TetehnyaaJisung

####### Goresan awal, untuk pria bernetra indah.

Dalam diam, Saranita memerhatikan pria di sampingnya tanpa berpaling. Pancaran penuh cinta tanpa dipinta yang tergambar di sana. Sejak awal bagian dalam tulisan ini dimulai, ia sudah mencintainya—ingin memiliki pria bernetra elok itu sepenuhnya. Baginya, pria itu bukan hanya seseorang yang dengan khusus dikirimkan Semesta untuknya. Tapi, ia adalah pria manis yang benar-benar dilahirkan ketika Bumi bersuasana elok.

Sudah hampir empat puluh menit mereka di sini, hanya duduk dan berdiam sambil menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit. Tidak ada yang mengeluarkan suara sebelum akhirnya si gadis mengangkat kuasanya untuk mengambil satu kotak berisi alat bantu dengar yang baru saja ia beli menggunakan uangnya sendiri.

Saranita meletakkan kotak itu di samping jemari Aksara yang menopang dirinya sendiri. “Hadiah buat lo.”

Seperti dugaan, kurva di bibirnya terangkat penuh. Pria bernama Aksara itu menatap gadis di samping sebelum akhirnya mengambil kotak berpita abu itu. Jemarinya secara perlahan menarik satu ujung pita agar terlepas dan kotaknya dapat dibuka. Pancaran netra kecokelatan itu langsung teralih pada Saranita sesaat setelah pria itu tahu isinya.

Kuasa Saranita terangkat, berusaha menjelaskan dengan bahasa isyarat yang sudah ia pelajari bersama Tantenya dua minggu lalu. Katanya, “Gue beli pakai uang sendiri, tenang aja. Lo sama sekali enggak memberatkan. Anggap saja hadiah karena lo udah jadi Aksara yang hebat.”

Aksara tahu, Saranita bukanlah gadis yang dibesarkan dengan penuh cinta begitu saja. Tapi di dekatnya, Aksara selalu merasa bahwa dirinya memang sedang dicintai. Di dekat Saranita juga, ia merasa bahwa Bunda berada bersamanya.

“Mau gue bantu pakai?” Saranita kembali menggerakkan tubuhnya, membuat air dengan cepat memenuhi pelupuk Aksara. “Kok nangis? Hadiahnya kurang bagus, ya?”

Dengan cepat Aksara menggeleng, sebab memang bukan itu alasannya. Pria itu kembali menatap netra milik Saranita dalam seolah sedang tenggelam di dalamnya, mencari sebuah kesedihan di balik netra yang selalu merefleksikan luka yang kronis. Kuasanya terangkat untuk mengambil buku kesayangan dari dalam ransel bersamaan dengan satu bulir air mata yang menitik, membasahi satu bagian kertas itu.

“Aksa, jangan nangis...” Saranita tahu bahwa Aksara tidak dapat mengertinya, pria itu tidak dapat mendengar suaranya sebab kali ini ia tidak lagi menggerakkan tubuhnya agar dimengerti.

Kuasa Aksara bergerak menggoreskan huruf menjadi kata, kemudian kata menjadi sebuah kalimat-kalimat penuh makna.

Setelah membaca tulisan tangan kesukaan-nya, Saranita mengangguk tanpa ragu. Kemudian kembali mengikuti arah pandang Aksara untuk menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit Jakarta.

“Kenapa ngelihatin gedung segitunya?”

Beruntungnya Aksara sudah memasang alat bantu dengar di telinganya, jadi ia dapat memahami pertanyaan yang diajukan oleh Saranita. Pria berkaus abu yang sedikit usang itu mengangkat lekung di bibirnya, selanjutnya kembali menuliskan kalimat demi kalimat di atas bukunya.

Setelah membaca kalimat yang dituliskan, Saranita menatap wajah Aksara dari sisi kirinya. Menghela napas, “Ayah lo bohong, Aksa. Suatu hari nanti lo pasti bisa kerja di sana.”

Lagi-lagi kedua sudut aksara terangkat penuh. Gadis di samping dengan kaus hitam polos itu memang paling bisa membuat dirinya kembali merasa dicintai dan layak seperti kata Bunda dahulu. Perlahan senyum itu berubah jadi tawa tanpa suara, netranya tetap mengarah pada Saranita.

“Apa? Gue enggak bohong. Suatu hari nanti lo bisa. Pasti bisa.”


Netra = mata Kuasa = tangan Kurva = lengkungan

Suara milik Gentala

Langkah pertama.

Langkah kedua.

Langkah ketiga. Sampai langkah ke enam belas membawa gadis bersurai legam itu sampai tepat di depan brangkat. Dia menarik kursi di sampingnya ragu-ragu, sementara netra tidak pernah lepas dari daksa yang terbaring lemah di atasnya. Lagi-lagi kuasanya terangkat, menyentuh dahi yang terbalut kain kasa dengan tebal. Dengan gemetar dan jantung yabg berdetak seiring dengan bunyi monitor di sebelahnya, jemari lentik itu turun sampai pada bagian bibir.

“Genta...” panggilnya lembut. Hatinya terasa sakit saat panggilan itu terus-terusan diabaikan oleh pria kesayangan yang sedang berjuang untuk hidupnya sendiri. “Maaf...”

Diam-diam bulir air mata lolos begitu saja dari pelupuknya, sedang pipi menyambutnya mau tidak mau. Sakya tidak pernah tahu kata apa lagi selain maaf yang mampu ia utarakan untuk pria ini.

Jemari yang tadinya mengusap lembut wajah itu kini mengepal dengan erat, menahan setiap rasa yang masuk melalui rongga dada. Terus menerus netranya menatap wajah yang begitu ia rindukan.

“Genta...”

Walau tidak sepenuhnya, tapi kali ini Sakya mengerti bagaimana Gentala tersiksa selama ini akan perasaan takut dengan sebuah kehilangan. Ternyata rasanya begitu menyiksa, menyakiti tiap-tiap saraf di bagian otaknya.

“Maaf kalau selama ini kamu hidup tersiksa, Gentala...” desisnya. Sakya mengangkat lengan Gentala, menempelkan telapak tangan itu di wajahnya yang penuh air mata. “Aku takut. Aku takut banget kehilangan kamu...”

