruangan ini justru bukan tim medis, melainkan Zehian yang sebetulnya sudah hadir dua puluh menit lalu. Pria itu memilih untuk diam dan mendengarkan percakapan Sakya juga Ayahnya di luar sana.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh Zehian saat netranya menangkap kejadian itu adalah membawa Sakya masuk ke dalam pelukannya—sebab Ayah sedang ditangani oleh tim medis.

“Sakya dengar saya, apapun yang terjadi itu bukan kendali kamu. Semuanya kita serahkan ke Tuhan.” bisik Zehian tepat di telinga kanan milik Sakya. Kedua tangannya sibuk untuk memeluk daksa rapuh milik gadis itu. Zehian juga tidak segan meletakkan dagunya di atas kepala Sakya dan bahkan mengecup puncak kepalanya berkali-kali. “Sakya, dengar saya.”

Ia sama sekali tidak mendengarkan Zehian, tangannya ia layangkan di udara untuk menunjuk daksa Ayah yang sedang ditangani oleh tim medis.

“Sakya, kamu percaya kalau Tuhan itu ada, kan?”

Dia, dia Gentala.

Helaan napas berkali-kali keluar dari bibir Sakya cukup kasar, hal itu tentu saja memicu perhatian Zehian yang sedang fokus pada ponsel. Pria yang mengenakan kemeja bergaris itu menoleh ke sampingnya. “Are you okay?

Netra Sakya menelisir ke sana-kemari, memperhatikan setiap gedung aula yang membawa pikirannya kembali ke dua tahun lalu. Tahun dimana ia kehilangan harapan untuk keluarganya, sebab Bunda menikah di dalam ruangan yang sama dengan sekarang ia pijaki.

Bagi Sakya, rasanya Bumi terlalu sempit untuk ukuran sebuah kata temu. Namun Bumi dapat berubah menjadi luas untuk ukuran perasaan yang tidak pernah ada batas ujungnya.

Sakya diam, masih dalam posisi yang sama. Sedangkan Zehian tidak tahu apa yang ada di pikiran gadis itu, namun memberanikan diri untuk membawa jemari Sakya melekat dimiliknya.

Feeling better?

Sakya menengadah dan netranya langsung bertemu dengan kecokelatan milik atasannya itu. Entah kenapa, rasanya berbeda dari pada biasanya. Sebab yang Sakya tahu, Zehian sering kali melempar tatapan datar ketimbang tatapan hangatnya seperti saat ini.

“Masuk, yuk?” tawar Zehian, menarik tangan gadis bergaun hitam selutut di sampingnya.

“Pak,” Sakya menahan tangannya yang membuat Zehian tentu saja menghentikan langkah. “Ini... saya, di sini aja, ya?”

Sekarang berganti, Zehian yang menghela napasnya kecil—namun dengan senyum manis. “Saya ajak kamu untuk temani saya makan enak di dalam, bukan untuk nunggu di luar.”

“Pak...”

“Gedung yang sama saat Bundamu menikah dengan laki-laki selain Ayah, ya?” tanya Zehian pelan, takut kalau dia akan menyakiti hati gadis itu. “Sakya, keadaannya beda.”

“Tempatnya sama, Pak.” balasnya sambil berusaha tersenyum kecil.

Akhirnya Zehian melepaskan genggaman tangan itu, menatap ke sekitar untuk mencari sesuatu. Saat netranya mendapati satu kursi tepat di samping gedung, jari telunjuknya terangkat ke sana.

“Duduk di sana, tunggu sampai saya selesai.” Putusnya mengikuti keinginan Sakya. Padahal, Zehian ingin sekali membawa Sakya ke hadapan sang Papa—memperkenalkan gadis itu sebagai bawahan pengganti.

“Makasih, Pak.”

“Sakya.” panggil Zehian ketika gadis itu hendak berjalan menjauh dari posisinya.

Sakya menoleh, didapatinya tatapan Zehian yang tampak berbeda—seperti terselip kata yang ingin ia utarakan selanjutnya.

“Jangan pergi dari sana, saya enggak lama.”

Lekungan di bibir Sakya tiba-tiba saja hadir tanpa dipinta, netranya juga membentuk sabit yang begitu indah sebelum akhirnya ia mengangguk setuju.

Sesuai dengan apa yang Zehian pinta, Sakya duduk di kursi putih itu sembari membaca buku kesukaan yang selalu ia bawa kemana-mana. Namun ketika ada kegaduhan di belakangnya, Sakya memilih untuk memutar-balik posisi tubuhnya.

Dia, dia Gentala. Sakya jelas tahu dia Gentala. Sakya tidak mungkin salah, sebab bajunya, bentuk tubuhnya juga suaranya. Gadis itu tahu betul bahwa itu benar-benar Gentala.

“Ge—”

“Biar saya bantu, Ta.” putus seorang perempuan bergaun biru cerah yang langsung datang saat Gentala keluar dari mobilnya. Perempuan itu mengambil semua berkas yang ada di tangan Gentala, memindahkannya ke dalam tas.

Semuanya, Sakya melihat semuanya dengan jelas termasuk bagaimana Gentala tersenyum manis untuk perempuan tadi. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan? Sedangkan Sakya tahu kalau Gentala sendiri memang tidak pernah menunjukkan senyum itu padanya.

“Kamu baik-baik aja, ya, Ta?”

Ternyata bukan akhir, itu adalah bagian awal.

Seutas senyum tipis terangkat begitu saja saat netranya menatap satu pasang kursi yang sejak beberapa tahun lalu memang sengaja diletakkan di halaman depan. Kuasanya terangkat untuk mengelus gagang kursi itu, kemudian beralih menekan tombol bel di samping pintu. Sudah tiga tahun rasanya ia tidak menghirup udara rumah ini, namun saat ia kembali semuanya masih terasa sama.

Jakarta masih penuh sesak luar biasa.

“Sakya?” Suara Ayah mengintuksi, meraih daksa putrinya yang sudah tiga bulan tidak ia temui. “Kok enggak bilang Ayah kalau mau pulang ke Jakarta?”

Gadis bersurai panjang itu tersenyum manis di dalam pelukan Ayahnya. “Selamat hari lahir, Ayah. Sakya emang sengaja pulang ke sini enggak bilang Ayah.”

Ayahnya itu hanya terkekeh, mengacak surai putrinya lembut. Ayah tahu, Sakya sudah berubah menjadi gadis dewasa sejak tiga tahun yang lalu. Tapi Ayah tidak pernah tahu apa alasan anak gadisnya itu berubah sebaik ini, secepat ini.

