Embusan angin yang menembus tulang pria itu.
Jika ditanya tentang hal apa yang paling Saranita sukai di muka bumi, maka jawabannya adalah berbincang dengan Aksara. Perihal perlakuan sederhana pria itu, usahanya dalam menuliskan setiap huruf demi membalas kalimat tanya, senyumnya yang selalu terulas megah juga tawar untuk peluk yang terasa begitu hangat. Saranita menyukainya, semua perlakuan Aksara—tanpa ada kata kecuali. Karena rasanya seperti baru pertama kali ia lahir ke dunia, lalu ditawarkan dengan kasih sayang yang terasa begitu tulus dan memabukkan.
Setelah makan malam bersama di warung tenda sederhana pecal ayam di pinggir jalan, Aksara dan Saranita memutuskan untuk kembali ke rumah tanpa metro mini. Berjalan kaki di bawah langit malam kota Jakarta yang entah kenapa terasa begitu cerah, ditemani dengan embusan angin dingin yang kapan saja bisa menerpa keduanya.
Jemari Aksara tanpa permisi mengisi ruang di antara milik Saranita, menautkan dan memasukkan tangan perempuan berkaus putih tulang itu ke dalam saku jaketnya. Aksara hanya membalas tatapan bingung Saranita dengan senyum manisnya.
“Mau langsung pulang, Sa?” Langkahnya tidak berhenti, namun netranya tidak lepas dari pria di sampingnya.
Aksara menipiskan bibir, sebenarnya ia hanya ingin menghabiskan malam ini bersama Saranita. Pikiran Aksara kacau, siang tadi Ayah pulang—tentu saja dengan botol minuman berwarna hijau yang sampai detik ini tidak pernah ia tahu seperti apa rasanya. Ayah bilang bahwa ia sampai kapanpun tidak akan membiarkan Bagas buang-buang uang hanya demi membiayai Aksara kuliah. Sekarang bagi Ayah, Aksara hanya anak yang menyusahkan saja. Siang tadi Ayah bahkan bilang bahwa dulu ia mempertahankan Aksara hanya karena Bunda menyayanginya, bukan karena keinginan sendiri.
“Sa? Aksara?” Kali ini langkah Saranita berhenti, membuat Aksara mau tidak mau mengikuti setiap pergerakan perempuan itu. Ia membawanya duduk di kursi semen yang berada di pinggir jalan, menatap kendaraan yang berlalu-lalang walau hari semakin malam.
Ibukota memang tidak pernah beristirahat. Benar adanya. Malam itu Aksara hanya mengembuskan napas, genggaman tangan untuk Saranita tiba-tiba melemah saat tatapan gadis itu justru menusuknya dalam. Aksara tidak pernah mengerti kenapa setiap ia menatap Saranita tepat pada matanya, ingin sekali ia bercerita tentang apa yang terjadi pada harinya, persis seperti apa yang ia selalu lakukan kepada Bunda.
“Aksara, kenapa?” Saranita menggerakkan tangannya. Tatapan perempuan itu lembut, tidak menuntut dengan keras Aksara untuk segera menceritakan hal-hal yang terjadi.
Aksara segera mengeluarkan buku catatan dan penanya dari saku jaket. Tangannya mulai bergerak untuk menuliskan setiap huruf yang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Kini tatapannya beralih, meminta Saranita untuk segera membaca kalimat yang sudah ia tuliskan di atas bukunya.
Saranita menghela, posisi duduknya berubah sesaat setelah ia membaca kalimat dari Aksara. Bukan itu yang Saranita mau, melainkan sebuah jawaban akan perasaan sederhana pria itu tentang hari ini, tentang perlakuan dunia untuknya.
Saranita menggeleng, “Bukan gue, tapi lo. Ada cerita apa hari ini?”
Tanya lembut yang keluar dari bibir merah muda Saranita dibiarkan menguar begitu saja di udara oleh Aksara. Pria berjaket hitam itu sama sekali tidak memiliki niat untuk membalas kalimatnya. Bukan karena Aksara tidak memercayai Saranita untuk menyimpan ceritanya, tapi karena Aksara sendiri tidak pernah mengerti bagaimana caranya bercerita tentang perasaanya setelah Bunda pergi.
Kali ini Saranita terkekeh, ia menyodorkan buku catatan berwarna hijau itu kepada sang pemiliknya. Kuasa perempuan bersurai legam itu dengan ragu mengelus bahu Aksara dua kali, “Bunda orang yang berutung karena punya lo, Aksara.”
Aksara mengangguk satu kali, tatapannya kembali jatuh pada kendaraan yang berlalu-lalang, mengisi Jakarta walau sudah hampir larut. Pria itu menipiskan bibirnya, berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dengan seperti ini. Maksudnya, hidup dengan dihantui rasa bersalah kepada Bunda tentang hari itu.
“Sa, Bunda lo enggak pernah pergi.” Tangan Saranita terangkat, kemudian berlabuh tepat pada dada Aksara. “Dia selalu di sini, sampai kapanpun. Bunda lo selalu ada di saat-saat lo butuh kehadirannya.”
