Langkah pertama.
Langkah kedua.
Langkah ketiga. Sampai langkah ke enam belas membawa gadis bersurai legam itu sampai tepat di depan brangkat. Dia menarik kursi di sampingnya ragu-ragu, sementara netra tidak pernah lepas dari daksa yang terbaring lemah di atasnya. Lagi-lagi kuasanya terangkat, menyentuh dahi yang terbalut kain kasa dengan tebal. Dengan gemetar dan jantung yabg berdetak seiring dengan bunyi monitor di sebelahnya, jemari lentik itu turun sampai pada bagian bibir.
“Genta...” panggilnya lembut. Hatinya terasa sakit saat panggilan itu terus-terusan diabaikan oleh pria kesayangan yang sedang berjuang untuk hidupnya sendiri. “Maaf...”
Diam-diam bulir air mata lolos begitu saja dari pelupuknya, sedang pipi menyambutnya mau tidak mau. Sakya tidak pernah tahu kata apa lagi selain maaf yang mampu ia utarakan untuk pria ini.
Jemari yang tadinya mengusap lembut wajah itu kini mengepal dengan erat, menahan setiap rasa yang masuk melalui rongga dada. Terus menerus netranya menatap wajah yang begitu ia rindukan.
“Genta...”
Walau tidak sepenuhnya, tapi kali ini Sakya mengerti bagaimana Gentala tersiksa selama ini akan perasaan takut dengan sebuah kehilangan. Ternyata rasanya begitu menyiksa, menyakiti tiap-tiap saraf di bagian otaknya.
“Maaf kalau selama ini kamu hidup tersiksa, Gentala...” desisnya. Sakya mengangkat lengan Gentala, menempelkan telapak tangan itu di wajahnya yang penuh air mata. “Aku takut. Aku takut banget kehilangan kamu...”
Dalam hati Sakya meminta pada Tuhan untuk kembalikan Gentalanya pada dunia—agar setidaknya ia bisa melihat lagi senyum secerah mentari dari kurva di bibir pun matanya.
“Aku enggak minta kamu untuk cepet-cepet bangun terus pulih, Ta. Kalau emang masih capek, lanjut aja istirahatnya. Masih banyak banget yang sayang sama kamu, nungguin kamu.”
Sebelum mengenal pria di hadapannya ini, Sakya tidak pernah tahu bagaimana cara mengolah perasaannya sendiri. Lewat Gentala juga Sakya jadi mengerti kalau menjadi dewasa bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keterpaksaan.
Sakya menggenggam erat jemari milik Gentala, menakutkan pada rongga jemari-jemarinya—yang padahal sudah tersampir cicin pernikahan di sana. Ia membawa genggaman itu ke hadapan bibirnya, mengecup punggung tangan Gentala sembari tersenyum kecil.
“Kalau kamu udah bangun nanti, kamu bakalan ketemu Sakya Rananta yang berbeda, Gentala. Sakya yang udah enggak maksa kamu buat datang ke Jakarta untuk temui Ayah, Sakya yang udah enggak minta hoodie punya kamu lagi atau bahkan Sakya yang udah enggak bisa peluk kamu lagi.” katanya. Ia menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangan, takut untuk membayangkan kejadian-kejadian selanjutnya kalau saja Gentala kembali nanti.
Tanpa disadari, jemari milik Gentala bergerak perlahan seiring dengan matanya basahnya yang terbuka sedikit demi sedikit. Suara monitor begitu saja masuk ke dalam rungu Sakya, membuat gadis itu bingung untuk sekedar memberi respon.
“Sakya...” Pertama kali membuka matanya, sosok yang Gentala lihat adalah gadis kesayangannya.