TetehnyaaJisung

Sewu rasa yang bersorak-sorai untuk Aksara.

98dd702f-36b6-4de1-bd05-5c097073841b

Entah sudah berapa langkah yang membawa Saranita berdiri di ujung jalan seperti ini. Netranya memindai jalan raya yang sepi entah kenapa. Mungkin karena suasana kota jauh lebih dingin kali ini, akibat hujan yang turun sore tadi. Gadis itu berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti langkah kaki yang membawanya pergi. Saranita hanya tidak ingin berada di rumah, kepalanya begitu berisik ditambah lagi oleh Ibu yang akhir-akhir ini sering memakinya tanpa sebab.

Helaan nafas keluar begitu saja, bersamaan dengan angin malam yang berembus sampai menusuk tulangnya. Saranita tidak pernah mengerti bagaimana cara Semesta bekerja, seolah mempermainkan hidupnya yang tidak memiliki arah.

“Sar, Sar. Hujan badai kemarin-kemarin bisa lo lewatin, masa pas ada ujian kecil kaya gerimis gini lo malah ngeluh, sih?” desisnya pada diri sendiri. Pikiran gadis itu berantakan, terlalu banyak hal-hal yang membuatnya semakin kebingungan belakangan ini.

Terlebih perihal Aksara dan penyakitnya yang baru saja Saranita tahu, daksanya mendadak kaku. Langkahnya berhenti tepat di depan halte bus yang sudah gelap. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya ada Saranita dan kesendiriannya. Pikirannya mengapung di udara, jiwanya terasa mati rasa.

Alzheimer.

Nama penyakit yang asing di telinga gadis itu. Bahkan, baru pertama kali Saranita tahu keberadaan penyakit itu di dunia. Ia tidak tahu apa penyebabnya dan bagaimana cara pengobatanya, tapi sukmanya berteriak bahwa Aksara pasti sembuh.

Diam-diam tangan Saranita bergerak untuk mengambil ponselnya dari saku celana. Netranya beralih, terlebih saat ada pesan masuk dari Aksara—entah kenapa menjadi manusia yang paling ingin Saranita hindari malam ini.

Saranita bersandar di halte bus, memejam dan mengatur nafasnya yang entah sejak kapan menjadi berantakan. Bahunya bergerak naik-turun seiring nafas yang memburu karena tiba-tiba detak jantungnya berpacu dengan cepat. Emosi Saranita berada di puncak kepala, ia ingin memukul Aksara jika saja pria itu ada di hadapannya.

Seperti ada yang mendengar desisan-desisan yang hanya ia lontarkan dalam hati. Wangi yang tidak asing kinu menyeruak masuk ke dalam indera penciuman Saranita, bersamaan dengan suara langkah kaki yang kian mendekat. Kendati begitu, gadis berkaus putih itu tetap memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya pada tiang halte.

“Gue enggak bilang mau ditemenin sama lo.” ucap Saranita dengan nada bicara yang lembut. Jiwanya sudah mendadak lumpuh, ia tidak bisa apa-apa karena terlalu lelah.

Malam itu Aksara terkekeh tanpa suara dan tanpa sepengetahuan Saranita. Netranya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan gadis di hadapannya, sebab ia ingin membaca gerak bibir dan mengerti setiap kata yang dilontarkan. Setelah menyadari bahwa Saranita sedikit tidak nyaman atas kehadirannya, sebisa mungkin Aksara tidak mengeluarkan suara di setiap pergerakannya. Niatnya untuk menggenggam jemari Saranita diredam begitu saja saat ia menyadari bahwa kehadirannya hanya sebagai pengganggu.

Tiba-tiba Saranita membuka mata setelah beberapa menit membiarkan keheningan mengambil alih di antara keduanya. Tatapan matanya yang lembut berlabuh pada wajah Aksara yang sangat dekat. Bisa-bisanya pria itu membuat pipi Saranita memanas. Jarak antara wajahnya dengan Aksara membuat gadis bersurai legam itu hampir gila sepertinya.

“Jangan bikin gue—” Kalimatnya menggantung ketika Aksara tanpa aba mengangkat kedua sudut bibirnya, membentuk setengah bulan yang sempurna.

Jangan bikin gue terus-terusan jatuh cinta sama lo, Aksara.” Sayangnya kalimat itu tidak mampu keluar dari bibir Saranita, hanya tercekat di dalam tenggerokan yang membuat gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam. Perasaanya pada Aksara seperti jalan berbatu yang susah payah ia lalui demi sebuah keyakinan yang sempurna. Tapi rasanya, Aksara adalah jawaban yang buntu dan membuat Saranita berdiri dalam sebuah angan.