Dalam hati Sakya meminta pada Tuhan untuk kembalikan Gentalanya pada dunia—agar setidaknya ia bisa melihat lagi senyum secerah mentari dari kurva di bibir pun matanya.

“Aku enggak minta kamu untuk cepet-cepet bangun terus pulih, Ta. Kalau emang masih capek, lanjut aja istirahatnya. Masih banyak banget yang sayang sama kamu, nungguin kamu.”

Sebelum mengenal pria di hadapannya ini, Sakya tidak pernah tahu bagaimana cara mengolah perasaannya sendiri. Lewat Gentala juga Sakya jadi mengerti kalau menjadi dewasa bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keterpaksaan.

Sakya menggenggam erat jemari milik Gentala, menakutkan pada rongga jemari-jemarinya—yang padahal sudah tersampir cicin pernikahan di sana. Ia membawa genggaman itu ke hadapan bibirnya, mengecup punggung tangan Gentala sembari tersenyum kecil.

“Kalau kamu udah bangun nanti, kamu bakalan ketemu Sakya Rananta yang berbeda, Gentala. Sakya yang udah enggak maksa kamu buat datang ke Jakarta untuk temui Ayah, Sakya yang udah enggak minta hoodie punya kamu lagi atau bahkan Sakya yang udah enggak bisa peluk kamu lagi.” katanya. Ia menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangan, takut untuk membayangkan kejadian-kejadian selanjutnya kalau saja Gentala kembali nanti.

Tanpa disadari, jemari milik Gentala bergerak perlahan seiring dengan matanya basahnya yang terbuka sedikit demi sedikit. Suara monitor begitu saja masuk ke dalam rungu Sakya, membuat gadis itu bingung untuk sekedar memberi respon.

“Sakya...” Pertama kali membuka matanya, sosok yang Gentala lihat adalah gadis kesayangannya.

Langkah pertama.

Langkah kedua.

Langkah ketiga. Sampai langkah ke enam belas membawa gadis bersurai legam itu sampai tepat di depan brangkat. Dia menarik kursi di sampingnya ragu-ragu, sementara netra tidak pernah lepas dari daksa yang terbaring lemah di atasnya. Lagi-lagi kuasanya terangkat, menyentuh dahi yang terbalut kain kasa dengan tebal. Dengan gemetar dan jantung yabg berdetak seiring dengan bunyi monitor di sebelahnya, jemari lentik itu turun sampai pada bagian bibir.

“Genta...” panggilnya lembut. Hatinya terasa sakit saat panggilan itu terus-terusan diabaikan oleh pria kesayangan yang sedang berjuang untuk hidupnya sendiri. “Maaf...”

Diam-diam bulir air mata lolos begitu saja dari pelupuknya, sedang pipi menyambutnya mau tidak mau. Sakya tidak pernah tahu kata apa lagi selain maaf yang mampu ia utarakan untuk pria ini.

Jemari yang tadinya mengusap lembut wajah itu kini mengepal dengan erat, menahan setiap rasa yang masuk melalui rongga dada. Terus menerus netranya menatap wajah yang begitu ia rindukan.

“Genta...”

Walau tidak sepenuhnya, tapi kali ini Sakya mengerti bagaimana Gentala tersiksa selama ini akan perasaan takut dengan sebuah kehilangan. Ternyata rasanya begitu menyiksa, menyakiti tiap-tiap saraf di bagian otaknya.

“Maaf kalau selama ini kamu hidup tersiksa, Gentala...” desisnya. Sakya mengangkat lengan Gentala, menempelkan telapak tangan itu di wajahnya yang penuh air mata. “Aku takut. Aku takut banget kehilangan kamu...”

Dalam hati Sakya meminta pada Tuhan untuk kembalikan Gentalanya pada dunia—agar setidaknya ia bisa melihat lagi senyum secerah mentari dari kurva di bibir pun matanya.

“Aku enggak minta kamu untuk cepet-cepet bangun terus pulih, Ta. Kalau emang masih capek, lanjut aja istirahatnya. Masih banyak banget yang sayang sama kamu, nungguin kamu.”

Sebelum mengenal pria di hadapannya ini, Sakya tidak pernah tahu bagaimana cara mengolah perasaannya sendiri. Lewat Gentala juga Sakya jadi mengerti kalau menjadi dewasa bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keterpaksaan.

Sakya menggenggam erat jemari milik Gentala, menakutkan pada rongga jemari-jemarinya—yang padahal sudah tersampir cicin pernikahan di sana. Ia membawa genggaman itu ke hadapan bibirnya, mengecup punggung tangan Gentala sembari tersenyum kecil.

“Kalau kamu udah bangun nanti, kamu bakalan ketemu Sakya Rananta yang berbeda, Gentala. Sakya yang udah enggak maksa kamu buat datang ke Jakarta untuk temui Ayah, Sakya yang udah enggak minta hoodie punya kamu lagi atau bahkan Sakya yang udah enggak bisa peluk kamu lagi.” katanya. Ia menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangan, takut untuk membayangkan kejadian-kejadian selanjutnya kalau saja Gentala kembali nanti.

Tanpa disadari, jemari milik Gentala bergerak perlahan seiring dengan matanya basahnya yang terbuka sedikit demi sedikit. Suara monitor begitu saja masuk ke dalam rungu Sakya, membuat gadis itu bingung untuk sekedar memberi respon.

“Sakya...” Pertama kali membuka matanya, sosok yang Gentala lihat adalah gadis kesayangannya.

Diri Zehian.

Pukul sepuluh telat—tidak kurang pun lebih, Zehian benar-benar menapakkan kakinya di rumah besar milik Dika Ananta Putra. Rumah besar yang sudah menjadi kediamannya juga. Netranya menyisir ruang keluarga, menatap satu persatu benda yang ada di dalamnya. Pikirannya mengingat ucapan seseorang yang sudah menjadi Ayah merutanya beberapa tahun lalu. Katanya,

Ruang keluarga menjadi salah satu ruang kesukaan Sakya ketika pacarnya kembali, satu tahun yang lalu.