“Ayah,”

Pria itu mengernyit bingung.

“Tenang aja, Sakya emang lagi ada libur. Kuliahnya ke-handle kok, enggak pernah telat kumpulin tugas.” lanjut Sakya seolah mengerti apa yang menjadi pikiran Ayahnya.

Ayah menggeleng, pasalnya bukan hal itu saja yang ia pikirkan. “Bukan, bukan itu. Kemarin ada yang ke sini cari kamu, cuma Ayah lupa namanya siapa. Katanya temen sekolahmu.”

“Laki-laki atau perempuan?” tanya gadis itu penasaran. Ia mengikuti Ayah yang berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah. “Ayah inget ciri-cirinya?”

Ayah mengangguk yakin, “Laki-laki. Putih, tinggi, sopan dan baik. Ayah seperti pernah lihat, tapi lupa dimana.”

Senyum manis lagi-lagi terlukis halus di bibir Sakya. Ia tahu kalau Ayah sudah mulai banyak lupanya, tapi tidak apa—ia tidak begitu penasaran dengan orang itu.

“Yaudah. Sakya masuk dulu, ya? Mau ganti baju.” katanya berpamitan sambil meraih ransel berisi beberapa bukunya. Sampai sekarang Sakya tahu bahwa Ayah masih dan akan selalu meminta Sakya untuk jadi perempuan yang mandiri.

Kakinya baru melangkah tiga kali namun dadanya sudah merasa sesak saat netranya mendapati satu bingkai foto Bunda yang terpajang rapi di sudut ruangan. Ayahnya masih sayang Bunda, Sakya tahu itu.

Sakya pernah meminta pada Semesta agar ia memiliki perasaan seperti Ayah ke Bunda, tidak pernah ada ujungnya. Ia memejam, kemudian menarik napas—lagi, memperhatikan setiap sudut ruang di rumah ini yang sama sekali tidak berubah setelah ia tinggalkan ke Jogjakarta untuk menuntut ilmu.

Satu menit setelahnya, netra Sakya jatuh pada sofa cokelat di ruang keluarga. Ruangan itu menyimpan banyak cerita juga luka, ruangan itu ... adalah ruangan terakhir Sakya memeluk daksa milik Gentala tiga tahun yang lalu.

Tujuan gadis itu berpindah, tidak lagi ke arah kamar di bagian belakang—tapi ia berjalan ke arah ruang keluarga. Duduk di sana, menatap setiap inci letak benda yang tidak berubah. Gadis itu mengambil kotak hitam yang ia simpan jauh di dalam ingatan, kemudian mengeluakan isinya yang langsung berhamburan ke mana-mana.

“Gue kangen banget sama lo, Gentala.” Dadanya naik dan turun, seirama dengan detak jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya. “Berlin terasa lebih nyaman dari pada Jakarta, ya, Ta?”

“Berlin punya banyak manusia labil kaya Sakya Rananta, ya, Ta?” Sakya tertawa sendiri walau air mata diam-diam sudah jatuh dari pelupuknya. “Lo enggak pernah kangen sama gue, ya, Gentala?”

Jemari gadis itu bergetar hebat, beralih tugas untuk meremat dadanya sendiri. Ia berusaha meredam segala rasa sakit yang ada di sana. Segala rasa sakit ketika ia mengingat tentang pria bernama Gentala.

“Seberapa keras gue ngelupain lo, sekeras itu juga lo lagi-lagi memiliki banyak pengaruh di hidup gue.” lanjutnya. Sekarang ia menutupi wajahnya dengan kedua telapan tangan, berusaha meredam suara erangan agar tidak terdengar oleh Ayah.

“Gue kangen juga sama lo, Sakya Rananta.”

Tangisan Sakya terdengar tambah pilu saat suara berat itu masuk ke dalam rungunya. Lagi-lagi ia berhalusinasi kalau Gentala ada di sini, di dekatnya dan ingin mendekapnya.

“Gentala, lo udah pergi dari hidup gue. Tapi kenapa bayang-bayang lo masih di sini?” tanya Sakya sambil membuka mata yang langsung disambut dengan senyum manis seorang pria.

Jantungnya langsung berdetak hebat, seluruh sendi di tubuhnya terasa kaku. Halusinasi kali ini terasa begitu nyata, terlebih saat pria itu berjalan mendekat dengan senyum lebar juga satu buket bunga di tangannya.

“Gue halu banget ...” Sakya terkekeh sendiri saat Gentala berdiri tepat di hadapannya. “Sakya Rananta halus banget, lagunya Febi Putri cocok buat lo, Sa.”

“Sakya.”

Sakya berhenti saat kuasa pria itu mengelus pipinya lembut. Napasnya tercekat di tenggorokan saat senyum milik pria di hadapannya terpancar lebih manis.

“Gue di sini. Gentala lo di sini.”

Dia di sini, dia benar-benar di sini.

SELESAI Lagom by :

TetehnyaaJisung

Ternyata bukan akhir, itu adalah bagian awal.

Seutas senyum tipis terangkat begitu saja saat netranya menatap satu pasang kursi yang sejak beberapa tahun lalu memang sengaja diletakkan di halaman depan. Kuasanya terangkat untuk mengelus gagang kursi itu, kemudian beralih menekan tombol bel di samping pintu. Sudah tiga tahun rasanya ia tidak menghirup udara rumah ini, namun saat ia kembali semuanya masih terasa sama.

Jakarta masih penuh sesak luar biasa.

“Sakya?” Suara Ayah mengintuksi, meraih daksa putrinya yang sudah tiga bulan tidak ia temui. “Kok enggak bilang Ayah kalau mau pulang ke Jakarta?”

Gadis bersurai panjang itu tersenyum manis di dalam pelukan Ayahnya. “Selamat hari lahir, Ayah. Sakya emang sengaja pulang ke sini enggak bilang Ayah.”

Ayahnya itu hanya terkekeh, mengacak surai putrinya lembut. Ayah tahu, Sakya sudah berubah menjadi gadis dewasa sejak tiga tahun yang lalu. Tapi Ayah tidak pernah tahu apa alasan anak gadisnya itu berubah sebaik ini, secepat ini.

“Ayah,”

Pria itu mengernyit bingung.

“Tenang aja, Sakya emang lagi ada libur. Kuliahnya ke-handle kok, enggak pernah telat kumpulin tugas.” lanjut Sakya seolah mengerti apa yang menjadi pikiran Ayahnya.

Ayah menggeleng, pasalnya bukan hal itu saja yang ia pikirkan. “Bukan, bukan itu. Kemarin ada yang ke sini cari kamu, cuma Ayah lupa namanya siapa. Katanya temen sekolahmu.”

