Bagaimana cara Semesta mempertemukan.
Memang benar ternyata, bahwa kopi adalah pilihan yang tepat untuk menahan kantuk.
Sore ini, yang ada di pikiran gadis itu hanya pulang ke rumah, kemudian mengerjakan seluruh tugas yang diberikan guru-gurunya. Setelah itu ia bersumpah, ingin membaringkan diri di atas kasurnya yang empuk. Hanya dengan memikirkan waktu istirahatnya saja kedua sudut bibir Saranita mampu terangkat dengan sempurna.
“Makasih, Mas.” katanya, setelah seorang pria di hadapan menyodorkan satu gelas kopi hangat sesuai pesanan.
Gadis itu melangkah untuk keluar dari bangunan, meneguk kopinya perlahan-lahan. Ia hanya berdiri di depan kedai, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru jalan. Saranita tiba-tiba menyipit saat mendapati objek yang membuat gadis itu tertarik. Kakinya melangkah lagi, mendekat ke sekumpulan pria yang membentuk lingkaran.
“Ck!” Saranita berdecak saat tahu siapa yang membentuk lingkaran itu. Tujuh pria berseragam putih abu-abu yang sudah ia kenali wajahnya satu persatu.
Di Jakarta ini, siapa yang tidak kenal Ajinaka dan teman-temannya, sih? Bahkan Saranita yakin kalau Presiden Indonesia saja tahu siapa Ajinaka. Sebab mereka sekelompok siswa dari SMK seberang yang memang sering merundung anak-anak sekolah Saranita. Sudah berkali-kali membuat masalah, namun Ajinaka dan teman-temannya masih dapat bersekolah. Dengar-dengar semuanya perihal uang dan jabatan Ayah dari Ajinaka. Biasalah, memamg apa yang tidak bisa dilakukan kalau ada uang?
“Siapa lagi?”
Ketujuh—maksudnya, kedelapan pria itu menoleh—termasuk pria yang berada di lingkaran tengah. Saranita tidak tahu siapa dia, namun badge seragam mereka sama.
“Pahlawan kesiangan datang lagi?” celetuk salah satu di antara mereka, pria berkulit paling gelap di antara yang lain. Dengan tatapan yang mengintimidasi, ia berjalan menghampiri Saranita.
“Lepasin dia.” Saranita berucap dingin, tatapannya menusuk satu-satu ke arah tujuh pria itu. Kuasanya terangkat untuk menunjuk satu pria di tengah yang keadaanya sudah kacau.
Sekarang Ajinaka yang berjalan menghampiri Saranita, menggoda gadis itu adalah kesukaannya. Baginya Saranita adalah gadis luar biasa, jadi ia merasa tertantang untuk menggodanya. Jari telunjuknya terangkat untuk mencolek dagu Saranita, bersamaan dengan tatapan genit seperti Om-Om yang sedang menggoda gadis remaja.
“Cantik, cantik banget.” Ajinaka melangkah maju, membuat Saranita justru memundurkan langkah. Netra pria itu menatap Saranita dalam, tersenyum sarkas sampai langkahnya terhenti sebab intruksi dari gadis itu.
“Berhenti atau gue siram kopi panas?” Saranita berteriak keras, menyodorkan satu gelas kopi panas yang kalau tutupnya dibuka asapnya masih mengepul di udara.
Ajinaka tidak berhenti, masih melangkah maju seolah menantang Saranita sebab ia yakin kalau gadis itu tidak akan melakukan apa yang diucapkannya barusan. Namun Ajinaka salah besar, karena pasalnya Saranita bukan gadis penakut seperti gadis-gadis kebanyakan. Saranita tidak sama.
Segelas kopi panas itu membasahi seragam putih milik Ajinaka, sekarang pria itu bergeming. Bibirnya tidak mampu bergerak, hanya membentuk sebuah lingkaran dengan ekspresi yang tidak mampu dijelaskan. Matanya mengerjap tiga kali, memastikan bahwa cairan panas itu benar-benar membuat seragamnya kotor.
