Dia pria yang kesepian di dalam ruangan padam.
Pulang ke rumah sama saja membuat dunia Saranita berhenti berputar. Hal yang paling takutkan tapi terkadang juga ingin ia lakukan adalah bertemu Ibu. Saranita tidak siap menatap bolamata penuh sinar milik Ibu harus redup karena ia bertanya tentang bagaimana cara mereka mendapat uang dalam waktu empat hari. Tapi di lain sisi, Saranita rindu sekali tatap mata Ibu juga pelukan hangatnya. Walau sering beradu argumen, tapi Ibu tetaplah manusia dengan segala kelembutan di dalam hatinya.
“Sara,” panggil Ibu, tepat ketika Saranita membuka pintu rumahnya. “Kenapa jam segini baru pulang?”
Saranita bergerak untuk menyalimi tangan Ibu, namun bibirnya hanya terangkat separuh—sama sekali tidak memiliki niat untuk menjawab kalimat tanya yang baru sama Ibu lontarkan. “Sara langsung masuk ke kamar, ya, Bu? Capek banget.”
Di sela kegiatannya menjahit seragam sekolah Esa yang sebenarnya sudah kekecilan, Ibu menatap punggung anak pertamanya yang sedang berjalan masuk ke dalam kamar. Selama membesarkan Saranita, sama sekali Ibu tidak pernah merasa lebih berat dari pada akhir-akhir ini. Ibu tahu, sebenarnya ada banyak hal atau bahkan luka yang anak itu sembunyikan di balik senyumnya yang teduh.
Sedangkan di kamarnya, Saranita langsung melempar tas ke sembarang arah. Kemudian kakinya melangkah ke atas meja belajar, mengambil bingkai foto sederhana yang dilakukan lima tahun lalu bersama dengan Ayah. Saat itu mereka sedang jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan, Ayah bilang selama kita hidup di dunia, kita harus memiliki setidaknya satu foto untuk dikenang ketika sudah tidak ada nanti.
Akhirnya Saranita paham, Ayah hanya ingin dikenang walau hadirnya tidak lagi mampu menghapus air mata anak perempuan pertamanya. “Ayah, Saranita enggak pernah minta apa-apa. Saranita cuma mau Ayah balik ke sini, biar Saranita bisa berkuliah dan menjadi orang hebat.”
Perempuan itu mendesah, setelah bertemu dan membaca kalimat sederhana yang Aksara tulis di atas buku catatannya kemarin, Saranita jadi mudah sekali menangis.
“Sara,” Suara Ibu kembali masuk ke dalam rungunya, diselingi dengan ketukan pintu dua kali yang membuat perempuan berambut sebahu itu menghapus air matanya.
“Iya, Bu?” Saranita membuka pintu kamar, mendapati Ibu yang sedang tersenyum kecil. Setelah ditinggal oleh Ayah, tidak pernah lagi Saranita mendapati Ibu tersenyum manis seperti dulu.
Tangan Ibu terangkat untuk mengusap lembut surai putrinya. “Ada yang cari kamu.”
“Saranita lagi enggak mau ketemu sama siapa-siapa, Bu. Boleh tolong—”
“Katanya dia tunawicara.” potong Ibu, membuat kedua sudut bibir Saranita terangkat penuh. Seluruh rasa lelah yang berada di pundaknya serasa hancur lebur begitu saja saat Ibu menyebutkan secara tidak langsung bahwa Aksara-lah yang ada di sana.
“Ibu istirahat, ya? Nanti baju Esa biar Sara yang lanjutin jahitnya. Sara mau ketemu sama temen dulu sebentar. Boleh, ya?”
Ibu tentu mengangguk, tanpa kata wanita paruh baya itu berjalan masuk ke dalam kamarnya yang tepat di samping milik Saranita.
Sepeninggalan Ibu, perempuan bersurai pekat sebagai itu berjalan pelan ke arah ruang tamu. Benar saja, ia mendapati Aksara dengan kaus putihnya sedang duduk di sana. Kedua sudut bibir Saranita terangkat penuh, rasa rindu kepada Ayah kini digantikan sebuah rasa yang tidak pernah ia tahu sebelumnya. “Aksara.”
Pria itu menoleh dengan senyum seluas dunia, matanya memindai Saranita dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, begitu terus sampai tiga kali. Tatapan matanya berubah, ia kebingungan kenapa Saranita masih menggunakan seragam sekolahnya padahal ini sudah pukul tujuh malam.
Seolah mengerti, Saranita berjalan mendekat, duduk di kursi tepat di hadapan Aksara. “Gue habis cari kerja part time tadi, ya ... untuk bantu-bantu Ibu aja, sih.”
Aksara mengangguk, kemudian seperti biasa—ia meminta Saranita untuk menunggu sementara jemarinya bergerak untuk menulis sebuah kalimat di atas bukunya.