Zehian ingat, satu tahun yang lalu adalah waktu dimana Gentala pulang dari Germany setelah dipaksa sekolah bertahun-tahun dan mencapai gelar sesuai keinginan Papanya. Zehian juga ingat bagaimana Papa memaksa Gentala dengan menjanjikan bahwa gadis kesayangan pria itu akan hidup dengan tenang. Katanya,

Papa akan merubah seluruh peraturan sekolah dan memastikan tidak ada yang menyakiti Sakya kalau kamu sekolah di Germany.

Zehian ingat ...

detik itu Gentala berkali-kali mengatur napasnya untuk membuat keputusan yang bulat. Sekarang Zehian tahu, kenapa Gentala dengan rela belajar dengan cepat di negara orang sana. Sakya Rananta adalah jawabannya.

“Sa,” Kuasa Zehian terangkat untuk menyingkirkan helaian-helaian surai yang menutupi wajah cantik perempuannya, menyelipkannya di daun telinga. “Bangun.”

Perempuan itu tidak merespon, tapi Zehian tetap menatap lekat wajahnya. Cantik, dia memang cantik sekali. Dua detik berikutnya, ia menggeleng untuk melenyapkan seluruh isi pikirannya tentang gadis itu. Tentang pikiran akan perasaannya yang lugu jika berhadapan dengan Sakya. Tentang debar yang tidak pernah menenangkan kala daksanya berada bersebelahan. Tentang aliran darah yang selalu saja membeku ketika netranya masuk ke dalam sana. Tentang lidah yang terasa kelu setiap hendak mengucapkan satu kalimat saja.

Zehian mencondongkan daksanya, mendekatkan bibir untuk sekedar mengecup dahi si manis. Kemudian berhenti tepat di sebelah alat pendengarannya, “Sakya, bangun.”

Tutur lembut itu membuat Sakya mengerjapkan mata. Satu objek yang menjadi pusatnya menyorotkan tatapan adalah pria tampan dibalut jas hitam yang sedang berjongkok sambil tersenyum manis. Kuasanya terangkat di udara, kemudian berhenti untuk mengusap kasar wajah tampan pria itu.

“Gue ngapain halus si bos ada di—eh, bentar!” pekiknya di ujung kalimat saat ia tahu kalau sesuatu yang disentuhnya terasa nyata. “Pak Zehian ngapain di sini?!”

Zehian hanya terkekeh kecil, berpikir bahwa perempuan ini lucu sekali. “Saya suami kamu, saya berhak di sini, kan?”

Sakya lupa bahwa sekarang ia sudah resmi menjadi milik pria ini sepenuhnya. Ia lupa bahwa sekarang sudah tidak lagi ada harapan untuk ia dan Gentala untuk sama-sama berjuang. Karena sekeras apapun mereka berjuang, Sakya sadar kalau mereka tidak akan berujung sama.

“Ayo, bangun. Katanya mau ke Bandung, kan? Kinara sudah dijemput tadi, sekarang lagi di rumah sakit sama Mbak Ina.” jelas pria itu, duduk di pinggir ranjang Sakya. Sedang netranya menelisik setiap pergerakan Sakya, tersenyum tanpa henti juga hal yang dilakukan Zehian.

“Kinara enggak mau diajak aja ke Bandung? Di rumah sakit itu banyak virus, nanti Kina malah sakit.” usul Sakya dengan suara yang masih parau.

Zehian menggeleng, “Enggak. Kita ke Bandung juga mau ke rumah sakit, kan? Sama aja. Bedanya kalau ikut ke Bandung, Kinara juga nanti kecapekan.”

Gadis itu meregangkan seluruh ototnya, namun netra tetap tidak lepas dari setiap pergerakan milik Zehian yang sekarang berjalan ke arah lemari besar di sudut ruangan.

“Kamu siap-siap aja, baju untuk di Bandung saya yang siapkan.” kata Zehian, mengambil beberapa potong baju dari dalam koper miliknya. “Saya juga sudah bilang sama Ayah kalau kita mau ada urusan di Bandung untuk beberapa hari. Jadi setidaknya kamu bisa tahu keadaan Gentala dulu. Kita bisa cari hotel untuk sementara di sana. Tenang saja, dua kamar yang berbeda.”

Sakya melongo, begitu tidak percaya dengan segala yang sudah dipersiapkan oleh pria-yang-terpaksa-menjadi-suaminya ini. Pria itu bahkan sudah izin ke Ayah dan mau menyiapkan segalanya seorang diri.

“Yaudah, saya mandi dulu.”


Lagi-lagi Zehian menepati ucapannya untuk mengantar Sakya ke rumah sakit yang sudah diberitahu oleh Athayya. Sekarang bahkan mereka sudah sampai di pusat informasi untuk bertanya tentang ruang ICU.

“Pak, ayo buruan!”

Zehian menoleh sedikit, “Sabar. Ini juga saya lagi tanya dimana ruangannya.” Pria itu sedari tadi sibuk bertanya-tanya segalanya di pusat informasi, sedangkan Sakya justru sibuk menangis—kembali kepikiran tentang Gentala.

Kalau boleh jujur, sumpah demi apapun Sakya takut sekali Gentala pergi. Egois memang, tapi hal itu adalah satu hal yang selalu ia harapkan. Jadi setidaknya jika semesta tidak mengizinkan ia hidup bersama Gentala selamanya, ia bisa lihat pria itu bahagia dan baik-baik saja.

“Sa!” Suara Athayya masuk ke dalam rungu Sakya, memeluk daksa gadis itu yang langsung runtuh tepat di hadapan pintu ruangan Gentala.

“Gentala enggak akan kenapa-napa, kan, Thay?” tanyanya terus-terusan. Susah payah Sakya menahan erangan agar tidak memenuhi seisi ruangan. “Gentala baik-baik aja, kan, Thay?”

Athayya mengangguk dengan wajah yang sama basahnya dengan milik Sakya. “Gentala masih punya kesempatan untuk hidup walau cuma dua puluh persen. Lo percaya sama Gentala kan, Sakya?”

