TetehnyaaJisung

Semua yang dilakukan, beserta dengan alasan.

Sudah satu minggu terlewati, tapi keadaan sama sekali tidak berubah. Terlebih untuk pria berkaus putih yang sedang menggenggam erat penanya. Perasaan pria itu campur aduk kala netranya mendapati seorang perempuan yang satu tahun lebih muda darinya, sedang fokus menatap beberapa buku tebal yang dua hari lalu diberikan oleh Mamanya.

“Kak Ajin,” panggil perempuan itu, mengalihkan pandangan dari buku fisikanya.

Pena di genggaman Ajinaka jatuh begitu saja. Matanya membulat, ia terkejut ketika Utami memanggil namanya tanpa aba. “Y-ya? Kenapa, Tami? Ada yang enggak ngerti?”

Helaan nafas berembus begitu saja dari bibir perempuan berpita biru di rambutnya itu. Kuasanya beralih untuk menutup buku, kemudian menatap lekat ke arah Kakak kandungnya. “Kakak ngomong apa ke Kak Aksara?”

Jemari Ajinaka mengepal kuat ketika nama seseorang yang sangat ia benci diucapkan dengan lantang oleh Utami. Ia sungguh tidak pernah mengerti kenapa perempuan yang memiliki status sebagai adiknya itu begitu terobsesi untuk menempati singgasana paling dalam di lubuk hati pria bernama Aksara. Padahal Utami tahu bahwa Ajinaka begitu membencinya dan Ayahnya.

“Gue enggak ada ngomong apa-apa sama Aksara.” balas Ajinaka senetral mungkin. Jemarinya kembali mengenggam pena, berusaha mengalihkan perhatian Utami dengan terus fokus pada buku di hadapannya.

“Bohong.”

Ajinaka mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Utami yang mengintimidasinya. “Gue enggak bohong.” Benar, Ajinaka tidak berbohong. Memang dekat-dekat ini ia sudah tidak lagi bertemu dengan Aksara, mengikuti seluruh permintaan Utami untuk tidak mendekati pria itu.

“Jangan bohong, Kak!” teriak Utami yang membuat rahang Ajinaka mengeras.

Baru saja Ajinaka ingin menjelaskan tentang apa yang terjadi—termasuk hari dimana teman-temannya yang berusaha menghabisi Saranita, tapi sebuah suara berhasil mengalihkan perhatiannya. Ajinaka menunduk dalam—begitu pula dengan Utami—kala seorang wanita dengan gaun hitam dan sepatu merahnya berjalan menghampiri mereka.

“Utami sudah selesai belajarnya?” tanya wanita itu, melepaskan kacamata hitam yang bertengger di batang hidung. “Kalau sudah, boleh tinggalkan Mama dan Kak Ajinaka berdua di sini? Ada yang harus Mama bicarakan.”

Utami mengangguk, langsung beralih mengemas barang-barangnya dan meninggalkan ruang belajar, menyisakan Yuna dan Ajinaka dalam diam untuk beberapa menit. Sepeninggalan Utami, ruang persegi ini hanya berisi suara denting jarum jam yang terus berjalan detik demi detik. Jantung Ajinaka berdetak dua kali lebih cepat dari pada biasanya ketika melihat Mama membuka sabuk yang melingkar di pinggangnya.

“Ma, Ajinaka enggak berbuat apa-apa.” Hanya kalimat itu yang bisa Ajinaka lontarkan saat tatapan Mama berubah mematikan. Ajinaka benar-benar tidak pernah mengerti pada keadaan yang selama ini menguasai dirinya juga orang-orang yang ia sayang. Mama sungguh tidak berubah setelah kepergian Papa, hal itu tentu membuat Ajinaka merasa muak dengan segala perbuatan wanita itu semakin hari.

Kuasa Yuna terangkat untuk mengelus wajah anak pertamanya yang sudah duduk bersimpuh di hadapannya dengan mata yang memerah, memohon ampun sebelum akhirnya sabuk itu mengenai sebagian tubuh kekarnya. “Kamu tahu kenapa saya pulang hari ini? Padahal masih banyak yang harus saya lakukan di Italia.”

Pria berkaus putih itu meneguk salivanya, berusaha mengingat kesalahannya satu pekan ini. Namun tidak ada, semuanya berjalan sesuai dengan apa yang Yuna inginkan. Memang, Ajinaka hidup hanya untuk menuruti semua keinginan Mamanya.

“Saya pulang karena dapat email dari pihak sekolah kalau kamu dan temanmu berusaha menghabisi seorang perempuan dari sekolah lain.” Satu pukulan dari sabuk itu Yuna layangkan, mengenai Ajinaka tepat pada punggungnya. Wanita bergaun hitam itu berdiri, menyisir rambut Ajinaka dengan lembut. “Apa ini yang kamu dapatkan setelah dua belas tahun tinggal sama Papamu, Ajinaka?!”

“Ma, Ajinaka bisa jelasin.” jawabnya dengan nada merintih, berusaha sebisa mungkin menahan rasa sakit pada bagian punggungnya. Ajinaka tidak menangis, sebab ia tahu bahwa Yuna tidak akan menyukainya. “Yang ngelakuin itu bukan Ajinaka, Ma. Ajinaka cuma berusaha ngomong ke Saranita untuk segera jauhi Aksara karena—”

“Saya enggak mau mendengar alasan kamu, Ajinaka.” potong Yuna dengan nada rendahnya.

Ajinaka menggeleng, ia perlu melanjutkan kalimatnya supaya Mamanya itu mengerti. “Karena Utami sayang banget sama Aksara. Utami bilang ke Ajinaka kalau enggak bisa tidur setiap malam karena ada perempuan lain di sekitar Aksara.”

Yuna mengerinyit kebingungan. “Utami sayang sama Aksara? Sebagai apa?”

“Sebagai pria.” jawab Ajinaka dengan lantang. Pria itu berdiri, menatap Yuna dengan tatapan penuh harapan. “Putusin hubungan Mama sama Ayahnya Aksara, ya, Ma? Mama enggak mau lihat Utami terluka kayak waktu ditinggal sama Papa, kan? Mama sayang banget sama Utami, kan?”

Yuna menggeleng keras, netranya menatap Ajinaka tegas. “Mama sudah merencanakan pertunangan dengan Ayahnya Aksara.” Yuna beralih, mengambil tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja, hendak pergi meninggalkan ruang belajar yang ia buat khusus untuk kedua anaknya.

“Gimana perasaan Utami kalau tahu Aksara bakalan jadi Kakak tirinya, Ma?”

Kalimat tanya Ajinaka ternyata mampu membuat Yuna menghentikan langkahnya, matanya memejam sesaat untuk menetralisir isi pikirannya. Bagaimana pun juga rencananya untuk bertunangan dengan Sonny tidak boleh dibatalkan, bisa-bisa reputasinya sebagai fashion designer terbaik senegara ini akan hancur begitu saja. “Mama yang akan urus Utami. Kamu urus dirimu sendiri, jangan terus-terusan buat Mama mengeluarkan uang untuk tutup mulut guru-gurumu.”

Setelah kepergian Yuna, pria bersurai kecokelatan itu mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Tatapan Ajinaka beralih pada bingkai foto yang paling besar di ruang belajar, fotonya bersama Papa juga Utami yang saat itu masih berumur tujuh tahun, sedangkan dirinya berumur delapan. Setelah perpisahan Papa dan Mama, Ajinaka sudah berjanji pada Utami untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam keluarganya untuk menggantikan posisi Papa di hati Mama. Itu sebabnya Ajinaka begitu membenci Sonny, karena seluruh harapan Utami ada pada dirinya.

Ajinaka selalu mendahulukan perasaan Utami ketimbang perasaanya sendiri. Pria yang duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas itu sangat menyayangi adik satu-satunya. Ajinaka bahkan selalu mengusahakan untuk memenuhi seluruh permintaan Utami, termasuk mempertemukan perempuan kecil itu lagi pada Aksara—walau tidak bisa dipungkiri bahwa Ajinaka begitu membenci pria itu.

“Kak,” Utami datang, membawa satu gelas air mineral dan dua potong sandwich kesukaan Ajinaka. Kedua sudut bibirnya tersangka penuh, sedangkan netranya menangkap Ajinaka yang sibuk membenahi diri. “Habis belajar, makan dulu, yuk?”

Perasaan marah Ajinaka kepada Yuna lenyap begitu saja ketika netranya mendapati senyum manis yang terlukis di wajah adik satu-satunya itu. Ia berdiri, mengambil satu sandwich yang dibawakan Utami dan memasukkan ke dalam mulutnya. “Enak! Buatan siapa?”

Utami tertawa kecil, tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Ajinaka. Kuasanya terangkat perlahan untuk mendarat di punggung Ajinaka, mengelusnya dengan lembut, berharap rasa sakit itu segera pergi dari seluruh daksa Kakaknya. Utami tahu, segala yang dilakukan Mamanya pada Ajinaka, termasuk percakapan keduanya, karena sebenarnya ia tidak benar-benar pergi tadi.

“Kak,”

Ajinaka mengalihkan pandang dari makanannya ke arah Utami dengan senyum manis. Mulutnya penuh tapi ia tetap mengeluarkan kalimatnya, “Tami enggak makan? Ini enak, lho!”

Utami menggeleng, tapi air matanya meluncur begitu saja membasahi pipinya. “Maafin, Tami, Kak.”

Kalimat permintaan maaf dari Utami seketika membuat darah Ajinaka berdesir. Ia menutup matanya untuk beberapa menit karena tidak mampu untuk sekedar melihat air mata yang keluar dari manik indah Utami. Tangan besarnya terangkat, mengelus surai legam adiknya dengan lembut. “Gue enggak kenapa-napa.”

“Tami tahu apa yang Mama lakuin ke Kak Ajin.” balas Utami, masih dengan nada yang tersendat.

Ajinaka terkekeh, “Abang lo ini kuat, lihat! Otot gue gede begini, masa lo mau kasihan sama gue.”

Perempuan itu tidak tertawa, ia hanya menatap Ajinaka dalam, seolah tenggelam dalam manik pria itu untuk mencari sesuatu yang jelas-jelas disembunyikan.

“Tami,”

Utami menggeleng ketika lagi-lagi tangan Ajinaka mendarat di bahunya. “Utami enggak mau Mama nikah sama Om Sonny, Kak.”

Lagi-lagi helaan nafas yang hanya pria itu berikan untuk Utami, sebab Ajinaka tahu dengan jelas bahwa adiknya itu teramat menyayangi Papa. Tidak mungkin Utami menerima begitu saja siapapun yang masuk ke dalam hati Yuna.

“Lo enggak usah takut, Tami. Gue bisa pastiin kalau Mama enggak jadi nikah sama Ayahnya Aksara, apapun alasan-nya.”

Utami menatap Ajinaka penuh harap, “Kak, Tami sayang sama Kak Aksara...”

Ajinaka pening, ia tidak tahu apa lagi yang mampu ia lakukan untuk adiknya selain mau atau tidak mau mendekatkannya dengan Aksara. Kepalanya bertambah pening ketika bayang wajah Saranita memenuhi pandangannya, terlebih ketika perempuan manis itu tersenyum tulus.

Semua yang dilakukan, beserta dengan alasan.

image

Sudah satu minggu terlewati, tapi keadaan sama sekali tidak berubah. Terlebih untuk pria berkaus putih yang sedang menggenggam erat penanya. Perasaan pria itu campur aduk kala netranya mendapati seorang perempuan yang satu tahun lebih muda darinya, sedang fokus menatap beberapa buku tebal yang dua hari lalu diberikan oleh Mamanya.

“Kak Ajin,” panggil perempuan itu, mengalihkan pandangan dari buku fisikanya.

Pena di genggaman Ajinaka jatuh begitu saja. Matanya membulat, ia terkejut ketika Utami memanggil namanya tanpa aba. “Y-ya? Kenapa, Tami? Ada yang enggak ngerti?”

Helaan nafas berembus begitu saja dari bibir perempuan berpita biru di rambutnya itu. Kuasanya beralih untuk menutup buku, kemudian menatap lekat ke arah Kakak kandungnya. “Kakak ngomong apa ke Kak Aksara?”

Jemari Ajinaka mengepal kuat ketika nama seseorang yang sangat ia benci diucapkan dengan lantang oleh Utami. Ia sungguh tidak pernah mengerti kenapa perempuan yang memiliki status sebagai adiknya itu begitu terobsesi untuk menempati singgasana paling dalam di lubuk hati pria bernama Aksara. Padahal Utami tahu bahwa Ajinaka begitu membencinya dan Ayahnya.

“Gue enggak ada ngomong apa-apa sama Aksara.” balas Ajinaka senetral mungkin. Jemarinya kembali mengenggam pena, berusaha mengalihkan perhatian Utami dengan terus fokus pada buku di hadapannya.

“Bohong.”

Ajinaka mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Utami yang mengintimidasinya. “Gue enggak bohong.” Benar, Ajinaka tidak berbohong. Memang dekat-dekat ini ia sudah tidak lagi bertemu dengan Aksara, mengikuti seluruh permintaan Utami untuk tidak mendekati pria itu.

“Jangan bohong, Kak!” teriak Utami yang membuat rahang Ajinaka mengeras.

Baru saja Ajinaka ingin menjelaskan tentang apa yang terjadi—termasuk hari dimana teman-temannya yang berusaha menghabisi Saranita, tapi sebuah suara berhasil mengalihkan perhatiannya. Ajinaka menunduk dalam—begitu pula dengan Utami—kala seorang wanita dengan gaun hitam dan sepatu merahnya berjalan menghampiri mereka.

