Tentang Saranita dan Goresan Takdirnya.
Fina dan Esa adalah kedua adiknya yang harus ia jaga sampai akhir hidupnya. Bahkan, ketika Ayah pamit dari sisi keluarga ini untuk pergi berjalan bersama keluarga lain pun pria itu menitipkan seluruh anggota di sini kepada Saranita—termasuk Ibu. Sebab Ayah tahu, Ibu akan menjadi Anggota yang dengan rela mengorbankan tubuhnya berdiri paling depan. Ayah juga tahu, kalau selanjutnya keluarga di sini akan dipimpin oleh Ibu yang bahkan terkadang tidak bisa mengatur egonya sendiri.
Saat Ayah pertama kali ketahuan selingkuh, Saranita masih berumur sepuluh. Hari itu Saranita tahu kalau Ibu memaafkan Ayah dengan sejuta harapan kalau Ayah tidak akan melakukan hal serupa. Tahun-tahun berikutnya berjalan sesuai dengan apa yang Ibu mau, tapi tiga tahun sebelum hari ini, Ayah kembali ketahuan selingkuh yang membuat Ibu jengah akan perasaan marahnya sendiri.
Ibu memiliki sifat yang sama dengan Saranita, mereka tidak pandai menyimpan amarah pada dirinya sendiri. Apapun yang mereka rasakan, harus sampai pada pelabuhannya—rasa marah pun rasa sayang.
“Kak,” Di meja makan, Fina menggerakkan lengan Saranita. Anak gadis bersurai pekat itu sekarang bingung, sebab ia tidak pernah satu kalipun melihat Kakak satu-satunya itu hilang fokus.
Ketika lengannya digerakkan oleh sang adik, Saranita hanya menghela napas lelah sambil memijit pelipisnya pelan. “Kotak bekal kamu sama Esa udah masuk ke dalam tas?”
“Udah.” Fina mengangguk.
Di sebelah kiri Saranita, ada Esa, adik terakhirnya itu menatap Saranita penuh kekhawatiran. Tatapan juga perasaan yang sama seperti yang dirasakan Fina, bedanya, jemari itu sudah menggenggam milik Saranita erat. Karena sepuluh tahun hidup di Bumi, tidak pernah satu kalipun kedapatan Kakak pertamanya diam sedari acara sarapan dimulai.
“Kak Sara sakit?” Akhirnya Esa bersuara, telapak tangannya terangkat untuk mengecek suhu tubuh Saranita di dahi.
Kedua sudut bibir Saranita terangkat sempurna, netra kecokelatan itu menatap adik sepuluh tahunnya dalam. “Kak Sara baik-baik aja. Esa sekarang berangkat sekolah diantar Kak Fina, ya? Kak Sara juga mau siap-siap.”
Anak itu mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya bersama Ibu untuk mengambil tas. Sedang Fina masih bergeming di tempat, “Kak Sara jangan sakit, Fina takut...”
Hati Saranita rasanya seperti tertusuk ribuan jarum jahit yang seolah ingin menghancurkan bagiannya. Rasanya begitu sakit dan menyesakkan. Dadanya berat, membuat Saranita harus berkali-kali menghela napasnya. Mana boleh ia sakit? Ia hanya sedang berpikir bagaimana caranya bertemu dengan Ibu yang sibuk sekali itu.
Untuk beberapa saat Saranita kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Sebelum akhirnya ia menghela napas, menatap adik yang umurnya terpaut tiga tahun itu dalam. “Fina,” panggilnya dengan nada rendah. Hatinya makin sakit ketika mendapati tatapan hangat milik Fina untuknya. “Fina jangan pernah malas belajar, ya? Biar masuk SMA negeri, terus kuliah di Universitas negeri dan dapat beasiswa. Fina tahu kalau ilmu itu mahal sekali, kan? Tolong jangan buang-buang waktu dan uang yang Ibu kasih untuk hal-hal enggak begitu penting, ya?”
Saranita ingin sekali menangis, tapi kenapa rasanya susah sekali untuk sekedar menumpahkan rasa sedih juga lelah di hadapan adik-adiknya? Ia bingung, bingung sekali kenapa Semesta tidak pernah memberikan satu orang pun untuk bisa ia jadikan rumah yang benar-benar rumah sehingga ia bisa mengadu tanpa memikirkan hal lainnya.
“Kak Fina, ayo!” Suara Esa membuat keduanya menoleh, dengan senyum semegah dunia.
Satu kali lagi Fina menggenggam tangan Saranita untuk sekedar menyalurkan sebuah rasa yang ia sendiri tidak pernah tahu rasa apa yang sedang dibutuhkan oleh Kakaknya itu. “Fina sama Esa berangkat duluan, ya, Kak.”
Saranita mengangguk, kemudian berjalan ke kamar Ibu setelah kedua adiknya pergi meninggalkan rumah sederhana mereka. Tatapan mata gadis itu fokus pada daksa Ibu yang sedang terbujur di atas ranjang, sedangkan jemari Saranita meresam knop pintu itu untuk menahan rasa sakit di sekujur tubuh saat melihat Ibu kelelahan seperti itu. Saranita tahu, Ibu baru pulang subuh tadi dari kerjaannya.
Saranita ingat, tiga tahun lalu di kamar ini ia dipanggil oleh Ayah selaku anak yang usianya paling tua. Tenggorokannya tercekat saat bayangan Ayah memeluk daksanya sambil menangis dan memohon ampun atas dirinya. Berkali-kali Ayah bilang, “Maafkan Ayah, Sara. Ampuni Ayah...” Saat itu Saranita hanya diam, rasa sakit memang menjalar di seluruh rongga hatinya, menyeruak, berlomba-lomba meminta untuk dikeluarkan. Tapi tidak dengan airmatanya, tidak ada tangis pilu yang keluar dari bibirnya di sana. Ia hanya bilang, “Ayah jaga diri, Saranita udah enggak bisa pijet tangan Ayah lagi sehabis pulang kerja nanti...”
Perempuan itu menggeleng, masih meredam seluruh rasa sesak di dalam dadanya yang kian terasa berat. Tidak ada tangis lagi, ia hanya menggigit bibir bawahnya dengan erat. Sambil berjalan untuk mengambil tasnya, Saranita bersenandung kecil.
Sedari kecil ia memang suka menyanyi—sama halnya seperti Ibu. Bahkan dulu ia sempat memiliki cita-cita untuk menjadi penyanyi, tapi Ibu melarang. Katanya, menjadi penyanyi bukanlah pilihan yang baik. Selama itu Tuhan dan Orangtuanya, Saranita akan menuruti kemana hidupnya akan dibawa.
Langkahnya berjalan pelan ke arah halte, menunggu metro mini yang setiap pagi mengantarnya ke sekolah. Sekali lagi, ia menghela napas kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas seolah tidak ada hal yang menganggu di pikirannya. Sebab ia tahu, Saranita Senja tidak dilahirkan untuk mengeluh barang satu detikpun.
Matanya menyipit ketika mendapati seseorang dengan seragam yang sama sedang berjalan ke arah halte. Lagi-lagi, seri di wajahnya bertambah tiga kali lipat saat ia mendapati Aksara yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. “Ayo berangkat bareng!”
Pria itu mengangguk, kemudian berdiri di sebelah perempuan yang selalu mengisi pikirannya sepanjang hari.