“Lepasin dia, Ajinaka.” tegas satu-satunya gadis di sana. Netranya menusuk dalam ke arah Ajinaka seolah rasa marah di dalam dada menyeruak berlomba-lomba meminta untuk di keluarkan.
Bagi Saranita, selama itu bukan Tuhan atau orangtuanya, ia tidak akan pernah merasa takut—terlebih tindakannya adalah sebuah kebenaran. Sebelum meninggalkan Saranita dan yang lain, dulu Ayahnya pernah bilang, “Dunia ini sudah tua, sudah rentan juga sudah tidak berakal. Saranita jangan pernah berhenti memerjuangkan keadilan, ya? Selama kamu tidak salah, tidak apa-apa juga untuk marah.”
Kuasa Saranita terangkat untuk menarik pria yang berada di paling tengah, menggenggam jemarinya tanpa ada satu pun celah. Kakinya melangkah lebih dulu, membawa pria itu ke arah yang tidak bertujuan.
“Anak kayak mereka harus dikasih pelajaran. Lo harusnya ngelawan selagi lo enggak salah.” Genggaman jemarinya terlepas, gadis itu memilih untuk duduk di kursi halte.
Tiga puluh menit keheningan menyelimuti keduanya. Saranita bingung, tidak ada yang mau disampaikan oleh pria di sampingnya, gitu? Ucapan terima kasih, misalnya?
“Lo kenapa diem aja, sih?”
Lewat pergerakan tangan, pria lusuh itu menjawab—mengisyaratkan Saranita untuk menunggu. Gerakan selanjutnya, ia mengambil buku kecil bersampul putih juga pena abu-abu dari dalam tas. Mulai bergerak, menuliskan huruf demi huruf di atas kertas. Kemudian menyodorkan buku catatan itu pada Saranita—tidak lupa dengan senyum tipisnya.
Tiga detik membeku. Kemudian pelan-pelan Saranita mengambil buku catatan putih itu, membaca setiap kata yang dituliskan di atasnya.
Tatapan Saranita berubah menjadi tatapan bersalah sepenuhnya, berkali-kali meminta maaf sebab tidak tahu kalau ternyata pria di hadapannya ini diberi sebuah kelebihan oleh Semesta.
Senyum pria itu tersimpul ikhlas, padahal tidak tahu dengan apa yang diucapkan oleh Saranita. Lagi-lagi melalui pergerakan tangan, ia meminta gadis yang sedang menatapnya itu menunggu. Sedang ia kembali merogoh isi tas, mengambil satu pasang alat bantu dengar yang dibelikan oleh Kakaknya enam bulan lalu.
Saranita hanya diam, pandangannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan pria bernetra elok itu. Tapi bersedia membaca setiap kalimat di atas kertas yang dituliskan adalah satu-satunya cara menghargai.
“Lo tahu nama gue dari mana?” tanya Saranita penasaran.
Belum menjawab pertanyaan dari gadis itu, tapi Aksara sudah masuk ke dalam Busway yang baru saja berhenti. Dari dalam sana tangannya melambai di udara ke arah Saranita yang masih bergeming di halte. Padahal seharusnya ia juga masuk ke dalam Busway yang sama.
“Eh—bentar? Gue harusnya naik itu juga, kan?” Berbicara pada diri sendiri adalah salah satu di antara jutaan kelebihannya. Ia berdecak malas saat mengingat bahwa Busway selanjutnya akan datang lima belas menit lagi.
Gadis itu hanya duduk di kursi halte, membawa dirinya tenggelam akan pikiran sendiri. Memori ingatannya kembali pada kejadian minggu kemarin, dimana ia melihat Ajinaka dengan seenaknya memukul kepala seseorang di tempat yang sama seperti tadi. Kalau diingat-ingat, seseorang yang dipukul Ajinaka memiliki penampilan fisik yang sama seperti Aksara.
Berarti ini bukan kali pertama Aksara diperlakukan seperti itu oleh Ajinaka dan teman-temannya, kan?