TetehnyaaJisung

Tentang Saranita dan Goresan Takdirnya.

Adoptive-Younger-Sister


Fina dan Esa adalah kedua adiknya yang harus ia jaga sampai akhir hidupnya. Bahkan, ketika Ayah pamit dari sisi keluarga ini untuk pergi berjalan bersama keluarga lain pun pria itu menitipkan seluruh anggota di sini kepada Saranita—termasuk Ibu. Sebab Ayah tahu, Ibu akan menjadi Anggota yang dengan rela mengorbankan tubuhnya berdiri paling depan. Ayah juga tahu, kalau selanjutnya keluarga di sini akan dipimpin oleh Ibu yang bahkan terkadang tidak bisa mengatur egonya sendiri.

Saat Ayah pertama kali ketahuan selingkuh, Saranita masih berumur sepuluh. Hari itu Saranita tahu kalau Ibu memaafkan Ayah dengan sejuta harapan kalau Ayah tidak akan melakukan hal serupa. Tahun-tahun berikutnya berjalan sesuai dengan apa yang Ibu mau, tapi tiga tahun sebelum hari ini, Ayah kembali ketahuan selingkuh yang membuat Ibu jengah akan perasaan marahnya sendiri.

Ibu memiliki sifat yang sama dengan Saranita, mereka tidak pandai menyimpan amarah pada dirinya sendiri. Apapun yang mereka rasakan, harus sampai pada pelabuhannya—rasa marah pun rasa sayang.

“Kak,” Di meja makan, Fina menggerakkan lengan Saranita. Anak gadis bersurai pekat itu sekarang bingung, sebab ia tidak pernah satu kalipun melihat Kakak satu-satunya itu hilang fokus.

Ketika lengannya digerakkan oleh sang adik, Saranita hanya menghela napas lelah sambil memijit pelipisnya pelan. “Kotak bekal kamu sama Esa udah masuk ke dalam tas?”

“Udah.” Fina mengangguk.

Di sebelah kiri Saranita, ada Esa, adik terakhirnya itu menatap Saranita penuh kekhawatiran. Tatapan juga perasaan yang sama seperti yang dirasakan Fina, bedanya, jemari itu sudah menggenggam milik Saranita erat. Karena sepuluh tahun hidup di Bumi, tidak pernah satu kalipun kedapatan Kakak pertamanya diam sedari acara sarapan dimulai.

“Kak Sara sakit?” Akhirnya Esa bersuara, telapak tangannya terangkat untuk mengecek suhu tubuh Saranita di dahi.

Kedua sudut bibir Saranita terangkat sempurna, netra kecokelatan itu menatap adik sepuluh tahunnya dalam. “Kak Sara baik-baik aja. Esa sekarang berangkat sekolah diantar Kak Fina, ya? Kak Sara juga mau siap-siap.”

Anak itu mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya bersama Ibu untuk mengambil tas. Sedang Fina masih bergeming di tempat, “Kak Sara jangan sakit, Fina takut...”

Hati Saranita rasanya seperti tertusuk ribuan jarum jahit yang seolah ingin menghancurkan bagiannya. Rasanya begitu sakit dan menyesakkan. Dadanya berat, membuat Saranita harus berkali-kali menghela napasnya. Mana boleh ia sakit? Ia hanya sedang berpikir bagaimana caranya bertemu dengan Ibu yang sibuk sekali itu.

Untuk beberapa saat Saranita kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Sebelum akhirnya ia menghela napas, menatap adik yang umurnya terpaut tiga tahun itu dalam. “Fina,” panggilnya dengan nada rendah. Hatinya makin sakit ketika mendapati tatapan hangat milik Fina untuknya. “Fina jangan pernah malas belajar, ya? Biar masuk SMA negeri, terus kuliah di Universitas negeri dan dapat beasiswa. Fina tahu kalau ilmu itu mahal sekali, kan? Tolong jangan buang-buang waktu dan uang yang Ibu kasih untuk hal-hal enggak begitu penting, ya?”

Saranita ingin sekali menangis, tapi kenapa rasanya susah sekali untuk sekedar menumpahkan rasa sedih juga lelah di hadapan adik-adiknya? Ia bingung, bingung sekali kenapa Semesta tidak pernah memberikan satu orang pun untuk bisa ia jadikan rumah yang benar-benar rumah sehingga ia bisa mengadu tanpa memikirkan hal lainnya.

“Kak Fina, ayo!” Suara Esa membuat keduanya menoleh, dengan senyum semegah dunia.

Satu kali lagi Fina menggenggam tangan Saranita untuk sekedar menyalurkan sebuah rasa yang ia sendiri tidak pernah tahu rasa apa yang sedang dibutuhkan oleh Kakaknya itu. “Fina sama Esa berangkat duluan, ya, Kak.”

Saranita mengangguk, kemudian berjalan ke kamar Ibu setelah kedua adiknya pergi meninggalkan rumah sederhana mereka. Tatapan mata gadis itu fokus pada daksa Ibu yang sedang terbujur di atas ranjang, sedangkan jemari Saranita meresam knop pintu itu untuk menahan rasa sakit di sekujur tubuh saat melihat Ibu kelelahan seperti itu. Saranita tahu, Ibu baru pulang subuh tadi dari kerjaannya.

Saranita ingat, tiga tahun lalu di kamar ini ia dipanggil oleh Ayah selaku anak yang usianya paling tua. Tenggorokannya tercekat saat bayangan Ayah memeluk daksanya sambil menangis dan memohon ampun atas dirinya. Berkali-kali Ayah bilang, “Maafkan Ayah, Sara. Ampuni Ayah...” Saat itu Saranita hanya diam, rasa sakit memang menjalar di seluruh rongga hatinya, menyeruak, berlomba-lomba meminta untuk dikeluarkan. Tapi tidak dengan airmatanya, tidak ada tangis pilu yang keluar dari bibirnya di sana. Ia hanya bilang, “Ayah jaga diri, Saranita udah enggak bisa pijet tangan Ayah lagi sehabis pulang kerja nanti...

Perempuan itu menggeleng, masih meredam seluruh rasa sesak di dalam dadanya yang kian terasa berat. Tidak ada tangis lagi, ia hanya menggigit bibir bawahnya dengan erat. Sambil berjalan untuk mengambil tasnya, Saranita bersenandung kecil.

Sedari kecil ia memang suka menyanyi—sama halnya seperti Ibu. Bahkan dulu ia sempat memiliki cita-cita untuk menjadi penyanyi, tapi Ibu melarang. Katanya, menjadi penyanyi bukanlah pilihan yang baik. Selama itu Tuhan dan Orangtuanya, Saranita akan menuruti kemana hidupnya akan dibawa.

Langkahnya berjalan pelan ke arah halte, menunggu metro mini yang setiap pagi mengantarnya ke sekolah. Sekali lagi, ia menghela napas kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas seolah tidak ada hal yang menganggu di pikirannya. Sebab ia tahu, Saranita Senja tidak dilahirkan untuk mengeluh barang satu detikpun.

Matanya menyipit ketika mendapati seseorang dengan seragam yang sama sedang berjalan ke arah halte. Lagi-lagi, seri di wajahnya bertambah tiga kali lipat saat ia mendapati Aksara yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. “Ayo berangkat bareng!”

Pria itu mengangguk, kemudian berdiri di sebelah perempuan yang selalu mengisi pikirannya sepanjang hari.

SLAY-NOW-on-Twitter

Tentang Saranita dan Gores Takdirnya.