“Laki-laki atau perempuan?” tanya gadis itu penasaran. Ia mengikuti Ayah yang berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah. “Ayah inget ciri-cirinya?”

Ayah mengangguk yakin, “Laki-laki. Putih, tinggi, sopan dan baik. Ayah seperti pernah lihat, tapi lupa dimana.”

Senyum manis lagi-lagi terlukis halus di bibir Sakya. Ia tahu kalau Ayah sudah mulai banyak lupanya, tapi tidak apa—ia tidak begitu penasaran dengan orang itu.

“Yaudah. Sakya masuk dulu, ya? Mau ganti baju.” katanya berpamitan sambil meraih ransel berisi beberapa bukunya. Sampai sekarang Sakya tahu bahwa Ayah masih dan akan selalu meminta Sakya untuk jadi perempuan yang mandiri.

Kakinya baru melangkah tiga kali namun dadanya sudah merasa sesak saat netranya mendapati satu bingkai foto Bunda yang terpajang rapi di sudut ruangan. Ayahnya masih sayang Bunda, Sakya tahu itu.

Sakya pernah meminta pada Semesta agar ia memiliki perasaan seperti Ayah ke Bunda, tidak pernah ada ujungnya. Ia memejam, kemudian menarik napas—lagi, memperhatikan setiap sudut ruang di rumah ini yang sama sekali tidak berubah setelah ia tinggalkan ke Jogjakarta untuk menuntut ilmu.

Satu menit setelahnya, netra Sakya jatuh pada sofa cokelat di ruang keluarga. Ruangan itu menyimpan banyak cerita juga luka, ruangan itu ... adalah ruangan terakhir Sakya memeluk daksa milik Gentala tiga tahun yang lalu.

Tujuan gadis itu berpindah, tidak lagi ke arah kamar di bagian belakang—tapi ia berjalan ke arah ruang keluarga. Duduk di sana, menatap setiap inci letak benda yang tidak berubah. Gadis itu mengambil kotak hitam yang ia simpan jauh di dalam ingatan, kemudian mengeluakan isinya yang langsung berhamburan ke mana-mana.

“Gue kangen banget sama lo, Gentala.” Dadanya naik dan turun, seirama dengan detak jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya. “Berlin terasa lebih nyaman dari pada Jakarta, ya, Ta?”

“Berlin punya banyak manusia labil kaya Sakya Rananta, ya, Ta?” Sakya tertawa sendiri walau air mata diam-diam sudah jatuh dari pelupuknya. “Lo enggak pernah kangen sama gue, ya, Gentala?”

Jemari gadis itu bergetar hebat, beralih tugas untuk meremat dadanya sendiri. Ia berusaha meredam segala rasa sakit yang ada di sana. Segala rasa sakit ketika ia mengingat tentang pria bernama Gentala.

“Seberapa keras gue ngelupain lo, sekeras itu juga lo lagi-lagi memiliki banyak pengaruh di hidup gue.” lanjutnya. Sekarang ia menutupi wajahnya dengan kedua telapan tangan, berusaha meredam suara erangan agar tidak terdengar oleh Ayah.

“Gue kangen juga sama lo, Sakya Rananta.”

Tangisan Sakya terdengar tambah pilu saat suara berat itu masuk ke dalam rungunya. Lagi-lagi ia berhalusinasi kalau Gentala ada di sini, di dekatnya dan ingin mendekapnya.

“Gentala, lo udah pergi dari hidup gue. Tapi kenapa bayang-bayang lo masih di sini?” tanya Sakya sambil membuka mata yang langsung disambut dengan senyum manis seorang pria.

Jantungnya langsung berdetak hebat, seluruh sendi di tubuhnya terasa kaku. Halusinasi kali ini terasa begitu nyata, terlebih saat pria itu berjalan mendekat dengan senyum lebar juga satu buket bunga di tangannya.

“Gue halu banget ...” Sakya terkekeh sendiri saat Gentala berdiri tepat di hadapannya. “Sakya Rananta halus banget, lagunya Febi Putri cocok buat lo, Sa.”

“Sakya.”

Sakya berhenti saat kuasa pria itu mengelus pipinya lembut. Napasnya tercekat di tenggorokan saat senyum milik pria di hadapannya terpancar lebih manis.

“Gue di sini. Gentala lo di sini.”

Dia di sini, dia benar-benar di sini.

SELESAI Lagom by : ###### TetehnyaaJisung

Ternyata bukan akhir, itu adalah bagian awal.

Seutas senyum tipis terangkat begitu saja saat netranya menatap satu pasang kursi yang sejak beberapa tahun lalu memang sengaja diletakkan di halaman depan. Kuasanya terangkat untuk mengelus gagang kursi itu, kemudian beralih menekan tombol bel di samping pintu. Sudah tiga tahun rasanya ia tidak menghirup udara rumah ini, namun saat ia kembali semuanya masih terasa sama.

Jakarta masih penuh sesak luar biasa.

“Sakya?” Suara Ayah mengintuksi, meraih daksa putrinya yang sudah tiga bulan tidak ia temui. “Kok enggak bilang Ayah kalau mau pulang ke Jakarta?”

Gadis bersurai panjang itu tersenyum manis di dalam pelukan Ayahnya. “Selamat hari lahir, Ayah. Sakya emang sengaja pulang ke sini enggak bilang Ayah.”

Ayahnya itu hanya terkekeh, mengacak surai putrinya lembut. Ayah tahu, Sakya sudah berubah menjadi gadis dewasa sejak tiga tahun yang lalu. Tapi Ayah tidak pernah tahu apa alasan anak gadisnya itu berubah sebaik ini, secepat ini.

“Ayah,”

Pria itu mengernyit bingung.

“Tenang aja, Sakya emang lagi ada libur. Kuliahnya ke-handle kok, enggak pernah telat kumpulin tugas.” lanjut Sakya seolah mengerti apa yang menjadi pikiran Ayahnya.

Ayah menggeleng, pasalnya bukan hal itu saja yang ia pikirkan. “Bukan, bukan itu. Kemarin ada yang ke sini cari kamu, cuma Ayah lupa namanya siapa. Katanya temen sekolahmu.”

“Laki-laki atau perempuan?” tanya gadis itu penasaran. Ia mengikuti Ayah yang berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah. “Ayah inget ciri-cirinya?”

Ayah mengangguk yakin, “Laki-laki. Putih, tinggi, sopan dan baik. Ayah seperti pernah lihat, tapi lupa dimana.”

