Lepas dari genggaman.
Semuanya berjalan dengan lancar sesuai apa yang direncanakan. Mulai dari izin ke Papa untuk pergi ke Jakarta, sampai perjalanannya ke Ibukota. Kamis pagi, Gentala sudah menapakkan kakinya di lobby rumah sakit. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna ketika bertanya perihal kamar Ayahnya Sakya di pusat informasi. Jemari pria itu menggenggam erat satu buket bunga mawar putih yang sudah ia siapkan sejak kemarin. Jantungnya memang berdebar kencang, terutama saat netranya menangkap pintu kamar yang ia yakinin diisi oleh Ayah dari gadisnya.
“Sakya, aku di sini.” desisnya pelan, meyakinkan diri sendiri untuk melangkah maju. Kuasa Gentala terangkat untuk menekan knop pintu perlahan sebelum rungunya mendapati satu kata yang sampai detik ini membuat seluruh sendinya kaku.
“Alhamdulillah, sah.”
Dunia Gentala runtuh, genggamannya pada knop pun buket bunga itu mengendur. Ia berjalan mundur satu langkah saat netranya mendapati Sakya yang sangat cantik dibalut dengan kebaya berwarna putih sedang mencium lembut punggung tangan pria di sampingnya. Jantung Gentala seolah kehilangan fungsi yang membuat napasnya tersenggal.
Satu hal yang Gentala sesali, ia terlambat.
Kuasanya terangkat, jemari kekarnya mengepal erat. Gentala menjadikan tembok sebagai tumpuannya untuk berdiri. Pikirannya masih mencerna tentang apa yang terjadi, apa yang baru saja ia lihat dan ia dengar.
Padahal ia di sini, tapi ia justru terlambat. Baru kali ini Gentala menyesali satu keputusan untuk selalu menuruti permintaan Papa agar pria itu tidak lagi-lagi meninggalkannya. Ternyata, Gentala memang terlalu fokus untuk tidak kehilangan Papa yang membuatnya harus kehilangan orang lain; Sakya Rananta.
Buket bunga yang Gentala bawa dari Bandung kini dibiarkan begitu saja di atas kursi. Sementara pria itu berjalan perlahan ke luar rumah sakit, hendak meninggalkan tempat yang menurutnya penuh sesak.
Lagi, trauma membawa Gentala berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mengenal siapapun, dia tidak akan menyayangi siapapun dan dia tidak akan mencintai siapapun. Karena untuk apa mencintai kalau pada akhirnya ia lagi-lagi harus kehilangan?
Berkali-kali Gentala kehilangan, tapi itu tidak membuat dirinya pandai dalam menghadapi kehilangan selanjutnya.
Sakya mengerjapkan matanya saat indera penciuman menangkap dengan jelas wangi yang sangat ia kenali. Netranya beralih pada pintu kamar rawat inap Ayah yang sedikit terbuka. Jantungnya berdetak kencang, ia yakin sekali bahwa itu Gentala. Seseorang yang sedang berjalan ke arah luar itu Gentala—Sakya yakin sekali.
“Genta, itu Genta.” desisnya pada diri sendiri, kemudian bangkit dari posisi untuk berjalan gusar ke arah pintu.
Sementara Zehian juga beberapa orang di dalam ruang persegi itu menatap bingung. Masing-masing pasang netra tidak lepas dari setiap langkah Sakya.
“Gentala,” Tanpa kata lagi Sakya mengambil dengan cepat buket bunga yang ia yakin dibawa oleh prianya. Berjalan sekuat tenaga dengan tubuh yang dibalut dengan kebaya, kemudian tidak mendapati siapa-siapa saat itu.
“Kenapa, Sa?” tanya Zehian, pria itu menopang daksa Sakya yang tiba-tiba saja duduk sambil menangis. Tidak lupa, gadis itu juga menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan. “Jangan nangis.”
Dalam hatinya Sakya tahu, seberapa keras ia menangis itu dengan jelas tidak akan bisa merubah statusnya sebagai istri orang lain. Ia sudah tidak lagi seharusnya memikirkan Gentala, perasaan untuk pria itu harus segera dibuang jauh-jauh.
Lagi-lagi perihal mengikhlaskan. Sakya tidak pernah bisa dengan rela melepaskan perasaanya untuk Gentala begitu saja, terlebih jika orangnya adalah Zehian. Ia tidak bisa, sungguh.
“Pacar saya, dia di sini ...” lirih Sakya, menatap dalam bolamata kecokelatan milik Zehian penuh harap.
Pria bersurai legam itu membuang tatapannya, merasa sedikit nyeri pada bagian hatinya. Satu fakta yang menyadarkan Zehian pagi ini adalah bahwa apapun yang kita miliki, belum tentu mau menjadi milik kita sepenuhnya.
“Mau ketemu?” tanya Zehian pada akhirnya, kuasanya membantu Sakya untuk berdiri dengan tegak.
“Saya antar.”