“Utami sudah selesai belajarnya?” tanya wanita itu, melepaskan kacamata hitam yang bertengger di batang hidung. “Kalau sudah, boleh tinggalkan Mama dan Kak Ajinaka berdua di sini? Ada yang harus Mama bicarakan.”

Utami mengangguk, langsung beralih mengemas barang-barangnya dan meninggalkan ruang belajar, menyisakan Yuna dan Ajinaka dalam diam untuk beberapa menit. Sepeninggalan Utami, ruang persegi ini hanya berisi suara denting jarum jam yang terus berjalan detik demi detik. Jantung Ajinaka berdetak dua kali lebih cepat dari pada biasanya ketika melihat Mama membuka sabuk yang melingkar di pinggangnya.

“Ma, Ajinaka enggak berbuat apa-apa.” Hanya kalimat itu yang bisa Ajinaka lontarkan saat tatapan Mama berubah mematikan. Ajinaka benar-benar tidak pernah mengerti pada keadaan yang selama ini menguasai dirinya juga orang-orang yang ia sayang. Mama sungguh tidak berubah setelah kepergian Papa, hal itu tentu membuat Ajinaka merasa muak dengan segala perbuatan wanita itu semakin hari.

Kuasa Yuna terangkat untuk mengelus wajah anak pertamanya yang sudah duduk bersimpuh di hadapannya dengan mata yang memerah, memohon ampun sebelum akhirnya sabuk itu mengenai sebagian tubuh kekarnya. “Kamu tahu kenapa saya pulang hari ini? Padahal masih banyak yang harus saya lakukan di Italia.”

Pria berkaus putih itu meneguk salivanya, berusaha mengingat kesalahannya satu pekan ini. Namun tidak ada, semuanya berjalan sesuai dengan apa yang Yuna inginkan. Memang, Ajinaka hidup hanya untuk menuruti semua keinginan Mamanya.

“Saya pulang karena dapat email dari pihak sekolah kalau kamu dan temanmu berusaha menghabisi seorang perempuan dari sekolah lain.” Satu pukulan dari sabuk itu Yuna layangkan, mengenai Ajinaka tepat pada punggungnya. Wanita bergaun hitam itu berdiri, menyisir rambut Ajinaka dengan lembut. “Apa ini yang kamu dapatkan setelah dua belas tahun tinggal sama Papamu, Ajinaka?!”

“Ma, Ajinaka bisa jelasin.” jawabnya dengan nada merintih, berusaha sebisa mungkin menahan rasa sakit pada bagian punggungnya. Ajinaka tidak menangis, sebab ia tahu bahwa Yuna tidak akan menyukainya. “Yang ngelakuin itu bukan Ajinaka, Ma. Ajinaka cuma berusaha ngomong ke Saranita untuk segera jauhi Aksara karena—”

“Saya enggak mau mendengar alasan kamu, Ajinaka.” potong Yuna dengan nada rendahnya.

Ajinaka menggeleng, ia perlu melanjutkan kalimatnya supaya Mamanya itu mengerti. “Karena Utami sayang banget sama Aksara. Utami bilang ke Ajinaka kalau enggak bisa tidur setiap malam karena ada perempuan lain di sekitar Aksara.”

Yuna mengerinyit kebingungan. “Utami sayang sama Aksara? Sebagai apa?”

“Sebagai pria.” jawab Ajinaka dengan lantang. Pria itu berdiri, menatap Yuna dengan tatapan penuh harapan. “Putusin hubungan Mama sama Ayahnya Aksara, ya, Ma? Mama enggak mau lihat Utami terluka kayak waktu ditinggal sama Papa, kan? Mama sayang banget sama Utami, kan?”

Yuna menggeleng keras, netranya menatap Ajinaka tegas. “Mama sudah merencanakan pertunangan dengan Ayahnya Aksara.” Yuna beralih, mengambil tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja, hendak pergi meninggalkan ruang belajar yang ia buat khusus untuk kedua anaknya.

“Gimana perasaan Utami kalau tahu Aksara bakalan jadi Kakak tirinya, Ma?”

Kalimat tanya Ajinaka ternyata mampu membuat Yuna menghentikan langkahnya, matanya memejam sesaat untuk menetralisir isi pikirannya. Bagaimana pun juga rencananya untuk bertunangan dengan Sonny tidak boleh dibatalkan, bisa-bisa reputasinya sebagai fashion designer terbaik senegara ini akan hancur begitu saja. “Mama yang akan urus Utami. Kamu urus dirimu sendiri, jangan terus-terusan buat Mama mengeluarkan uang untuk tutup mulut guru-gurumu.”

Setelah kepergian Yuna, pria bersurai kecokelatan itu mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Tatapan Ajinaka beralih pada bingkai foto yang paling besar di ruang belajar, fotonya bersama Papa juga Utami yang saat itu masih berumur tujuh tahun, sedangkan dirinya berumur delapan. Setelah perpisahan Papa dan Mama, Ajinaka sudah berjanji pada Utami untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam keluarganya untuk menggantikan posisi Papa di hati Mama. Itu sebabnya Ajinaka begitu membenci Sonny, karena seluruh harapan Utami ada pada dirinya.

Ajinaka selalu mendahulukan perasaan Utami ketimbang perasaanya sendiri. Pria yang duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas itu sangat menyayangi adik satu-satunya. Ajinaka bahkan selalu mengusahakan untuk memenuhi seluruh permintaan Utami, termasuk mempertemukan perempuan kecil itu lagi pada Aksara—walau tidak bisa dipungkiri bahwa Ajinaka begitu membenci pria itu.

“Kak,” Utami datang, membawa satu gelas air mineral dan dua potong sandwich kesukaan Ajinaka. Kedua sudut bibirnya tersangka penuh, sedangkan netranya menangkap Ajinaka yang sibuk membenahi diri. “Habis belajar, makan dulu, yuk?”

Perasaan marah Ajinaka kepada Yuna lenyap begitu saja ketika netranya mendapati senyum manis yang terlukis di wajah adik satu-satunya itu. Ia berdiri, mengambil satu sandwich yang dibawakan Utami dan memasukkan ke dalam mulutnya. “Enak! Buatan siapa?”

Utami tertawa kecil, tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Ajinaka. Kuasanya terangkat perlahan untuk mendarat di punggung Ajinaka, mengelusnya dengan lembut, berharap rasa sakit itu segera pergi dari seluruh daksa Kakaknya. Utami tahu, segala yang dilakukan Mamanya pada Ajinaka, termasuk percakapan keduanya, karena sebenarnya ia tidak benar-benar pergi tadi.

“Kak,”

Ajinaka mengalihkan pandang dari makanannya ke arah Utami dengan senyum manis. Mulutnya penuh tapi ia tetap mengeluarkan kalimatnya, “Tami enggak makan? Ini enak, lho!”

Utami menggeleng, tapi air matanya meluncur begitu saja membasahi pipinya. “Maafin, Tami, Kak.”

Kalimat permintaan maaf dari Utami seketika membuat darah Ajinaka berdesir. Ia menutup matanya untuk beberapa menit karena tidak mampu untuk sekedar melihat air mata yang keluar dari manik indah Utami. Tangan besarnya terangkat, mengelus surai legam adiknya dengan lembut. “Gue enggak kenapa-napa.”

“Tami tahu apa yang Mama lakuin ke Kak Ajin.” balas Utami, masih dengan nada yang tersendat.

Ajinaka terkekeh, “Abang lo ini kuat, lihat! Otot gue gede begini, masa lo mau kasihan sama gue.”

Perempuan itu tidak tertawa, ia hanya menatap Ajinaka dalam, seolah tenggelam dalam manik pria itu untuk mencari sesuatu yang jelas-jelas disembunyikan.

“Tami,”

Utami menggeleng ketika lagi-lagi tangan Ajinaka mendarat di bahunya. “Utami enggak mau Mama nikah sama Om Sonny, Kak.”

Lagi-lagi helaan nafas yang hanya pria itu berikan untuk Utami, sebab Ajinaka tahu dengan jelas bahwa adiknya itu teramat menyayangi Papa. Tidak mungkin Utami menerima begitu saja siapapun yang masuk ke dalam hati Yuna.

“Lo enggak usah takut, Tami. Gue bisa pastiin kalau Mama enggak jadi nikah sama Ayahnya Aksara, apapun alasan-nya.”

Utami menatap Ajinaka penuh harap, “Kak, Tami sayang sama Kak Aksara...”

Ajinaka pening, ia tidak tahu apa lagi yang mampu ia lakukan untuk adiknya selain mau atau tidak mau mendekatkannya dengan Aksara. Kepalanya bertambah pening ketika bayang wajah Saranita memenuhi pandangannya, terlebih ketika perempuan manis itu tersenyum tulus.

lily

Semua yang dilakukan, beserta dengan alasan.

Tw // family issues .
Btw sorry trigger warningnya aku taruh di sini, enggak bisa ditaruh di tweet idk whyyyy. :(


image

Sudah satu minggu terlewati, tapi keadaan sama sekali tidak berubah. Terlebih untuk pria berkaus putih yang sedang menggenggam erat penanya. Perasaan pria itu campur aduk kala netranya mendapati seorang perempuan yang satu tahun lebih muda darinya, sedang fokus menatap beberapa buku tebal yang dua hari lalu diberikan oleh Mamanya.

“Kak Ajin,” panggil perempuan itu, mengalihkan pandangan dari buku fisikanya.

Pena di genggaman Ajinaka jatuh begitu saja. Matanya membulat, ia terkejut ketika Utami memanggil namanya tanpa aba. “Y-ya? Kenapa, Tami? Ada yang enggak ngerti?”

Helaan nafas berembus begitu saja dari bibir perempuan berpita biru di rambutnya itu. Kuasanya beralih untuk menutup buku, kemudian menatap lekat ke arah Kakak kandungnya. “Kakak ngomong apa ke Kak Aksara?”

Jemari Ajinaka mengepal kuat ketika nama seseorang yang sangat ia benci diucapkan dengan lantang oleh Utami. Ia sungguh tidak pernah mengerti kenapa perempuan yang memiliki status sebagai adiknya itu begitu terobsesi untuk menempati singgasana paling dalam di lubuk hati pria bernama Aksara. Padahal Utami tahu bahwa Ajinaka begitu membencinya dan Ayahnya.

“Gue enggak ada ngomong apa-apa sama Aksara.” balas Ajinaka senetral mungkin. Jemarinya kembali mengenggam pena, berusaha mengalihkan perhatian Utami dengan terus fokus pada buku di hadapannya.

“Bohong.”

Ajinaka mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Utami yang mengintimidasinya. “Gue enggak bohong.” Benar, Ajinaka tidak berbohong. Memang dekat-dekat ini ia sudah tidak lagi bertemu dengan Aksara, mengikuti seluruh permintaan Utami untuk tidak mendekati pria itu.

“Jangan bohong, Kak!” teriak Utami yang membuat rahang Ajinaka mengeras.

Baru saja Ajinaka ingin menjelaskan tentang apa yang terjadi—termasuk hari dimana teman-temannya yang berusaha menghabisi Saranita, tapi sebuah suara berhasil mengalihkan perhatiannya. Ajinaka menunduk dalam—begitu pula dengan Utami—kala seorang wanita dengan gaun hitam dan sepatu merahnya berjalan menghampiri mereka.

“Utami sudah selesai belajarnya?” tanya wanita itu, melepaskan kacamata hitam yang bertengger di batang hidung. “Kalau sudah, boleh tinggalkan Mama dan Kak Ajinaka berdua di sini? Ada yang harus Mama bicarakan.”

Utami mengangguk, langsung beralih mengemas barang-barangnya dan meninggalkan ruang belajar, menyisakan Yuna dan Ajinaka dalam diam untuk beberapa menit. Sepeninggalan Utami, ruang persegi ini hanya berisi suara denting jarum jam yang terus berjalan detik demi detik. Jantung Ajinaka berdetak dua kali lebih cepat dari pada biasanya ketika melihat Mama membuka sabuk yang melingkar di pinggangnya.

“Ma, Ajinaka enggak berbuat apa-apa.” Hanya kalimat itu yang bisa Ajinaka lontarkan saat tatapan Mama berubah mematikan. Ajinaka benar-benar tidak pernah mengerti pada keadaan yang selama ini menguasai dirinya juga orang-orang yang ia sayang. Mama sungguh tidak berubah setelah kepergian Papa, hal itu tentu membuat Ajinaka merasa muak dengan segala perbuatan wanita itu semakin hari.

Kuasa Yuna terangkat untuk mengelus wajah anak pertamanya yang sudah duduk bersimpuh di hadapannya dengan mata yang memerah, memohon ampun sebelum akhirnya sabuk itu mengenai sebagian tubuh kekarnya. “Kamu tahu kenapa saya pulang hari ini? Padahal masih banyak yang harus saya lakukan di Italia.”

Pria berkaus putih itu meneguk salivanya, berusaha mengingat kesalahannya satu pekan ini. Namun tidak ada, semuanya berjalan sesuai dengan apa yang Yuna inginkan. Memang, Ajinaka hidup hanya untuk menuruti semua keinginan Mamanya.

“Saya pulang karena dapat email dari pihak sekolah kalau kamu dan temanmu berusaha menghabisi seorang perempuan dari sekolah lain.” Satu pukulan dari sabuk itu Yuna layangkan, mengenai Ajinaka tepat pada punggungnya. Wanita bergaun hitam itu berdiri, menyisir rambut Ajinaka dengan lembut. “Apa ini yang kamu dapatkan setelah dua belas tahun tinggal sama Papamu, Ajinaka?!”

“Ma, Ajinaka bisa jelasin.” jawabnya dengan nada merintih, berusaha sebisa mungkin menahan rasa sakit pada bagian punggungnya. Ajinaka tidak menangis, sebab ia tahu bahwa Yuna tidak akan menyukainya. “Yang ngelakuin itu bukan Ajinaka, Ma. Ajinaka cuma berusaha ngomong ke Saranita untuk segera jauhi Aksara karena—”

“Saya enggak mau mendengar alasan kamu, Ajinaka.” potong Yuna dengan nada rendahnya.

