Dia menjauh, tapi tidak benar-benar jauh.
Sudah satu minggu sejak Abin benar-benar menepati seluruh kalimatnya, mengirimkan uang sebesar yang Saranita butuhkan untuk sekolah. Itu sebabnya perempuan itu ada di sini, di kantin sekolahnya dengan menatap Aksara yang sedang mengantre sesuatu di hadapannya. Saranita tidak mengerti, Aksara seperti sedang mengasingkan dirinya sendiri. Pria itu bahkan tidak tersenyum selembut biasanya saat Saranita pertama kali hadir di sekolah lagi.
Saat itu Saranita ingat, Aksara hanya mengulum senyum seadanya tanpa menuliskan satu kata sambutan apapun. Kendati begitu, Aksara masih dengan sukarela mendengarkan isi hati Saranita.
“Arditho?” Saranita menyipit, sedikit menjauhkan gelas berisi teh manis miliknya. Mata perempuan itu tidak pernah lepas dari setiap pergerakan pria yang ia sebutkan namanya tadi. Pasalnya Arditho sedang berfokus memasukkan hampir satu botol penuh sambal ke dalan mangkuk Aksara yang ada di mejanya.
Perempuan itu berdiri dari kursi, berjalan menghampiri meja Aksara yang hanya diisi oleh satu mangkuk bakso. Di sebelah meja Aksara ada Arditho dan teman-temannya sedang tertawa puas karena kini Aksara sudah kembali dari membeli minuman.
“Aksa, jangan dimakan!” Saranita berteriak lantang, membuat hampir seluruh isi kantin memerhatikannya tanpa berekedip. Sedangkan Aksara masih fokus mengaduk kuah bakso tanpa menatap Saranita yang sudah berdiri di hadapannya.
Perempuan bersurai legam itu berdecak saat menyadari kalau Aksara tidak memakai alat bantu dengar. Namun sedetik berikutnya, senyumnya terangkat kecil—Saranita tahu, bahwa Aksara akan menuruti perkataannya. Perlahan kuasa Saranita terangkat untuk menyentuh bahu Aksara, “Alat bantu dengar lo, dimana?”
Aksara hanya diam, menatap Saranita kebingungan. Tapi pelan-pelan ia kembali memakai alat yang membuat dirinya ketergantungan akan itu. Kuasa Aksara bergerak, “Kenapa?”
Dari seluruh bahasa isyarat, Saranita hanya mengerti satu kata itu saja. Kemudian perempuan itu mengambil alih mangkuk bakso Aksara, memindahkannya di hadapan Ardhito yang sedang terbahak puas. “Makan!”
“Sar?” Arditho mengerinyitkan dahi, bingung.
Saranita menarik sebelah sudut bibirnya, membuang tatapan ke segala arah beberapa detik. Tapi setelahnya, tatapan tajam bak pisau yang telah diasah itu kembali mendarat di netra Arditho. “Gue bilang makan!”
Seluruh isi kantin memerhatikan keduanya, namun Aksara justru bingung dan menahan Saranita untuk tidak mencari masalah dengan Arditho.
Kalau di luar sekolah ada Ajinaka, maka di dalam sekolah ada Arditho Prahana yang akan dengan setia mengganggu atau mencemooh Aksara. Bahkan kejadian pada satu minggu yang lalu, Aksara jatuh dari atas tangga itu juga ulah Arditho dan teman-temannya.
“Ngapain lo liatin doang? Makan!” Saranita naik pitam saat melihat tidak ada pergerakan sedikitpun dari Arditho. “Lo sengaja kasih setengah botol sambal ke mangkuk Aksara biar dia sakit perut dan akhirnya enggak ulangan Matematika wajib, kan?”
Arditho bergeming, sedangkan temannya yang lain menatap Saranita tidak percaya. Pasalnya mereka memang tidak memberitahu siapapun tentang hal ini.