Lagi-lagi kalimat Saranita hanya dibalas anggukan oleh Aksara. Bukan juga karena Aksara muak dengan kalimatnya, ia hanya bingung untuk memberi tanggapan selain anggukan kepala. Tatapannya menerawang udara, berharap dengan pasti bahwa apa yang dikatakan oleh Saranita adalah sebuah kebenaran.
“Aksa, lo pernah bilang ke gue untuk bertahan sampai bagian akhir dalam perjalanan ini, kan?”
Lagi, Aksara mengangguk. Ia mengingat dengan pasti hari itu, dimana ia meminta Saranita untuk beristirahat ketika perempuan itu merasa lelah.
Saranita mengulum bibirnya, pandangannya teralin untuk melihat wajah Aksara dari sisi bagian kiri. “Malem itu gue mikir, kalau ternyata selama ini gue bukan mau nyerah sama keadaaan, gue cuma capek aja. Lo tahu? Setelah gue ngelewatin keadaan yang pada awalnya bikin gue mau nyerah, gue ngerasa kembali jatuh cinta sama hidup. Gue mikir, gimana jadinya kalau gue nyerah, ya? Mungkin gue enggak pernah bisa duduk di samping lo lagi dan ngomong kayak gini.”
Kini Aksara menolehkan wajah untuk menatap Saranita sepenuhnya. Kedua sudut bibir pria itu tiba-tiba saja terangkat tanpa dipinta, tersenyum untuk ungkapan bahwa setelah ini perempuan di sampingnya harus hidup dengan layak. Setidaknya, ia diam-diam berharap pada Semesta untuk mewujudkan seluruh keinginan Saranita-nya yang malang.
“Makasih, ya, Aksara.” Entah sudah berapa kali setelah mengenal Aksara, perempuan bersurai sebahu itu terus-menerus merasa beruntung karena sudah dipertemukan oleh sosok sepertinya.
Setelahnya, tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara. Keduanya membiarkan suasana Ibukota menjadi latar yang menguasai. Sampai pada akhirnya Saranita mengelus kedua tangannya sendiri, merasakan angin malam yang menusuk kulitnya. Kemudian Aksara melepas jaket hitam yang melekat pada daksanya, memakaikan bahan itu pada perempuan di sebelahnya. Tangannya bergerak di atas buku, menuliskan sesuatu seperti sebuah kalimat permintaan.
Saranita mengangguk, “Lo enggak kedinginan?”
Sebenarnya angin malam ini terasa lebih dingin dari pada biasanya, namun entah apa yang membuat Aksara akhirnya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Saranita. Padahal tangannya bahkan terasa hampir kaku karena dinginnya embusan angin terasa begitu menusuk sampai bagian tulangnya. Aksara hanya tidak mau jika Saranita yang merasakan dingin luar biasa, biarkan dia saja.
“Gue lagi ada di fase dimana gue ada dalam keadaan yang netral setelah Ibu akhirnya nerima kalo Ayah pergi bawa Fina.” Saranita mengembuskan napas, berharap beban yang ada di punggungnya ikut lepas seiring ia mengeluarkan napasnya cukup lembut. “Tapi gue enggak pernah tahu apa yang terjadi di hari esok.” Lagi, Saranita menatap Aksara yang kini juga sedang menatapnya dari sisi sebelah kanan. “Lo tahu kalau Ibu enggak pernah bisa ketebak, kan, Aksa? Jadi, gue juga enggak pernah bisa nebak apa yang terjadi di hari selanjutnya.”
Hal pertama yang Aksara lakukan adalah dengan ragu melingkarkan tangannya di sekitar pundak Saranita, merengkuh daksa itu perlahan. Dengan gerakan yang begitu lembut Aksara membuat kepala Saranita jatuh tepat di bahu kirinya, meminta perempuan itu untuk sekedar menyalurkan beban yang ada. Tapi Saranita justru menengadah, menatap Aksara dari posisinya.
“Kalau ada hal yang mau diceritakan, cerita aja, ya, Sa?” Saranita terkekeh sumbang ketika ia menyadari satu hal—bahwa Aksara mirip sekali dengan dirinya yang dulu, dirinya yang selalu memendam seluruh rasa yang ada di dalam rongga dadanya, termasuk rasa sesak yang sampai detik ini selalu membuatnya muak. “Gue dulu tipikal orang yang enggak bisa cerita sama siapapun, karena gue enggak pernah bisa percaya sama siapapun. Tapi lama-kelamaan gue sadar, Sa. Gue enggak bisa bertahan sendirian dan akhirnya gue mulai cerita ke Nanda, tapi setelah ada lo, gue enggak pernah bisa nahan seluruh cerita gue ke lo.” Suaranya mengapung di udara, masuk ke dalam rungu Aksara yang menggunakan alat bantu. “Gue sadar kalau pada akhirnya Tuhan menciptakan manusia untuk saling membantu, saling mendengarkan kayak lo. Makasih, ya? Secara enggak sadar lo udah bikin gue berani ungkapin apa-apa yang gue rasain.”
Aksara terkekeh tanpa suara, setelah mengusap rambut Saranita dengan lembut ia menuliskan kalimatnya di atas buku.
Kedua sudut bibir Saranita terangkat penuh. Entah sadar atau tidak, rasanya memang begitu nyaman jika harus duduk di samping Aksara.