Adoptive-Younger-Sister


Fina dan Esa adalah kedua adiknya yang harus ia jaga sampai akhir hidupnya. Bahkan, ketika Ayah pamit dari sisi keluarga ini untuk pergi berjalan bersama keluarga lain pun pria itu menitipkan seluruh anggota di sini kepada Saranita—termasuk Ibu. Sebab Ayah tahu, Ibu akan menjadi Anggota yang dengan rela mengorbankan tubuhnya berdiri paling depan. Ayah juga tahu, kalau selanjutnya keluarga di sini akan dipimpin oleh Ibu yang bahkan terkadang tidak bisa mengatur egonya sendiri.

Saat Ayah pertama kali ketahuan selingkuh, Saranita masih berumur sepuluh. Hari itu Saranita tahu kalau Ibu memaafkan Ayah dengan sejuta harapan kalau Ayah tidak akan melakukan hal serupa. Tahun-tahun berikutnya berjalan sesuai dengan apa yang Ibu mau, tapi tiga tahun sebelum hari ini, Ayah kembali ketahuan selingkuh yang membuat Ibu jengah akan perasaan marahnya sendiri.

Ibu memiliki sifat yang sama dengan Saranita, mereka tidak pandai menyimpan amarah pada dirinya sendiri. Apapun yang mereka rasakan, harus sampai pada pelabuhannya—rasa marah pun rasa sayang.

“Kak,” Di meja makan, Fina menggerakkan lengan Saranita. Anak gadis bersurai pekat itu sekarang bingung, sebab ia tidak pernah satu kalipun melihat Kakak satu-satunya itu hilang fokus.

Ketika lengannya digerakkan oleh sang adik, Saranita hanya menghela napas lelah sambil memijit pelipisnya pelan. “Kotak bekal kamu sama Esa udah masuk ke dalam tas?”

“Udah.” Fina mengangguk.

Di sebelah kiri Saranita, ada Esa, adik terakhirnya itu menatap Saranita penuh kekhawatiran. Tatapan juga perasaan yang sama seperti yang dirasakan Fina, bedanya, jemari itu sudah menggenggam milik Saranita erat. Karena sepuluh tahun hidup di Bumi, tidak pernah satu kalipun kedapatan Kakak pertamanya diam sedari acara sarapan dimulai.

“Kak Sara sakit?” Akhirnya Esa bersuara, telapak tangannya terangkat untuk mengecek suhu tubuh Saranita di dahi.

Kedua sudut bibir Saranita terangkat sempurna, netra kecokelatan itu menatap adik sepuluh tahunnya dalam. “Kak Sara baik-baik aja. Esa sekarang berangkat sekolah diantar Kak Fina, ya? Kak Sara juga mau siap-siap.”

Anak itu mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya bersama Ibu untuk mengambil tas. Sedang Fina masih bergeming di tempat, “Kak Sara jangan sakit, Fina takut...”

Hati Saranita rasanya seperti tertusuk ribuan jarum jahit yang seolah ingin menghancurkan bagiannya. Rasanya begitu sakit dan menyesakkan. Dadanya berat, membuat Saranita harus berkali-kali menghela napasnya. Mana boleh ia sakit? Ia hanya sedang berpikir bagaimana caranya bertemu dengan Ibu yang sibuk sekali itu.

Untuk beberapa saat Saranita kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Sebelum akhirnya ia menghela napas, menatap adik yang umurnya terpaut tiga tahun itu dalam. “Fina,” panggilnya dengan nada rendah. Hatinya makin sakit ketika mendapati tatapan hangat milik Fina untuknya. “Fina jangan pernah malas belajar, ya? Biar masuk SMA negeri, terus kuliah di Universitas negeri dan dapat beasiswa. Fina tahu kalau ilmu itu mahal sekali, kan? Tolong jangan buang-buang waktu dan uang yang Ibu kasih untuk hal-hal enggak begitu penting, ya?”

Saranita ingin sekali menangis, tapi kenapa rasanya susah sekali untuk sekedar menumpahkan rasa sedih juga lelah di hadapan adik-adiknya? Ia bingung, bingung sekali kenapa Semesta tidak pernah memberikan satu orang pun untuk bisa ia jadikan rumah yang benar-benar rumah sehingga ia bisa mengadu tanpa memikirkan hal lainnya.

“Kak Fina, ayo!” Suara Esa membuat keduanya menoleh, dengan senyum semegah dunia.

Satu kali lagi Fina menggenggam tangan Saranita untuk sekedar menyalurkan sebuah rasa yang ia sendiri tidak pernah tahu rasa apa yang sedang dibutuhkan oleh Kakaknya itu. “Fina sama Esa berangkat duluan, ya, Kak.”

Saranita mengangguk, kemudian berjalan ke kamar Ibu setelah kedua adiknya pergi meninggalkan rumah sederhana mereka. Tatapan mata gadis itu fokus pada daksa Ibu yang sedang terbujur di atas ranjang, sedangkan jemari Saranita meresam knop pintu itu untuk menahan rasa sakit di sekujur tubuh saat melihat Ibu kelelahan seperti itu. Saranita tahu, Ibu baru pulang subuh tadi dari kerjaannya.

Saranita ingat, tiga tahun lalu di kamar ini ia dipanggil oleh Ayah selaku anak yang usianya paling tua. Tenggorokannya tercekat saat bayangan Ayah memeluk daksanya sambil menangis dan memohon ampun atas dirinya. Berkali-kali Ayah bilang, “Maafkan Ayah, Sara. Ampuni Ayah...” Saat itu Saranita hanya diam, rasa sakit memang menjalar di seluruh rongga hatinya, menyeruak, berlomba-lomba meminta untuk dikeluarkan. Tapi tidak dengan airmatanya, tidak ada tangis pilu yang keluar dari bibirnya di sana. Ia hanya bilang, “Ayah jaga diri, Saranita udah enggak bisa pijet tangan Ayah lagi sehabis pulang kerja nanti...

Perempuan itu menggeleng, masih meredam seluruh rasa sesak di dalam dadanya yang kian terasa berat. Tidak ada tangis lagi, ia hanya menggigit bibir bawahnya dengan erat. Sambil berjalan untuk mengambil tasnya, Saranita bersenandung kecil.

Sedari kecil ia memang suka menyanyi—sama halnya seperti Ibu. Bahkan dulu ia sempat memiliki cita-cita untuk menjadi penyanyi, tapi Ibu melarang. Katanya, menjadi penyanyi bukanlah pilihan yang baik. Selama itu Tuhan dan Orangtuanya, Saranita akan menuruti kemana hidupnya akan dibawa.

Langkahnya berjalan pelan ke arah halte, menunggu metro mini yang setiap pagi mengantarnya ke sekolah. Sekali lagi, ia menghela napas kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas seolah tidak ada hal yang menganggu di pikirannya. Sebab ia tahu, Saranita Senja tidak dilahirkan untuk mengeluh barang satu detikpun.

Matanya menyipit ketika mendapati seseorang dengan seragam yang sama sedang berjalan ke arah halte. Lagi-lagi, seri di wajahnya bertambah tiga kali lipat saat ia mendapati Aksara yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. “Ayo berangkat bareng!”

Pria itu mengangguk, kemudian berdiri di sebelah perempuan yang selalu mengisi pikirannya sepanjang hari.

SLAY-NOW-on-Twitter

Perihal Aksara dan Dunianya.

bookish-boy-desk-writer-aesthetic


Belum sampai menit kelima memejam, kelopak matanya sudah kembali terbuka. Kemudian pria berkaus hitam pudar itu mempertajam penglihatannya lewat celah pintu kamar yang terbuka sedikit saja. Kedua sudut bibirnya terangkat separuh, ternyata Ayah sudah kembali ke rumah.