Senyum manis lagi-lagi terlukis halus di bibir Sakya. Ia tahu kalau Ayah sudah mulai banyak lupanya, tapi tidak apa—ia tidak begitu penasaran dengan orang itu.

“Yaudah. Sakya masuk dulu, ya? Mau ganti baju.” katanya berpamitan sambil meraih ransel berisi beberapa bukunya. Sampai sekarang Sakya tahu bahwa Ayah masih dan akan selalu meminta Sakya untuk jadi perempuan yang mandiri.

Kakinya baru melangkah tiga kali namun dadanya sudah merasa sesak saat netranya mendapati satu bingkai foto Bunda yang terpajang rapi di sudut ruangan. Ayahnya masih sayang Bunda, Sakya tahu itu.

Sakya pernah meminta pada Semesta agar ia memiliki perasaan seperti Ayah ke Bunda, tidak pernah ada ujungnya. Ia memejam, kemudian menarik napas—lagi, memperhatikan setiap sudut ruang di rumah ini yang sama sekali tidak berubah setelah ia tinggalkan ke Jogjakarta untuk menuntut ilmu.

Satu menit setelahnya, netra Sakya jatuh pada sofa cokelat di ruang keluarga. Ruangan itu menyimpan banyak cerita juga luka, ruangan itu ... adalah ruangan terakhir Sakya memeluk daksa milik Gentala tiga tahun yang lalu.

Tujuan gadis itu berpindah, tidak lagi ke arah kamar di bagian belakang—tapi ia berjalan ke arah ruang keluarga. Duduk di sana, menatap setiap inci letak benda yang tidak berubah. Gadis itu mengambil kotak hitam yang ia simpan jauh di dalam ingatan, kemudian mengeluakan isinya yang langsung berhamburan ke mana-mana.

“Gue kangen banget sama lo, Gentala.” Dadanya naik dan turun, seirama dengan detak jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya. “Berlin terasa lebih nyaman dari pada Jakarta, ya, Ta?”

“Berlin punya banyak manusia labil kaya Sakya Rananta, ya, Ta?” Sakya tertawa sendiri walau air mata diam-diam sudah jatuh dari pelupuknya. “Lo enggak pernah kangen sama gue, ya, Gentala?”

Jemari gadis itu bergetar hebat, beralih tugas untuk meremat dadanya sendiri. Ia berusaha meredam segala rasa sakit yang ada di sana. Segala rasa sakit ketika ia mengingat tentang pria bernama Gentala.

“Seberapa keras gue ngelupain lo, sekeras itu juga lo lagi-lagi memiliki banyak pengaruh di hidup gue.” lanjutnya. Sekarang ia menutupi wajahnya dengan kedua telapan tangan, berusaha meredam suara erangan agar tidak terdengar oleh Ayah.

“Gue kangen juga sama lo, Sakya Rananta.”

Tangisan Sakya terdengar tambah pilu saat suara berat itu masuk ke dalam rungunya. Lagi-lagi ia berhalusinasi kalau Gentala ada di sini, di dekatnya dan ingin mendekapnya.

“Gentala, lo udah pergi dari hidup gue. Tapi kenapa bayang-bayang lo masih di sini?” tanya Sakya sambil membuka mata yang langsung disambut dengan senyum manis seorang pria.

Jantungnya langsung berdetak hebat, seluruh sendi di tubuhnya terasa kaku. Halusinasi kali ini terasa begitu nyata, terlebih saat pria itu berjalan mendekat dengan senyum lebar juga satu buket bunga di tangannya.

“Gue halu banget ...” Sakya terkekeh sendiri saat Gentala berdiri tepat di hadapannya. “Sakya Rananta halus banget, lagunya Febi Putri cocok buat lo, Sa.”

“Sakya.”

Sakya berhenti saat kuasa pria itu mengelus pipinya lembut. Napasnya tercekat di tenggorokan saat senyum milik pria di hadapannya terpancar lebih manis.

“Gue di sini. Gentala lo di sini.”

Dia di sini, dia benar-benar di sini.

SELESAI Lagom by :

TetehnyaaJisung

Ternyata bukan akhir, itu adalah bagian awal.

Seutas senyum tipis terangkat begitu saja saat netranya menatap satu pasang kursi yang sejak beberapa tahun lalu memang sengaja diletakkan di halaman depan. Kuasanya terangkat untuk mengelus gagang kursi itu, kemudian beralih menekan tombol bel di samping pintu. Sudah tiga tahun rasanya ia tidak menghirup udara rumah ini, namun saat ia kembali semuanya masih terasa sama.

Jakarta masih penuh sesak luar biasa.

“Sakya?” Suara Ayah mengintuksi, meraih daksa putrinya yang sudah tiga bulan tidak ia temui. “Kok enggak bilang Ayah kalau mau pulang ke Jakarta?”

Gadis bersurai panjang itu tersenyum manis di dalam pelukan Ayahnya. “Selamat hari lahir, Ayah. Sakya emang sengaja pulang ke sini enggak bilang Ayah.”

Ayahnya itu hanya terkekeh, mengacak surai putrinya lembut. Ayah tahu, Sakya sudah berubah menjadi gadis dewasa sejak tiga tahun yang lalu. Tapi Ayah tidak pernah tahu apa alasan anak gadisnya itu berubah sebaik ini, secepat ini.

“Ayah,”

Pria itu mengernyit bingung.

“Tenang aja, Sakya emang lagi ada libur. Kuliahnya ke-handle kok, enggak pernah telat kumpulin tugas.” lanjut Sakya seolah mengerti apa yang menjadi pikiran Ayahnya.

Ayah menggeleng, pasalnya bukan hal itu saja yang ia pikirkan. “Bukan, bukan itu. Kemarin ada yang ke sini cari kamu, cuma Ayah lupa namanya siapa. Katanya temen sekolahmu.”

“Laki-laki atau perempuan?” tanya gadis itu penasaran. Ia mengikuti Ayah yang berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah. “Ayah inget ciri-cirinya?”

Ayah mengangguk yakin, “Laki-laki. Putih, tinggi, sopan dan baik. Ayah seperti pernah lihat, tapi lupa dimana.”

Senyum manis lagi-lagi terlukis halus di bibir Sakya. Ia tahu kalau Ayah sudah mulai banyak lupanya, tapi tidak apa—ia tidak begitu penasaran dengan orang itu.

“Yaudah. Sakya masuk dulu, ya? Mau ganti baju.” katanya berpamitan sambil meraih ransel berisi beberapa bukunya. Sampai sekarang Sakya tahu bahwa Ayah masih dan akan selalu meminta Sakya untuk jadi perempuan yang mandiri.