“Jangan jadi bodoh, Arditho Prahana yang terhormat. Kalau mau cari gara-gara sama Aksara, lo salah orang.” Saranita terkekeh, telunjuknya terangkat tepat di hadapan wajah Arditho.
Pria berambut cokelat tua itu marah, ia menyingkirkan tangan Saranita dari hadapannya dengan kasar. “Lo ... gue enggak ada urusan sama lo!”
“Makan!” Saranita membentak tidak terima. Atmosfer di dalam kantin berubah mencekam karena sisi menakutkan dari Saranita akhirnya keluar juga.
Setelah bentakan Saranita tadi, ada yang menarik perhatian seluruh pasang mata di kantin sekolah. Tentang Aksara yang kini menautkan jemarinya pada milik Saranita, dalam diam mengusap tangan perempuan itu lembut seolah menyalurkan sedikit rasa tenang.
Di tempatnya Arditho justru terkekeh, tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Saranita. “Saranita Senja, lo tuh enggak cukup berguna untuk orangtua lo! Jangan jadi sok pahlawan untuk orang lain kalau untuk keluarga sendiri lo enggak bisa.”
Saranita marah, matanya memerah menahan amarah. Kalau di serial drama Korea kebanyakan, mungkin saat ini sudah ada gambar tanduk berwarna merah di atas kepala perempuan itu. Saranita paling tidak suka kalau seseorang yang bahkan tidak ia kenal justru membicarakan keluarganya seolah-olah tahu segalanya. Tangan Saranita terangkat mengambil mangkuk bakso Aksara, menyiram seluruh isinya pada wajah Arditho. Saranita tidak lupa bahwa ada setengah botol sambal di dalamnya, Saranita juga tidak lupa bahwa orangtua Arditho adalah donatur terbesar di sekolah ini. Saranita ingat, ingat dengan jelas semuanya. Tapi Saranita bukan tipikal manusia yang akan diam saja saat dirinya dihina atas dasar keluarganya.
Keluarganya sudah hancur, tidak patut untuk dibicarakan.
“Bawa, bawa ke UKS!” Satu orang teman Arditho berteriak jelas, pergerakannya cepat sekali untuk membantu karibnya itu berjalan menuju pertolongan pertama.
Walaupun Arditho sudah tidak ada di hadapannya, Saranita tahu kalau Arditho sempat bicara satu hal sebelum pergi. “Gue enggak akan biarin lo punya masa depan, Saranita.”
Saranita hanya menoleh, menatap Aksara yang juga menatapnya penuh. Jemarinya sudah dilepaskan, tidak ada lagi saluran rasa hangat juga ketenangan yang penuh di sana. “Lo... enggak apa-apa, kan?”
Pria itu tersenyum manis, manis sekali. Kuasanya terangkat untuk mengusap rambut Saranita hati-hati. Sebab Aksara tahu setelah kejadian ini akan ada banyak sekali masalah yang Saranita hadapi. Ingin rasanya Aksara bertanya mengenai perasaan perempuan itu, tapi setelah mengingat pesan Saranita semalam, Aksara jadi ragu atas perasaanya sendiri.
“Sa, gue ada salah sama lo, ya?”
Setelah keadaan kantin cukup tenang, tidak ada lagi yang memerhatikan mereka, Aksara membawa Saranita untuk duduk di kursinya. Kedua sudut bibir pria itu terangkat separuh, tangannya beralih untuk menuliskan sesuatu di atas buku catatan.
Setelah membaca, kerutan di dahi Saranita terlukis begitu saja. “Kenapa? Mau cerita?”
Dalam diam dan keheningan, Aksara hanya menggeleng kecil. Ia menyukai Saranita sejak awal, tapi kenapa ketika perasaan itu mulai lebih tumbuh dan berkembang, justru semuanya tidak terbalas.
Saat Saranita ingin menoleh untuk menodongkan sebuah kalimat pada Aksara, netranya malah mendapati Ananda yang sedang berdiri di hadapannya dengan wajah datar. “Ngapain, Nan?”