Sebelum pergi, Bunda bilang pada Aksara bahwa, “Seburuk-buruknya Ayah, jika tidak ada beliau maka Aksa tidak pernah bisa melihat bagaimana cara Bumi memperlakukan manusia di dalamnya.

Terkadang, ingin sekali rasanya Aksara memeluk Ayah untuk sekedar menyalurkan seluruh rasanya untuk pria itu. Seperti apa yang dilihat oleh para tetangga, teman lamanya juga teman-teman Ayah yang selalu berpikir bahwa Aksara adalah manusia yang paling beruntung karena walau Bunda tidak ada di sini, setidaknya ia memiliki Ayah untuk tempat mengadu.

Padahal mereka semua salah, Ayah lebih dingin dari suasana malam hari ketika musim penghujan tiba. Sejak Bunda tiada, Ayah lebih memilih untuk pergi malam hari dan entah kapan pulangnya—seperti malam ini, Ayah sudah pergi sejak tiga hari yang lalu, hanya meninggalkan satu lembar uang dengan nominal dua puluh ribu. Kemudian kembali dalam keadaan bau alkohol yang menguar dari mulut pria itu.

Aksara menutup buku di hadapannya, berjalan perlahan untuk bertemu Ayah yang sedang merebahkan tubuh di ruang tamu. Kedua sudut bibir anak berusia tujuh belas itu terangkat separuh saat mendapati Ayah dengan mata terpejam.

Aksara tahu, Ayah memang masih belum menerima perihal kepergian Bunda satu tahun yang lalu. Kepergian tiba-tiba yang saat itu sempat membuat Angkasa takut akan hidup di dunia, sebab hanya Bunda yang akan melindunginya dari manusia.

Kuasa Aksara terangkat, membuka kedua sepatu hitam Ayah pelan-pelan. Ia berjalan lagi masuk ke dalam kamar Ayah untuk mengambil satu selimut kesukaannya. Namun saat masuk ke dalam kamar Ayah, di sana banyak sekali botol berwarna hijau yang Angkasa tidak pernah tahu bahwa Ayah akan sekacau ini ketika ditinggal Bunda.

Bunda, maafin Aksa. Ayah hancur...

Jemarinya berpindah tugas untuk meremas dadanya sendiri, berharap rada sakit di dalamnya berpindah. Aksara tahu bahwa ia bukan pria yang pandai berbicara, ia juga tidak bisa mengungkapkan apa yang ia rasa lewat sebuah tulisan. Ia hanya bisa memendamnya sendiri sampai rasanya begitu sesak dan memberatkan.

Tidak ingin begitu lama di ruang persegi yang membuatnya begitu sesak, Aksara langsung berjalan lagi ke arah Ayah—membalut tubuh kekar yang sebenarnya penuh luka itu dengan selimut agar kejamnya malam tidak masuk ke dalam tulang.

Lagi-lagi dalam hati, “Ayah, Aksara sayang sekali sama Ayah. Jangan pernah pergi untuk tinggalin Aksara seperti Bunda, ya?

Aksara kira, ia akan kuat untuk menahan rasa sesak yang sudah ia simpan selama ini di dalam dada untuk Ayah. Namun malam ini ternyata pertahanan itu runtuh, ia menangis pilu tanpa suara di hadapan Ayah yang sedang tertidur pulas atas pengaruh alkohol.

Rasanya begitu mengenaskan kalau melihat sejuta prestasi yang dimiliki Ayah di masa lalu dan dibandingkan dengan Ayah yang hari ini. Dulu, Ayah adalah seorang pria kuat yang selalu bekerja keras untuk keluarganya. Bahkan Ayah sering sekali pulang terlambat ketika suatu hari jabatannya diangkat menjadi manager Perusahaan. Saat itu Aksara masih ingat bagaimana seri yang muncul di wajah Ayah. Saat itu pula Aksara masih ingat bagaimana Ayah memeluk daksanya dengan erat, mengecup puncak kepalanya penuh sayang sebelum akhirnya memeluk Bunda dengan air mata yang berlinang. Hari itu, berkali-kali Ayah bilang “Kita bisa makan enak, Aksara. Kita bisa makan enak!

Hati Aksara tiba-tiba saja menghangat ketika ia membuka memori ingatan di kepalanya. Ia begitu merindukan masa dimana Ayah memeluk daksanya sambil mengatakan hal-hal yang membuatnya untuk terus bertahan hidup.

Bagi Aksara untuk saat ini, tidak ada lagi yang berharga di dunia selain Ayah dan Mas Bagaskara—Kakaknya yang sekarang sedang mencari pundi-pundi rupiah di Kota Balikpapan.

Ketika ia bergeming di sebelah Ayah, memandangi wajah kesayangannya itu teramat dalam, sebuah pikiran kembali menyelinap. Tentang Saranita yang bisa dengan mudah membuat senyumnya tidak pernah memudar sepanjang hari. Keberanian dan suara yang mirip sekali dengan Bunda, itu adalah point utama yang membuat Aksara tertarik akan gadis itu.

Bunda adalah seorang penyanyi, bahkan album-album Bunda masih tersimpan dengan rapi di ruangan yang sudah disediakan khusus. Suara Bunda begitu lembut, selalu membuat hati Aksara larut dalam setiap nadanya. Begitu juga Saranita, memiliki suara yang serupa dengan milik Bunda. Terutama saat gadis itu dipanggil dengan khusus untuk naik ke atas panggung saat ada acara pelepasan tahun sebelumnya. Aksara tertegun, baru pertama kali ia merasa beruntung karena memakai alat bantu pendengaran di waktu yang tepat.

Sejak saat itu, Aksara selalu mengangkat kedua sudut bibirnya saat netra tanpa sadar menangkap kehadiran Saranita di sekitar.

Aksara menemukan Bunda dalam diri Saranita.

Waspada-Berbicara-tanpa-Ilmu

Perihal Aksara dan Dunianya.

bookish-boy-desk-writer-aesthetic


Belum sampai menit kelima memejam, kelopak matanya sudah kembali terbuka. Kemudian pria berkaus hitam pudar itu mempertajam penglihatannya lewat celah pintu kamar yang terbuka sedikit saja. Kedua sudut bibirnya terangkat separuh, ternyata Ayah sudah kembali ke rumah.

Sebelum pergi, Bunda bilang pada Angkasa bahwa, “Seburuk-buruknya Ayah, jika tidak ada beliau maka Angkasa tidak pernah bisa melihat bagaimana cara Bumi memperlakukan manusia di dalamnya.

Terkadang, ingin sekali rasanya Aksara memeluk Ayah untuk sekedar menyalurkan seluruh rasanya untuk pria itu. Seperti apa yang dilihat oleh para tetangga, teman lamanya juga teman-teman Ayah yang selalu berpikir bahwa Aksara adalah manusia yang paling beruntung karena walau Bunda tidak ada di sini, setidaknya ia memiliki Ayah untuk tempat mengadu.

Padahal mereka semua salah, Ayah lebih dingin dari suasana malam hari ketika musim penghujan tiba. Sejak Bunda tiada, Ayah lebih memilih untuk pergi malam hari dan entah kapan pulangnya—seperti malam ini, Ayah sudah pergi sejak tiga hari yang lalu, hanya meninggalkan satu lembar uang dengan nominal dua puluh ribu. Kemudian kembali dalam keadaan bau alkohol yang menguar dari mulut pria itu.

Aksara menutup buku di hadapannya, berjalan perlahan untuk bertemu Ayah yang sedang merebahkan tubuh di ruang tamu. Kedua sudut bibir anak berusia tujuh belas itu terangkat separuh saat mendapati Ayah dengan mata terpejam.