Sakya percaya. Sakya selalu percaya bahwa Gentala adalah pria yang selalu menuruti ucapannya walau ia tidak tahu kapan itu akan terwujud.

“Sa ... minggu depan gue harusnya nikah sama Gentala.”

Saat suara itu diucapkan, detik itu juga daksa Sakya runtuh. Gadis itu pingsan tepat di pelukan Zehian yang sedari tadi menetap di belakanganya.

“Kamu harusnya enggak bilang hal itu sekarang, Athayya.” desis Zehian sembari mengangkat daksa perempuannya cepat.

Lepas dari genggaman.

Semuanya berjalan dengan lancar sesuai apa yang direncanakan. Mulai dari izin ke Papa untuk pergi ke Jakarta, sampai perjalanannya ke Ibukota. Kamis pagi, Gentala sudah menapakkan kakinya di lobby rumah sakit. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna ketika bertanya perihal kamar Ayahnya Sakya di pusat informasi. Jemari pria itu menggenggam erat satu buket bunga mawar putih yang sudah ia siapkan sejak kemarin. Jantungnya memang berdebar kencang, terutama saat netranya menangkap pintu kamar yang ia yakinin diisi oleh Ayah dari gadisnya.

“Sakya, aku di sini.” desisnya pelan, meyakinkan diri sendiri untuk melangkah maju. Kuasa Gentala terangkat untuk menekan knop pintu perlahan sebelum rungunya mendapati satu kata yang sampai detik ini membuat seluruh sendinya kaku.

“Alhamdulillah, sah.”

Dunia Gentala runtuh, genggamannya pada knop pun buket bunga itu mengendur. Ia berjalan mundur satu langkah saat netranya mendapati Sakya yang sangat cantik dibalut dengan kebaya berwarna putih sedang mencium lembut punggung tangan pria di sampingnya. Jantung Gentala seolah kehilangan fungsi yang membuat napasnya tersenggal.

Satu hal yang Gentala sesali, ia terlambat.

Kuasanya terangkat, jemari kekarnya mengepal erat. Gentala menjadikan tembok sebagai tumpuannya untuk berdiri. Pikirannya masih mencerna tentang apa yang terjadi, apa yang baru saja ia lihat dan ia dengar.

Padahal ia di sini, tapi ia justru terlambat. Baru kali ini Gentala menyesali satu keputusan untuk selalu menuruti permintaan Papa agar pria itu tidak lagi-lagi meninggalkannya. Ternyata, Gentala memang terlalu fokus untuk tidak kehilangan Papa yang membuatnya harus kehilangan orang lain; Sakya Rananta.

Buket bunga yang Gentala bawa dari Bandung kini dibiarkan begitu saja di atas kursi. Sementara pria itu berjalan perlahan ke luar rumah sakit, hendak meninggalkan tempat yang menurutnya penuh sesak.

Lagi, trauma membawa Gentala berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mengenal siapapun, dia tidak akan menyayangi siapapun dan dia tidak akan mencintai siapapun. Karena untuk apa mencintai kalau pada akhirnya ia lagi-lagi harus kehilangan?

Berkali-kali Gentala kehilangan, tapi itu tidak membuat dirinya pandai dalam menghadapi kehilangan selanjutnya.


Sakya mengerjapkan matanya saat indera penciuman menangkap dengan jelas wangi yang sangat ia kenali. Netranya beralih pada pintu kamar rawat inap Ayah yang sedikit terbuka. Jantungnya berdetak kencang, ia yakin sekali bahwa itu Gentala. Seseorang yang sedang berjalan ke arah luar itu Gentala—Sakya yakin sekali.

“Genta, itu Genta.” desisnya pada diri sendiri, kemudian bangkit dari posisi untuk berjalan gusar ke arah pintu.

Sementara Zehian juga beberapa orang di dalam ruang persegi itu menatap bingung. Masing-masing pasang netra tidak lepas dari setiap langkah Sakya.

“Gentala,” Tanpa kata lagi Sakya mengambil dengan cepat buket bunga yang ia yakin dibawa oleh prianya. Berjalan sekuat tenaga dengan tubuh yang dibalut dengan kebaya, kemudian tidak mendapati siapa-siapa saat itu.

“Kenapa, Sa?” tanya Zehian, pria itu menopang daksa Sakya yang tiba-tiba saja duduk sambil menangis. Tidak lupa, gadis itu juga menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan. “Jangan nangis.”

Dalam hatinya Sakya tahu, seberapa keras ia menangis itu dengan jelas tidak akan bisa merubah statusnya sebagai istri orang lain. Ia sudah tidak lagi seharusnya memikirkan Gentala, perasaan untuk pria itu harus segera dibuang jauh-jauh.

Lagi-lagi perihal mengikhlaskan. Sakya tidak pernah bisa dengan rela melepaskan perasaanya untuk Gentala begitu saja, terlebih jika orangnya adalah Zehian. Ia tidak bisa, sungguh.

“Pacar saya, dia di sini ...” lirih Sakya, menatap dalam bolamata kecokelatan milik Zehian penuh harap.

Pria bersurai legam itu membuang tatapannya, merasa sedikit nyeri pada bagian hatinya. Satu fakta yang menyadarkan Zehian pagi ini adalah bahwa apapun yang kita miliki, belum tentu mau menjadi milik kita sepenuhnya.

“Mau ketemu?” tanya Zehian pada akhirnya, kuasanya membantu Sakya untuk berdiri dengan tegak.

“Saya antar.”

Lepas dari genggaman.

Semuanya berjalan dengan lancar sesuai apa yang direncanakan. Mulai dari izin ke Papa untuk pergi ke Jakarta, sampai perjalanannya ke Ibukota. Kamis pagi, Gentala sudah menapakkan kakinya di lobby rumah sakit. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna ketika bertanya perihal kamar Ayahnya Sakya di pusat informasi. Jemari pria itu menggenggam erat satu buket bunga mawar putih yang sudah ia siapkan sejak kemarin. Jantungnya memang berdebar kencang, terutama saat netranya menangkap pintu kamar yang ia yakinin diisi oleh Ayah dari gadisnya.