Ananda Gautama menghela napas, ia duduk tepat di hadapan Saranita. Bola mata pekat itu sekilas mengarah pada Aksara, lalu kembali berlabuh pada milik lawan bicaranya. “Kepala sekolah ada niat buat manggil Ibu lo hari ini juga.”
Saranita tahu, hari ini akan datang—hari dimana Ibu akan datang ke sekolah untuk menangani masalahnya. Ia jadi ingat, dulu Ayah-lah yang selalu datang ke sekolah setiap Saranita memiliki masalah, tapi hari ini Ibu—orang yang justru Saranita tidak pernah bisa pahami hatinya.
Di depan pintu, Saranita disuguhi pemandangan wajah marah Ibu yang sedang menatap lurus-lurus ke depan. Walau jantungnya berdetak cepat, perempuan itu sebisa mungkin membawa langkah kakinya tanpa tergesa untuk menghampiri Ibu. Tangannya terangkat untuk mengambil jemari Ibu, dikecup dengan senyum tipis penuh rasa takut.
“Duduk!” perintah Ibu dengan suara rendah. Kalau boleh meminta, Saranita akan merasa lebih tenang jika Ibu mengeluarkan seluruh amarahnya seperti siang tadi di sekolah. Saranita lebih baik Ibu membentaknya seolah apa yang terjadi adalah kesalahan perempuan itu. Karena ketika Ibu berbicara dengan suara rendah, Saranita tahu apa yang akan terjadi selanjutnya—sebuah perbandingan yang akan membuat dirinya kalah telak oleh Ibu.
“Bu, Saranita ngelakuin itu ada alasannya.” Lagi, dadanya naik dan turun seiring dengan napas yang keluar tidak beraturan.
Ibu melempar satu map kertas berwarna cokelat, meminta Saranita untuk membaca seluruh isinya. “Besok minta maaf sama mereka. Ibu enggak mau kamu dikeluarin dari sekolah cuma karena masalah ini.”
Saranita bangun dari duduknya, “Ibu bener-bener minta Saranita untuk minta maaf atas kesalahan orang lain?”
Pada dasarnya, Saranita tidak perlu meninggikan intonasinya saat berbicara pada Ibu. Wanita berumur hampir senja itu mendaratkan kuasanya pada pipi kanan Saranita. Ibu tidak tahu tempat, padahal mereka sedang duduk di ruang kepala sekolah—diberi waktu untuk berbicara tentang hal yang terjadi.
“Ibu bener-bener enggak percaya sama Sara?” Saranita merendahkan nada bicaranya, ia menatap Ibu tidak percaya. Setahu Saranita, Ibu akan membela Fina dan Esa mati-matian jika di antara mereka ada yang membuat masalah di sekolah. Hal itu membuat Saranita bingung, kenapa Ibu berbeda?
“Sesusah itu buat Ibu taruh kata percaya di pikiran untuk Saranita, Bu?” Saranita tidak habis pikir, bahkan orang yang selalu bersamanya saja tidak pernah meletakkan kata percaya untuknya. Tangan Saranita mengepal sampai buku jarinya memutih, “KALAU IBU PIKIR SARANITA SELALU MEMBELA AYAH, IBU SALAH! KARENA—”
Plak
Satu tamparan lagi berhasil mendarat di pipi kiri Saranita. Kalimat perempuan itu terputus begitu saja, rahangnya mengeras karena menahan sebuah rasa yang bergejolak di dalam dada. Karena di hadapannya Ibu, Saranita tidak mampu mengeluarkannya. “Ibu ... Ibu serius tampar Sara?”
Di luar ruang kepala sekolah, tidak sedikit orang yang menyaksikan kejadian dimana Ibu menampar Saranita.
“Anak tidak tahu diuntung!” Setelah bentakan itu didengar oleh Saranita, tangan Ibu bergetar. Diam-diam wanita itu meminta maaf pada putrinya, meminta maaf karena ia tidak dapat mengontrol emosinya sendiri. “Sa.. Sara...”