Ajinaka menggeleng, ia perlu melanjutkan kalimatnya supaya Mamanya itu mengerti. “Karena Utami sayang banget sama Aksara. Utami bilang ke Ajinaka kalau enggak bisa tidur setiap malam karena ada perempuan lain di sekitar Aksara.”

Yuna mengerinyit kebingungan. “Utami sayang sama Aksara? Sebagai apa?”

“Sebagai pria.” jawab Ajinaka dengan lantang. Pria itu berdiri, menatap Yuna dengan tatapan penuh harapan. “Putusin hubungan Mama sama Ayahnya Aksara, ya, Ma? Mama enggak mau lihat Utami terluka kayak waktu ditinggal sama Papa, kan? Mama sayang banget sama Utami, kan?”

Yuna menggeleng keras, netranya menatap Ajinaka tegas. “Mama sudah merencanakan pertunangan dengan Ayahnya Aksara.” Yuna beralih, mengambil tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja, hendak pergi meninggalkan ruang belajar yang ia buat khusus untuk kedua anaknya.

“Gimana perasaan Utami kalau tahu Aksara bakalan jadi Kakak tirinya, Ma?”

Kalimat tanya Ajinaka ternyata mampu membuat Yuna menghentikan langkahnya, matanya memejam sesaat untuk menetralisir isi pikirannya. Bagaimana pun juga rencananya untuk bertunangan dengan Sonny tidak boleh dibatalkan, bisa-bisa reputasinya sebagai fashion designer terbaik senegara ini akan hancur begitu saja. “Mama yang akan urus Utami. Kamu urus dirimu sendiri, jangan terus-terusan buat Mama mengeluarkan uang untuk tutup mulut guru-gurumu.”

Setelah kepergian Yuna, pria bersurai kecokelatan itu mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Tatapan Ajinaka beralih pada bingkai foto yang paling besar di ruang belajar, fotonya bersama Papa juga Utami yang saat itu masih berumur tujuh tahun, sedangkan dirinya berumur delapan. Setelah perpisahan Papa dan Mama, Ajinaka sudah berjanji pada Utami untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam keluarganya untuk menggantikan posisi Papa di hati Mama. Itu sebabnya Ajinaka begitu membenci Sonny, karena seluruh harapan Utami ada pada dirinya.

Ajinaka selalu mendahulukan perasaan Utami ketimbang perasaanya sendiri. Pria yang duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas itu sangat menyayangi adik satu-satunya. Ajinaka bahkan selalu mengusahakan untuk memenuhi seluruh permintaan Utami, termasuk mempertemukan perempuan kecil itu lagi pada Aksara—walau tidak bisa dipungkiri bahwa Ajinaka begitu membenci pria itu.

“Kak,” Utami datang, membawa satu gelas air mineral dan dua potong sandwich kesukaan Ajinaka. Kedua sudut bibirnya tersangka penuh, sedangkan netranya menangkap Ajinaka yang sibuk membenahi diri. “Habis belajar, makan dulu, yuk?”

Perasaan marah Ajinaka kepada Yuna lenyap begitu saja ketika netranya mendapati senyum manis yang terlukis di wajah adik satu-satunya itu. Ia berdiri, mengambil satu sandwich yang dibawakan Utami dan memasukkan ke dalam mulutnya. “Enak! Buatan siapa?”

Utami tertawa kecil, tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Ajinaka. Kuasanya terangkat perlahan untuk mendarat di punggung Ajinaka, mengelusnya dengan lembut, berharap rasa sakit itu segera pergi dari seluruh daksa Kakaknya. Utami tahu, segala yang dilakukan Mamanya pada Ajinaka, termasuk percakapan keduanya, karena sebenarnya ia tidak benar-benar pergi tadi.

“Kak,”

Ajinaka mengalihkan pandang dari makanannya ke arah Utami dengan senyum manis. Mulutnya penuh tapi ia tetap mengeluarkan kalimatnya, “Tami enggak makan? Ini enak, lho!”

Utami menggeleng, tapi air matanya meluncur begitu saja membasahi pipinya. “Maafin, Tami, Kak.”

Kalimat permintaan maaf dari Utami seketika membuat darah Ajinaka berdesir. Ia menutup matanya untuk beberapa menit karena tidak mampu untuk sekedar melihat air mata yang keluar dari manik indah Utami. Tangan besarnya terangkat, mengelus surai legam adiknya dengan lembut. “Gue enggak kenapa-napa.”

“Tami tahu apa yang Mama lakuin ke Kak Ajin.” balas Utami, masih dengan nada yang tersendat.

Ajinaka terkekeh, “Abang lo ini kuat, lihat! Otot gue gede begini, masa lo mau kasihan sama gue.”

Perempuan itu tidak tertawa, ia hanya menatap Ajinaka dalam, seolah tenggelam dalam manik pria itu untuk mencari sesuatu yang jelas-jelas disembunyikan.

“Tami,”

Utami menggeleng ketika lagi-lagi tangan Ajinaka mendarat di bahunya. “Utami enggak mau Mama nikah sama Om Sonny, Kak.”

Lagi-lagi helaan nafas yang hanya pria itu berikan untuk Utami, sebab Ajinaka tahu dengan jelas bahwa adiknya itu teramat menyayangi Papa. Tidak mungkin Utami menerima begitu saja siapapun yang masuk ke dalam hati Yuna.

“Lo enggak usah takut, Tami. Gue bisa pastiin kalau Mama enggak jadi nikah sama Ayahnya Aksara, apapun alasan-nya.”

Utami menatap Ajinaka penuh harap, “Kak, Tami sayang sama Kak Aksara...”

Ajinaka pening, ia tidak tahu apa lagi yang mampu ia lakukan untuk adiknya selain mau atau tidak mau mendekatkannya dengan Aksara. Kepalanya bertambah pening ketika bayang wajah Saranita memenuhi pandangannya, terlebih ketika perempuan manis itu tersenyum tulus.

lily

Semua yang dilakukan, beserta dengan alasan.

image

Sudah satu minggu terlewati, tapi keadaan sama sekali tidak berubah. Terlebih untuk pria berkaus putih yang sedang menggenggam erat penanya. Perasaan pria itu campur aduk kala netranya mendapati seorang perempuan yang satu tahun lebih muda darinya, sedang fokus menatap beberapa buku tebal yang dua hari lalu diberikan oleh Mamanya.

“Kak Ajin,” panggil perempuan itu, mengalihkan pandangan dari buku fisikanya.

Pena di genggaman Ajinaka jatuh begitu saja. Matanya membulat, ia terkejut ketika Utami memanggil namanya tanpa aba. “Y-ya? Kenapa, Tami? Ada yang enggak ngerti?”

Helaan nafas berembus begitu saja dari bibir perempuan berpita biru di rambutnya itu. Kuasanya beralih untuk menutup buku, kemudian menatap lekat ke arah Kakak kandungnya. “Kakak ngomong apa ke Kak Aksara?”

Jemari Ajinaka mengepal kuat ketika nama seseorang yang sangat ia benci diucapkan dengan lantang oleh Utami. Ia sungguh tidak pernah mengerti kenapa perempuan yang memiliki status sebagai adiknya itu begitu terobsesi untuk menempati singgasana paling dalam di lubuk hati pria bernama Aksara. Padahal Utami tahu bahwa Ajinaka begitu membencinya dan Ayahnya.

“Gue enggak ada ngomong apa-apa sama Aksara.” balas Ajinaka senetral mungkin. Jemarinya kembali mengenggam pena, berusaha mengalihkan perhatian Utami dengan terus fokus pada buku di hadapannya.

“Bohong.”

Ajinaka mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Utami yang mengintimidasinya. “Gue enggak bohong.” Benar, Ajinaka tidak berbohong. Memang dekat-dekat ini ia sudah tidak lagi bertemu dengan Aksara, mengikuti seluruh permintaan Utami untuk tidak mendekati pria itu.

“Jangan bohong, Kak!” teriak Utami yang membuat rahang Ajinaka mengeras.

Baru saja Ajinaka ingin menjelaskan tentang apa yang terjadi—termasuk hari dimana teman-temannya yang berusaha menghabisi Saranita, tapi sebuah suara berhasil mengalihkan perhatiannya. Ajinaka menunduk dalam—begitu pula dengan Utami—kala seorang wanita dengan gaun hitam dan sepatu merahnya berjalan menghampiri mereka.

“Utami sudah selesai belajarnya?” tanya wanita itu, melepaskan kacamata hitam yang bertengger di batang hidung. “Kalau sudah, boleh tinggalkan Mama dan Kak Ajinaka berdua di sini? Ada yang harus Mama bicarakan.”

Utami mengangguk, langsung beralih mengemas barang-barangnya dan meninggalkan ruang belajar, menyisakan Yuna dan Ajinaka dalam diam untuk beberapa menit. Sepeninggalan Utami, ruang persegi ini hanya berisi suara denting jarum jam yang terus berjalan detik demi detik. Jantung Ajinaka berdetak dua kali lebih cepat dari pada biasanya ketika melihat Mama membuka sabuk yang melingkar di pinggangnya.

“Ma, Ajinaka enggak berbuat apa-apa.” Hanya kalimat itu yang bisa Ajinaka lontarkan saat tatapan Mama berubah mematikan. Ajinaka benar-benar tidak pernah mengerti pada keadaan yang selama ini menguasai dirinya juga orang-orang yang ia sayang. Mama sungguh tidak berubah setelah kepergian Papa, hal itu tentu membuat Ajinaka merasa muak dengan segala perbuatan wanita itu semakin hari.

Kuasa Yuna terangkat untuk mengelus wajah anak pertamanya yang sudah duduk bersimpuh di hadapannya dengan mata yang memerah, memohon ampun sebelum akhirnya sabuk itu mengenai sebagian tubuh kekarnya. “Kamu tahu kenapa saya pulang hari ini? Padahal masih banyak yang harus saya lakukan di Italia.”

Pria berkaus putih itu meneguk salivanya, berusaha mengingat kesalahannya satu pekan ini. Namun tidak ada, semuanya berjalan sesuai dengan apa yang Yuna inginkan. Memang, Ajinaka hidup hanya untuk menuruti semua keinginan Mamanya.

“Saya pulang karena dapat email dari pihak sekolah kalau kamu dan temanmu berusaha menghabisi seorang perempuan dari sekolah lain.” Satu pukulan dari sabuk itu Yuna layangkan, mengenai Ajinaka tepat pada punggungnya. Wanita bergaun hitam itu berdiri, menyisir rambut Ajinaka dengan lembut. “Apa ini yang kamu dapatkan setelah dua belas tahun tinggal sama Papamu, Ajinaka?!”

“Ma, Ajinaka bisa jelasin.” jawabnya dengan nada merintih, berusaha sebisa mungkin menahan rasa sakit pada bagian punggungnya. Ajinaka tidak menangis, sebab ia tahu bahwa Yuna tidak akan menyukainya. “Yang ngelakuin itu bukan Ajinaka, Ma. Ajinaka cuma berusaha ngomong ke Saranita untuk segera jauhi Aksara karena—”

“Saya enggak mau mendengar alasan kamu, Ajinaka.” potong Yuna dengan nada rendahnya.

Ajinaka menggeleng, ia perlu melanjutkan kalimatnya supaya Mamanya itu mengerti. “Karena Utami sayang banget sama Aksara. Utami bilang ke Ajinaka kalau enggak bisa tidur setiap malam karena ada perempuan lain di sekitar Aksara.”

Yuna mengerinyit kebingungan. “Utami sayang sama Aksara? Sebagai apa?”

“Sebagai pria.” jawab Ajinaka dengan lantang. Pria itu berdiri, menatap Yuna dengan tatapan penuh harapan. “Putusin hubungan Mama sama Ayahnya Aksara, ya, Ma? Mama enggak mau lihat Utami terluka kayak waktu ditinggal sama Papa, kan? Mama sayang banget sama Utami, kan?”

Yuna menggeleng keras, netranya menatap Ajinaka tegas. “Mama sudah merencanakan pertunangan dengan Ayahnya Aksara.” Yuna beralih, mengambil tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja, hendak pergi meninggalkan ruang belajar yang ia buat khusus untuk kedua anaknya.

“Gimana perasaan Utami kalau tahu Aksara bakalan jadi Kakak tirinya, Ma?”

Kalimat tanya Ajinaka ternyata mampu membuat Yuna menghentikan langkahnya, matanya memejam sesaat untuk menetralisir isi pikirannya. Bagaimana pun juga rencananya untuk bertunangan dengan Sonny tidak boleh dibatalkan, bisa-bisa reputasinya sebagai fashion designer terbaik senegara ini akan hancur begitu saja. “Mama yang akan urus Utami. Kamu urus dirimu sendiri, jangan terus-terusan buat Mama mengeluarkan uang untuk tutup mulut guru-gurumu.”

Setelah kepergian Yuna, pria bersurai kecokelatan itu mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Tatapan Ajinaka beralih pada bingkai foto yang paling besar di ruang belajar, fotonya bersama Papa juga Utami yang saat itu masih berumur tujuh tahun, sedangkan dirinya berumur delapan. Setelah perpisahan Papa dan Mama, Ajinaka sudah berjanji pada Utami untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam keluarganya untuk menggantikan posisi Papa di hati Mama. Itu sebabnya Ajinaka begitu membenci Sonny, karena seluruh harapan Utami ada pada dirinya.