Buku catatan kecil yang mendarat di atas pangkuan membuat Saranita terkejut. Sebelum membaca kalimat di atas buku bersampul hijau itu Saranita menatap Aksara lebih dulu. Pria itu sedang tersenyum dengan ikhlas, pancaran matanya begitu bening yang membuat Saranita diam-diam tenggelam ke dalamnya.

Maaf, ya? Saya enggak bermaksud bohongi kamu. Saya cuma enggak mau kamu terluka, Sara.

Saranita tidak tahu berapa lapis kebaikan yang Tuhan ciptakan dalam diri pria di hadapannya. Seharusnya ia mengkhawatirkan dirinya sendiri karena penyakit yang tiba-tiba ada di dalam dirinya. Tapi ia justru mengkhawairkan orang lain, terlebih Saranita. Walaupun Saranita tahu kalau pria itu akan memprioritaskannya lebih dari apapun.

“Lo bakal sembunyiin rasa sakit lo berapa lama lagi, Sa?” tanya Saranita telak. Gadis itu merasa bersalah karena pernah merasa begitu beruntung ketika ia memiliki Aksara yang selalu mengerti bagaimana dirinya. Tanpa sadar, Saranita lupa kalau pria itu juga memiliki sebuah luka yang hampir tidak pernah ia ketahui.

Aksara merasa kalah dengan kalimat tanya yang dilontarkan gadis di depannya. Ia sudah terbiasa hidup dengan pasrah, tidak ingin membagi rasa sakitnya pada siapapun.

“Berapa banyak hari lagi yang bakalan lo lewatin sendirian, Sa?” Saranita hilang kendali, ia membentak Aksara dengan pertanyaan yang sebenarnya membuat hati gadis itu terluka juga. “Terus kalau akhirnya—” Gadis itu menghela, kalimatnya tergantung begitu saja saat netranya bertemu dengan milik Aksara. “—kalau akhirnya Tuhan enggak izinin lo hidup lebih lama, lo tega biarin gue hidup dalam penyesalan? Lo tega, Aksara?”

Daksa milik Aksara mendadak kaku ketika ia membaca pergerakan bibir Saranita. Netranya bergerak ke sana-sini, berharap air mata sialan itu tidak jatuh pada detik yang sama saat Saranita menatapnya. Dalam otak Aksara hanya tergambar bagaimana Saranita menangis dengan pilu dan terluka ketika ia pergi tanpa aba. Akhirnya ia menyadari satu hal, bahwa kepergian tanpa kata bukanlah sesuatu yang dengan mudah diterima.

“Gue enggak peduli seberapa banyak nantinya lo bakalan lupa sama gue, sama segala sesuatu tentang gue. Tapi tolong ....” Suara Saranita tiba-tiba saja melemah. Air mata gadis itu sudah membasahi bagian pipinya. “Tolong jangan pernah pergi. Jangan pernah tinggalin gue. Jangan pernah—”

Belum selesai Saranita menyelesaikan kalimatnya tapi Aksara dengan cepat membawa daksa gadis itu untuk masuk ke dalam pelukan. Pria tanpa suara itu berkali-kali meraup udara dengan rakus agar rasa sesak di dalam dadanya tergantikan. Jika bisa, maka Aksara akan menyampaikan kalimat-kalimat penenang untuk gadis kesayangannya. Tangannya terangkat untuk mengelus punggung Saranita lembut, namun ketika jemarinya berlabuh pada punggung itu, ia mendengar rintihan kecil keluar dari bibir Saranita.

“Jangan dipegang!” kata Saranita, segera menjauh dari Aksara yang justru menatapnya kebingungan. Gadis itu dengan cepat menghapus jejak air mata dari wajahnya, kemudian tersenyum kecil. “Tadi gue jatuh di rumah.”

Aksara bukan tipikal pria yang mudah percaya begitu saja. Dengan cepat tangannya beralih untuk mengambil buku catatan juga pena yang sempat terhempas di atas kursi begitu saja.

Saya lihat lukanya, boleh? Setelah itu diobati.

Netra Saranita beralih sesaat setelah ia membaca kalimat di atas kertas putih itu. Kemudian gadis itu menggeleng, “Ini beberapa hari juga sembuh, Aksa. Kita ngobrolin tentang lo aja, ya? Tolong, satu kali ini aja jangan pernah menghindar dari pertanyaan-pertanyaan gue tentang lo.”