Kakinya baru melangkah tiga kali namun dadanya sudah merasa sesak saat netranya mendapati satu bingkai foto Bunda yang terpajang rapi di sudut ruangan. Ayahnya masih sayang Bunda, Sakya tahu itu.

Sakya pernah meminta pada Semesta agar ia memiliki perasaan seperti Ayah ke Bunda, tidak pernah ada ujungnya. Ia memejam, kemudian menarik napas—lagi, memperhatikan setiap sudut ruang di rumah ini yang sama sekali tidak berubah setelah ia tinggalkan ke Jogjakarta untuk menuntut ilmu.

Satu menit setelahnya, netra Sakya jatuh pada sofa cokelat di ruang keluarga. Ruangan itu menyimpan banyak cerita juga luka, ruangan itu ... adalah ruangan terakhir Sakya memeluk daksa milik Gentala tiga tahun yang lalu.

Tujuan gadis itu berpindah, tidak lagi ke arah kamar di bagian belakang—tapi ia berjalan ke arah ruang keluarga. Duduk di sana, menatap setiap inci letak benda yang tidak berubah. Gadis itu mengambil kotak hitam yang ia simpan jauh di dalam ingatan, kemudian mengeluakan isinya yang langsung berhamburan ke mana-mana.

“Gue kangen banget sama lo, Gentala.” Dadanya naik dan turun, seirama dengan detak jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya. “Berlin terasa lebih nyaman dari pada Jakarta, ya, Ta?”

“Berlin punya banyak manusia labil kaya Sakya Rananta, ya, Ta?” Sakya tertawa sendiri walau air mata diam-diam sudah jatuh dari pelupuknya. “Lo enggak pernah kangen sama gue, ya, Gentala?”

Jemari gadis itu bergetar hebat, beralih tugas untuk meremat dadanya sendiri. Ia berusaha meredam segala rasa sakit yang ada di sana. Segala rasa sakit ketika ia mengingat tentang pria bernama Gentala.

“Seberapa keras gue ngelupain lo, sekeras itu juga lo lagi-lagi memiliki banyak pengaruh di hidup gue.” lanjutnya. Sekarang ia menutupi wajahnya dengan kedua telapan tangan, berusaha meredam suara erangan agar tidak terdengar oleh Ayah.

“Gue kangen juga sama lo, Sakya Rananta.”

Tangisan Sakya terdengar tambah pilu saat suara berat itu masuk ke dalam rungunya. Lagi-lagi ia berhalusinasi kalau Gentala ada di sini, di dekatnya dan ingin mendekapnya.

“Gentala, lo udah pergi dari hidup gue. Tapi kenapa bayang-bayang lo masih di sini?” tanya Sakya sambil membuka mata yang langsung disambut dengan senyum manis seorang pria.

Jantungnya langsung berdetak hebat, seluruh sendi di tubuhnya terasa kaku. Halusinasi kali ini terasa begitu nyata, terlebih saat pria itu berjalan mendekat dengan senyum lebar juga satu buket bunga di tangannya.

“Gue halu banget ...” Sakya terkekeh sendiri saat Gentala berdiri tepat di hadapannya. “Sakya Rananta halus banget, lagunya Febi Putri cocok buat lo, Sa.”

“Sakya.”

Sakya berhenti saat kuasa pria itu mengelus pipinya lembut. Napasnya tercekat di tenggorokan saat senyum milik pria di hadapannya terpancar lebih manis.

“Gue di sini. Gentala lo di sini.”

Dia di sini, dia benar-benar di sini.

SELESAI Lagom by :

TetehnyaaJisung

Ternyata bukan akhir, itu adalah bagian awal.

Seutas senyum tipis terangkat begitu saja saat netranya menatap satu pasang kursi yang sejak beberapa tahun lalu memang sengaja diletakkan di halaman depan. Kuasanya terangkat untuk mengelus gagang kursi itu, kemudian beralih menekan tombol bel di samping pintu. Sudah tiga tahun rasanya ia tidak menghirup udara rumah ini, namun saat ia kembali semuanya masih terasa sama.

Jakarta masih penuh sesak luar biasa.

“Sakya?” Suara Ayah mengintuksi, meraih daksa putrinya yang sudah tiga bulan tidak ia temui. “Kok enggak bilang Ayah kalau mau pulang ke Jakarta?”

Gadis bersurai panjang itu tersenyum manis di dalam pelukan Ayahnya. “Selamat hari lahir, Ayah. Sakya emang sengaja pulang ke sini enggak bilang Ayah.”

Ayahnya itu hanya terkekeh, mengacak surai putrinya lembut. Ayah tahu, Sakya sudah berubah menjadi gadis dewasa sejak tiga tahun yang lalu. Tapi Ayah tidak pernah tahu apa alasan anak gadisnya itu berubah sebaik ini, secepat ini.

“Ayah,”

Pria itu mengernyit bingung.

“Tenang aja, Sakya emang lagi ada libur. Kuliahnya ke-handle kok, enggak pernah telat kumpulin tugas.” lanjut Sakya seolah mengerti apa yang menjadi pikiran Ayahnya.

Ayah menggeleng, pasalnya bukan hal itu saja yang ia pikirkan. “Bukan, bukan itu. Kemarin ada yang ke sini cari kamu, cuma Ayah lupa namanya siapa. Katanya temen sekolahmu.”

“Laki-laki atau perempuan?” tanya gadis itu penasaran. Ia mengikuti Ayah yang berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah. “Ayah inget ciri-cirinya?”

Ayah mengangguk yakin, “Laki-laki. Putih, tinggi, sopan dan baik. Ayah seperti pernah lihat, tapi lupa dimana.”

Senyum manis lagi-lagi terlukis halus di bibir Sakya. Ia tahu kalau Ayah sudah mulai banyak lupanya, tapi tidak apa—ia tidak begitu penasaran dengan orang itu.

“Yaudah. Sakya masuk dulu, ya? Mau ganti baju.” katanya berpamitan sambil meraih ransel berisi beberapa bukunya. Sampai sekarang Sakya tahu bahwa Ayah masih dan akan selalu meminta Sakya untuk jadi perempuan yang mandiri.

Kakinya baru melangkah tiga kali namun dadanya sudah merasa sesak saat netranya mendapati satu bingkai foto Bunda yang terpajang rapi di sudut ruangan. Ayahnya masih sayang Bunda, Sakya tahu itu.

