Perihal Aksara dan Dunianya.

Belum sampai menit kelima memejam, kelopak matanya sudah kembali terbuka. Kemudian pria berkaus hitam pudar itu mempertajam penglihatannya lewat celah pintu kamar yang terbuka sedikit saja. Kedua sudut bibirnya terangkat separuh, ternyata Ayah sudah kembali ke rumah.

Sebelum pergi, Bunda bilang pada Angkasa bahwa, “Seburuk-buruknya Ayah, jika tidak ada beliau maka Angkasa tidak pernah bisa melihat bagaimana cara Bumi memperlakukan manusia di dalamnya.

Terkadang, ingin sekali rasanya Aksara memeluk Ayah untuk sekedar menyalurkan seluruh rasanya untuk pria itu. Seperti apa yang dilihat oleh para tetangga, teman lamanya juga teman-teman Ayah yang selalu berpikir bahwa Aksara adalah manusia yang paling beruntung karena walau Bunda tidak ada di sini, setidaknya ia memiliki Ayah untuk tempat mengadu.

Padahal mereka semua salah, Ayah lebih dingin dari suasana malam hari ketika musim penghujan tiba. Sejak Bunda tiada, Ayah lebih memilih untuk pergi malam hari dan entah kapan pulangnya—seperti malam ini, Ayah sudah pergi sejak tiga hari yang lalu, hanya meninggalkan satu lembar uang dengan nominal dua puluh ribu. Kemudian kembali dalam keadaan bau alkohol yang menguar dari mulut pria itu.

Aksara menutup buku di hadapannya, berjalan perlahan untuk bertemu Ayah yang sedang merebahkan tubuh di ruang tamu. Kedua sudut bibir anak berusia tujuh belas itu terangkat separuh saat mendapati Ayah dengan mata terpejam.

Aksara tahu, Ayah memang masih belum menerima perihal kepergian Bunda satu tahun yang lalu. Kepergian tiba-tiba yang saat itu sempat membuat Angkasa takut akan hidup di dunia, sebab hanya Bunda yang akan melindunginya dari manusia.

Kuasa Aksara terangkat, membuka kedua sepatu hitam Ayah pelan-pelan. Ia berjalan lagi masuk ke dalam kamar Ayah untuk mengambil satu selimut kesukaannya. Namun saat masuk ke dalam kamar Ayah, di sana banyak sekali botol berwarna hijau yang Angkasa tidak pernah tahu bahwa Ayah akan sekacau ini ketika ditinggal Bunda.

Bunda, maafin Aksa. Ayah hancur...

Jemarinya berpindah tugas untuk meremas dadanya sendiri, berharap rada sakit di dalamnya berpindah. Aksara tahu bahwa ia bukan pria yang pandai berbicara, ia juga tidak bisa mengungkapkan apa yang ia rasa lewat sebuah tulisan. Ia hanya bisa memendamnya sendiri sampai rasanya begitu sesak dan memberatkan.

Tidak ingin begitu lama di ruang persegi yang membuatnya begitu sesak, Aksara langsung berjalan lagi ke arah Ayah—membalut tubuh kekar yang sebenarnya penuh luka itu dengan selimut agar kejamnya malam tidak masuk ke dalam tulang.

Lagi-lagi dalam hati, “Ayah, Aksara sayang sekali sama Ayah. Jangan pernah pergi untuk tinggalin Aksara seperti Bunda, ya?

Aksara kira, ia akan kuat untuk menahan rasa sesak yang sudah ia simpan selama ini di dalam dada untuk Ayah. Namun malam ini ternyata pertahanan itu runtuh, ia menangis pilu tanpa suara di hadapan Ayah yang sedang tertidur pulas atas pengaruh alkohol.

Rasanya begitu mengenaskan kalau melihat sejuta prestasi yang dimiliki Ayah di masa lalu dan dibandingkan dengan Ayah yang hari ini. Dulu, Ayah adalah seorang pria kuat yang selalu bekerja keras untuk keluarganya. Bahkan Ayah sering sekali pulang terlambat ketika suatu hari jabatannya diangkat menjadi manager Perusahaan. Saat itu Aksara masih ingat bagaimana seri yang muncul di wajah Ayah. Saat itu pula Aksara masih ingat bagaimana Ayah memeluk daksanya dengan erat, mengecup puncak kepalanya penuh sayang sebelum akhirnya memeluk Bunda dengan air mata yang berlinang. Hari itu, berkali-kali Ayah bilang “Kita bisa makan enak, Aksara. Kita bisa makan enak!

Hati Aksara tiba-tiba saja menghangat ketika ia membuka memori ingatan di kepalanya. Ia begitu merindukan masa dimana Ayah memeluk daksanya sambil mengatakan hal-hal yang membuatnya untuk terus bertahan hidup.

Bagi Aksara untuk saat ini, tidak ada lagi yang berharga di dunia selain Ayah dan Mas Bagaskara—Kakaknya yang sekarang sedang mencari pundi-pundi rupiah di Kota Balikpapan.

Ketika ia bergeming di sebelah Ayah, memandangi wajah kesayangannya itu teramat dalam, sebuah pikiran kembali menyelinap. Tentang Saranita yang bisa dengan mudah membuat senyumnya tidak pernah memudar sepanjang hari. Keberanian dan suara yang mirip sekali dengan Bunda, itu adalah point utama yang membuat Aksara tertarik akan gadis itu.

Bunda adalah seorang penyanyi, bahkan album-album Bunda masih tersimpan dengan rapi di ruangan yang sudah disediakan khusus. Suara Bunda begitu lembut, selalu membuat hati Aksara larut dalam setiap nadanya. Begitu juga Saranita, memiliki suara yang serupa dengan milik Bunda. Terutama saat gadis itu dipanggil dengan khusus untuk naik ke atas panggung saat ada acara pelepasan tahun sebelumnya. Aksara tertegun, baru pertama kali ia merasa beruntung karena memakai alat bantu pendengaran di waktu yang tepat.

Sejak saat itu, Aksara selalu mengangkat kedua sudut bibirnya saat netra tanpa sadar menangkap kehadiran Saranita di sekitar.