Ajinaka selalu mendahulukan perasaan Utami ketimbang perasaanya sendiri. Pria yang duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas itu sangat menyayangi adik satu-satunya. Ajinaka bahkan selalu mengusahakan untuk memenuhi seluruh permintaan Utami, termasuk mempertemukan perempuan kecil itu lagi pada Aksara—walau tidak bisa dipungkiri bahwa Ajinaka begitu membenci pria itu.

“Kak,” Utami datang, membawa satu gelas air mineral dan dua potong sandwich kesukaan Ajinaka. Kedua sudut bibirnya tersangka penuh, sedangkan netranya menangkap Ajinaka yang sibuk membenahi diri. “Habis belajar, makan dulu, yuk?”

Perasaan marah Ajinaka kepada Yuna lenyap begitu saja ketika netranya mendapati senyum manis yang terlukis di wajah adik satu-satunya itu. Ia berdiri, mengambil satu sandwich yang dibawakan Utami dan memasukkan ke dalam mulutnya. “Enak! Buatan siapa?”

Utami tertawa kecil, tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Ajinaka. Kuasanya terangkat perlahan untuk mendarat di punggung Ajinaka, mengelusnya dengan lembut, berharap rasa sakit itu segera pergi dari seluruh daksa Kakaknya. Utami tahu, segala yang dilakukan Mamanya pada Ajinaka, termasuk percakapan keduanya, karena sebenarnya ia tidak benar-benar pergi tadi.

“Kak,”

Ajinaka mengalihkan pandang dari makanannya ke arah Utami dengan senyum manis. Mulutnya penuh tapi ia tetap mengeluarkan kalimatnya, “Tami enggak makan? Ini enak, lho!”

Utami menggeleng, tapi air matanya meluncur begitu saja membasahi pipinya. “Maafin, Tami, Kak.”

Kalimat permintaan maaf dari Utami seketika membuat darah Ajinaka berdesir. Ia menutup matanya untuk beberapa menit karena tidak mampu untuk sekedar melihat air mata yang keluar dari manik indah Utami. Tangan besarnya terangkat, mengelus surai legam adiknya dengan lembut. “Gue enggak kenapa-napa.”

“Tami tahu apa yang Mama lakuin ke Kak Ajin.” balas Utami, masih dengan nada yang tersendat.

Ajinaka terkekeh, “Abang lo ini kuat, lihat! Otot gue gede begini, masa lo mau kasihan sama gue.”

Perempuan itu tidak tertawa, ia hanya menatap Ajinaka dalam, seolah tenggelam dalam manik pria itu untuk mencari sesuatu yang jelas-jelas disembunyikan.

“Tami,”

Utami menggeleng ketika lagi-lagi tangan Ajinaka mendarat di bahunya. “Utami enggak mau Mama nikah sama Om Sonny, Kak.”

Lagi-lagi helaan nafas yang hanya pria itu berikan untuk Utami, sebab Ajinaka tahu dengan jelas bahwa adiknya itu teramat menyayangi Papa. Tidak mungkin Utami menerima begitu saja siapapun yang masuk ke dalam hati Yuna.

“Lo enggak usah takut, Tami. Gue bisa pastiin kalau Mama enggak jadi nikah sama Ayahnya Aksara, apapun alasan-nya.”

Utami menatap Ajinaka penuh harap, “Kak, Tami sayang sama Kak Aksara...”

Ajinaka pening, ia tidak tahu apa lagi yang mampu ia lakukan untuk adiknya selain mau atau tidak mau mendekatkannya dengan Aksara. Kepalanya bertambah pening ketika bayang wajah Saranita memenuhi pandangannya, terlebih ketika perempuan manis itu tersenyum tulus.

lily

Semua yang dilakukan, beserta dengan alasan.

https://ibb.co/wzwhHZx

Sudah satu minggu terlewati, tapi keadaan sama sekali tidak berubah. Terlebih untuk pria berkaus putih yang sedang menggenggam erat penanya. Perasaan pria itu campur aduk kala netranya mendapati seorang perempuan yang satu tahun lebih muda darinya, sedang fokus menatap beberapa buku tebal yang dua hari lalu diberikan oleh Mamanya.

“Kak Ajin,” panggil perempuan itu, mengalihkan pandangan dari buku fisikanya.

Pena di genggaman Ajinaka jatuh begitu saja. Matanya membulat, ia terkejut ketika Utami memanggil namanya tanpa aba. “Y-ya? Kenapa, Tami? Ada yang enggak ngerti?”

Helaan nafas berembus begitu saja dari bibir perempuan berpita biru di rambutnya itu. Kuasanya beralih untuk menutup buku, kemudian menatap lekat ke arah Kakak kandungnya. “Kakak ngomong apa ke Kak Aksara?”

Jemari Ajinaka mengepal kuat ketika nama seseorang yang sangat ia benci diucapkan dengan lantang oleh Utami. Ia sungguh tidak pernah mengerti kenapa perempuan yang memiliki status sebagai adiknya itu begitu terobsesi untuk menempati singgasana paling dalam di lubuk hati pria bernama Aksara. Padahal Utami tahu bahwa Ajinaka begitu membencinya dan Ayahnya.

“Gue enggak ada ngomong apa-apa sama Aksara.” balas Ajinaka senetral mungkin. Jemarinya kembali mengenggam pena, berusaha mengalihkan perhatian Utami dengan terus fokus pada buku di hadapannya.

“Bohong.”

Ajinaka mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Utami yang mengintimidasinya. “Gue enggak bohong.” Benar, Ajinaka tidak berbohong. Memang dekat-dekat ini ia sudah tidak lagi bertemu dengan Aksara, mengikuti seluruh permintaan Utami untuk tidak mendekati pria itu.

“Jangan bohong, Kak!” teriak Utami yang membuat rahang Ajinaka mengeras.

Baru saja Ajinaka ingin menjelaskan tentang apa yang terjadi—termasuk hari dimana teman-temannya yang berusaha menghabisi Saranita, tapi sebuah suara berhasil mengalihkan perhatiannya. Ajinaka menunduk dalam—begitu pula dengan Utami—kala seorang wanita dengan gaun hitam dan sepatu merahnya berjalan menghampiri mereka.

“Utami sudah selesai belajarnya?” tanya wanita itu, melepaskan kacamata hitam yang bertengger di batang hidung. “Kalau sudah, boleh tinggalkan Mama dan Kak Ajinaka berdua di sini? Ada yang harus Mama bicarakan.”

Utami mengangguk, langsung beralih mengemas barang-barangnya dan meninggalkan ruang belajar, menyisakan Yuna dan Ajinaka dalam diam untuk beberapa menit. Sepeninggalan Utami, ruang persegi ini hanya berisi suara denting jarum jam yang terus berjalan detik demi detik. Jantung Ajinaka berdetak dua kali lebih cepat dari pada biasanya ketika melihat Mama membuka sabuk yang melingkar di pinggangnya.

“Ma, Ajinaka enggak berbuat apa-apa.” Hanya kalimat itu yang bisa Ajinaka lontarkan saat tatapan Mama berubah mematikan. Ajinaka benar-benar tidak pernah mengerti pada keadaan yang selama ini menguasai dirinya juga orang-orang yang ia sayang. Mama sungguh tidak berubah setelah kepergian Papa, hal itu tentu membuat Ajinaka merasa muak dengan segala perbuatan wanita itu semakin hari.

Kuasa Yuna terangkat untuk mengelus wajah anak pertamanya yang sudah duduk bersimpuh di hadapannya dengan mata yang memerah, memohon ampun sebelum akhirnya sabuk itu mengenai sebagian tubuh kekarnya. “Kamu tahu kenapa saya pulang hari ini? Padahal masih banyak yang harus saya lakukan di Italia.”

Pria berkaus putih itu meneguk salivanya, berusaha mengingat kesalahannya satu pekan ini. Namun tidak ada, semuanya berjalan sesuai dengan apa yang Yuna inginkan. Memang, Ajinaka hidup hanya untuk menuruti semua keinginan Mamanya.

“Saya pulang karena dapat email dari pihak sekolah kalau kamu dan temanmu berusaha menghabisi seorang perempuan dari sekolah lain.” Satu pukulan dari sabuk itu Yuna layangkan, mengenai Ajinaka tepat pada punggungnya. Wanita bergaun hitam itu berdiri, menyisir rambut Ajinaka dengan lembut. “Apa ini yang kamu dapatkan setelah dua belas tahun tinggal sama Papamu, Ajinaka?!”

“Ma, Ajinaka bisa jelasin.” jawabnya dengan nada merintih, berusaha sebisa mungkin menahan rasa sakit pada bagian punggungnya. Ajinaka tidak menangis, sebab ia tahu bahwa Yuna tidak akan menyukainya. “Yang ngelakuin itu bukan Ajinaka, Ma. Ajinaka cuma berusaha ngomong ke Saranita untuk segera jauhi Aksara karena—”

“Saya enggak mau mendengar alasan kamu, Ajinaka.” potong Yuna dengan nada rendahnya.

Ajinaka menggeleng, ia perlu melanjutkan kalimatnya supaya Mamanya itu mengerti. “Karena Utami sayang banget sama Aksara. Utami bilang ke Ajinaka kalau enggak bisa tidur setiap malam karena ada perempuan lain di sekitar Aksara.”

Yuna mengerinyit kebingungan. “Utami sayang sama Aksara? Sebagai apa?”

“Sebagai pria.” jawab Ajinaka dengan lantang. Pria itu berdiri, menatap Yuna dengan tatapan penuh harapan. “Putusin hubungan Mama sama Ayahnya Aksara, ya, Ma? Mama enggak mau lihat Utami terluka kayak waktu ditinggal sama Papa, kan? Mama sayang banget sama Utami, kan?”

Yuna menggeleng keras, netranya menatap Ajinaka tegas. “Mama sudah merencanakan pertunangan dengan Ayahnya Aksara.” Yuna beralih, mengambil tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja, hendak pergi meninggalkan ruang belajar yang ia buat khusus untuk kedua anaknya.

“Gimana perasaan Utami kalau tahu Aksara bakalan jadi Kakak tirinya, Ma?”

Kalimat tanya Ajinaka ternyata mampu membuat Yuna menghentikan langkahnya, matanya memejam sesaat untuk menetralisir isi pikirannya. Bagaimana pun juga rencananya untuk bertunangan dengan Sonny tidak boleh dibatalkan, bisa-bisa reputasinya sebagai fashion designer terbaik senegara ini akan hancur begitu saja. “Mama yang akan urus Utami. Kamu urus dirimu sendiri, jangan terus-terusan buat Mama mengeluarkan uang untuk tutup mulut guru-gurumu.”

Setelah kepergian Yuna, pria bersurai kecokelatan itu mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Tatapan Ajinaka beralih pada bingkai foto yang paling besar di ruang belajar, fotonya bersama Papa juga Utami yang saat itu masih berumur tujuh tahun, sedangkan dirinya berumur delapan. Setelah perpisahan Papa dan Mama, Ajinaka sudah berjanji pada Utami untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam keluarganya untuk menggantikan posisi Papa di hati Mama. Itu sebabnya Ajinaka begitu membenci Sonny, karena seluruh harapan Utami ada pada dirinya.

Ajinaka selalu mendahulukan perasaan Utami ketimbang perasaanya sendiri. Pria yang duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas itu sangat menyayangi adik satu-satunya. Ajinaka bahkan selalu mengusahakan untuk memenuhi seluruh permintaan Utami, termasuk mempertemukan perempuan kecil itu lagi pada Aksara—walau tidak bisa dipungkiri bahwa Ajinaka begitu membenci pria itu.

“Kak,” Utami datang, membawa satu gelas air mineral dan dua potong sandwich kesukaan Ajinaka. Kedua sudut bibirnya tersangka penuh, sedangkan netranya menangkap Ajinaka yang sibuk membenahi diri. “Habis belajar, makan dulu, yuk?”

Perasaan marah Ajinaka kepada Yuna lenyap begitu saja ketika netranya mendapati senyum manis yang terlukis di wajah adik satu-satunya itu. Ia berdiri, mengambil satu sandwich yang dibawakan Utami dan memasukkan ke dalam mulutnya. “Enak! Buatan siapa?”

Utami tertawa kecil, tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Ajinaka. Kuasanya terangkat perlahan untuk mendarat di punggung Ajinaka, mengelusnya dengan lembut, berharap rasa sakit itu segera pergi dari seluruh daksa Kakaknya. Utami tahu, segala yang dilakukan Mamanya pada Ajinaka, termasuk percakapan keduanya, karena sebenarnya ia tidak benar-benar pergi tadi.

“Kak,”

Ajinaka mengalihkan pandang dari makanannya ke arah Utami dengan senyum manis. Mulutnya penuh tapi ia tetap mengeluarkan kalimatnya, “Tami enggak makan? Ini enak, lho!”

Utami menggeleng, tapi air matanya meluncur begitu saja membasahi pipinya. “Maafin, Tami, Kak.”

Kalimat permintaan maaf dari Utami seketika membuat darah Ajinaka berdesir. Ia menutup matanya untuk beberapa menit karena tidak mampu untuk sekedar melihat air mata yang keluar dari manik indah Utami. Tangan besarnya terangkat, mengelus surai legam adiknya dengan lembut. “Gue enggak kenapa-napa.”

“Tami tahu apa yang Mama lakuin ke Kak Ajin.” balas Utami, masih dengan nada yang tersendat.

Ajinaka terkekeh, “Abang lo ini kuat, lihat! Otot gue gede begini, masa lo mau kasihan sama gue.”

Perempuan itu tidak tertawa, ia hanya menatap Ajinaka dalam, seolah tenggelam dalam manik pria itu untuk mencari sesuatu yang jelas-jelas disembunyikan.

“Tami,”

Utami menggeleng ketika lagi-lagi tangan Ajinaka mendarat di bahunya. “Utami enggak mau Mama nikah sama Om Sonny, Kak.”