Sakya pernah meminta pada Semesta agar ia memiliki perasaan seperti Ayah ke Bunda, tidak pernah ada ujungnya. Ia memejam, kemudian menarik napas—lagi, memperhatikan setiap sudut ruang di rumah ini yang sama sekali tidak berubah setelah ia tinggalkan ke Jogjakarta untuk menuntut ilmu.

Satu menit setelahnya, netra Sakya jatuh pada sofa cokelat di ruang keluarga. Ruangan itu menyimpan banyak cerita juga luka, ruangan itu ... adalah ruangan terakhir Sakya memeluk daksa milik Gentala tiga tahun yang lalu.

Tujuan gadis itu berpindah, tidak lagi ke arah kamar di bagian belakang—tapi ia berjalan ke arah ruang keluarga. Duduk di sana, menatap setiap inci letak benda yang tidak berubah. Gadis itu mengambil kotak hitam yang ia simpan jauh di dalam ingatan, kemudian mengeluakan isinya yang langsung berhamburan ke mana-mana.

“Gue kangen banget sama lo, Gentala.” Dadanya naik dan turun, seirama dengan detak jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya. “Berlin terasa lebih nyaman dari pada Jakarta, ya, Ta?”

“Berlin punya banyak manusia labil kaya Sakya Rananta, ya, Ta?” Sakya tertawa sendiri walau air mata diam-diam sudah jatuh dari pelupuknya. “Lo enggak pernah kangen sama gue, ya, Gentala?”

Jemari gadis itu bergetar hebat, beralih tugas untuk meremat dadanya sendiri. Ia berusaha meredam segala rasa sakit yang ada di sana. Segala rasa sakit ketika ia mengingat tentang pria bernama Gentala.

“Seberapa keras gue ngelupain lo, sekeras itu juga lo lagi-lagi memiliki banyak pengaruh di hidup gue.” lanjutnya. Sekarang ia menutupi wajahnya dengan kedua telapan tangan, berusaha meredam suara erangan agar tidak terdengar oleh Ayah.

“Gue kangen juga sama lo, Sakya Rananta.”

Tangisan Sakya terdengar tambah pilu saat suara berat itu masuk ke dalam rungunya. Lagi-lagi ia berhalusinasi kalau Gentala ada di sini, di dekatnya dan ingin mendekapnya.

“Gentala, lo udah pergi dari hidup gue. Tapi kenapa bayang-bayang lo masih di sini?” tanya Sakya sambil membuka mata yang langsung disambut dengan senyum manis seorang pria.

Jantungnya langsung berdetak hebat, seluruh sendi di tubuhnya terasa kaku. Halusinasi kali ini terasa begitu nyata, terlebih saat pria itu berjalan mendekat dengan senyum lebar juga satu buket bunga di tangannya.

“Gue halu banget ...” Sakya terkekeh sendiri saat Gentala berdiri tepat di hadapannya. “Sakya Rananta halus banget, lagunya Febi Putri cocok buat lo, Sa.”

“Sakya.”

Sakya berhenti saat kuasa pria itu mengelus pipinya lembut. Napasnya tercekat di tenggorokan saat senyum milik pria di hadapannya terpancar lebih manis.

“Gue di sini. Gentala lo di sini.”

Dia di sini, dia benar-benar di sini.

SELESAI

TetehnyaaJisung

Ternyata bukan akhir, itu adalah bagian awal.

Seutas senyum tipis terangkat begitu saja saat netranya menatap satu pasang kursi yang sejak beberapa tahun lalu memang sengaja diletakkan di halaman depan. Kuasanya terangkat untuk mengelus gagang kursi itu, kemudian beralih menekan tombol bel di samping pintu. Sudah tiga tahun rasanya ia tidak menghirup udara rumah ini, namun saat ia kembali semuanya masih terasa sama.

Jakarta masih penuh sesak luar biasa.

“Sakya?” Suara Ayah mengintuksi, meraih daksa putrinya yang sudah tiga bulan tidak ia temui. “Kok enggak bilang Ayah kalau mau pulang ke Jakarta?”

Gadis bersurai panjang itu tersenyum manis di dalam pelukan Ayahnya. “Selamat hari lahir, Ayah. Sakya emang sengaja pulang ke sini enggak bilang Ayah.”

Ayahnya itu hanya terkekeh, mengacak surai putrinya lembut. Ayah tahu, Sakya sudah berubah menjadi gadis dewasa sejak tiga tahun yang lalu. Tapi Ayah tidak pernah tahu apa alasan anak gadisnya itu berubah sebaik ini, secepat ini.

“Ayah,”

Pria itu mengernyit bingung.

“Tenang aja, Sakya emang lagi ada libur. Kuliahnya ke-handle kok, enggak pernah telat kumpulin tugas.” lanjut Sakya seolah mengerti apa yang menjadi pikiran Ayahnya.

Ayah menggeleng, pasalnya bukan hal itu saja yang ia pikirkan. “Bukan, bukan itu. Kemarin ada yang ke sini cari kamu, cuma Ayah lupa namanya siapa. Katanya temen sekolahmu.”

“Laki-laki atau perempuan?” tanya gadis itu penasaran. Ia mengikuti Ayah yang berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah. “Ayah inget ciri-cirinya?”

Ayah mengangguk yakin, “Laki-laki. Putih, tinggi, sopan dan baik. Ayah seperti pernah lihat, tapi lupa dimana.”

Senyum manis lagi-lagi terlukis halus di bibir Sakya. Ia tahu kalau Ayah sudah mulai banyak lupanya, tapi tidak apa—ia tidak begitu penasaran dengan orang itu.

“Yaudah. Sakya masuk dulu, ya? Mau ganti baju.” katanya berpamitan sambil meraih ransel berisi beberapa bukunya. Sampai sekarang Sakya tahu bahwa Ayah masih dan akan selalu meminta Sakya untuk jadi perempuan yang mandiri.

Kakinya baru melangkah tiga kali namun dadanya sudah merasa sesak saat netranya mendapati satu bingkai foto Bunda yang terpajang rapi di sudut ruangan. Ayahnya masih sayang Bunda, Sakya tahu itu.

Sakya pernah meminta pada Semesta agar ia memiliki perasaan seperti Ayah ke Bunda, tidak pernah ada ujungnya. Ia memejam, kemudian menarik napas—lagi, memperhatikan setiap sudut ruang di rumah ini yang sama sekali tidak berubah setelah ia tinggalkan ke Jogjakarta untuk menuntut ilmu.