“Sakya, aku di sini.” desisnya pelan, meyakinkan diri sendiri untuk melangkah maju. Kuasa Gentala terangkat untuk menekan knop pintu perlahan sebelum rungunya mendapati satu kata yang sampai detik ini membuat seluruh sendinya kaku.

“Alhamdulillah, sah.”

Dunia Gentala runtuh, genggamannya pada knop pun buket bunga itu mengendur. Ia berjalan mundur satu langkah saat netranya mendapati Sakya yang sangat cantik dibalut dengan kebaya berwarna putih sedang mencium lembut punggung tangan pria di sampingnya. Jantung Gentala seolah kehilangan fungsi yang membuat napasnya tersenggal.

Satu hal yang Gentala sesali, ia terlambat.

Kuasanya terangkat, jemari kekarnya mengepal erat. Gentala menjadikan tembok sebagai tumpuannya untuk berdiri. Pikirannya masih mencerna tentang apa yang terjadi, apa yang baru saja ia lihat dan ia dengar.

Padahal ia di sini, tapi ia justru terlambat. Baru kali ini Gentala menyesali satu keputusan untuk selalu menuruti permintaan Papa agar pria itu tidak lagi-lagi meninggalkannya. Ternyata, Gentala memang terlalu fokus untuk tidak kehilangan Papa yang membuatnya harus kehilangan orang lain; Sakya Rananta.

Buket bunga yang Gentala bawa dari Bandung kini dibiarkan begitu saja di atas kursi. Sementara pria itu berjalan perlahan ke luar rumah sakit, hendak meninggalkan tempat yang menurutnya penuh sesak.

Lagi, trauma membawa Gentala berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mengenal siapapun, dia tidak akan menyayangi siapapun dan dia tidak akan mencintai siapapun. Karena untuk apa mencintai kalau pada akhirnya ia lagi-lagi harus kehilangan?

Berkali-kali Gentala kehilangan, tapi itu tidak membuat dirinya pandai dalam menghadapi kehilangan selanjutnya.


Sakya mengerjapkan matanya saat indera penciuman menangkap dengan jelas wangi yang sangat ia kenali. Netranya beralih pada pintu kamar rawat inap Ayah yang sedikit terbuka. Jantungnya berdetak kencang, ia yakin sekali bahwa itu Gentala. Seseorang yang sedang berjalan ke arah luar itu Gentala—Sakya yakin sekali.

“Genta, itu Genta.” desisnya pada diri sendiri, kemudian bangkit dari posisi untuk berjalan gusar ke arah pintu.

Sementara Zehian juga beberapa orang di dalam ruang persegi itu menatap bingung. Masing-masing pasang netra tidak lepas dari setiap langkah Sakya.

“Gentala,” Tanpa kata lagi Sakya mengambil dengan cepat buket bunga yang ia yakin dibawa oleh prianya. Berjalan sekuat tenaga dengan tubuh yang dibalut dengan kebaya, kemudian tidak mendapati siapa-siapa saat itu.

“Kenapa, Sa?” tanya Zehian, pria itu menopang daksa Sakya yang tiba-tiba saja duduk sambil menangis. Tidak lupa, gadis itu juga menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan. “Jangan nangis.”

Dalam hatinya Sakya tahu, seberapa keras ia menangis itu dengan jelas tidak akan bisa merubah statusnya sebagai istri orang lain. Ia sudah tidak lagi seharusnya memikirkan Gentala, perasaan untuk pria itu harus segera dibuang jauh-jauh.

Lagi-lagi perihal mengikhlaskan. Sakya tidak pernah bisa dengan rela melepaskan perasaanya untuk Gentala begitu saja, terlebih jika orangnya adalah Zehian. Ia tidak bisa, sungguh.

“Pacar saya, dia di sini ...” lirih Sakya, menatap dalam bolamata kecokelatan milik Zehian penuh harap.

Pria bersurai legam itu membuang tatapannya, merasa sedikit nyeri pada bagian hatinya. Satu fakta yang menyadarkan Zehian pagi ini adalah bahwa apapun yang kita miliki, belum tentu mau menjadi milik kita sepenuhnya.

“Mau ketemu?” tanya Zehian pada akhirnya, kuasanya membantu Sakya untuk berdiri dengan tegak.

“Saya antar.”

Lepas dari genggaman.

Semuanya berjalan dengan lancar sesuai apa yang direncanakan. Mulai dari izin ke Papa untuk pergi ke Jakarta, sampai perjalanannya ke Ibukota. Kamis pagi, Gentala sudah menapakkan kakinya di lobby rumah sakit. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna ketika bertanya perihal kamar Ayahnya Sakya di pusat informasi. Jemari pria itu menggenggam erat satu buket bunga mawar putih yang sudah ia siapkan sejak kemarin. Jantungnya memang berdebar kencang, terutama saat netranya menangkap pintu kamar yang ia yakinin diisi oleh Ayah dari gadisnya.

“Sakya, aku di sini.” desisnya pelan, meyakinkan diri sendiri untuk melangkah maju. Kuasa Gentala terangkat untuk menekan knop pintu perlahan sebelum rungunya mendapati satu kata yang sampai detik ini membuat seluruh sendinya kaku.

“Alhamdulillah, sah.”

Dunia Gentala runtuh, genggamannya pada knop pun buket bunga itu mengendur. Ia berjalan mundur satu langkah saat netranya mendapati Sakya yang sangat cantik dibalut dengan kebaya berwarna putih sedang mencium lembut punggung tangan pria di sampingnya. Jantung Gentala seolah kehilangan fungsi yang membuat napasnya tersenggal.

Satu hal yang Gentala sesali, ia terlambat.

Kuasanya terangkat, jemari kekarnya mengepal erat. Gentala menjadikan tembok sebagai tumpuannya untuk berdiri. Pikirannya masih mencerna tentang apa yang terjadi, apa yang baru saja ia lihat dan ia dengar.

Padahal ia di sini, tapi ia justru terlambat. Baru kali ini Gentala menyesali satu keputusan untuk selalu menuruti permintaan Papa agar pria itu tidak lagi-lagi meninggalkannya. Ternyata, Gentala memang terlalu fokus untuk tidak kehilangan Papa yang membuatnya harus kehilangan orang lain; Sakya Rananta.