Aksara tahu, Ayah memang masih belum menerima perihal kepergian Bunda satu tahun yang lalu. Kepergian tiba-tiba yang saat itu sempat membuat Angkasa takut akan hidup di dunia, sebab hanya Bunda yang akan melindunginya dari manusia.

Kuasa Aksara terangkat, membuka kedua sepatu hitam Ayah pelan-pelan. Ia berjalan lagi masuk ke dalam kamar Ayah untuk mengambil satu selimut kesukaannya. Namun saat masuk ke dalam kamar Ayah, di sana banyak sekali botol berwarna hijau yang Angkasa tidak pernah tahu bahwa Ayah akan sekacau ini ketika ditinggal Bunda.

Bunda, maafin Aksa. Ayah hancur...

Jemarinya berpindah tugas untuk meremas dadanya sendiri, berharap rada sakit di dalamnya berpindah. Aksara tahu bahwa ia bukan pria yang pandai berbicara, ia juga tidak bisa mengungkapkan apa yang ia rasa lewat sebuah tulisan. Ia hanya bisa memendamnya sendiri sampai rasanya begitu sesak dan memberatkan.

Tidak ingin begitu lama di ruang persegi yang membuatnya begitu sesak, Aksara langsung berjalan lagi ke arah Ayah—membalut tubuh kekar yang sebenarnya penuh luka itu dengan selimut agar kejamnya malam tidak masuk ke dalam tulang.

Lagi-lagi dalam hati, “Ayah, Aksara sayang sekali sama Ayah. Jangan pernah pergi untuk tinggalin Aksara seperti Bunda, ya?

Aksara kira, ia akan kuat untuk menahan rasa sesak yang sudah ia simpan selama ini di dalam dada untuk Ayah. Namun malam ini ternyata pertahanan itu runtuh, ia menangis pilu tanpa suara di hadapan Ayah yang sedang tertidur pulas atas pengaruh alkohol.

Rasanya begitu mengenaskan kalau melihat sejuta prestasi yang dimiliki Ayah di masa lalu dan dibandingkan dengan Ayah yang hari ini. Dulu, Ayah adalah seorang pria kuat yang selalu bekerja keras untuk keluarganya. Bahkan Ayah sering sekali pulang terlambat ketika suatu hari jabatannya diangkat menjadi manager Perusahaan. Saat itu Aksara masih ingat bagaimana seri yang muncul di wajah Ayah. Saat itu pula Aksara masih ingat bagaimana Ayah memeluk daksanya dengan erat, mengecup puncak kepalanya penuh sayang sebelum akhirnya memeluk Bunda dengan air mata yang berlinang. Hari itu, berkali-kali Ayah bilang “Kita bisa makan enak, Aksara. Kita bisa makan enak!

Hati Aksara tiba-tiba saja menghangat ketika ia membuka memori ingatan di kepalanya. Ia begitu merindukan masa dimana Ayah memeluk daksanya sambil mengatakan hal-hal yang membuatnya untuk terus bertahan hidup.

Bagi Aksara untuk saat ini, tidak ada lagi yang berharga di dunia selain Ayah dan Mas Bagaskara—Kakaknya yang sekarang sedang mencari pundi-pundi rupiah di Kota Balikpapan.

Ketika ia bergeming di sebelah Ayah, memandangi wajah kesayangannya itu teramat dalam, sebuah pikiran kembali menyelinap. Tentang Saranita yang bisa dengan mudah membuat senyumnya tidak pernah memudar sepanjang hari. Keberanian dan suara yang mirip sekali dengan Bunda, itu adalah point utama yang membuat Aksara tertarik akan gadis itu.

Bunda adalah seorang penyanyi, bahkan album-album Bunda masih tersimpan dengan rapi di ruangan yang sudah disediakan khusus. Suara Bunda begitu lembut, selalu membuat hati Aksara larut dalam setiap nadanya. Begitu juga Saranita, memiliki suara yang serupa dengan milik Bunda. Terutama saat gadis itu dipanggil dengan khusus untuk naik ke atas panggung saat ada acara pelepasan tahun sebelumnya. Aksara tertegun, baru pertama kali ia merasa beruntung karena memakai alat bantu pendengaran di waktu yang tepat.

Sejak saat itu, Aksara selalu mengangkat kedua sudut bibirnya saat netra tanpa sadar menangkap kehadiran Saranita di sekitar.

Aksara menemukan Bunda dalam diri Saranita.

Waspada-Berbicara-tanpa-Ilmu

Perihal Aksara dan Dunianya.

Belum sampai menit kelima memejam, kelopak matanya sudah kembali terbuka. Kemudian pria berkaus hitam pudar itu mempertajam penglihatannya lewat celah pintu kamar yang terbuka sedikit saja. Kedua sudut bibirnya terangkat separuh, ternyata Ayah sudah kembali ke rumah.

Sebelum pergi, Bunda bilang pada Angkasa bahwa, “Seburuk-buruknya Ayah, jika tidak ada beliau maka Angkasa tidak pernah bisa melihat bagaimana cara Bumi memperlakukan manusia di dalamnya.

Terkadang, ingin sekali rasanya Aksara memeluk Ayah untuk sekedar menyalurkan seluruh rasanya untuk pria itu. Seperti apa yang dilihat oleh para tetangga, teman lamanya juga teman-teman Ayah yang selalu berpikir bahwa Aksara adalah manusia yang paling beruntung karena walau Bunda tidak ada di sini, setidaknya ia memiliki Ayah untuk tempat mengadu.

Padahal mereka semua salah, Ayah lebih dingin dari suasana malam hari ketika musim penghujan tiba. Sejak Bunda tiada, Ayah lebih memilih untuk pergi malam hari dan entah kapan pulangnya—seperti malam ini, Ayah sudah pergi sejak tiga hari yang lalu, hanya meninggalkan satu lembar uang dengan nominal dua puluh ribu. Kemudian kembali dalam keadaan bau alkohol yang menguar dari mulut pria itu.

Aksara menutup buku di hadapannya, berjalan perlahan untuk bertemu Ayah yang sedang merebahkan tubuh di ruang tamu. Kedua sudut bibir anak berusia tujuh belas itu terangkat separuh saat mendapati Ayah dengan mata terpejam.

Aksara tahu, Ayah memang masih belum menerima perihal kepergian Bunda satu tahun yang lalu. Kepergian tiba-tiba yang saat itu sempat membuat Angkasa takut akan hidup di dunia, sebab hanya Bunda yang akan melindunginya dari manusia.

Kuasa Aksara terangkat, membuka kedua sepatu hitam Ayah pelan-pelan. Ia berjalan lagi masuk ke dalam kamar Ayah untuk mengambil satu selimut kesukaannya. Namun saat masuk ke dalam kamar Ayah, di sana banyak sekali botol berwarna hijau yang Angkasa tidak pernah tahu bahwa Ayah akan sekacau ini ketika ditinggal Bunda.

Bunda, maafin Aksa. Ayah hancur...

Jemarinya berpindah tugas untuk meremas dadanya sendiri, berharap rada sakit di dalamnya berpindah. Aksara tahu bahwa ia bukan pria yang pandai berbicara, ia juga tidak bisa mengungkapkan apa yang ia rasa lewat sebuah tulisan. Ia hanya bisa memendamnya sendiri sampai rasanya begitu sesak dan memberatkan.