Andai saja gadis itu tahu seberapa banyak rasa khawatir di dalam diri Aksara tentangnya dan luka lebam yang berada di bagian tubuh gadis itu. Mungkin ia tidak akan menolak untuk diobati karena rasanya hampir ingin menangis saja melihat Saranita tidak baik-baik saja.

Saya lihat lukanya dulu, ya? Setelah itu saya ceritakan semuanya. Tanpa tersisa.

Saranita tahu kalau Aksara adalah sosok pemaksa. Pria itu bahkan memaksa masuk ke dalam hatinya yang bahkan sudah terikat dengan rantai, digembok dan kuncinya hilang entah ke mana. Jadi, mau atau tidak mau, Saranita mengangguk. Pelan-pelan gadis itu mengubah posisi duduknya untuk membelakangi Aksara, kemudian membiarkan pria itu melihat lebam akibat pukulan Ibu dengan penggaris besi di bagian leher belakangnya.

Netra Aksara langsung membelalak begitu melihat goresan panjang yang sepertinya akan terasa begitu perih ketika ia tuang alkohol ke dalamnya. Otak pria itu berputar, mencari cara agar Saranita tidak merasa sakit ketika ia menyentuh luka itu. Aksara sama sekali tidak membiarkan Saranita merasa sakit pun lebih terluka. Alih-alih mengambil kapas dan alkohol untuk membersihkan luka Saranita, pria itu justru mengambil catatan juga penanya.

Ini kena apa?

Ketika buku itu sampai pada tangan Saranita, gadis itu kembali memutarbalik tubuhnya. “Jatuh, Aksa.”

Tatapan Aksara tidak beralih seolah tahu kalau ada yang disembunyikan oleh gadis itu. Tangannya kembali bergerak untuk mengisi lembaran di buku catatan.

IMG-20210813-203559

Saranita terkekeh. Ia ingat betul bagaimana rasa perih yang menjalar di bagian punggungnya ketika penggaris besi milik Fina dihantamkan oleh Ibu. Begitu perih walau semuanya teredam ketika ia mendapati amarah Ibu tiba-tiba lenyap begitu saja.

“Tadi enggak sengaja kegores penggaris besi sama Ibu.” balasnya.

Saranita tidak pernah mengerti kenapa Ibu selalu melempar benda di hadapannya ketika ia sedang marah. Kemudian ketika benda itu mengenai Saranita, maka amarah Ibu akan redam dengan sendirinya. Wanita itu justru berjalan mendekat ke arah Saranita, berulang kali meminta maaf karena tidak sengaja.

Awalnya Saranita pikir memang begitu, Ibu tidak sengaja. Tapi setelah berulang kali ia menghadapi amarah Ibu setelah ditinggal oleh Ayah, wanita itu benar-benar sulit dimengerti.

IMG-20210813-184426

Kedua sudut bibir Saranita terangkat sempurna. “Lo tahu kalau gue perempuan yang kuat, kan? Ayo, katanya mau obatin gue.” Kemudian langsung bergerak untuk membelakangi Aksara lagi.

Dengan pergerakan yang begitu hati-hati Aksara membersihkan luka di belakang leher gadis itu. Diam-diam ia berterima kasih pada Ayah yang membuatnya harus membawa kotak obat ke mana-mana untuk mengobati lukanya sendiri ketika Ayah sedang tidak bisa mengontrol emosinya.

Beberapa menit keheningan menguasai keadaan. Saranita diam-diam menahan rasa perih ketika Aksara perlahan menutup lukanya dengan perban. Ini sudah pukul dua pagi, rasa kantuk tiba-tiba menguasai diri gadis itu. Berkali-kali ia menahan dirinya untuk tetap sadar, membuat Aksara berkali-kali juga terkekeh tanpa suara.

IMG-20210813-184136

Aksara membuka jaket hitamnya setelah buku catatan itu mendarat di pangkuan Saranita. Pria yang sekarang hanya dibalut dengan kaus hitam berlengan pendek itu membantu Saranita memakai jaketnya, kemudian berjongkok di hadapan Saranita tanpa dipinta.

Perlakuan Aksara memang sederhana, tapi mampu membuat Saranita harus menjatuhkan rasanya berkali-kali pada pria itu dengan cara yang istimewa.

Tutup telinga.

Ini empat sore. Sakit karena tiba-tiba kena serangan anak-anak yang sedang mengadu nyawa akhirnya dapat ditaklukan oleh senyum Aksara yang saat ini terlukis dengan jelas di wajahnya. Pria itu dengan hati-hati menuangkan alkohol di atas kapas lalu membersihkan luka milik Saranita. Alih-alih berteriak karena rasa sakit, gadis itu justru melabuhkan pandangannya pada wajah tampan milik Aksara.