Buket bunga yang Gentala bawa dari Bandung kini dibiarkan begitu saja di atas kursi. Sementara pria itu berjalan perlahan ke luar rumah sakit, hendak meninggalkan tempat yang menurutnya penuh sesak.

Lagi, trauma membawa Gentala berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mengenal siapapun, dia tidak akan menyayangi siapapun dan dia tidak akan mencintai siapapun. Karena untuk apa mencintai kalau pada akhirnya ia lagi-lagi harus kehilangan?

Berkali-kali Gentala kehilangan, tapi itu tidak membuat dirinya pandai dalam menghadapi kehilangan selanjutnya.


Sakya mengerjapkan matanya saat indera penciuman menangkap dengan jelas wangi yang sangat ia kenali. Netranya beralih pada pintu kamar rawat inap Ayah yang sedikit terbuka. Jantungnya berdetak kencang, ia yakin sekali bahwa itu Gentala. Seseorang yang sedang berjalan ke arah luar itu Gentala—Sakya yakin sekali.

“Genta, itu Genta.” desisnya pada diri sendiri, kemudian bangkit dari posisi untuk berjalan gusar ke arah pintu.

Sementara Zehian juga beberapa orang di dalam ruang persegi itu menatap bingung. Masing-masing pasang netra tidak lepas dari setiap langkah Sakya.

“Gentala,” Tanpa kata lagi Sakya mengambil dengan cepat buket bunga yang ia yakin dibawa oleh prianya. Berjalan sekuat tenaga dengan tubuh yang dibalut dengan kebaya, kemudian tidak mendapati siapa-siapa saat itu.

“Kenapa, Sa?” tanya Zehian, pria itu menopang daksa Sakya yang tiba-tiba saja duduk sambil menangis. Tidak lupa, gadis itu juga menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan. “Jangan nangis.”

Dalam hatinya Sakya tahu, seberapa keras ia menangis itu dengan jelas tidak akan bisa merubah statusnya sebagai istri orang lain. Ia sudah tidak lagi seharusnya memikirkan Gentala, perasaan untuk pria itu harus segera dibuang jauh-jauh.

Lagi-lagi perihal mengikhlaskan. Sakya tidak pernah bisa dengan rela melepaskan perasaanya untuk Gentala begitu saja, terlebih jika orangnya adalah Zehian. Ia tidak bisa, sungguh.

“Pacar saya, dia di sini ...” lirih Sakya, menatap dalam bolamata kecokelatan milik Zehian penuh harap.

Pria bersurai legam itu membuang tatapannya, merasa sedikit nyeri pada bagian hatinya. Satu fakta yang menyadarkan Zehian pagi ini adalah bahwa apapun yang kita miliki, belum tentu mau menjadi milik kita sepenuhnya.

“Mau ketemu?” tanya Zehian pada akhirnya, kuasanya membantu Sakya untuk berdiri dengan tegak.

“Saya antar.”

Lepas dari genggaman.

Semuanya berjalan dengan lancar sesuai apa yang direncanakan. Mulai dari izin ke Papa untuk pergi ke Jakarta, sampai perjalanannya ke Ibukota. Kamis pagi, Gentala sudah menapakkan kakinya di lobby rumah sakit. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna ketika bertanya perihal kamar Ayahnya Sakya di pusat informasi. Jemari pria itu menggenggam erat satu buket bunga mawar putih yang sudah ia siapkan sejak kemarin. Jantungnya memang berdebar kencang, terutama saat netranya menangkap pintu kamar yang ia yakinin diisi oleh Ayah dari gadisnya.

“Sakya, aku di sini.” desisnya pelan, meyakinkan diri sendiri untuk melangkah maju. Kuasa Gentala terangkat untuk menekan knop pintu perlahan sebelum rungunya mendapati satu kata yang sampai detik ini membuat seluruh sendinya kaku.

“Alhamdulillah, sah.”

Dunia Gentala runtuh, genggamannya pada knop pun buket bunga itu mengendur. Ia berjalan mundur satu langkah saat netranya mendapati Sakya yang sangat cantik dibalut dengan kebaya berwarna putih sedang mencium lembut punggung tangan pria di sampingnya. Jantung Gentala seolah kehilangan fungsi yang membuat napasnya tersenggal.

Satu hal yang Gentala sesali, ia terlambat.

Kuasanya terangkat, jemari kekarnya mengepal erat. Gentala menjadikan tembok sebagai tumpuannya untuk berdiri. Pikirannya masih mencerna tentang apa yang terjadi, apa yang baru saja ia lihat dan ia dengar.

Padahal ia di sini, tapi ia justru terlambat. Baru kali ini Gentala menyesali satu keputusan untuk selalu menuruti permintaan Papa agar pria itu tidak lagi-lagi meninggalkannya. Ternyata, Gentala memang terlalu fokus untuk tidak kehilangan Papa yang membuatnya harus kehilangan orang lain; Sakya Rananta.

Buket bunga yang Gentala bawa dari Bandung kini dibiarkan begitu saja di atas kursi. Sementara pria itu berjalan perlahan ke luar rumah sakit, hendak meninggalkan tempat yang menurutnya penuh sesak.

Lagi, trauma membawa Gentala berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mengenal siapapun, dia tidak akan menyayangi siapapun dan dia tidak akan mencintai siapapun. Karena untuk apa mencintai kalau pada akhirnya ia lagi-lagi harus kehilangan?

Berkali-kali Gentala kehilangan, tapi itu tidak membuat dirinya pandai dalam menghadapi kehilangan selanjutnya.


Sakya mengerjapkan matanya saat indera penciuman menangkap dengan jelas wangi yang sangat ia kenali. Netranya beralih pada pintu kamar rawat inap Ayah yang sedikit terbuka. Jantungnya berdetak kencang, ia yakin sekali bahwa itu Gentala. Seseorang yang sedang berjalan ke arah luar itu Gentala—Sakya yakin sekali.

“Genta, itu Genta.” desisnya pada diri sendiri, kemudian bangkit dari posisi untuk berjalan gusar ke arah pintu.