Lagi-lagi helaan nafas yang hanya pria itu berikan untuk Utami, sebab Ajinaka tahu dengan jelas bahwa adiknya itu teramat menyayangi Papa. Tidak mungkin Utami menerima begitu saja siapapun yang masuk ke dalam hati Yuna.

“Lo enggak usah takut, Tami. Gue bisa pastiin kalau Mama enggak jadi nikah sama Ayahnya Aksara, apapun alasan-nya.”

Utami menatap Ajinaka penuh harap, “Kak, Tami sayang sama Kak Aksara...”

Ajinaka pening, ia tidak tahu apa lagi yang mampu ia lakukan untuk adiknya selain mau atau tidak mau mendekatkannya dengan Aksara. Kepalanya bertambah pening ketika bayang wajah Saranita memenuhi pandangannya, terlebih ketika perempuan manis itu tersenyum tulus.

Embusan angin yang menembus tulang pria itu.

tags-night-city-city-night-citycore-city-aesthetic-city-lights-aesthetic-night-aesthetic-grunge-grun

Jika ditanya tentang hal apa yang paling Saranita sukai di muka bumi, maka jawabannya adalah berbincang dengan Aksara. Perihal perlakuan sederhana pria itu, usahanya dalam menuliskan setiap huruf demi membalas kalimat tanya, senyumnya yang selalu terulas megah juga tawar untuk peluk yang terasa begitu hangat. Saranita menyukainya, semua perlakuan Aksara—tanpa ada kata kecuali. Karena rasanya seperti baru pertama kali ia lahir ke dunia, lalu ditawarkan dengan kasih sayang yang terasa begitu tulus dan memabukkan.

Setelah makan malam bersama di warung tenda sederhana pecal ayam di pinggir jalan, Aksara dan Saranita memutuskan untuk kembali ke rumah tanpa metro mini. Berjalan kaki di bawah langit malam kota Jakarta yang entah kenapa terasa begitu cerah, ditemani dengan embusan angin dingin yang kapan saja bisa menerpa keduanya.

Jemari Aksara tanpa permisi mengisi ruang di antara milik Saranita, menautkan dan memasukkan tangan perempuan berkaus putih tulang itu ke dalam saku jaketnya. Aksara hanya membalas tatapan bingung Saranita dengan senyum manisnya.

“Mau langsung pulang, Sa?” Langkahnya tidak berhenti, namun netranya tidak lepas dari pria di sampingnya.

Aksara menipiskan bibir, sebenarnya ia hanya ingin menghabiskan malam ini bersama Saranita. Pikiran Aksara kacau, siang tadi Ayah pulang—tentu saja dengan botol minuman berwarna hijau yang sampai detik ini tidak pernah ia tahu seperti apa rasanya. Ayah bilang bahwa ia sampai kapanpun tidak akan membiarkan Bagas buang-buang uang hanya demi membiayai Aksara kuliah. Sekarang bagi Ayah, Aksara hanya anak yang menyusahkan saja. Siang tadi Ayah bahkan bilang bahwa dulu ia mempertahankan Aksara hanya karena Bunda menyayanginya, bukan karena keinginan sendiri.

“Sa? Aksara?” Kali ini langkah Saranita berhenti, membuat Aksara mau tidak mau mengikuti setiap pergerakan perempuan itu. Ia membawanya duduk di kursi semen yang berada di pinggir jalan, menatap kendaraan yang berlalu-lalang walau hari semakin malam.

Ibukota memang tidak pernah beristirahat. Benar adanya. Malam itu Aksara hanya mengembuskan napas, genggaman tangan untuk Saranita tiba-tiba melemah saat tatapan gadis itu justru menusuknya dalam. Aksara tidak pernah mengerti kenapa setiap ia menatap Saranita tepat pada matanya, ingin sekali ia bercerita tentang apa yang terjadi pada harinya, persis seperti apa yang ia selalu lakukan kepada Bunda.

“Aksara, kenapa?” Saranita menggerakkan tangannya. Tatapan perempuan itu lembut, tidak menuntut dengan keras Aksara untuk segera menceritakan hal-hal yang terjadi.

Aksara segera mengeluarkan buku catatan dan penanya dari saku jaket. Tangannya mulai bergerak untuk menuliskan setiap huruf yang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Kini tatapannya beralih, meminta Saranita untuk segera membaca kalimat yang sudah ia tuliskan di atas bukunya.

IMG-20210628-232729

Saranita menghela, posisi duduknya berubah sesaat setelah ia membaca kalimat dari Aksara. Bukan itu yang Saranita mau, melainkan sebuah jawaban akan perasaan sederhana pria itu tentang hari ini, tentang perlakuan dunia untuknya.

Saranita menggeleng, “Bukan gue, tapi lo. Ada cerita apa hari ini?”

Tanya lembut yang keluar dari bibir merah muda Saranita dibiarkan menguar begitu saja di udara oleh Aksara. Pria berjaket hitam itu sama sekali tidak memiliki niat untuk membalas kalimatnya. Bukan karena Aksara tidak memercayai Saranita untuk menyimpan ceritanya, tapi karena Aksara sendiri tidak pernah mengerti bagaimana caranya bercerita tentang perasaanya setelah Bunda pergi.

IMG-20210628-232712

Kali ini Saranita terkekeh, ia menyodorkan buku catatan berwarna hijau itu kepada sang pemiliknya. Kuasa perempuan bersurai legam itu dengan ragu mengelus bahu Aksara dua kali, “Bunda orang yang berutung karena punya lo, Aksara.”

Aksara mengangguk satu kali, tatapannya kembali jatuh pada kendaraan yang berlalu-lalang, mengisi Jakarta walau sudah hampir larut. Pria itu menipiskan bibirnya, berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dengan seperti ini. Maksudnya, hidup dengan dihantui rasa bersalah kepada Bunda tentang hari itu.

“Sa, Bunda lo enggak pernah pergi.” Tangan Saranita terangkat, kemudian berlabuh tepat pada dada Aksara. “Dia selalu di sini, sampai kapanpun. Bunda lo selalu ada di saat-saat lo butuh kehadirannya.”

Lagi-lagi kalimat Saranita hanya dibalas anggukan oleh Aksara. Bukan juga karena Aksara muak dengan kalimatnya, ia hanya bingung untuk memberi tanggapan selain anggukan kepala. Tatapannya menerawang udara, berharap dengan pasti bahwa apa yang dikatakan oleh Saranita adalah sebuah kebenaran.

“Aksa, lo pernah bilang ke gue untuk bertahan sampai bagian akhir dalam perjalanan ini, kan?”

Lagi, Aksara mengangguk. Ia mengingat dengan pasti hari itu, dimana ia meminta Saranita untuk beristirahat ketika perempuan itu merasa lelah.

Saranita mengulum bibirnya, pandangannya teralin untuk melihat wajah Aksara dari sisi bagian kiri. “Malem itu gue mikir, kalau ternyata selama ini gue bukan mau nyerah sama keadaaan, gue cuma capek aja. Lo tahu? Setelah gue ngelewatin keadaan yang pada awalnya bikin gue mau nyerah, gue ngerasa kembali jatuh cinta sama hidup. Gue mikir, gimana jadinya kalau gue nyerah, ya? Mungkin gue enggak pernah bisa duduk di samping lo lagi dan ngomong kayak gini.”

Kini Aksara menolehkan wajah untuk menatap Saranita sepenuhnya. Kedua sudut bibir pria itu tiba-tiba saja terangkat tanpa dipinta, tersenyum untuk ungkapan bahwa setelah ini perempuan di sampingnya harus hidup dengan layak. Setidaknya, ia diam-diam berharap pada Semesta untuk mewujudkan seluruh keinginan Saranita-nya yang malang.

“Makasih, ya, Aksara.” Entah sudah berapa kali setelah mengenal Aksara, perempuan bersurai sebahu itu terus-menerus merasa beruntung karena sudah dipertemukan oleh sosok sepertinya.

Setelahnya, tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara. Keduanya membiarkan suasana Ibukota menjadi latar yang menguasai. Sampai pada akhirnya Saranita mengelus kedua tangannya sendiri, merasakan angin malam yang menusuk kulitnya. Kemudian Aksara melepas jaket hitam yang melekat pada daksanya, memakaikan bahan itu pada perempuan di sebelahnya. Tangannya bergerak di atas buku, menuliskan sesuatu seperti sebuah kalimat permintaan.

IMG-20210628-232815

Saranita mengangguk, “Lo enggak kedinginan?”

Sebenarnya angin malam ini terasa lebih dingin dari pada biasanya, namun entah apa yang membuat Aksara akhirnya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Saranita. Padahal tangannya bahkan terasa hampir kaku karena dinginnya embusan angin terasa begitu menusuk sampai bagian tulangnya. Aksara hanya tidak mau jika Saranita yang merasakan dingin luar biasa, biarkan dia saja.

“Gue lagi ada di fase dimana gue ada dalam keadaan yang netral setelah Ibu akhirnya nerima kalo Ayah pergi bawa Fina.” Saranita mengembuskan napas, berharap beban yang ada di punggungnya ikut lepas seiring ia mengeluarkan napasnya cukup lembut. “Tapi gue enggak pernah tahu apa yang terjadi di hari esok.” Lagi, Saranita menatap Aksara yang kini juga sedang menatapnya dari sisi sebelah kanan. “Lo tahu kalau Ibu enggak pernah bisa ketebak, kan, Aksa? Jadi, gue juga enggak pernah bisa nebak apa yang terjadi di hari selanjutnya.”

Hal pertama yang Aksara lakukan adalah dengan ragu melingkarkan tangannya di sekitar pundak Saranita, merengkuh daksa itu perlahan. Dengan gerakan yang begitu lembut Aksara membuat kepala Saranita jatuh tepat di bahu kirinya, meminta perempuan itu untuk sekedar menyalurkan beban yang ada. Tapi Saranita justru menengadah, menatap Aksara dari posisinya.

“Kalau ada hal yang mau diceritakan, cerita aja, ya, Sa?” Saranita terkekeh sumbang ketika ia menyadari satu hal—bahwa Aksara mirip sekali dengan dirinya yang dulu, dirinya yang selalu memendam seluruh rasa yang ada di dalam rongga dadanya, termasuk rasa sesak yang sampai detik ini selalu membuatnya muak. “Gue dulu tipikal orang yang enggak bisa cerita sama siapapun, karena gue enggak pernah bisa percaya sama siapapun. Tapi lama-kelamaan gue sadar, Sa. Gue enggak bisa bertahan sendirian dan akhirnya gue mulai cerita ke Nanda, tapi setelah ada lo, gue enggak pernah bisa nahan seluruh cerita gue ke lo.” Suaranya mengapung di udara, masuk ke dalam rungu Aksara yang menggunakan alat bantu. “Gue sadar kalau pada akhirnya Tuhan menciptakan manusia untuk saling membantu, saling mendengarkan kayak lo. Makasih, ya? Secara enggak sadar lo udah bikin gue berani ungkapin apa-apa yang gue rasain.”

Aksara terkekeh tanpa suara, setelah mengusap rambut Saranita dengan lembut ia menuliskan kalimatnya di atas buku.

IMG-20210628-232649

Kedua sudut bibir Saranita terangkat penuh. Entah sadar atau tidak, rasanya memang begitu nyaman jika harus duduk di samping Aksara.

MTMH-DOYOUNG

IMG-20210628-232623

Embusan angin yang menembus tulang pria itu.

tags-night-city-city-night-citycore-city-aesthetic-city-lights-aesthetic-night-aesthetic-grunge-grun

Jika ditanya tentang hal apa yang paling Saranita sukai di muka bumi, maka jawabannya adalah berbincang dengan Aksara. Perihal perlakuan sederhana pria itu, usahanya dalam menuliskan setiap huruf demi membalas kalimat tanya, senyumnya yang selalu terulas megah juga tawar untuk peluk yang terasa begitu hangat. Saranita menyukainya, semua perlakuan Aksara—tanpa ada kata kecuali. Karena rasanya seperti baru pertama kali ia lahir ke dunia, lalu ditawarkan dengan kasih sayang yang terasa begitu tulus dan memabukkan.

Setelah makan malam bersama di warung tenda sederhana pecal ayam di pinggir jalan, Aksara dan Saranita memutuskan untuk kembali ke rumah tanpa metro mini. Berjalan kaki di bawah langit malam kota Jakarta yang entah kenapa terasa begitu cerah, ditemani dengan embusan angin dingin yang kapan saja bisa menerpa keduanya.

Jemari Aksara tanpa permisi mengisi ruang di antara milik Saranita, menautkan dan memasukkan tangan perempuan berkaus putih tulang itu ke dalam saku jaketnya. Aksara hanya membalas tatapan bingung Saranita dengan senyum manisnya.

“Mau langsung pulang, Sa?” Langkahnya tidak berhenti, namun netranya tidak lepas dari pria di sampingnya.

Aksara menipiskan bibir, sebenarnya ia hanya ingin menghabiskan malam ini bersama Saranita. Pikiran Aksara kacau, siang tadi Ayah pulang—tentu saja dengan botol minuman berwarna hijau yang sampai detik ini tidak pernah ia tahu seperti apa rasanya. Ayah bilang bahwa ia sampai kapanpun tidak akan membiarkan Bagas buang-buang uang hanya demi membiayai Aksara kuliah. Sekarang bagi Ayah, Aksara hanya anak yang menyusahkan saja. Siang tadi Ayah bahkan bilang bahwa dulu ia mempertahankan Aksara hanya karena Bunda menyayanginya, bukan karena keinginan sendiri.