Saranita tidak menangis, perempuan itu justru membuang tatapannya dan terkekeh kecil. “Anak enggak tahu diuntung?” Jemari Saranita terangkat, menunjuk ke arah jendela dimana banyak pasang mata memerhatikannya termasuk Aksara. “Ibu permaluin Saranita di depan banyak orang, Ibu masih bilang Saranita anak enggak tahu diuntung?”
Ibu hanya diam, menatap satu persatu pasang mata yang kini memerhatikan Saranita. Tapi tiba-tiba pintu ruang kepala sekolah terbuka, menghadirkan sosok Aksara yang berjalan kian mendekat. Tangan pria itu terangkat untuk membawa Saranita pergi dari hadapan Ibunya.
Aksara tidak pernah tahu dengan jelas bagaimana hubungan Saranita dengan Ibunya. Pria itu hanya tahu bahwa satu minggu yang lalu Saranita beradu argumen dengan Ibunya lewat telepon mengenai Fina dan Esa, hanya itu saja. Aksara kira, ia sudah tahu segalanya tentang Saranita. Ternyata ia salah, ia hanya baru meraba kehidupan Saranita tanpa menyelam lebih dalam.
“Sa, berhenti.”
Saat rungunya yang dibantu dengan alat menangkap suara Saranita, pria bersurai legam itu menghentikan langkah mau tidak mau. Kuasanya terangkat untuk mengusap pipi Saranita yang sebelumnya kena tamparan kasar itu lembut.
“Aksa,”
Aksara mengangkat kedua sudut bibirnya, pria itu membawa Saranita untuk duduk di kursi semen yang terletak di belakang gedung sekolah. Tangannya bergerak, “Kenapa?”
“Lo enggak kenapa-napa?”
Jalan pikiran Saranita memang tidak pernah terduga, sampai kini membuat Aksara justru menggelengkan kepalanya karena bingung. Padahal, pertanyaan itu harusnya dilontarkan oleh Aksara, tapi kenapa justru Saranita yang mengambil alih?
“Aksara,” Saranita menghentikan ucapannya, kalimat tanya yang lagi-lagi ingin ia lontarkan harus kembali terpendam saat netranya mendapati Aksara yang sedang menuliskan kalimat di atas catatannya.
Saranita menggeleng, namun air matanya bergerumul di pelupuk mata. Ia menengadah, berharap lebih pada dirinya sendiri—setidaknya ia tidak menangis di hadapan Aksara.
“Gue enggak suka kalau lo jauh, Aksa.” balas perempuan itu. Karena Saranita sendiri tidak pernah mengerti kenapa ia tidak pernah merasa jauh lebih baik kalau tidak bersama Aksara. “Gue ...”
Aksara mengangguk seolah mengerti, kuasanya lagi-lagi bergerak untuk menuliskan kalimat di atas kertas.
Perempuan itu menggeleng, “Lo pergi, Aksa. Lo pergi.”
Perlahan Aksara membawa Saranita untuk masuk ke dalam pelukannya, mengusap kepala perempuan itu lembut. Dalam hati Aksara meminta maaf pada gadis kesayangannya itu karena apa yang ia telah lakukan di beberapa hari belakangan.
Saranita mengerinyit saat membaca tulisan tangan Aksara, “Kok tahu?”
Pria itu malah terkekeh tanpa suara, kemudian kembali melanjutkan kalimatnya lewat tulisan.
Saranita hanya diam, semakin menenggelamkan wajahnya di antara ceruk leher Aksara—menghirup aroma tubuh pria itu dalam-dalam sampai dadanya terasa sesak dan akhirnya air mata mengalir membasahi pipi. Hanya Aksara yang mampu membuat Saranita menangis di hadapannya.
Juga, hanya Aksara yang mampu memberikan Dunia beserta isinya untuk Saranita.