Kata Ayah.

Dulu kata Ayah, Sakya adalah anak perempuan yang bahunya harus sekuat baja. Karena selain anak perempuan pertama, ia juga cucu pertama. Gadis paling utama yang diharapkan kesuksesan-nya apalagi oleh Kakek.

Dulu kata Ayah, seorang anak sama sekali tidak dianjurkan untuk menolak permintaan orangtua. Itu sebabnya sampai detik ini Sakya tidak pernah tahu bagaimana rasanya menolak sebuah permintaan. Sakya hanya menerima, menerima dan berusaha mengikhlaskan segalanya yang ia terima.

Terkesan mengerikan memang, tapi kalau bukan karena Ayah, mungkin sampai detik ini anak gadis itu tidak pernah tahu bagaimana caranya menghargai perasaan orang lain.

Bagi Sakya, pendewasaan diri paling mudah adalah dengan cara terpaksa. Sebab jika tidak terpaksa karena Ayah, Sakya tidak pernah bisa merasakan apa-apa yang sudah ia lewati selama dua puluh dua tahun ia hidup di Bumi.

“Sakya dengar Ayah, kan, Nak?” Suara Ayah bergetar memasuki rungu milik Sakya yang membuat gadis itu dengan cepat menghapus jejak air matanya kemudian menerbitkan seutas senyum manis kesukaan Ayah.

Putri Ayah satu-satunya itu mengangguk, “Sakya ... Sakya bersedia menikah sama laki-laki pilihan Ayah kalau memang hari ini Gentala enggak datang, Yah.”

Pada akhirnya, putri Ayah yang satu ini memang tidak pernah memiliki kartu kesempatan untuk menolak seluruh permintaan orang lain terhadap dirinya. Sekali lagi ia harus mengorbankan dirinya, perasaanya untuk orang yang ia sayang.

Sakya bukan gadis yang buruk dalam menjalani sebuah hubungan dengan orang lain, tapi Sakya gadis yang sangat buruk dalam menjalani sebuah hubungan dengan dirinya sendiri.

Sebuah kurva di bibir Ayah tertarik begitu saja saat ia masuk ke dalam bolamata cokelat tua putrinya. “Ayah enggak mau Sakya menikah dengan terpaksa, tapi Ayah ingin sekali lihat Sakya jadi pengantin, Nak.”

Kuasa Sakya terangkat begitu saja untuk menggenggam jemari milik Ayah. Satu bulir air mata terjun dengan bebas melewati pipinya tanpa dipinta. Bibirnya bergetar, sulit sekali untuk mengatakan dua atau bahkan sebuah kalimat penolakan. Dia menggeleng tanpa ragu, menatap Ayah tepat pada netranya—berusaha meyakinkan pria berusia senja itu lewat sana. “Sakya enggak merasa dipaksa sama Ayah. Kalau besok Sakya menikah, Ayah harus sembuh, ya?”

Ayah tidak mengangguk, tidak juga memberikan sebuah kalimat penenang untuk putri satu-satunya itu. Tapi dalam diam, dalam hatinya Ayah selalu meminta pada Yang Kuasa agar diberi hidup lebih lama lagi.

“Menikah itu Sakral, Sakya. Hanya dilakukan satu kali seumur hidup. Semoga.” tutur Ayah penuh harap, jemarinya mengenggam erat milik Sakya. Harapan-harapan yang ia pupuk selama ini akhirnya dapat bertumbuh juga berkat Sakya. “Sakya ...”

“Iya, Ayah?”

Melihat bulir air mata putrinya yang turun berkali-kali membuat hati Ayah terasa sakit. Tapi di depan Sakya, Ayah berusaha menyampaikan satu lagi harapannya. “Ayah berharap kalau Sakya tidak mengucap kalimat perceraian untuk suami Sakya nanti.”

Lagi, lagi, dan lagi Sakya harus menerima, kan?

“Pasti. Pasti, Ayah.” katanya yakin.

Lewat Ayah, Sakya belajar bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini termasuk perasaan. Perpisahan yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu adalah sebagai bukti bahwa seribu kalimat cinta akan dikalahkan dengan satu kalimat perpisahan.

“Sakya,” panggil Ayah yang langsung diikuti dengan batuk tanpa henti.

Sakya berdiri dari tempatnya, membantu Ayah untuk duduk. Namun saat itu, darah terus mengalir dari bibir Ayah yang membuat Sakya semakin kalang-kabut. Gadis itu berteriak sekuat tenaga untuk memanggil tim medis untuk menangani Ayah.

Yang pertama kali membuka pintu ruangan ini justru bukan tim medis, melainkan Zehian yang sebetulnya sudah hadir dua puluh menit lalu. Pria itu memilih untuk diam dan mendengarkan percakapan Sakya juga Ayahnya di luar sana.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh Zehian saat netranya menangkap kejadian itu adalah membawa Sakya masuk ke dalam pelukannya—sebab Ayah sedang ditangani oleh tim medis.

“Sakya dengar saya, apapun yang terjadi itu bukan kendali kamu. Semuanya kita serahkan ke Tuhan.” bisik Zehian tepat di telinga kanan milik Sakya. Kedua tangannya sibuk untuk memeluk daksa rapuh milik gadis itu. Zehian juga tidak segan meletakkan dagunya di atas kepala Sakya dan bahkan mengecup puncak kepalanya berkali-kali. “Sakya, dengar saya.”

Ia sama sekali tidak mendengarkan Zehian, tangannya ia layangkan di udara untuk menunjuk daksa Ayah yang sedang ditangani oleh tim medis.

“Sakya, kamu percaya kalau Tuhan itu ada, kan?”