Sementara Zehian juga beberapa orang di dalam ruang persegi itu menatap bingung. Masing-masing pasang netra tidak lepas dari setiap langkah Sakya.

“Gentala,” Tanpa kata lagi Sakya mengambil dengan cepat buket bunga yang ia yakin dibawa oleh prianya. Berjalan sekuat tenaga dengan tubuh yang dibalut dengan kebaya, kemudian tidak mendapati siapa-siapa saat itu.

“Kenapa, Sa?” tanya Zehian, pria itu menopang daksa Sakya yang tiba-tiba saja duduk sambil menangis. Tidak lupa, gadis itu juga menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan. “Jangan nangis.”

Dalam hatinya Sakya tahu, seberapa keras ia menangis itu dengan jelas tidak akan bisa merubah statusnya sebagai istri orang lain. Ia sudah tidak lagi seharusnya memikirkan Gentala, perasaan untuk pria itu harus segera dibuang jauh-jauh.

Lagi-lagi perihal mengikhlaskan. Sakya tidak pernah bisa dengan rela melepaskan perasaanya untuk Gentala begitu saja, terlebih jika orangnya adalah Zehian. Ia tidak bisa, sungguh.

“Pacar saya, dia di sini ...” lirih Sakya, menatap dalam bolamata kecokelatan milik Zehian penuh harap.

Pria bersurai legam itu membuang tatapannya, merasa sedikit nyeri pada bagian hatinya. Satu fakta yang menyadarkan Zehian pagi ini adalah bahwa apapun yang kita miliki, belum tentu mau menjadi milik kita sepenuhnya.

“Mau ketemu?” tanya Zehian pada akhirnya, kuasanya membantu Sakya untuk berdiri dengan tegak.

“Saya antar.”

Semuanya berjalan dengan lancar sesuai apa yang direncanakan. Mulai dari izin ke Papa untuk pergi ke Jakarta, sampai perjalanannya ke Ibukota. Kamis pagi, Gentala sudah menapakkan kakinya di lobby rumah sakit. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna ketika bertanya perihal kamar Ayahnya Sakya di pusat informasi. Jemari pria itu menggenggam erat satu buket bunga mawar putih yang sudah ia siapkan sejak kemarin. Jantungnya memang berdebar kencang, terutama saat netranya menangkap pintu kamar yang ia yakinin diisi oleh Ayah dari gadisnya.

“Sakya, aku di sini.” desisnya pelan, meyakinkan diri sendiri untuk melangkah maju. Kuasa Gentala terangkat untuk menekan knop pintu perlahan sebelum rungunya mendapati satu kata yang sampai detik ini membuat seluruh sendinya kaku.

“Alhamdulillah, sah.”

Dunia Gentala runtuh, genggamannya pada knop pun buket bunga itu mengendur. Ia berjalan mundur satu langkah saat netranya mendapati Sakya yang sangat cantik dibalut dengan kebaya berwarna putih sedang mencium lembut punggung tangan pria di sampingnya. Jantung Gentala seolah kehilangan fungsi yang membuat napasnya tersenggal.

Satu hal yang Gentala sesali, ia terlambat.

Kuasanya terangkat, jemari kekarnya mengepal erat. Gentala menjadikan tembok sebagai tumpuannya untuk berdiri. Pikirannya masih mencerna tentang apa yang terjadi, apa yang baru saja ia lihat dan ia dengar.

Padahal ia di sini, tapi ia justru terlambat. Baru kali ini Gentala menyesali satu keputusan untuk selalu menuruti permintaan Papa agar pria itu tidak lagi-lagi meninggalkannya. Ternyata, Gentala memang terlalu fokus untuk tidak kehilangan Papa yang membuatnya harus kehilangan orang lain; Sakya Rananta.

Buket bunga yang Gentala bawa dari Bandung kini dibiarkan begitu saja di atas kursi. Sementara pria itu berjalan perlahan ke luar rumah sakit, hendak meninggalkan tempat yang menurutnya penuh sesak.

Lagi, trauma membawa Gentala berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mengenal siapapun, dia tidak akan menyayangi siapapun dan dia tidak akan mencintai siapapun. Karena untuk apa mencintai kalau pada akhirnya ia lagi-lagi harus kehilangan?

Berkali-kali Gentala kehilangan, tapi itu tidak membuat dirinya pandai dalam menghadapi kehilangan selanjutnya.


Sakya mengerjapkan matanya saat indera penciuman menangkap dengan jelas wangi yang sangat ia kenali. Netranya beralih pada pintu kamar rawat inap Ayah yang sedikit terbuka. Jantungnya berdetak kencang, ia yakin sekali bahwa itu Gentala. Seseorang yang sedang berjalan ke arah luar itu Gentala—Sakya yakin sekali.

“Genta, itu Genta.” desisnya pada diri sendiri, kemudian bangkit dari posisi untuk berjalan gusar ke arah pintu.

Sementara Zehian juga beberapa orang di dalam ruang persegi itu menatap bingung. Masing-masing pasang netra tidak lepas dari setiap langkah Sakya.

“Gentala,” Tanpa kata lagi Sakya mengambil dengan cepat buket bunga yang ia yakin dibawa oleh prianya. Berjalan sekuat tenaga dengan tubuh yang dibalut dengan kebaya, kemudian tidak mendapati siapa-siapa saat itu.

“Kenapa, Sa?” tanya Zehian, pria itu menopang daksa Sakya yang tiba-tiba saja duduk sambil menangis. Tidak lupa, gadis itu juga menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan. “Jangan nangis.”

Dalam hatinya Sakya tahu, seberapa keras ia menangis itu dengan jelas tidak akan bisa merubah statusnya sebagai istri orang lain. Ia sudah tidak lagi seharusnya memikirkan Gentala, perasaan untuk pria itu harus segera dibuang jauh-jauh.

Lagi-lagi perihal mengikhlaskan. Sakya tidak pernah bisa dengan rela melepaskan perasaanya untuk Gentala begitu saja, terlebih jika orangnya adalah Zehian. Ia tidak bisa, sungguh.

