Goresan awal, untuk pria bernetra indah.

Dalam diam, Saranita memerhatikan pria di sampingnya tanpa berpaling. Pancaran penuh cinta tanpa dipinta yang tergambar di sana. Sejak awal bagian dalam tulisan ini dimulai, ia sudah mencintainya—ingin memiliki pria bernetra elok itu sepenuhnya. Baginya, pria itu bukan hanya seseorang yang dengan khusus dikirimkan Semesta untuknya. Tapi, ia adalah pria manis yang benar-benar dilahirkan ketika Bumi bersuasana elok.

Sudah hampir empat puluh menit mereka di sini, hanya duduk dan berdiam sambil menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit. Tidak ada yang mengeluarkan suara sebelum akhirnya si gadis mengangkat kuasanya untuk mengambil satu kotak berisi alat bantu dengar yang baru saja ia beli menggunakan uangnya sendiri.

Saranita meletakkan kotak itu di samping jemari Aksara yang menopang dirinya sendiri. “Hadiah buat lo.”

Seperti dugaan, kurva di bibirnya terangkat penuh. Pria bernama Aksara itu menatap gadis di samping sebelum akhirnya mengambil kotak berpita abu itu. Jemarinya secara perlahan menarik satu ujung pita agar terlepas dan kotaknya dapat dibuka. Pancaran netra kecokelatan itu langsung teralih pada Saranita sesaat setelah pria itu tahu isinya.

Kuasa Saranita terangkat, berusaha menjelaskan dengan bahasa isyarat yang sudah ia pelajari bersama Tantenya dua minggu lalu. Katanya, “Gue beli pakai uang sendiri, tenang aja. Lo sama sekali enggak memberatkan. Anggap saja hadiah karena lo udah jadi Aksara yang hebat.”

Aksara tahu, Saranita bukanlah gadis yang dibesarkan dengan penuh cinta begitu saja. Tapi di dekatnya, Aksara selalu merasa bahwa dirinya memang sedang dicintai. Di dekat Saranita juga, ia merasa bahwa Bunda berada bersamanya.

“Mau gue bantu pakai?” Saranita kembali menggerakkan tubuhnya, membuat air dengan cepat memenuhi pelupuk Aksara. “Kok nangis? Hadiahnya kurang bagus, ya?”

Dengan cepat Aksara menggeleng, sebab memang bukan itu alasannya. Pria itu kembali menatap netra milik Saranita dalam seolah sedang tenggelam di dalamnya, mencari sebuah kesedihan di balik netra yang selalu merefleksikan luka yang kronis. Kuasanya terangkat untuk mengambil buku kesayangan dari dalam ransel bersamaan dengan satu bulir air mata yang menitik, membasahi satu bagian kertas itu.

“Aksa, jangan nangis...” Saranita tahu bahwa Aksara tidak dapat mengertinya, pria itu tidak dapat mendengar suaranya sebab kali ini ia tidak lagi menggerakkan tubuhnya agar dimengerti.

Kuasa Aksara bergerak menggoreskan huruf menjadi kata, kemudian kata menjadi sebuah kalimat-kalimat penuh makna.

Setelah membaca tulisan tangan kesukaan-nya, Saranita mengangguk tanpa ragu. Kemudian kembali mengikuti arah pandang Aksara untuk menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit Jakarta.

“Kenapa ngelihatin gedung segitunya?”

Beruntungnya Aksara sudah memasang alat bantu dengar di telinganya, jadi ia dapat memahami pertanyaan yang diajukan oleh Saranita. Pria berkaus abu yang sedikit usang itu mengangkat lekung di bibirnya, selanjutnya kembali menuliskan kalimat demi kalimat di atas bukunya.

Setelah membaca kalimat yang dituliskan, Saranita menatap wajah Aksara dari sisi kirinya. Menghela napas, “Ayah lo bohong, Aksa. Suatu hari nanti lo pasti bisa kerja di sana.”

Lagi-lagi kedua sudut aksara terangkat penuh. Gadis di samping dengan kaus hitam polos itu memang paling bisa membuat dirinya kembali merasa dicintai dan layak seperti kata Bunda dahulu. Perlahan senyum itu berubah jadi tawa tanpa suara, netranya tetap mengarah pada Saranita.

“Apa? Gue enggak bohong. Suatu hari nanti lo bisa. Pasti bisa.”


Netra = mata Kuasa = tangan Kurva = lengkungan