Tidak ingin begitu lama di ruang persegi yang membuatnya begitu sesak, Aksara langsung berjalan lagi ke arah Ayah—membalut tubuh kekar yang sebenarnya penuh luka itu dengan selimut agar kejamnya malam tidak masuk ke dalam tulang.

Lagi-lagi dalam hati, “Ayah, Aksara sayang sekali sama Ayah. Jangan pernah pergi untuk tinggalin Aksara seperti Bunda, ya?

Aksara kira, ia akan kuat untuk menahan rasa sesak yang sudah ia simpan selama ini di dalam dada untuk Ayah. Namun malam ini ternyata pertahanan itu runtuh, ia menangis pilu tanpa suara di hadapan Ayah yang sedang tertidur pulas atas pengaruh alkohol.

Rasanya begitu mengenaskan kalau melihat sejuta prestasi yang dimiliki Ayah di masa lalu dan dibandingkan dengan Ayah yang hari ini. Dulu, Ayah adalah seorang pria kuat yang selalu bekerja keras untuk keluarganya. Bahkan Ayah sering sekali pulang terlambat ketika suatu hari jabatannya diangkat menjadi manager Perusahaan. Saat itu Aksara masih ingat bagaimana seri yang muncul di wajah Ayah. Saat itu pula Aksara masih ingat bagaimana Ayah memeluk daksanya dengan erat, mengecup puncak kepalanya penuh sayang sebelum akhirnya memeluk Bunda dengan air mata yang berlinang. Hari itu, berkali-kali Ayah bilang “Kita bisa makan enak, Aksara. Kita bisa makan enak!

Hati Aksara tiba-tiba saja menghangat ketika ia membuka memori ingatan di kepalanya. Ia begitu merindukan masa dimana Ayah memeluk daksanya sambil mengatakan hal-hal yang membuatnya untuk terus bertahan hidup.

Bagi Aksara untuk saat ini, tidak ada lagi yang berharga di dunia selain Ayah dan Mas Bagaskara—Kakaknya yang sekarang sedang mencari pundi-pundi rupiah di Kota Balikpapan.

Ketika ia bergeming di sebelah Ayah, memandangi wajah kesayangannya itu teramat dalam, sebuah pikiran kembali menyelinap. Tentang Saranita yang bisa dengan mudah membuat senyumnya tidak pernah memudar sepanjang hari. Keberanian dan suara yang mirip sekali dengan Bunda, itu adalah point utama yang membuat Aksara tertarik akan gadis itu.

Bunda adalah seorang penyanyi, bahkan album-album Bunda masih tersimpan dengan rapi di ruangan yang sudah disediakan khusus. Suara Bunda begitu lembut, selalu membuat hati Aksara larut dalam setiap nadanya. Begitu juga Saranita, memiliki suara yang serupa dengan milik Bunda. Terutama saat gadis itu dipanggil dengan khusus untuk naik ke atas panggung saat ada acara pelepasan tahun sebelumnya. Aksara tertegun, baru pertama kali ia merasa beruntung karena memakai alat bantu pendengaran di waktu yang tepat.

Sejak saat itu, Aksara selalu mengangkat kedua sudut bibirnya saat netra tanpa sadar menangkap kehadiran Saranita di sekitar.

Bagaimana cara Semesta mempertemukan.

Image-about-white-in-by-on-We-Heart-It-1


Memang benar ternyata, bahwa kopi adalah pilihan yang tepat untuk menahan kantuk.

Sore ini, yang ada di pikiran gadis itu hanya pulang ke rumah, kemudian mengerjakan seluruh tugas yang diberikan guru-gurunya. Setelah itu ia bersumpah, ingin membaringkan diri di atas kasurnya yang empuk. Hanya dengan memikirkan waktu istirahatnya saja kedua sudut bibir Saranita mampu terangkat dengan sempurna.

“Makasih, Mas.” katanya, setelah seorang pria di hadapan menyodorkan satu gelas kopi hangat sesuai pesanan.

Gadis itu melangkah untuk keluar dari bangunan, meneguk kopinya perlahan-lahan. Ia hanya berdiri di depan kedai, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru jalan. Saranita tiba-tiba menyipit saat mendapati objek yang membuat gadis itu tertarik. Kakinya melangkah lagi, mendekat ke sekumpulan pria yang membentuk lingkaran.

Ck!” Saranita berdecak saat tahu siapa yang membentuk lingkaran itu. Tujuh pria berseragam putih abu-abu yang sudah ia kenali wajahnya satu persatu.

Di Jakarta ini, siapa yang tidak kenal Ajinaka dan teman-temannya, sih? Bahkan Saranita yakin kalau Presiden Indonesia saja tahu siapa Ajinaka. Sebab mereka sekelompok siswa dari SMK seberang yang memang sering merundung anak-anak sekolah Saranita. Sudah berkali-kali membuat masalah, namun Ajinaka dan teman-temannya masih dapat bersekolah. Dengar-dengar semuanya perihal uang dan jabatan Ayah dari Ajinaka. Biasalah, memamg apa yang tidak bisa dilakukan kalau ada uang?

“Siapa lagi?”

Ketujuh—maksudnya, kedelapan pria itu menoleh—termasuk pria yang berada di lingkaran tengah. Saranita tidak tahu siapa dia, namun badge seragam mereka sama.

“Pahlawan kesiangan datang lagi?” celetuk salah satu di antara mereka, pria berkulit paling gelap di antara yang lain. Dengan tatapan yang mengintimidasi, ia berjalan menghampiri Saranita.

“Lepasin dia.” Saranita berucap dingin, tatapannya menusuk satu-satu ke arah tujuh pria itu. Kuasanya terangkat untuk menunjuk satu pria di tengah yang keadaanya sudah kacau.

Sekarang Ajinaka yang berjalan menghampiri Saranita, menggoda gadis itu adalah kesukaannya. Baginya Saranita adalah gadis luar biasa, jadi ia merasa tertantang untuk menggodanya. Jari telunjuknya terangkat untuk mencolek dagu Saranita, bersamaan dengan tatapan genit seperti Om-Om yang sedang menggoda gadis remaja.

“Cantik, cantik banget.” Ajinaka melangkah maju, membuat Saranita justru memundurkan langkah. Netra pria itu menatap Saranita dalam, tersenyum sarkas sampai langkahnya terhenti sebab intruksi dari gadis itu.

“Berhenti atau gue siram kopi panas?” Saranita berteriak keras, menyodorkan satu gelas kopi panas yang kalau tutupnya dibuka asapnya masih mengepul di udara.

Ajinaka tidak berhenti, masih melangkah maju seolah menantang Saranita sebab ia yakin kalau gadis itu tidak akan melakukan apa yang diucapkannya barusan. Namun Ajinaka salah besar, karena pasalnya Saranita bukan gadis penakut seperti gadis-gadis kebanyakan. Saranita tidak sama.

Segelas kopi panas itu membasahi seragam putih milik Ajinaka, sekarang pria itu bergeming. Bibirnya tidak mampu bergerak, hanya membentuk sebuah lingkaran dengan ekspresi yang tidak mampu dijelaskan. Matanya mengerjap tiga kali, memastikan bahwa cairan panas itu benar-benar membuat seragamnya kotor.

“Lepasin dia, Ajinaka.” tegas satu-satunya gadis di sana. Netranya menusuk dalam ke arah Ajinaka seolah rasa marah di dalam dada menyeruak berlomba-lomba meminta untuk di keluarkan.

Bagi Saranita, selama itu bukan Tuhan atau orangtuanya, ia tidak akan pernah merasa takut—terlebih tindakannya adalah sebuah kebenaran. Sebelum meninggalkan Saranita dan yang lain, dulu Ayahnya pernah bilang, “Dunia ini sudah tua, sudah rentan juga sudah tidak berakal. Saranita jangan pernah berhenti memerjuangkan keadilan, ya? Selama kamu tidak salah, tidak apa-apa juga untuk marah.

