Ternyata bukan akhir, itu adalah bagian awal.
Seutas senyum tipis terangkat begitu saja saat netranya menatap satu pasang kursi yang sejak beberapa tahun lalu memang sengaja diletakkan di halaman depan. Kuasanya terangkat untuk mengelus gagang kursi itu, kemudian beralih menekan tombol bel di samping pintu. Sudah tiga tahun rasanya ia tidak menghirup udara rumah ini, namun saat ia kembali semuanya masih terasa sama.
Jakarta masih penuh sesak luar biasa.
“Sakya?” Suara Ayah mengintuksi, meraih daksa putrinya yang sudah tiga bulan tidak ia temui. “Kok enggak bilang Ayah kalau mau pulang ke Jakarta?”
Gadis bersurai panjang itu tersenyum manis di dalam pelukan Ayahnya. “Selamat hari lahir, Ayah. Sakya emang sengaja pulang ke sini enggak bilang Ayah.”
Ayahnya itu hanya terkekeh, mengacak surai putrinya lembut. Ayah tahu, Sakya sudah berubah menjadi gadis dewasa sejak tiga tahun yang lalu. Tapi Ayah tidak pernah tahu apa alasan anak gadisnya itu berubah sebaik ini, secepat ini.
“Ayah,”
Pria itu mengernyit bingung.
“Tenang aja, Sakya emang lagi ada libur. Kuliahnya ke-handle kok, enggak pernah telat kumpulin tugas.” lanjut Sakya seolah mengerti apa yang menjadi pikiran Ayahnya.
Ayah menggeleng, pasalnya bukan hal itu saja yang ia pikirkan. “Bukan, bukan itu. Kemarin ada yang ke sini cari kamu, cuma Ayah lupa namanya siapa. Katanya temen sekolahmu.”
“Laki-laki atau perempuan?” tanya gadis itu penasaran. Ia mengikuti Ayah yang berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah. “Ayah inget ciri-cirinya?”
Ayah mengangguk yakin, “Laki-laki. Putih, tinggi, sopan dan baik. Ayah seperti pernah lihat, tapi lupa dimana.”
Senyum manis lagi-lagi terlukis halus di bibir Sakya. Ia tahu kalau Ayah sudah mulai banyak lupanya, tapi tidak apa—ia tidak begitu penasaran dengan orang itu.
“Yaudah. Sakya masuk dulu, ya? Mau ganti baju.” katanya berpamitan sambil meraih ransel berisi beberapa bukunya. Sampai sekarang Sakya tahu bahwa Ayah masih dan akan selalu meminta Sakya untuk jadi perempuan yang mandiri.
Kakinya baru melangkah tiga kali namun dadanya sudah merasa sesak saat netranya mendapati satu bingkai foto Bunda yang terpajang rapi di sudut ruangan. Ayahnya masih sayang Bunda, Sakya tahu itu.
Sakya pernah meminta pada Semesta agar ia memiliki perasaan seperti Ayah ke Bunda, tidak pernah ada ujungnya. Ia memejam, kemudian menarik napas—lagi, memperhatikan setiap sudut ruang di rumah ini yang sama sekali tidak berubah setelah ia tinggalkan ke Jogjakarta untuk menuntut ilmu.
Satu menit setelahnya, netra Sakya jatuh pada sofa cokelat di ruang keluarga. Ruangan itu menyimpan banyak cerita juga luka, ruangan itu ... adalah ruangan terakhir Sakya memeluk daksa milik Gentala tiga tahun yang lalu.
Tujuan gadis itu berpindah, tidak lagi ke arah kamar di bagian belakang—tapi ia berjalan ke arah ruang keluarga. Duduk di sana, menatap setiap inci letak benda yang tidak berubah. Gadis itu mengambil kotak hitam yang ia simpan jauh di dalam ingatan, kemudian mengeluakan isinya yang langsung berhamburan ke mana-mana.
“Gue kangen banget sama lo, Gentala.” Dadanya naik dan turun, seirama dengan detak jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya. “Berlin terasa lebih nyaman dari pada Jakarta, ya, Ta?”
“Berlin punya banyak manusia labil kaya Sakya Rananta, ya, Ta?” Sakya tertawa sendiri walau air mata diam-diam sudah jatuh dari pelupuknya. “Lo enggak pernah kangen sama gue, ya, Gentala?”
Jemari gadis itu bergetar hebat, beralih tugas untuk meremat dadanya sendiri. Ia berusaha meredam segala rasa sakit yang ada di sana. Segala rasa sakit ketika ia mengingat tentang pria bernama Gentala.
“Seberapa keras gue ngelupain lo, sekeras itu juga lo lagi-lagi memiliki banyak pengaruh di hidup gue.” lanjutnya. Sekarang ia menutupi wajahnya dengan kedua telapan tangan, berusaha meredam suara erangan agar tidak terdengar oleh Ayah.
“Gue kangen juga sama lo, Sakya Rananta.”
Tangisan Sakya terdengar tambah pilu saat suara berat itu masuk ke dalam rungunya. Lagi-lagi ia berhalusinasi kalau Gentala ada di sini, di dekatnya dan ingin mendekapnya.
“Gentala, lo udah pergi dari hidup gue. Tapi kenapa bayang-bayang lo masih di sini?” tanya Sakya sambil membuka mata yang langsung disambut dengan senyum manis seorang pria.
Jantungnya langsung berdetak hebat, seluruh sendi di tubuhnya terasa kaku. Halusinasi kali ini terasa begitu nyata, terlebih saat pria itu berjalan mendekat dengan senyum lebar juga satu buket bunga di tangannya.
“Gue halu banget ...” Sakya terkekeh sendiri saat Gentala berdiri tepat di hadapannya. “Sakya Rananta halus banget, lagunya Febi Putri cocok buat lo, Sa.”
“Sakya.”
Sakya berhenti saat kuasa pria itu mengelus pipinya lembut. Napasnya tercekat di tenggorokan saat senyum milik pria di hadapannya terpancar lebih manis.
“Gue di sini. Gentala lo di sini.”
Dia di sini, dia benar-benar di sini.