“Pacar saya, dia di sini ...” lirih Sakya, menatap dalam bolamata kecokelatan milik Zehian penuh harap.

Pria bersurai legam itu membuang tatapannya, merasa sedikit nyeri pada bagian hatinya. Satu fakta yang menyadarkan Zehian pagi ini adalah bahwa apapun yang kita miliki, belum tentu mau menjadi milik kita sepenuhnya.

“Mau ketemu?” tanya Zehian pada akhirnya, kuasanya membantu Sakya untuk berdiri dengan tegak.

“Saya antar.”

Kata Ayah.

Dulu kata Ayah, Sakya adalah anak perempuan yang bahunya harus sekuat baja. Karena selain anak perempuan pertama, ia juga cucu pertama. Gadis paling utama yang diharapkan kesuksesan-nya apalagi oleh Kakek.

Dulu kata Ayah, seorang anak sama sekali tidak dianjurkan untuk menolak permintaan orangtua. Itu sebabnya sampai detik ini Sakya tidak pernah tahu bagaimana rasanya menolak sebuah permintaan. Sakya hanya menerima, menerima dan berusaha mengikhlaskan segalanya yang ia terima.

Terkesan mengerikan memang, tapi kalau bukan karena Ayah, mungkin sampai detik ini anak gadis itu tidak pernah tahu bagaimana caranya menghargai perasaan orang lain.

Bagi Sakya, pendewasaan diri paling mudah adalah dengan cara terpaksa. Sebab jika tidak terpaksa karena Ayah, Sakya tidak pernah bisa merasakan apa-apa yang sudah ia lewati selama dua puluh dua tahun ia hidup di Bumi.

“Sakya dengar Ayah, kan, Nak?” Suara Ayah bergetar memasuki rungu milik Sakya yang membuat gadis itu dengan cepat menghapus jejak air matanya kemudian menerbitkan seutas senyum manis kesukaan Ayah.

Putri Ayah satu-satunya itu mengangguk, “Sakya ... Sakya bersedia menikah sama laki-laki pilihan Ayah kalau memang hari ini Gentala enggak datang, Yah.”

Pada akhirnya, putri Ayah yang satu ini memang tidak pernah memiliki kartu kesempatan untuk menolak seluruh permintaan orang lain terhadap dirinya. Sekali lagi ia harus mengorbankan dirinya, perasaanya untuk orang yang ia sayang.

Sakya bukan gadis yang buruk dalam menjalani sebuah hubungan dengan orang lain, tapi Sakya gadis yang sangat buruk dalam menjalani sebuah hubungan dengan dirinya sendiri.

Sebuah kurva di bibir Ayah tertarik begitu saja saat ia masuk ke dalam bolamata cokelat tua putrinya. “Ayah enggak mau Sakya menikah dengan terpaksa, tapi Ayah ingin sekali lihat Sakya jadi pengantin, Nak.”

Kuasa Sakya terangkat begitu saja untuk menggenggam jemari milik Ayah. Satu bulir air mata terjun dengan bebas melewati pipinya tanpa dipinta. Bibirnya bergetar, sulit sekali untuk mengatakan dua atau bahkan sebuah kalimat penolakan. Dia menggeleng tanpa ragu, menatap Ayah tepat pada netranya—berusaha meyakinkan pria berusia senja itu lewat sana. “Sakya enggak merasa dipaksa sama Ayah. Kalau besok Sakya menikah, Ayah harus sembuh, ya?”

Ayah tidak mengangguk, tidak juga memberikan sebuah kalimat penenang untuk putri satu-satunya itu. Tapi dalam diam, dalam hatinya Ayah selalu meminta pada Yang Kuasa agar diberi hidup lebih lama lagi.

“Menikah itu Sakral, Sakya. Hanya dilakukan satu kali seumur hidup. Semoga.” tutur Ayah penuh harap, jemarinya mengenggam erat milik Sakya. Harapan-harapan yang ia pupuk selama ini akhirnya dapat bertumbuh juga berkat Sakya. “Sakya ...”

“Iya, Ayah?”

Melihat bulir air mata putrinya yang turun berkali-kali membuat hati Ayah terasa sakit. Tapi di depan Sakya, Ayah berusaha menyampaikan satu lagi harapannya. “Ayah berharap kalau Sakya tidak mengucap kalimat perceraian untuk suami Sakya nanti.”

Lagi, lagi, dan lagi Sakya harus menerima, kan?

“Pasti. Pasti, Ayah.” katanya yakin.

Lewat Ayah, Sakya belajar bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini termasuk perasaan. Perpisahan yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu adalah sebagai bukti bahwa seribu kalimat cinta akan dikalahkan dengan satu kalimat perpisahan.

“Sakya,” panggil Ayah yang langsung diikuti dengan batuk tanpa henti.

Sakya berdiri dari tempatnya, membantu Ayah untuk duduk. Namun saat itu, darah terus mengalir dari bibir Ayah yang membuat Sakya semakin kalang-kabut. Gadis itu berteriak sekuat tenaga untuk memanggil tim medis untuk menangani Ayah.

Yang pertama kali membuka pintu ruangan ini justru bukan tim medis, melainkan Zehian yang sebetulnya sudah hadir dua puluh menit lalu. Pria itu memilih untuk diam dan mendengarkan percakapan Sakya juga Ayahnya di luar sana.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh Zehian saat netranya menangkap kejadian itu adalah membawa Sakya masuk ke dalam pelukannya—sebab Ayah sedang ditangani oleh tim medis.

“Sakya dengar saya, apapun yang terjadi itu di luar kendali kamu. Semuanya kita serahkan ke Tuhan.” bisik Zehian tepat di telinga kanan milik Sakya. Kedua tangannya sibuk untuk memeluk daksa rapuh milik gadis itu. Zehian juga tidak segan meletakkan dagunya di atas kepala Sakya dan bahkan mengecup puncak kepalanya berkali-kali. “Sakya, dengar saya.”

Ia sama sekali tidak mendengarkan Zehian, tangannya ia layangkan di udara untuk menunjuk daksa Ayah yang sedang ditangani oleh tim medis.

“Sakya, kamu percaya kalau Tuhan itu ada, kan?”