Kuasa Saranita terangkat untuk menarik pria yang berada di paling tengah, menggenggam jemarinya tanpa ada satu pun celah. Kakinya melangkah lebih dulu, membawa pria itu ke arah yang tidak bertujuan.

“Anak kayak mereka harus dikasih pelajaran. Lo harusnya ngelawan selagi lo enggak salah.” Genggaman jemarinya terlepas, gadis itu memilih untuk duduk di kursi halte.

Tiga puluh menit keheningan menyelimuti keduanya. Saranita bingung, tidak ada yang mau disampaikan oleh pria di sampingnya, gitu? Ucapan terima kasih, misalnya?

“Lo kenapa diem aja, sih?”

Lewat pergerakan tangan, pria lusuh itu menjawab—mengisyaratkan Saranita untuk menunggu. Gerakan selanjutnya, ia mengambil buku kecil bersampul putih juga pena abu-abu dari dalam tas. Mulai bergerak, menuliskan huruf demi huruf di atas kertas. Kemudian menyodorkan buku catatan itu pada Saranita—tidak lupa dengan senyum tipisnya.

Tiga detik membeku. Kemudian pelan-pelan Saranita mengambil buku catatan putih itu, membaca setiap kata yang dituliskan di atasnya.

IMG-20210609-200511

Tatapan Saranita berubah menjadi tatapan bersalah sepenuhnya, berkali-kali meminta maaf sebab tidak tahu kalau ternyata pria di hadapannya ini diberi sebuah kelebihan oleh Semesta.

Senyum pria itu tersimpul ikhlas, padahal tidak tahu dengan apa yang diucapkan oleh Saranita. Lagi-lagi melalui pergerakan tangan, ia meminta gadis yang sedang menatapnya itu menunggu. Sedang ia kembali merogoh isi tas, mengambil satu pasang alat bantu dengar yang dibelikan oleh Kakaknya enam bulan lalu.

Saranita hanya diam, pandangannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan pria bernetra elok itu. Tapi bersedia membaca setiap kalimat di atas kertas yang dituliskan adalah satu-satunya cara menghargai.

IMG-20210609-200457

“Lo tahu nama gue dari mana?” tanya Saranita penasaran.

Belum menjawab pertanyaan dari gadis itu, tapi Aksara sudah masuk ke dalam Busway yang baru saja berhenti. Dari dalam sana tangannya melambai di udara ke arah Saranita yang masih bergeming di halte. Padahal seharusnya ia juga masuk ke dalam Busway yang sama.

Eh—bentar? Gue harusnya naik itu juga, kan?” Berbicara pada diri sendiri adalah salah satu di antara jutaan kelebihannya. Ia berdecak malas saat mengingat bahwa Busway selanjutnya akan datang lima belas menit lagi.

Gadis itu hanya duduk di kursi halte, membawa dirinya tenggelam akan pikiran sendiri. Memori ingatannya kembali pada kejadian minggu kemarin, dimana ia melihat Ajinaka dengan seenaknya memukul kepala seseorang di tempat yang sama seperti tadi. Kalau diingat-ingat, seseorang yang dipukul Ajinaka memiliki penampilan fisik yang sama seperti Aksara.

Berarti ini bukan kali pertama Aksara diperlakukan seperti itu oleh Ajinaka dan teman-temannya, kan?

Cerita-Cinta-Markren

Tempe orek.

nct-jaehyun-nctzen-sijeuni-jaehyun-boyfriend-material

Jantung Zehian berdetak cepat ketika netranya menangkap bahwa pintu rumah milik Ayah dari istrinya itu terbuka lebar. Kakinya melangkah cepat, meninggalkan Fortuner hitam di halaman depan. Pikirannya kalut, ia begitu takut.

“Sa, Sakya!” Zehian berteriak, menggunakan seluruh tenaga untuk memanggil nama perempuan miliknya. Kuasa pria itu terangkat untuk menjambak surainya sendiri, merasa kesal dan frustasi. Pasalnya ia tidak menemukan Sakya dimana-mana sampai pada akhirnya netranya menangkap tiga laki-laki dengan kaus hitam sedang terduduk di ruang keluarga. Masing-masih dari mereka mengeluarkan darah dari hidungnya.

Pikiran Zehian semakin kacau, sampai pada akhirnya ia berjalan ke arah dapur dan mendapati Sakya yang sedang sibuk di depan kompor. “Sa?”

Perempuan itu menoleh, terkejut. Namun sedetik setelahnya, senyum manis langsung terbit di bibir. “Telepon polisi, Mas. Langsung aja jangan pake sidang-sidang dulu, Mas Zehian kan banyak uangnya.”

Enak saja. Seenaknya Sakya tersenyum bahkan terkekeh di akhir kalimatnya setelah membuat Zehian kalut dalam perjalanan pulang. Dia bingung, sungguh.

“Kenapa, Mas?”

“Saya khawatirin kamu, loh, Sakya?”

Sakya terkekeh, berjalan menghampiri Zehian setelah mematikan kompor di hadapannya. “Saya udah bilang kalau saya ini keren, kan? Jangan dikhawatirin, santai.”

“Kamu manusia, kan?”

Perempuan di hadapan Zehian sekarang sedang sibuk mengambil mangkuk, namun kedua bolamatanya justru membuat karena pertanyaan tidak masuk akal yang masuk ke dalam rungunya. “Ya manusia, lah, Mas.”

“Kok bisa lawan tiga laki-laki sendirian?” Dia masih penasaran, kini pergerakan-nya mengikuti kemana pun Sakya pergi. “Enggak masuk di akal.”

Sakya berhenti, perempuan itu meletakkan kembali mangkuk di atas meja. “Saya manusia, mereka aja yang kaya tempe orek. Lemes.”

“Sa... saya serius.” Tapi pada akhirnya Zehian tertawa. Ia ingat kalau Ayahnya Sakya pernah bilang, dulu—jauh sebelum hari ini, Sakya adalah perempuan yang selalu ikut pertandingan Karate. Jadi seharusnya ia tidak heran atau bahkan harus terbiasa.

“Makan enggak?” Sakya mengangkat mangkuk yang berisi masakan ala China yang pernah diajari Bunda. “Mas, serius. Panggil polisi dulu kayaknya.”

Zehian kemudian mengangguk, dengan segera berjalan ke ruang keluarga dan kembali menemui bercak darah dimana-mana. Bahkan, meja yang ada di ruang itu patah tak bersisa. Pria itu mendekat ke salah satu di antara mereka bertiga. Sebab Zehian yakin kalau mereka memiliki motif tersendiri kenapa masuk ke dalam rumah keluarga itu. Ada yang diincar, tapi bukan harta.

“Kalian ada yang suruh?”

Pria bertubuh gempal di hadapan Zehian menggeleng, namun tatapan matanya berjalan ke mana-mana. Sesekali pria itu mengerinyit, menahan sakit yang teramat di bagian bibirnya. “Enggak, enggak ada.”

Heh jelek, ngaku aja deh lu. Ada yang nyuruh, kan?” Suara Sakya mengintruksi membuat ketiga dari mereka menatapnya takut-takut.

Zehian justru tertawa, cara Sakya berbicara memang terdengar begitu lucu. Perempuan itu bahkan tidak pernah marah dalam nada bicaranya, kalau marah pasti ada beberapa candaan yang ia lontarkan agar tidak melukai perasaan lawan bicaranya.