“Ganteng banget.” katanya tanpa sengaja. Masih belum menyadari kata apa yang keluar dari bibirnya, senyum manis itu masih bertengger dengan sempurna di wajahnya.

“Woi!” Teriakan itu datang bersamaan dengan gebrakan meja dari Nugraha yang datang bersama Ananda.

Saranita terkejut bukan main, jantungnya seperti akan berhenti berdetak saat itu juga sebelum netranya mendapati Nugraha yang sedang terbahak sambil mengambil gorengan di atas meja. “Kalo gue mati, gimana?! Dateng itu salam, bukan gebrak meja. Kelakuan lo kaya Abu Lahab aja.”

Tanpa ada rasa bersalah, Nugraha justru sibuk mengambil satu kursi untuk duduk di samping Saranita. “Katanya lo enggak ikut?”

“Ya, emang enggak.” jawab Saranita ketus.

“Terus kenapa bisa babak belur kaya gini?” Kini gantian, Ananda yang mengambil alih segala pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di dalam kepala Nugraha. Pria berjaket hijau itu menatap Saranita tajam, berharap mendapat sebuah jawaban atas pertanyaannya.

Helaan nafas keluar begitu saja dari bibir Saranita. Pandangannya kini teralih, tidak lagi menatap wajah Aksara dengan senyum manisnya. Netra kecokelatan itu berlabuh pada Nugraha dan Ananda bergantian.

“Gue lagi beli gorengan di samping Titan, enggak pakai jaket. Terus diserang gitu aja. Mungkin mereka kenal sama muka gue.” jelas Saranita tanpa minat. Gadis itu terlalu malas kalau sudah berhadapan dengan Ananda, pria itu selalu menyuguhinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tidak ingin Saranita berikan jawabannya.

“Terus tadi lo udah ke ruang konseling karena kejadian tempo hari?” tanya Ananda lagi.

Bolamata Saranita bergerak memutar, sebelum akhirnya berlabuh pada Aksara yang melemparkan tatapan kalau pria itu butuh sebuah penjelasan. Bahu Saranita terangkat malas, “Udah. Gue juga udah jalanin hukumannya.” Gadis itu berdiri, menyambar tasnya yang diletakkan di atas meja. Kemudian kuasanya terangkat untuk menarik Aksara untuk meninggalkan warung sederhana itu.

Namun belum sempat kakinya melangkah, Ananda kembali melontarkan sebuah kalimat untuk Saranita. “Hidup lo cuma perihal menerima hukuman, ya, Sar?”

Genggaman tangan Saranita pada pergelangan tangan Aksara mengeras, membuat pria bersurai legam itu harus menahan rasa sakitnya. Tapi kemudian Aksara tersenyum kecil, kini tangannya bergerak untuk menggenggam jemari Saranita guna menyalurkan sebuah kehangatan yang ia punya. Jika saja ia bisa bicara, maka akan ia ucapkan kalimat-kalimat yang berlarian di otaknya untuk Saranita.

“Nan, kita temenan udah berapa lama?” tanya Saranita dengan nada bicara yang teramat kecil. Kalau saja Aksara tidak menggenggam jemarinya, mungkin air mata yang sudah berbicara sekarang. Atau mungkin paling parah, Saranita tidak mampu menatap wajah Ananda.

Saranita kira, selain Aksara, Ananda bisa menjadi tempatnya untuk melepas seluruh beban di pundaknya. Tapi sepertinya Saranita salah, Ananda bukan orangnya. Sebab Ananda ternyata tidak pernah atau parahnya tidak mau mengerti bagaimana tentang Saranita.

“Gue kira kita udah kenal cukup lama, Nan. Gue kira lo udah paham mana yang harusnya lo tahu dan mengerti atau mana yang harusnya cuma lo tahu tanpa menguliknya dari hidup gue. Gue kira,” Bahu Saranita naik turun seiring dengan nafasnya yang memburu begitu cepat. “Gue kira, gue udah cukup tau diri lo yang sebenernya.”

Ananda mendekatkan dirinya pada Saranita, hendak menarik tangan perempuan itu namun dengan cepat ditolak secara kasar. “Maaf, gue salah, Sar.”