Saranita tidak pernah tahu bagaimana cara Tuhan menyiptakan Aksara yang hampir mendekati dengan kata sempurna. Selama hampir delapan belas tahun ia hidup di dunia, tidak ada yang pernah peduli dengan keadaannya. Bahkan Ibu, wanita itu tidak pernah bertanya tentang bagaimana keadaan anak pertamanya. Sebab Ibu pernah bilang bahwa ia begitu percaya pada Saranita, anak perempuan pertamanya pasti mampu menghadapi apapun. Tapi Ibu tidak pernah sadar, bahwa Saranita adalah manusia yang berhak memiliki masa sulit dalam hidupnya.
MAU?
Saranita menipiskan bibirnya, mengangguk tanpa ragu. “Gue mandi dulu sebentar enggak apa-apa, kan? Soalnya baru sampai dan belum sempet mandi.”
Saat itu yang Aksara lakukan adalah mengangguk dan mengangkat kedua jempolnya, pertanda bahwa ia menyetujui ucapan Saranita. Setelah kepergian perempuan itu, Aksara memandang setiap sudut ruang tamu bergaya sederhana itu. Ada satu bingkai foto di samping televisi, ukurannya begitu besar sampai-sampai Aksara mampu melihatnya dari sini.
Aksara jadi ingat, kemarin saat di halte Saranita bilang bahwa ruang tamu adalah tempat yang sering kali ia datangi ketika Ayah masih bersama mereka. Saranita bahkan pernah duduk di ruang tamu bersama Ayah di pukul dua malam hanya untuk menonton club sepak bola kesayangan mereka yang kebetulan menjadi rival. Dari sini Aksara dapat merasakan betapa hangat suasana malam itu, dengan tawa yang ingin sekali Aksara dengar keluar lagi dari bibir Saranita. Tapi Aksara sadar, sekarang semuanya sudah berubah menjadi bayang yang hanya bisa dikenang. Ruang yang sebelumnya hangat itu sudah berubah menjadi ruang dingin yang bahkan jarang sekali dipijak.
“Aksa, gue udah siap.”
Aksara menoleh, lagi-lagi dengan senyum manisnya. Kepala pria itu mengangguk, sebelum akhirnya berdiri dan menunjuk ke arah lorong menuju kamar Ibu.
“Ibu? Ibu udah tidur kayaknya, gue udah izin tadi.”
Walau begitu, Aksara masih menatap Saranita ragu. Ia takut kalau dengan mengajak Saranita pergi, membuat Ibu dari perempuan itu mencarinya.
“Ibu enggak akan khawatirin gue, Aksa. Ibu tahu kalau gue bisa jaga diri, kok. Ibu... Ibu percaya sama gue.” Kalimat terakhir itu dilontarkan atas sebuah keraguan. Sebab Saranita sendiri tidak mengerti, Ibu memang benar-benar percaya padanya atau bahkan Ibu tidak pernah memedulikannya.
Kuasa Aksara terangkat untuk menghentikan pergerakan Saranita yang sedang menutup pintu. Tatapan matanya menusuk ke dalam netra kecokelatan milik Saranita, mencari sebuah kebohongan yang disembunyikan di balik senyum juga seri di wajah perempuan itu.
“Kenapa?” tanya Saranita penasaran, namun ia mendapati Aksara yang sedang menulis di atas bukunya.
Saranita mengangguk yakin.
Saranita tersenyum ringan, “Aksara, gue bukan perempuan kayak gitu. Gue enggak pernah butuh mobil mewah, gue enggak pernah butuh digonceng naik motor. Gue cuma butuh pundak, dan lo kasih lebih dari apa yang gue butuh.”
Wajah Aksara kini kembali berseri, ia memasukkan buku juga penanya ke dalam saku hoodie hijaunya. Diam-diam, pria itu menyatukan jemarinya dengan milik Saranita, mengeratkan gandengan, dan memasukkan sebelah tangan perempuan itu ke dalam sakunya.
“Bunda, Saranita bener-bener beda.”
Dengan mengayunkan langkahnya, Saranita menatap Aksara. “Kalau enggak pakai alat bantu dengar, rasanya kosong, ya, Sa?”
Aksara mengangguk, tidak berniat menjawab rasa penasaran yang ada di dalam pikiran perempuan di sampingnya.
“Boleh tahu rasanya kayak apa?”
Aksara menghentikan langkah, yang sadar tidak sadar membuat perempuan itu ikut melakukan hal serupa. Pria tampan itu mengeluarkan buku catatannya.
Saranita hanya diam, kali ini ia mengambil alih buku juga pena di genggaman Aksara lalu memasukkannya ke dalam saku. Hal yang Aksara lakukan beberapa menit lalu, kini ia lakukan juga—menautkan jemarinya di ruang kosong milik Aksara.