“Sa? Aksara?” Kali ini langkah Saranita berhenti, membuat Aksara mau tidak mau mengikuti setiap pergerakan perempuan itu. Ia membawanya duduk di kursi semen yang berada di pinggir jalan, menatap kendaraan yang berlalu-lalang walau hari semakin malam.

Ibukota memang tidak pernah beristirahat. Benar adanya. Malam itu Aksara hanya mengembuskan napas, genggaman tangan untuk Saranita tiba-tiba melemah saat tatapan gadis itu justru menusuknya dalam. Aksara tidak pernah mengerti kenapa setiap ia menatap Saranita tepat pada matanya, ingin sekali ia bercerita tentang apa yang terjadi pada harinya, persis seperti apa yang ia selalu lakukan kepada Bunda.

“Aksara, kenapa?” Saranita menggerakkan tangannya. Tatapan perempuan itu lembut, tidak menuntut dengan keras Aksara untuk segera menceritakan hal-hal yang terjadi.

Aksara segera mengeluarkan buku catatan dan penanya dari saku jaket. Tangannya mulai bergerak untuk menuliskan setiap huruf yang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Kini tatapannya beralih, meminta Saranita untuk segera membaca kalimat yang sudah ia tuliskan di atas bukunya.

IMG-20210628-232729

Saranita menghela, posisi duduknya berubah sesaat setelah ia membaca kalimat dari Aksara. Bukan itu yang Saranita mau, melainkan sebuah jawaban akan perasaan sederhana pria itu tentang hari ini, tentang perlakuan dunia untuknya.

Saranita menggeleng, “Bukan gue, tapi lo. Ada cerita apa hari ini?”

Tanya lembut yang keluar dari bibir merah muda Saranita dibiarkan menguar begitu saja di udara oleh Aksara. Pria berjaket hitam itu sama sekali tidak memiliki niat untuk membalas kalimatnya. Bukan karena Aksara tidak memercayai Saranita untuk menyimpan ceritanya, tapi karena Aksara sendiri tidak pernah mengerti bagaimana caranya bercerita tentang perasaanya setelah Bunda pergi.

IMG-20210628-232712

Kali ini Saranita terkekeh, ia menyodorkan buku catatan berwarna hijau itu kepada sang pemiliknya. Kuasa perempuan bersurai legam itu dengan ragu mengelus bahu Aksara dua kali, “Bunda orang yang berutung karena punya lo, Aksara.”

Aksara mengangguk satu kali, tatapannya kembali jatuh pada kendaraan yang berlalu-lalang, mengisi Jakarta walau sudah hampir larut. Pria itu menipiskan bibirnya, berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dengan seperti ini. Maksudnya, hidup dengan dihantui rasa bersalah kepada Bunda tentang hari itu.

“Sa, Bunda lo enggak pernah pergi.” Tangan Saranita terangkat, kemudian berlabuh tepat pada dada Aksara. “Dia selalu di sini, sampai kapanpun. Bunda lo selalu ada di saat-saat lo butuh kehadirannya.”

Lagi-lagi kalimat Saranita hanya dibalas anggukan oleh Aksara. Bukan juga karena Aksara muak dengan kalimatnya, ia hanya bingung untuk memberi tanggapan selain anggukan kepala. Tatapannya menerawang udara, berharap dengan pasti bahwa apa yang dikatakan oleh Saranita adalah sebuah kebenaran.

“Aksa, lo pernah bilang ke gue untuk bertahan sampai bagian akhir dalam perjalanan ini, kan?”

Lagi, Aksara mengangguk. Ia mengingat dengan pasti hari itu, dimana ia meminta Saranita untuk beristirahat ketika perempuan itu merasa lelah.

Saranita mengulum bibirnya, pandangannya teralin untuk melihat wajah Aksara dari sisi bagian kiri. “Malem itu gue mikir, kalau ternyata selama ini gue bukan mau nyerah sama keadaaan, gue cuma capek aja. Lo tahu? Setelah gue ngelewatin keadaan yang pada awalnya bikin gue mau nyerah, gue ngerasa kembali jatuh cinta sama hidup. Gue mikir, gimana jadinya kalau gue nyerah, ya? Mungkin gue enggak pernah bisa duduk di samping lo lagi dan ngomong kayak gini.”

Kini Aksara menolehkan wajah untuk menatap Saranita sepenuhnya. Kedua sudut bibir pria itu tiba-tiba saja terangkat tanpa dipinta, tersenyum untuk ungkapan bahwa setelah ini perempuan di sampingnya harus hidup dengan layak. Setidaknya, ia diam-diam berharap pada Semesta untuk mewujudkan seluruh keinginan Saranita-nya yang malang.

“Makasih, ya, Aksara.” Entah sudah berapa kali setelah mengenal Aksara, perempuan bersurai sebahu itu terus-menerus merasa beruntung karena sudah dipertemukan oleh sosok sepertinya.

Setelahnya, tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara. Keduanya membiarkan suasana Ibukota menjadi latar yang menguasai. Sampai pada akhirnya Saranita mengelus kedua tangannya sendiri, merasakan angin malam yang menusuk kulitnya. Kemudian Aksara melepas jaket hitam yang melekat pada daksanya, memakaikan bahan itu pada perempuan di sebelahnya. Tangannya bergerak di atas buku, menuliskan sesuatu seperti sebuah kalimat permintaan.

IMG-20210628-232815

Saranita mengangguk, “Lo enggak kedinginan?”

Sebenarnya angin malam ini terasa lebih dingin dari pada biasanya, namun entah apa yang membuat Aksara akhirnya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Saranita. Padahal tangannya bahkan terasa hampir kaku karena dinginnya embusan angin terasa begitu menusuk sampai bagian tulangnya. Aksara hanya tidak mau jika Saranita yang merasakan dingin luar biasa, biarkan dia saja.

“Gue lagi ada di fase dimana gue ada dalam keadaan yang netral setelah Ibu akhirnya nerima kalo Ayah pergi bawa Fina.” Saranita mengembuskan napas, berharap beban yang ada di punggungnya ikut lepas seiring ia mengeluarkan napasnya cukup lembut. “Tapi gue enggak pernah tahu apa yang terjadi di hari esok.” Lagi, Saranita menatap Aksara yang kini juga sedang menatapnya dari sisi sebelah kanan. “Lo tahu kalau Ibu enggak pernah bisa ketebak, kan, Aksa? Jadi, gue juga enggak pernah bisa nebak apa yang terjadi di hari selanjutnya.”

Hal pertama yang Aksara lakukan adalah dengan ragu melingkarkan tangannya di sekitar pundak Saranita, merengkuh daksa itu perlahan. Dengan gerakan yang begitu lembut Aksara membuat kepala Saranita jatuh tepat di bahu kirinya, meminta perempuan itu untuk sekedar menyalurkan beban yang ada. Tapi Saranita justru menengadah, menatap Aksara dari posisinya.

“Kalau ada hal yang mau diceritakan, cerita aja, ya, Sa?” Saranita terkekeh sumbang ketika ia menyadari satu hal—bahwa Aksara mirip sekali dengan dirinya yang dulu, dirinya yang selalu memendam seluruh rasa yang ada di dalam rongga dadanya, termasuk rasa sesak yang sampai detik ini selalu membuatnya muak. “Gue dulu tipikal orang yang enggak bisa cerita sama siapapun, karena gue enggak pernah bisa percaya sama siapapun. Tapi lama-kelamaan gue sadar, Sa. Gue enggak bisa bertahan sendirian dan akhirnya gue mulai cerita ke Nanda, tapi setelah ada lo, gue enggak pernah bisa nahan seluruh cerita gue ke lo.” Suaranya mengapung di udara, masuk ke dalam rungu Aksara yang menggunakan alat bantu. “Gue sadar kalau pada akhirnya Tuhan menciptakan manusia untuk saling membantu, saling mendengarkan kayak lo. Makasih, ya? Secara enggak sadar lo udah bikin gue berani ungkapin apa-apa yang gue rasain.”

Aksara terkekeh tanpa suara, setelah mengusap rambut Saranita dengan lembut ia menuliskan kalimatnya di atas buku.

IMG-20210628-232649

Kedua sudut bibir Saranita terangkat penuh. Entah sadar atau tidak, rasanya memang begitu nyaman jika harus duduk di samping Aksara.

MTMH-DOYOUNG

IMG-20210628-232623

Embusan angin yang menembus tulang pria itu.

tags-night-city-city-night-citycore-city-aesthetic-city-lights-aesthetic-night-aesthetic-grunge-grun

Jika ditanya tentang hal apa yang paling Saranita sukai di muka bumi, maka jawabannya adalah berbincang dengan Aksara. Perihal perlakuan sederhana pria itu, usahanya dalam menuliskan setiap huruf demi membalas kalimat tanya, senyumnya yang selalu terulas megah juga tawar untuk peluk yang terasa begitu hangat. Saranita menyukainya, semua perlakuan Aksara—tanpa ada kata kecuali. Karena rasanya seperti baru pertama kali ia lahir ke dunia, lalu ditawarkan dengan kasih sayang yang terasa begitu tulus dan memabukkan.

Setelah makan malam bersama di warung tenda sederhana pecal ayam di pinggir jalan, Aksara dan Saranita memutuskan untuk kembali ke rumah tanpa metro mini. Berjalan kaki di bawah langit malam kota Jakarta yang entah kenapa terasa begitu cerah, ditemani dengan embusan angin dingin yang kapan saja bisa menerpa keduanya.

Jemari Aksara tanpa permisi mengisi ruang di antara milik Saranita, menautkan dan memasukkan tangan perempuan berkaus putih tulang itu ke dalam saku jaketnya. Aksara hanya membalas tatapan bingung Saranita dengan senyum manisnya.

“Mau langsung pulang, Sa?” Langkahnya tidak berhenti, namun netranya tidak lepas dari pria di sampingnya.

Aksara menipiskan bibir, sebenarnya ia hanya ingin menghabiskan malam ini bersama Saranita. Pikiran Aksara kacau, siang tadi Ayah pulang—tentu saja dengan botol minuman berwarna hijau yang sampai detik ini tidak pernah ia tahu seperti apa rasanya. Ayah bilang bahwa ia sampai kapanpun tidak akan membiarkan Bagas buang-buang uang hanya demi membiayai Aksara kuliah. Sekarang bagi Ayah, Aksara hanya anak yang menyusahkan saja. Siang tadi Ayah bahkan bilang bahwa dulu ia mempertahankan Aksara hanya karena Bunda menyayanginya, bukan karena keinginan sendiri.

“Sa? Aksara?” Kali ini langkah Saranita berhenti, membuat Aksara mau tidak mau mengikuti setiap pergerakan perempuan itu. Ia membawanya duduk di kursi semen yang berada di pinggir jalan, menatap kendaraan yang berlalu-lalang walau hari semakin malam.

Ibukota memang tidak pernah beristirahat. Benar adanya. Malam itu Aksara hanya mengembuskan napas, genggaman tangan untuk Saranita tiba-tiba melemah saat tatapan gadis itu justru menusuknya dalam. Aksara tidak pernah mengerti kenapa setiap ia menatap Saranita tepat pada matanya, ingin sekali ia bercerita tentang apa yang terjadi pada harinya, persis seperti apa yang ia selalu lakukan kepada Bunda.

“Aksara, kenapa?” Saranita menggerakkan tangannya. Tatapan perempuan itu lembut, tidak menuntut dengan keras Aksara untuk segera menceritakan hal-hal yang terjadi.

Aksara segera mengeluarkan buku catatan dan penanya dari saku jaket. Tangannya mulai bergerak untuk menuliskan setiap huruf yang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Kini tatapannya beralih, meminta Saranita untuk segera membaca kalimat yang sudah ia tuliskan di atas bukunya.

IMG-20210628-232729

Saranita menghela, posisi duduknya berubah sesaat setelah ia membaca kalimat dari Aksara. Bukan itu yang Saranita mau, melainkan sebuah jawaban akan perasaan sederhana pria itu tentang hari ini, tentang perlakuan dunia untuknya.

Saranita menggeleng, “Bukan gue, tapi lo. Ada cerita apa hari ini?”

Tanya lembut yang keluar dari bibir merah muda Saranita dibiarkan menguar begitu saja di udara oleh Aksara. Pria berjaket hitam itu sama sekali tidak memiliki niat untuk membalas kalimatnya. Bukan karena Aksara tidak memercayai Saranita untuk menyimpan ceritanya, tapi karena Aksara sendiri tidak pernah mengerti bagaimana caranya bercerita tentang perasaanya setelah Bunda pergi.

IMG-20210628-232712

Kali ini Saranita terkekeh, ia menyodorkan buku catatan berwarna hijau itu kepada sang pemiliknya. Kuasa perempuan bersurai legam itu dengan ragu mengelus bahu Aksara dua kali, “Bunda orang yang berutung karena punya lo, Aksara.”

Aksara mengangguk satu kali, tatapannya kembali jatuh pada kendaraan yang berlalu-lalang, mengisi Jakarta walau sudah hampir larut. Pria itu menipiskan bibirnya, berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dengan seperti ini. Maksudnya, hidup dengan dihantui rasa bersalah kepada Bunda tentang hari itu.

“Sa, Bunda lo enggak pernah pergi.” Tangan Saranita terangkat, kemudian berlabuh tepat pada dada Aksara. “Dia selalu di sini, sampai kapanpun. Bunda lo selalu ada di saat-saat lo butuh kehadirannya.”

Lagi-lagi kalimat Saranita hanya dibalas anggukan oleh Aksara. Bukan juga karena Aksara muak dengan kalimatnya, ia hanya bingung untuk memberi tanggapan selain anggukan kepala. Tatapannya menerawang udara, berharap dengan pasti bahwa apa yang dikatakan oleh Saranita adalah sebuah kebenaran.

“Aksa, lo pernah bilang ke gue untuk bertahan sampai bagian akhir dalam perjalanan ini, kan?”