“Iya, iya kita disuruh!” sahut yang lain, pria berkepala tapi tidak berambut. Dia membuat Zehian berjalan mendekat, kemudian mengambil ponselnya dari saku celana.

“Siapa yang suruh? Saya yakin di dalam sini ada foto orang itu.”

Pria itu mengangguk, minta Zehian untuk membuka kata sandi di ponselnya. Kemudian mengarahkan Zehian untuk membuka aplikasi chating berwarna hijau sebab tangannya terikat di bagian belakang.

“Dia?”

Pria itu mengangguk yakin.

“Coba mau lihat, Mas.” Sakya berjalan mendekat, ikut duduk di samping Zehian. “Buset ini orang apa orek, ini orang kok jelek?”

Lagi-lagi Zehian tertawa, kemudian menatap pria tidak berambut itu setelahnya. “Abimanyu? Dimana dia?”

“Abimanyu siapa, Mas?”

“Lawan bisnis Ayahmu, Sa.”

Genggam di balik awan legam.

Pejaman mata Sakya hanya bertahan sampai sepuluh menit. Suara langkah mendekat memasuki rungu, ia mendapai Zehian dengan seutas senyum manis di wajahnya. Rambut legam yang membingkai wajah pria itu sedikit berantakan, namun kemudian dirapikan dengan jemarinya sendiri.

“Ayah tidur?” tanya pria itu ketika baru saja sampai tepat di hadapan gadis miliknya. Tatapannya teralih pada daksa Kinara yang ada di pelukan gadis itu. “Sini, Kina biar saya yang gendong.”

Sakya menuruti, mengulurkan Kinara yang langsung disambut oleh pria itu. “Ayah tidur kata Mbak Ina, saya sama Kinara enggak boleh terlalu lama di dalam ruangan. Karena Kinara masih kecil, nanti takut penyakit juga katanya.”

Kurva di bibir Zehian terangkat sempurna, seiring dengan pancaran netra yang sepenuhnya ke arah Sakya. “Saya izin ke Ayah dulu kalau gitu, kamu tunggu—”

“Saya aja, Mas Zehian gendong Kinara. Nanti malah enggak nyaman Kinara-nya.” balas Sakya sambil mengangkat kedua sudut bibirnya.

Butuh beberapa detik untuk Zehian menyadari bahwa senyum Sakya tercetak jelas seperti senyum milik Mamanya. Pantas saja Gentala menyayangi gadis itu lebih dari apapun. Lagi-lagi, perasaan bersalah itu menyeruak penuh di rongga dada Zehian; tentang Gentala dan perasaan-nya.

“Mas, saya udah izin pulang ke Mbak Ina. Ayo.” Sakya melangkah untuk mengambil tas kecil yang digunakan Kinara, kemudian berjalan berdampingan bersama Zehian menuju lobby.

Ketika membaca buku atau menonton sebuah film dengan tema pernikahan, Sakya selalu mengerti bahwa cinta dapat berlabuh di mana saja—bahkan pada hati yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Sakya sadar bahwa ia tidak dapat menebak perasaan seseorang juga dirinya sendiri.

“Makasih, Mas.” ucap Sakya ketika Zehian membuka pintu mobil untuknya, walau masih ada Kinara yang bergerak gelisah di dalam gendongan. “Mas, Kinara enggak sama saya aja? Biar dipangku, kasihan kalau di belakang nanti badannya sakit.”

“Enggak, Kinara malah gelisah kalau tidur dipangku.” jawabnya. Dengan gerakan yang tidak pernah terburu, Zehian memakai sabuk pengaman untuk dirinya sendiri. Sedetik berikutnya dia terkekeh kecil saat Sakya sama sekali tidak memasang sabuk pengaman.

Dahi gadis itu mengerut, bingung. Mata Sakya membulat sempurna saat Zehian memajukan daksanya, napas gadis itu bahkan tercekat seolah ada tali yang mencekam lehernya. Hanya tersisa tiga senti, wajah Zehian tepat di depannya.

“Pakai sabuknya, biar aman.” Dia mengangkat sebelah sudut bibirnya, dalam hati terbahak karena melihat ekspresi lucu dari si gadis.

Zehian brengsek.

“Saya enggak akan ngelakuin apa-apa kalau kamu enggak kasih izin.” ucap pria itu pelan, pelan sekali sampai rasanya Sakya tidak mampu mendengarnya. Kuasa Zehian terangkat untuk mengacak rambut Sakya, kemudian beralih untuk mengisi renggang di jemari kanan gadis itu.

Anehnya, ada getaran tersendiri yang membuat Sakya tidak mampu menolak genggaman itu. Ia hanya berusaha menggigit bibir bagian dalamnya untuk menutupi sebuah kegugupan. Zehian memang jauh dari penggambaran CEO tampan kaya raya seperti di kebanyakan buku-buku yang ia baca. Maksud Sakya, Zehian memang tampan, kaya juga memiliki wibawa. Tapi ada alasan tersendiri kenapa Sakya belum bisa menerima dengan penuh Zehian untuk masuk ke dalam hidupnya, dunianya.

Karena pada awalnya, kedatangan Zehian adalah sebuah kedatangan yang tiba-tiba, kan? Bagaimana kalau pada akhirnya ia akan pergi secara tiba-tiba juga?

“Mas, Gentala boleh pulang kapan, ya?” tanya Sakya tiba-tiba. Entah kenapa, tapi Sakya pikir ia harus membunuh sepi di antara keduanya.

Genggaman tangan kiri Zehian mengendur perlahan, tapi ia tetap tidak melepaskannya. “Saya juga enggak tahu harus berapa lama Gentala dirawat, Sakya. Saya bukan Dokternya.”

“Mas Zehian marah?” tanya Sakya ketika mendengar nada bicara pria itu yang mulai berbeda.

Zehian berani bersumpah bahwa ia tidak marah, ia hanya merasa bersalah. “Enggak, saya enggak marah.”

“Kok nadanya begitu?”

Zehian terkekeh, melirik Sakya dari ekor matanya. “Sakya, boleh saya minta kamu untuk selalu kasih tau bagaimana perasaan kamu setiap malam?”

“Maksudnya, Mas?”

“Setiap malam saya akan bertanya tentang perasaan kamu hidup bareng saya dan Kinara. Biar saya tahu bagian mana yang harus dibenahi.” jawabnya dengan nada yang kembali tenang.

Sakya paham, tidak ada yang harus dibenahi kecuali perasaannya sendiri.

Goresan awal, untuk pria yang kuyakini bersuara merdu.

Dalam diam, Saranita memerhatikan pria di sampingnya tanpa berpaling. Pancaran penuh cinta tanpa dipinta yang tergambar di sana. Sejak awal bagian dalam tulisan ini dimulai, ia sudah mencintainya—ingin memiliki pria bernetra elok itu sepenuhnya. Baginya, pria itu bukan hanya seseorang yang dengan khusus dikirimkan Semesta untuknya. Tapi, ia adalah pria manis yang benar-benar dilahirkan ketika Bumi bersuasana elok.

Sudah hampir empat puluh menit mereka di sini, hanya duduk dan berdiam sambil menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit. Tidak ada yang mengeluarkan suara sebelum akhirnya si gadis mengangkat kuasanya untuk mengambil satu kotak berisi alat bantu dengar yang baru saja ia beli menggunakan uangnya sendiri.

Saranita meletakkan kotak itu di samping jemari Aksara yang menopang dirinya sendiri. “Hadiah buat lo.”