Satu menit setelahnya, netra Sakya jatuh pada sofa cokelat di ruang keluarga. Ruangan itu menyimpan banyak cerita juga luka, ruangan itu ... adalah ruangan terakhir Sakya memeluk daksa milik Gentala tiga tahun yang lalu.

Tujuan gadis itu berpindah, tidak lagi ke arah kamar di bagian belakang—tapi ia berjalan ke arah ruang keluarga. Duduk di sana, menatap setiap inci letak benda yang tidak berubah. Gadis itu mengambil kotak hitam yang ia simpan jauh di dalam ingatan, kemudian mengeluakan isinya yang langsung berhamburan ke mana-mana.

“Gue kangen banget sama lo, Gentala.” Dadanya naik dan turun, seirama dengan detak jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya. “Berlin terasa lebih nyaman dari pada Jakarta, ya, Ta?”

“Berlin punya banyak manusia labil kaya Sakya Rananta, ya, Ta?” Sakya tertawa sendiri walau air mata diam-diam sudah jatuh dari pelupuknya. “Lo enggak pernah kangen sama gue, ya, Gentala?”

Jemari gadis itu bergetar hebat, beralih tugas untuk meremat dadanya sendiri. Ia berusaha meredam segala rasa sakit yang ada di sana. Segala rasa sakit ketika ia mengingat tentang pria bernama Gentala.

“Seberapa keras gue ngelupain lo, sekeras itu juga lo lagi-lagi memiliki banyak pengaruh di hidup gue.” lanjutnya. Sekarang ia menutupi wajahnya dengan kedua telapan tangan, berusaha meredam suara erangan agar tidak terdengar oleh Ayah.

“Gue kangen juga sama lo, Sakya Rananta.”

Tangisan Sakya terdengar tambah pilu saat suara berat itu masuk ke dalam rungunya. Lagi-lagi ia berhalusinasi kalau Gentala ada di sini, di dekatnya dan ingin mendekapnya.

“Gentala, lo udah pergi dari hidup gue. Tapi kenapa bayang-bayang lo masih di sini?” tanya Sakya sambil membuka mata yang langsung disambut dengan senyum manis seorang pria.

Jantungnya langsung berdetak hebat, seluruh sendi di tubuhnya terasa kaku. Halusinasi kali ini terasa begitu nyata, terlebih saat pria itu berjalan mendekat dengan senyum lebar juga satu buket bunga di tangannya.

“Gue halu banget ...” Sakya terkekeh sendiri saat Gentala berdiri tepat di hadapannya. “Sakya Rananta halus banget, lagunya Febi Putri cocok buat lo, Sa.”

“Sakya.”

Sakya berhenti saat kuasa pria itu mengelus pipinya lembut. Napasnya tercekat di tenggorokan saat senyum milik pria di hadapannya terpancar lebih manis.

“Gue di sini. Gentala lo di sini.”

Dia di sini, dia benar-benar di sini.

Bentang

Kalau ditanya kenapa Sakya tidak beralih dari seorang Gentala padahal dengan jelas pria itu selalu menyakitinya,

maka dengan lantang Sakya menjawab karena ia merasa bersalah. Sedari kecil, secara tidak sadar Sakya selalu meletakkan seluruh kebahagiaan orang lain di atas dirinya. Sakya selalu merasa bahwa kebahagiaan seseorang adalah sebuah tanggung jawab untuknya.

Sakya tidak pernah tahu dimana nanti hatinya akan berlabuh. Entah Gentala, Aryasatya atau bahkan tidak pernah di antara keduanya. Namun untuk saat ini, gadis itu mau semua yang ia hadapi berjalan dengan sebagaimana mestinya—termasuk hubungannya dengan Gentala.

Sakya bahkan tahu hubungannya dengan Gentala adalah sebuah keegoisan dari masing-masing mereka. Pihak gadis disakiti secara mutlak, namun pihak pria disakiti secara tidak langsung. Sebab ...

sebab perasaan Sakya sudah tidak sepenuhnya untuk Gentala. Sebab, setelah Aryasatya membuatnya selalu merasa aman secara mutlak—rasanya untuk Gentala tidak lagi sama. Lagi, Sakya merasa bersalah akan hal itu. Ia memutuskan untuk tidak akan pernah marah pada Gentala, bagaimanapun cara pria itu menyakitinya—demi sebuah kata bahagia yang sia-sia.

“Kangen.” Pria berjaket hitam itu berjalan pelan dengan satu tas karton di tangan kanannya. Memasukkan kunci mobil ke dalam saku, lalu memeluk Sakyanya sambil memejam, menumpahkan segala rasa lelahnya di pundak gadis itu.

Sejak kedatangan Papanya di Indonesia, Gentala tidak pernah merasa hidupnya akan aman. Sebab sudah bisa dipastikan bahwa Papanya akan bertindak semaunya yang entah kenapa tidak akan pernah bisa ia tolak.

Sakya mengelus punggung pria itu lembut, sesekali menepuk—berharap seluruh bebannya pergi. “Capek banget, ya?”

Gentala mengangguk dengan mata yang masih saja memejam. Napasnya berkali-kali memburu di rungu milik Sakya.

“Duduk dulu, yuk?” ajak Sakya, berusaha melepaskan pelukan erat itu.

“Biarin gini dulu, sebentar.” Suaranya bergetar yang membuat Saya harus diam pada posisinya, mencoba paham akan situasi seperti ini. Gentala butuh dirinya dan Sakya harus di sana.

Beberapa menit berlalu, kaki juga punggung Sakya sampai terasa pegal. Lagi-lagi ia berusaha untuk melepaskan pelukan itu, “Duduk dulu, aku pegel.”

Pada akhirnya Gentala pelan-pelan melepaskan pelukan itu. Matanya sembab, hidungnya memerah dengan bibir yang berdarah. “Kamu enggak akan pergi ninggalin aku, kan, Sa?”

Sakya mematung, sebab ia juga tidak pernah tahu kapan waktunya ia pergi dari Gentala. Sebab Sakya juga tidak pernah tahu kapan ia akan mengungkap tentang perasaan yang sebenar-benarnya pada pria itu.

“Ta,” Kuasa Sakya terangkat untuk menghapus air mata pria itu lembut, “Kita enggak akan pernah tahu kapan kepergian itu datang. Yang jelas, di setiap pertemuan kita harus mempersiapkan sebuah kata ikhlas.”

Di setiap pertemuan, kita hapus mempersiapkan sebuah kata ikhlas.

Benar. Sakya tidak salah. Karena setiap pertemuan, memiliki dua pelabuhan yang sangat berbentang—selamanya bersama atau sebuah kepergian.