Lagi, Aksara mengangguk. Ia mengingat dengan pasti hari itu, dimana ia meminta Saranita untuk beristirahat ketika perempuan itu merasa lelah.

Saranita mengulum bibirnya, pandangannya teralin untuk melihat wajah Aksara dari sisi bagian kiri. “Malem itu gue mikir, kalau ternyata selama ini gue bukan mau nyerah sama keadaaan, gue cuma capek aja. Lo tahu? Setelah gue ngelewatin keadaan yang pada awalnya bikin gue mau nyerah, gue ngerasa kembali jatuh cinta sama hidup. Gue mikir, gimana jadinya kalau gue nyerah, ya? Mungkin gue enggak pernah bisa duduk di samping lo lagi dan ngomong kayak gini.”

Kini Aksara menolehkan wajah untuk menatap Saranita sepenuhnya. Kedua sudut bibir pria itu tiba-tiba saja terangkat tanpa dipinta, tersenyum untuk ungkapan bahwa setelah ini perempuan di sampingnya harus hidup dengan layak. Setidaknya, ia diam-diam berharap pada Semesta untuk mewujudkan seluruh keinginan Saranita-nya yang malang.

“Makasih, ya, Aksara.” Entah sudah berapa kali setelah mengenal Aksara, perempuan bersurai sebahu itu terus-menerus merasa beruntung karena sudah dipertemukan oleh sosok sepertinya.

Setelahnya, tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara. Keduanya membiarkan suasana Ibukota menjadi latar yang menguasai. Sampai pada akhirnya Saranita mengelus kedua tangannya sendiri, merasakan angin malam yang menusuk kulitnya. Kemudian Aksara melepas jaket hitam yang melekat pada daksanya, memakaikan bahan itu pada perempuan di sebelahnya. Tangannya bergerak di atas buku, menuliskan sesuatu seperti sebuah kalimat permintaan.

IMG-20210628-232815

Saranita mengangguk, “Lo enggak kedinginan?”

Sebenarnya angin malam ini terasa lebih dingin dari pada biasanya, namun entah apa yang membuat Aksara akhirnya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Saranita. Padahal tangannya bahkan terasa hampir kaku karena dinginnya embusan angin terasa begitu menusuk sampai bagian tulangnya. Aksara hanya tidak mau jika Saranita yang merasakan dingin luar biasa, biarkan dia saja.

“Gue lagi ada di fase dimana gue ada dalam keadaan yang netral setelah Ibu akhirnya nerima kalo Ayah pergi bawa Fina.” Saranita mengembuskan napas, berharap beban yang ada di punggungnya ikut lepas seiring ia mengeluarkan napasnya cukup lembut. “Tapi gue enggak pernah tahu apa yang terjadi di hari esok.” Lagi, Saranita menatap Aksara yang kini juga sedang menatapnya dari sisi sebelah kanan. “Lo tahu kalau Ibu enggak pernah bisa ketebak, kan, Aksa? Jadi, gue juga enggak pernah bisa nebak apa yang terjadi di hari selanjutnya.”

Hal pertama yang Aksara lakukan adalah dengan ragu melingkarkan tangannya di sekitar pundak Saranita, merengkuh daksa itu perlahan. Dengan gerakan yang begitu lembut Aksara membuat kepala Saranita jatuh tepat di bahu kirinya, meminta perempuan itu untuk sekedar menyalurkan beban yang ada. Tapi Saranita justru menengadah, menatap Aksara dari posisinya.

“Kalau ada hal yang mau diceritakan, cerita aja, ya, Sa?” Saranita terkekeh sumbang ketika ia menyadari satu hal—bahwa Aksara mirip sekali dengan dirinya yang dulu, dirinya yang selalu memendam seluruh rasa yang ada di dalam rongga dadanya, termasuk rasa sesak yang sampai detik ini selalu membuatnya muak. “Gue dulu tipikal orang yang enggak bisa cerita sama siapapun, karena gue enggak pernah bisa percaya sama siapapun. Tapi lama-kelamaan gue sadar, Sa. Gue enggak bisa bertahan sendirian dan akhirnya gue mulai cerita ke Nanda, tapi setelah ada lo, gue enggak pernah bisa nahan seluruh cerita gue ke lo.” Suaranya mengapung di udara, masuk ke dalam rungu Aksara yang menggunakan alat bantu. “Gue sadar kalau pada akhirnya Tuhan menciptakan manusia untuk saling membantu, saling mendengarkan kayak lo. Makasih, ya? Secara enggak sadar lo udah bikin gue berani ungkapin apa-apa yang gue rasain.”

Aksara terkekeh tanpa suara, setelah mengusap rambut Saranita dengan lembut ia menuliskan kalimatnya di atas buku.

IMG-20210628-232649

Kedua sudut bibir Saranita terangkat penuh. Entah sadar atau tidak, rasanya memang begitu nyaman jika harus duduk di samping Aksara.

MTMH-DOYOUNG

IMG-20210628-232623

Embusan angin yang menembus tulang pria itu.

tags-night-city-city-night-citycore-city-aesthetic-city-lights-aesthetic-night-aesthetic-grunge-grun

Jika ditanya tentang hal apa yang paling Saranita sukai di muka bumi, maka jawabannya adalah berbincang dengan Aksara. Perihal perlakuan sederhana pria itu, usahanya dalam menuliskan setiap huruf demi membalas kalimat tanya, senyumnya yang selalu terulas megah juga tawar untuk peluk yang terasa begitu hangat. Saranita menyukainya, semua perlakuan Aksara—tanpa ada kata kecuali. Karena rasanya seperti baru pertama kali ia lahir ke dunia, lalu ditawarkan dengan kasih sayang yang terasa begitu tulus dan memabukkan.

Setelah makan malam bersama di warung tenda sederhana pecal ayam di pinggir jalan, Aksara dan Saranita memutuskan untuk kembali ke rumah tanpa metro mini. Berjalan kaki di bawah langit malam kota Jakarta yang entah kenapa terasa begitu cerah, ditemani dengan embusan angin dingin yang kapan saja bisa menerpa keduanya.

Jemari Aksara tanpa permisi mengisi ruang di antara milik Saranita, menautkan dan memasukkan tangan perempuan berkaus putih tulang itu ke dalam saku jaketnya. Aksara hanya membalas tatapan bingung Saranita dengan senyum manisnya.

“Mau langsung pulang, Sa?” Langkahnya tidak berhenti, namun netranya tidak lepas dari pria di sampingnya.

Aksara menipiskan bibir, sebenarnya ia hanya ingin menghabiskan malam ini bersama Saranita. Pikiran Aksara kacau, siang tadi Ayah pulang—tentu saja dengan botol minuman berwarna hijau yang sampai detik ini tidak pernah ia tahu seperti apa rasanya. Ayah bilang bahwa ia sampai kapanpun tidak akan membiarkan Bagas buang-buang uang hanya demi membiayai Aksara kuliah. Sekarang bagi Ayah, Aksara hanya anak yang menyusahkan saja. Siang tadi Ayah bahkan bilang bahwa dulu ia mempertahankan Aksara hanya karena Bunda menyayanginya, bukan karena keinginan sendiri.

“Sa? Aksara?” Kali ini langkah Saranita berhenti, membuat Aksara mau tidak mau mengikuti setiap pergerakan perempuan itu. Ia membawanya duduk di kursi semen yang berada di pinggir jalan, menatap kendaraan yang berlalu-lalang walau hari semakin malam.

Ibukota memang tidak pernah beristirahat. Benar adanya. Malam itu Aksara hanya mengembuskan napas, genggaman tangan untuk Saranita tiba-tiba melemah saat tatapan gadis itu justru menusuknya dalam. Aksara tidak pernah mengerti kenapa setiap ia menatap Saranita tepat pada matanya, ingin sekali ia bercerita tentang apa yang terjadi pada harinya, persis seperti apa yang ia selalu lakukan kepada Bunda.

“Aksara, kenapa?” Saranita menggerakkan tangannya. Tatapan perempuan itu lembut, tidak menuntut dengan keras Aksara untuk segera menceritakan hal-hal yang terjadi.

Aksara segera mengeluarkan buku catatan dan penanya dari saku jaket. Tangannya mulai bergerak untuk menuliskan setiap huruf yang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Kini tatapannya beralih, meminta Saranita untuk segera membaca kalimat yang sudah ia tuliskan di atas bukunya.

IMG-20210628-232729

Saranita menghela, posisi duduknya berubah sesaat setelah ia membaca kalimat dari Aksara. Bukan itu yang Saranita mau, melainkan sebuah jawaban akan perasaan sederhana pria itu tentang hari ini, tentang perlakuan dunia untuknya.

Saranita menggeleng, “Bukan gue, tapi lo. Ada cerita apa hari ini?”

Tanya lembut yang keluar dari bibir merah muda Saranita dibiarkan menguar begitu saja di udara oleh Aksara. Pria berjaket hitam itu sama sekali tidak memiliki niat untuk membalas kalimatnya. Bukan karena Aksara tidak memercayai Saranita untuk menyimpan ceritanya, tapi karena Aksara sendiri tidak pernah mengerti bagaimana caranya bercerita tentang perasaanya setelah Bunda pergi.

IMG-20210628-232712

Kali ini Saranita terkekeh, ia menyodorkan buku catatan berwarna hijau itu kepada sang pemiliknya. Kuasa perempuan bersurai legam itu dengan ragu mengelus bahu Aksara dua kali, “Bunda orang yang berutung karena punya lo, Aksara.”

Aksara mengangguk satu kali, tatapannya kembali jatuh pada kendaraan yang berlalu-lalang, mengisi Jakarta walau sudah hampir larut. Pria itu menipiskan bibirnya, berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dengan seperti ini. Maksudnya, hidup dengan dihantui rasa bersalah kepada Bunda tentang hari itu.

“Sa, Bunda lo enggak pernah pergi.” Tangan Saranita terangkat, kemudian berlabuh tepat pada dada Aksara. “Dia selalu di sini, sampai kapanpun. Bunda lo selalu ada di saat-saat lo butuh kehadirannya.”

Lagi-lagi kalimat Saranita hanya dibalas anggukan oleh Aksara. Bukan juga karena Aksara muak dengan kalimatnya, ia hanya bingung untuk memberi tanggapan selain anggukan kepala. Tatapannya menerawang udara, berharap dengan pasti bahwa apa yang dikatakan oleh Saranita adalah sebuah kebenaran.

“Aksa, lo pernah bilang ke gue untuk bertahan sampai bagian akhir dalam perjalanan ini, kan?”

Lagi, Aksara mengangguk. Ia mengingat dengan pasti hari itu, dimana ia meminta Saranita untuk beristirahat ketika perempuan itu merasa lelah.

Saranita mengulum bibirnya, pandangannya teralin untuk melihat wajah Aksara dari sisi bagian kiri. “Malem itu gue mikir, kalau ternyata selama ini gue bukan mau nyerah sama keadaaan, gue cuma capek aja. Lo tahu? Setelah gue ngelewatin keadaan yang pada awalnya bikin gue mau nyerah, gue ngerasa kembali jatuh cinta sama hidup. Gue mikir, gimana jadinya kalau gue nyerah, ya? Mungkin gue enggak pernah bisa duduk di samping lo lagi dan ngomong kayak gini.”

Kini Aksara menolehkan wajah untuk menatap Saranita sepenuhnya. Kedua sudut bibir pria itu tiba-tiba saja terangkat tanpa dipinta, tersenyum untuk ungkapan bahwa setelah ini perempuan di sampingnya harus hidup dengan layak. Setidaknya, ia diam-diam berharap pada Semesta untuk mewujudkan seluruh keinginan Saranita-nya yang malang.

“Makasih, ya, Aksara.” Entah sudah berapa kali setelah mengenal Aksara, perempuan bersurai sebahu itu terus-menerus merasa beruntung karena sudah dipertemukan oleh sosok sepertinya.

Setelahnya, tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara. Keduanya membiarkan suasana Ibukota menjadi latar yang menguasai. Sampai pada akhirnya Saranita mengelus kedua tangannya sendiri, merasakan angin malam yang menusuk kulitnya. Kemudian Aksara melepas jaket hitam yang melekat pada daksanya, memakaikan bahan itu pada perempuan di sebelahnya. Tangannya bergerak di atas buku, menuliskan sesuatu seperti sebuah kalimat permintaan.

IMG-20210628-232815

Saranita mengangguk, “Lo enggak kedinginan?”

Sebenarnya angin malam ini terasa lebih dingin dari pada biasanya, namun entah apa yang membuat Aksara akhirnya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Saranita. Padahal tangannya bahkan terasa hampir kaku karena dinginnya embusan angin terasa begitu menusuk sampai bagian tulangnya. Aksara hanya tidak mau jika Saranita yang merasakan dingin luar biasa, biarkan dia saja.

“Gue lagi ada di fase dimana gue ada dalam keadaan yang netral setelah Ibu akhirnya nerima kalo Ayah pergi bawa Fina.” Saranita mengembuskan napas, berharap beban yang ada di punggungnya ikut lepas seiring ia mengeluarkan napasnya cukup lembut. “Tapi gue enggak pernah tahu apa yang terjadi di hari esok.” Lagi, Saranita menatap Aksara yang kini juga sedang menatapnya dari sisi sebelah kanan. “Lo tahu kalau Ibu enggak pernah bisa ketebak, kan, Aksa? Jadi, gue juga enggak pernah bisa nebak apa yang terjadi di hari selanjutnya.”

Hal pertama yang Aksara lakukan adalah dengan ragu melingkarkan tangannya di sekitar pundak Saranita, merengkuh daksa itu perlahan. Dengan gerakan yang begitu lembut Aksara membuat kepala Saranita jatuh tepat di bahu kirinya, meminta perempuan itu untuk sekedar menyalurkan beban yang ada. Tapi Saranita justru menengadah, menatap Aksara dari posisinya.