Seperti dugaan, kurva di bibirnya terangkat penuh. Pria bernama Aksara itu menatap gadis di samping sebelum akhirnya mengambil kotak berpita abu itu. Jemarinya secara perlahan menarik satu ujung pita agar terlepas dan kotaknya dapat dibuka. Pancaran netra kecokelatan itu langsung teralih pada Saranita sesaat setelah pria itu tahu isinya.

Kuasa Saranita terangkat, berusaha menjelaskan dengan bahasa isyarat yang sudah ia pelajari bersama Tantenya dua minggu lalu. Katanya, “Gue beli pakai uang sendiri, tenang aja. Lo sama sekali enggak memberatkan. Anggap saja hadiah karena lo udah jadi Aksara yang hebat.”

Aksara tahu, Saranita bukanlah gadis yang dibesarkan dengan penuh cinta begitu saja. Tapi di dekatnya, Aksara selalu merasa bahwa dirinya memang sedang dicintai. Di dekat Saranita juga, ia merasa bahwa Bunda berada bersamanya.

“Mau gue bantu pakai?” Saranita kembali menggerakkan tubuhnya, membuat air dengan cepat memenuhi pelupuk Aksara. “Kok nangis? Hadiahnya kurang bagus, ya?”

Dengan cepat Aksara menggeleng, sebab memang bukan itu alasannya. Pria itu kembali menatap netra milik Saranita dalam seolah sedang tenggelam di dalamnya, mencari sebuah kesedihan di balik netra yang selalu merefleksikan luka yang kronis. Kuasanya terangkat untuk mengambil buku kesayangan dari dalam ransel bersamaan dengan satu bulir air mata yang menitik, membasahi satu bagian kertas itu.

“Aksa, jangan nangis...” Saranita tahu bahwa Aksara tidak dapat mengertinya, pria itu tidak dapat mendengar suaranya sebab kali ini ia tidak lagi menggerakkan tubuhnya agar dimengerti.

Kuasa Aksara bergerak menggoreskan huruf menjadi kata, kemudian kata menjadi sebuah kalimat-kalimat penuh makna.

Setelah membaca tulisan tangan kesukaan-nya, Saranita mengangguk tanpa ragu. Kemudian kembali mengikuti arah pandang Aksara untuk menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit Jakarta.

“Kenapa ngelihatin gedung segitunya?”

Beruntungnya Aksara sudah memasang alat bantu dengar di telinganya, jadi ia dapat memahami pertanyaan yang diajukan oleh Saranita. Pria berkaus abu yang sedikit usang itu mengangkat lekung di bibirnya, selanjutnya kembali menuliskan kalimat demi kalimat di atas bukunya.

Setelah membaca kalimat yang dituliskan, Saranita menatap wajah Aksara dari sisi kirinya. Menghela napas, “Ayah lo bohong, Aksa. Suatu hari nanti lo pasti bisa kerja di sana.”

Lagi-lagi kedua sudut aksara terangkat penuh. Gadis di samping dengan kaus hitam polos itu memang paling bisa membuat dirinya kembali merasa dicintai dan layak seperti kata Bunda dahulu. Perlahan senyum itu berubah jadi tawa tanpa suara, netranya tetap mengarah pada Saranita.

“Apa? Gue enggak bohong. Suatu hari nanti lo bisa. Pasti bisa.”


Netra = mata Kuasa = tangan Kurva = lengkungan

Goresan awal, untuk pria bernetra indah.

Dalam diam, Saranita memerhatikan pria di sampingnya tanpa berpaling. Pancaran penuh cinta tanpa dipinta yang tergambar di sana. Sejak awal bagian dalam tulisan ini dimulai, ia sudah mencintainya—ingin memiliki pria bernetra elok itu sepenuhnya. Baginya, pria itu bukan hanya seseorang yang dengan khusus dikirimkan Semesta untuknya. Tapi, ia adalah pria manis yang benar-benar dilahirkan ketika Bumi bersuasana elok.

Sudah hampir empat puluh menit mereka di sini, hanya duduk dan berdiam sambil menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit. Tidak ada yang mengeluarkan suara sebelum akhirnya si gadis mengangkat kuasanya untuk mengambil satu kotak berisi alat bantu dengar yang baru saja ia beli menggunakan uangnya sendiri.

Saranita meletakkan kotak itu di samping jemari Aksara yang menopang dirinya sendiri. “Hadiah buat lo.”

Seperti dugaan, kurva di bibirnya terangkat penuh. Pria bernama Aksara itu menatap gadis di samping sebelum akhirnya mengambil kotak berpita abu itu. Jemarinya secara perlahan menarik satu ujung pita agar terlepas dan kotaknya dapat dibuka. Pancaran netra kecokelatan itu langsung teralih pada Saranita sesaat setelah pria itu tahu isinya.

Kuasa Saranita terangkat, berusaha menjelaskan dengan bahasa isyarat yang sudah ia pelajari bersama Tantenya dua minggu lalu. Katanya, “Gue beli pakai uang sendiri, tenang aja. Lo sama sekali enggak memberatkan. Anggap saja hadiah karena lo udah jadi Aksara yang hebat.”

Aksara tahu, Saranita bukanlah gadis yang dibesarkan dengan penuh cinta begitu saja. Tapi di dekatnya, Aksara selalu merasa bahwa dirinya memang sedang dicintai. Di dekat Saranita juga, ia merasa bahwa Bunda berada bersamanya.

“Mau gue bantu pakai?” Saranita kembali menggerakkan tubuhnya, membuat air dengan cepat memenuhi pelupuk Aksara. “Kok nangis? Hadiahnya kurang bagus, ya?”

Dengan cepat Aksara menggeleng, sebab memang bukan itu alasannya. Pria itu kembali menatap netra milik Saranita dalam seolah sedang tenggelam di dalamnya, mencari sebuah kesedihan di balik netra yang selalu merefleksikan luka yang kronis. Kuasanya terangkat untuk mengambil buku kesayangan dari dalam ransel bersamaan dengan satu bulir air mata yang menitik, membasahi satu bagian kertas itu.

“Aksa, jangan nangis...” Saranita tahu bahwa Aksara tidak dapat mengertinya, pria itu tidak dapat mendengar suaranya sebab kali ini ia tidak lagi menggerakkan tubuhnya agar dimengerti.

Kuasa Aksara bergerak menggoreskan huruf menjadi kata, kemudian kata menjadi sebuah kalimat-kalimat penuh makna.

Setelah membaca tulisan tangan kesukaan-nya, Saranita mengangguk tanpa ragu. Kemudian kembali mengikuti arah pandang Aksara untuk menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit Jakarta.

“Kenapa ngelihatin gedung segitunya?”

Beruntungnya Aksara sudah memasang alat bantu dengar di telinganya, jadi ia dapat memahami pertanyaan yang diajukan oleh Saranita. Pria berkaus abu yang sedikit usang itu mengangkat lekung di bibirnya, selanjutnya kembali menuliskan kalimat demi kalimat di atas bukunya.

Setelah membaca kalimat yang dituliskan, Saranita menatap wajah Aksara dari sisi kirinya. Menghela napas, “Ayah lo bohong, Aksa. Suatu hari nanti lo pasti bisa kerja di sana.”

Lagi-lagi kedua sudut aksara terangkat penuh. Gadis di samping dengan kaus hitam polos itu memang paling bisa membuat dirinya kembali merasa dicintai dan layak seperti kata Bunda dahulu. Perlahan senyum itu berubah jadi tawa tanpa suara, netranya tetap mengarah pada Saranita.

“Apa? Gue enggak bohong. Suatu hari nanti lo bisa. Pasti bisa.”


Netra = mata Kuasa = tangan Kurva = lengkungan