“Ta,” Kuasa Sakya bergetar hebat. Ia ingin memutuskan hubungannya dengan Gentala hari ini juga, sebab kalau tidak maka pria itu akan tersakiti lebih jauh. Namun entah kenapa, lidah Sakya terasa kelu dan membuatnya bisu.

Satu kali lagi dan disaksikan oleh purnama, Gentala membawa gadisnya dalam sebuah pelukan tulus. “Tolong jangan tinggalin aku ...”

Thanks.

“Kalau emang enggak mau kenal lagi sama Jessica, itu hak lo. Tapi lo harus terima permintaan maaf dia, ya, Sa?” kata Aryasatya setelah menjelaskan panjang lebar kepada gadis bersurai sebahu yang pelipisnya masih dibalut dengan perban. Kuasa pria itu terangkat untuk mengelusnya penuh sayang. “Kalau emang belum siap, enggak perlu memaafkan. Tapi yang penting lo tau dari sisi dia dulu kaya gimana, ya?”

Sakya diam, menatap lurus-lurus ke arah depan. Berkali-kali gadis itu menghela napasnya, berkali-kali juga bibirnya digigit dengan keras. Kalau mengingat semua luka yang ia dapatkan dalam masalah ini, maka Sakya akan sangat marah besar dengan Jessica. Tapi kalau mengingat seberapa banyak waktu yang Sakya habiskan bersama sahabatnya itu, Sakya merasa iba.

“Gue enggak marah, Kak Arya. Gue enggak marah sama Jessica juga sama Gentala. Gue cuma ...”

Aryasatya tersenyum sebab ia mengerti apa yang mau diucapkan oleh gadis kesayangannya. “Kecewa?”

Tidak ada yang bisa Sakya lakukan selain lagi-lagi mengatur napasnya yang berantakan. Tebakan Aryasatya terlalu tepat untuk ia jadikan sebuah alasan untuk tidak mau bertatap wajah dengan Jessica.

“Yaudah kalau emang enggak mau, gue text Jessica dulu.” lanjut Aryasatya sambil mengambil alih ponselnya di pangkuan Sakya—karena habis digunakan untuk menonton drama Korea.

Sebenarnya Sakya bisa saja memberi kesempatan pada Jessica untuk menjelaskan semua yang terjadi demi mengobati luka di hatinya, tapi di satu sisi lagi Sakya ingin menyudahi semuanya. Sebab hari demi hari rasanya justru lebih menyakitkan. Sakya bahkan rela menjadi figuran bodoh yang berdiri di antara Gentala juga Jessica.

“Kak, gue mau ketemu Jessica.” ucap Sakya tiba-tiba sambil menyentuh punggung tangan Aryasatya yang masih mengelus puncak kepalanya. “Gue mau tau semuanya dari sisi Jessica.”

Senyum megah milik Aryasatya langsung memancar dengan sempurna. Pria itu terlihat lebih tampan dari hari-hari sebelumnya dengan balutan kemeja berwarna biru. “Yaudah sebentar, gue minta kursi roda dulu.”

Beberapa menit selagi Aryasatya keluar dari ruang persegi itu, Sakya hanya bisa membayangkan hal-hal apa yang akan ia dengarkan dari bibir sahabatnya. Mulai dari sebuah kalimat maaf atau bahkan sebuah pembelaan. Namun apapun itu, Sakya akan mendengar semuanya sampai habis. Diam-diam gadis itu juga mempersiapkan hatinya untuk beberapa menit ke depan.

“Pelan-pelan,” Kuasa Aryasatya terulur untuk mengangkat daksa Sakya, membantu gadis itu duduk dengan sangat hati-hati.

Setiap Aryasatya memperlakukannya dengan sempurna, memperlakukannya dengan sebaik mungkin, harusnya Sakya bisa dengan mudah meletakkan sebuah rasa untuk pria itu. Tapi rasanya kenapa semuanya begitu sulit dari pada ia harus meletakkan rasanya untuk Gentala?

“Kak, berhenti.” Sakya menepuk punggung tangan Arya dua kali saat netranya mendapati Gentala yang duduk di kursi taman dengan posisi membelakanginya.

Sakya tahu betul kalau itu Gentala, ia tahu dengan porsi tubuh Gentala dan ia juga tahu setiap pergerakan milik pria itu. Jantungnya berdetak kencang, tangannya mengepal erat. Sakya senang sekali karena akhirnya ia bisa melihat kalau Gentala baik-baik saja.

“Mau ke Gentala?” tanya Aryasatya, sambil mengusap punggung Sakya. Pria itu tahu kalau ada seutas senyum penuh keikhlasan yang ditunjukan gadis itu pada dunia malam ini.

Sakya mengangguk kecil sebagai jawaban, senyumnya tidak pernah lepas dari setiap sudut bibir gadis itu. Namun saat baru saja Aryasatya melangkah tiga kali, seorang perempuan dengan dress hijau muda menghampiri Gentala. Sakya juga tahu kalau itu Jessica, terdengar dari suaranya.

“Kak, sebentar.” pinta Sakya lagi-lagi.

Netra Sakya juga Arya saya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Gentala pun Jessica. Keduanya tampak mengobrol dengan serius di taman yang sangat sepi ini—hanya ada dua pasien lain-nya juga perawat yang berlalu-lalang di koridor.

“Gentala ...” kata Sakya dengan nada yang bergetar namun cukup jelas masuk ke dalam rungu Jessica yang sedang mengecup Gentala tepat pada bibir pria itu.

“Sakya?” Gentala kalang-kabut, ia bingung

Dada Sakya naik dan turun secara cepat, menahan seluruh air yang bergerumul di kelopak matanya. Sakya tidak pernah mengira bahwa pemandangan ini akan ia dapatkan satu hari saat Tuhan hampir saja mengambil nyawanya. Dengan kekuatan penuh Sakya berdiri, dibantu dengan Aryasatya—tentu saja.

“Sakya,” ucap Aryasatya kecil, pria itu mendekatkan wajahnya. Perlahan namun pasti langsung mengecup pelan bibir Sakya selama satu menit. Sedangkan dua orang lain-nya hanya diam, sampai Aryasatya menarik tengkuk Sakya—mulai melumat bibir gadis itu di hadapan Gentala dengan mesra.

Sebuah usaha untuk membalas dendam, katanya dalam hati. Aryasatya bahkan tidak peduli berada dimana mereka sekarang. Yang ia mau hanya Gentala mendapatkan seluruh rasa sakit yang dirasakan oleh gadis kesayangannya—Sakya Rananta.

©TetehnyaaJisung