“Kalau ada hal yang mau diceritakan, cerita aja, ya, Sa?” Saranita terkekeh sumbang ketika ia menyadari satu hal—bahwa Aksara mirip sekali dengan dirinya yang dulu, dirinya yang selalu memendam seluruh rasa yang ada di dalam rongga dadanya, termasuk rasa sesak yang sampai detik ini selalu membuatnya muak. “Gue dulu tipikal orang yang enggak bisa cerita sama siapapun, karena gue enggak pernah bisa percaya sama siapapun. Tapi lama-kelamaan gue sadar, Sa. Gue enggak bisa bertahan sendirian dan akhirnya gue mulai cerita ke Nanda, tapi setelah ada lo, gue enggak pernah bisa nahan seluruh cerita gue ke lo.” Suaranya mengapung di udara, masuk ke dalam rungu Aksara yang menggunakan alat bantu. “Gue sadar kalau pada akhirnya Tuhan menciptakan manusia untuk saling membantu, saling mendengarkan kayak lo. Makasih, ya? Secara enggak sadar lo udah bikin gue berani ungkapin apa-apa yang gue rasain.”

Aksara terkekeh tanpa suara, setelah mengusap rambut Saranita dengan lembut ia menuliskan kalimatnya di atas buku.

IMG-20210628-232649

Kedua sudut bibir Saranita terangkat penuh. Entah sadar atau tidak, rasanya memang begitu nyaman jika harus duduk di samping Aksara.

MTMH-DOYOUNG

IMG-20210628-232623

Satu landasan sebagai alasan sederhana.

f-weasley

Aksara benar, perihal minggu pagi memang tidak akan pernah mengecewakan. Beberapa penghuni Ibu Kota biasanya akan pergi berlibur, menghabiskan waktu bersama keluarga. Lalu sebagian lainnya lebih memilih untuk sekedar meluruskan tubuh di kasur, menjauhkan diri dari setumpuk kertas yang menjadi pekerjaan mereka setiap hari. Aksara sendiri akan memilih opsi kedua setelah kepergian Bunda. Sebab tidak ada lagi yang akan mengajaknya pergi ke warung tenda pinggir jalan untuk sekedar sarapan lontong sayur selain Bunda.

Loh, Aksara? Sudah lama enggak datang ke sini, kemana aja?” Ibu si pemilik warung tersenyum ramah, kuasanya terangkat untuk mengelus tangan kanan Aksara dengan hangat. “Sudah satu tahun, lho. Bunda apa kabar?”

Kedua sudut bibir Aksara yang mulanya tersenyum penuh perlahan memudar, senyum manis itu seolah hanya singgah untuk sementara waktu tanpa ada niat menetap. Netranya bergerak ke sana-kemari, mencari sepenggal kata agar Ibu pemilik warung dapat mengalihkan arah pembicaraan.

“Bu, lontong sayurnya dua, ya. Punya saya sayurnya jangan terlalu banyak, punya Aksara seperti biasa. Nanti tolong diantar ke meja, ya, Bu.” Pelan-pelan Saranita menautkan jemarinya pada milik Aksara, menyalurkan sebuah ketenangan yang ia miliki. Karena Saranita tahu betul, Aksara terlihat tidak nyaman jika ditanya soal Bundanya yang telah tiada.

Setelah satu tahun tidak duduk di kursi kayunya, rasanya masih sama seperti saat pertama kali Aksara menginjakkan kakinta di warung tenda ini. Seperti Aksara ditarik kembali pada masa dimana Bunda masih bersamanya—di sisinya. Rasa rindu semakin menjadi-jadi ketika ia menyinggahi ke tempat-tempat kesukaan Bunda, membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Ada sesak di dalam dada ketika menyadari bahwa Bunda memang sudah benar-benar pergi, tidak ada lagi di Dunia ini walau ia mencarinya sampai pada bagian ujung.

“Aksa,” Tangan Saranita terangkat untuk menyentuh bahu Aksara yang hanya menatap lurus ke depan, tatapan yang kosong dan tidak memiliki arti. “Aksara, lo baik-baik aja?”

Menyadari ada tangan yang mendarat di bahunya, Aksara tersenyum kecil diiringi dengan anggukan kepala. Kendati ia menyatakan bahwa tidak ada apa-apa, Saranita tetap mengambil jemari Aksara untuk digenggam, memberi pria itu satu kekuatan yang ia sendiri tidak pernah tidak bisa mengartikannya. Pada posisi yang sama, jempol Aksara bergerak untuk mengelus lembut punggung tangan Saranita, sebab ia tahu bahwa perempuan itu sedang mengkhawatirkannya.

“Sa, maaf, ya?”

Aksara menipiskan bibir, ia mengambil buku catatan dan pulpen yang selalu ada di dalam saku celana. Tangannya bergerak perlahan, menuliskan kata demi kata menjadi sebuah kalimat yang cukup membuat Saranita merasa sedikit lega.

IMG-20210623-005603

Perempuan berkaus abu itu tersenyum, anggukan kepala juga diberikannya untuk Aksara. Entah kenapa, tapi ada rasa hangat bersamaan dengan darah yang menjalar di seluruh bagian tubuh Saranita. Terlebih saat Aksara mengangkat senyumnya selebar Dunia, Saranita rasanya ingin menyimpan senyum itu di bagian nadinya.

“Aksara, lo ada mau minta sesuatu dari gue, enggak?” Saranita mengangkat kuasanya ketika ada angin lembut yang menerpa, membuat surai pria itu jatuh ke bagian dahinya.

Aksara mengangguk tentu saja. Bukan apa-apa, ia sebenarnya tidak ada permintaan lebih selain meminta Saranita untuk tetap berada bersamanya. Tapi karena Bunda, Aksara menyadari satu hal bahwa setiap orang akan pergi—entah apapun alasannya. Kuasa Aksara terangkat, kembali menuliskan kalimatnya.

IMG-20210623-005737

Saranita menelan salivanya, kemudian tersenyum manis sambil mengangguk setuju. Perlahan perempuan bersurai pekat itu memejamkan netra, disambut dengan gelap yang ada di dalam. Napasnya tercekat dua detik ketika kuasa Aksara perlahan berlabuh pada matanya, diusapnya pelan dengan jemari yang indah selama satu menit. Entah apa yang terjadi, tapi tiba-tiba Saranita menangis, matanya mengeluarkan cairan bening yang membuat jemari Aksara bergetar.

Aksara tidak suka jika mata itu bersedih, cahayanya hilang begitu saja seperti lenyap ditelan keadaan.

“Aksa,” Suara Saranita bergetar, kuasanya terangkat untuk mengambil alih jemari Aksara yang masih berlabuh di wajahnya. “Maaf.”

Aksara tersenyum manis, mengangguk sambil meyakinkan Saranita bahwa ini semua bukanlah salahnya. Sebab Bunda sendiri yang meminta kornea itu didonasikan bagi mereka yang membutuhkan.

Ibu pemilik warung tenda tersenyum kecil, merasa bangga pada Saranita karena sudah bersedia membagi waktunya untuk Aksara. Hatinya menghangat ketika tatapannya jatuh pada setiap pergerakan kedua remaja itu. Bahkan orang lain pun bisa merasakan bagaimana kehangatan yang terpancar dari keduanya, kan?

Saranita menghapus air matanya, kemudian mengambil mangkuk lontong sayur yang baru saja diletakkan oleh Ibu pemilik warung. Perempuan itu tersenyum sumringah, “Selamat sarapan, Aksara!”

Aksara mengangguk, kemudian menyeruput air mineral yang sebelumnya sudah ia tuang dari teko berwarna putih. Netranya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Saranita, dari cara perempuan itu memasukkan makanan ke dalam mulutnya sampai bagaimana ia mengunyahnya dalam diam. Seluruhnya. Aksara jatuh hati pada seluruh yang Saranita lakukan. Tidak ada yang tersisa, hanya ada rasa luar biasa yang Aksara sendiri tidak tahu bagaimana cara mengekspresikannya.

Sarapan menghabiskan waktu dua puluh lima menit, pagi ini Aksara membawa Saranita ke taman komplek yang di pusatnya terdapat sebuah danau. Mereka duduk di bagian pinggir danau, beralaskan rumput hijau dan daun-daun yang jatuh dari pohon. Rasanya begitu sejuk, sampai-sampai Saranita menarik napas sampai dadanya terasa sesak beberapa kali, kemudian mengembuskannya dengan keras—berharap beban yang ada di punggungnya ikut keluar bersamaan dengan embusan itu.

“Gue mau jadi matahari, biar bisa menyinari hidup manusia yang selalu kegelapan.”

Aksara menepuk pelan tangan Saranita, memberikan buku catatannya pada perempuan itu dengan senyum yang begitu manis.

IMG-20210623-005721

Saranita menatap matahari yang sudah mulai menampakkan sinarnya. Kemudian ia menatap Aksara dengan alis yang bertaut, “Aksa, gue mau jadi matahari karena terus bersinar bagaimanapun keadaannya.”

Aksara terkekeh tanpa suara, kuasanya mulai bergerak untuk menuliskan sesuatu.

IMG-20210623-005704

Saranita diam, ia bingung. Perempuan itu tidak menyangka bahwa Aksara justru memberikan sebuah kalimat tanya yang membuat pikirannya buntu. Padahal dulu ia selalu ingin hidup seperti matahari, bersinar bagaimanapun keadaannya sampai lupa kalau matahari juga bisa lenyap ketika hujan menguasai Bumi.

IMG-20210623-005644

Saranita mengerinyit, lagi-lagi dibuat bingung. “Kenapa?”

Senyum manis memang tidak pernah lepas dari wajah Aksara, bagaimanapun keadaaanya. Bahkan ketika pria itu sedang fokus pada penanya, senyum itu masih hadir membuat seri manis di wajah. Senyum Aksara diam-diam membuat Saranita menyadari banyak hal, salah satunya untuk tetap tersenyum walau rasanya dunia benar-benar tidak adil.

IMG-20210623-005630

Bagi Saranita, Aksara memang tidak pernah mengecewakan seperti setiap minggu pagi. Kalimat pria itu selalu membuat hatinya menghangat tanpa ada detik yang terlewatkan. Duduk berdua dengan Aksara, dimana dan kapan pun rasanya begitu istimewa.

Kalian tahu karena apa? Karena dia Aksara.

“Aksara, lo pernah mau lenyap dari dunia?” Saranita menatap lurus ke arah danau. Tidak tahu apa yang menjadi pusat perhatiannya, tatapan itu seperti tatapan kosong yang melanda.

Dari kalimat tanya-nya, Aksara menyadari satu hal; Saranita memang punya keinginan sebesar Dunia untuk melenyapkan dirinya sendiri pada lautan lepas. Aksara menerka, Saranita mungkin sedang berada pada titik dimana ia merasa lelah dan tidak adil. Untuk pertanyaan kali ini, sejujurnya Aksara tidak tahu jawaban atas pertanyaan yang lain. Karena Aksara tidak pernah merasa ingin lenyap, kecuali ketika hari dimana Bunda pergi meninggalkan.

Saranita menoleh, ia sadar bahwa Aksara hanya diam dan menatap sisi wajah sebelah kirinya. “Enggak pernah, ya?”

Aksara diam, pria berkaus hitam itu bingung.

“Gue mau nyerah ngehadapin dunia. Gue kadang ngerasa kalau enggak punya alasan lagi untuk bertahan.” Saranita memejamkan mata, menikmati semilir angin yang menyapu wajahnya dengan tenang. Perempuan itu perlahan merebahkan daksanya di atas rumput yang tidak seluruhnya berwarna hijau. “Aksa, bisa kasih satu gue alasan untuk bertahan?”

Aksara masih diam di tempatnya, ia bukan tidak tahu alasan sederhana apa yang harus ia berikan ke Saranita. Aksara hanya sedang berpikir mengenai satu hal: Saranita tidak tertarik padanya, lalu bagaimana perempuan itu menuruti satu alasan sederhana yang akan Aksara berikan?

“Bingung, kan, Sa?” Saranita terkekeh, namun matanya tetap terpejam. Sampai pada akhirnya ia merasakan ada kertas di atas tangannya.

IMG-20210623-005614

Perempuan berkaus abu itu bangun dari posisinya, ia menatap Aksara tepat pada netranya. Saranita hampir saja terbahak karena kalimat yang ditulis oleh Aksara. Tapi ada benarnya, Saranita harus bertahan demi hal sederhana—bahwa di surga nanti tidak yang bisa membuat seblak seperti Mang Surya.

“Sa, alasan yang lo kasih mungkin terkesan sederhana, tapi gue suka. Makasih, ya?”

Aksara tersenyum lembut, jarinya bergerak untuk merapihkan anak rambut Saranita, menyelipkannya ke daun telinga agar tidak ada lagi yang menghalangi wajah cantik perempuan itu.

“Sa, alasan yang lo kasih sederhana. Tapi boleh gue buat semakin sederhana lagi?” Bolamata Saranita bergerak, ia takut kalau jawabannya nanti akan membuat Aksara merasa tidak nyaman.

Aksara diam, menunggu kalimat Saranita selanjutnya.

“Lo mau jadi alasan gue untuk tetap bertahan, kan?”

Tidak pernah disangka karena begitu menakutkan akan sebuah jawaban dari perasaan Saranita. Aksara hanya melebarkan senyumnya, mengangguk sebagai jawaban pasti.

Satu hari dan hari-hari lainnya mulai sekarang, Saranita memiliki Aksara sebagai landasan alasan untuk bertahan.

mark-lee-on-yt-dream-a-dream-photoshoot-behind