“Lo enggak salah, Nan. Gue yang salah. Gue terlalu cepat percaya sama orang. Gue terlalu cepat ambil keputusan karena berfikir kalau lo itu udah kaya Kakak sendiri buat gue.” Melepaskan jemarinya dari milik Aksara, gadis itu berlari entah ke mana. Saranita tidak tahu kakinya akan berhenti di bagian bumi sebelah mana, karena rasanya ia hanya ingin pergi jauh sampai di mana ada satu tempat untuk bersembunyi.

Nafasnya yang tersenggal kini mereda perlahan, seiring dengan langkah kakinya yang memelan tiba-tiba. Sorak-sorai perasaan emosi sudah mereda, tapi semuanya tidak mampu ia lupa entah kenapa. Mulai dari bagaimana Ananda menatapnya, bagaimana kalimat tanya yang padahal Saranita tidak pernah bayangkan keluar dari bibir milik Ananda masih terus membekas. Sore itu Saranita tidak marah, ia hanya sedikit kecewa. Sebab dirinya terlalu banyak meletakkan sebuah harap pada Ananda.

Gadis itu duduk di kursi halte yang jaraknya sudah cukup jauh dari sekolah. Netranya menyisir tiap-tiap sudut kota Jakarta yang masih dan akan selalu dipadati oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Saranita lelah, tapi cukup sadar kalau ia tidak mewajarkan kalimat-kalimat keluhan keluar tanpa landasan dari bibirnya.

“Minum.” Seseorang menyodorkan satu botol minuman dingin di hadapan Saranita bersamaan dengan kedua kurva di bibirnya yang terangkat tulus. Dia mengambil alih ruang kosong di sebelah kiri Saranita, duduk di sana sambil membuka tutup botolnya. “Gue tahu lo lebih suka minuman bersoda. Cuma cuacanya lagi enggak begitu baik buat minum minuman kaya gitu.”

Saranita menghela, ia menatap sebotol minuman rasa jeruk dan wajah pria di sampingnya bergantian. Seragam putih pria itu hampir tidak terlihat warna aslinya karena sudah dipenuhi oleh beberapa bercak darah yang hampir kering.

“Gue diserang pas lagi di depan gerbang tadi. Ini bukan darah gue, tapi temen gue.” jelas pria itu seolah mengerti ke mana arah tatapan Saranita. Tawanya menguar di udara satu menit, tangan kirinya yang bebas terayun untuk mengambil jemari Saranita untuk menerima minuman darinya. “Lo ... mau gue anter ke rumah sakit?”

Kali ini Saranita terketh sumbang. Ajinaka memang pria yang aneh. Jelas-jelas lebam hampir memenuhi bagian wajahnya, lalu bagaimana bisa ia justru menawarkan bantuan pada Saranita yang justru sudah diobati oleh Aksara?

“Lo yang harusnya ke Rumah Sakit, kali.” balas Saranita sebelum meneguk minuman rasa jeruk dari Ajinaka. Gadis itu kembali mengalihkan netra, menatap langit yang hampir saja mendung.

Kalimat tanya yang dilontarkan Ananda tadi kembali memutar di ingatan Ajinaka. Ia sempat mendengar keributan-keributan yang terjadi walau jaraknya berdiri sedikit jauh dari warung yang berada di belakang sekolah SMA 2. Helaan nafas keluar seiringan dengan Ajinaka yang menyandarkan daksanya pada besi panjang di halte. “Omongan orang jangan dimasukin ke hati, Sar. Jangan didengerin. Lo enggak akan bisa jadi sempurna di mata mereka walaupun lo udah ikutin seluruh ucapan mereka.”

Ketika kalimat itu masuk ke dalan rungunya, Saranita merasa sendi-sendi di tubuhnya seakan mati rasa. Tubuhnya mendadak lumpuh karena kalimat Ajinaka membiusnya sampai mendarat tepat pada bagian hatinya. Selama ini Saranita selalu meletakkan perasaan orang lain di atas dirinya, tanpa sadar kalau ia menjadi gadis yang egois untuk dirinya sendiri.

Mungkin hanya lewat Aksara, gadis itu bisa mendahulukan perasaanya sendiri.

“Sar, ngapain harus dengerin orang lain kalau lo punya diri sendiri yang bisa dipercaya?”

Saranita menghela, “Masalahnya, gue aja enggak percaya sama diri gue sendiri, Ajinaka.”

Ex-Hwang-Hyunjin

Tiap sekon waktu yang berisi namanya.

on-Twitter-1

Tidak akan pernah ada habisnya jika kita membahas tentang bagaimana Aksara bersama perasaannya untuk Saranita. Menggambarkan suasana-suasana yang membuat bumi kian elok ketika kedua netranya berlabuh pada wajah manis milik gadis manis itu. Riuh sorak sorai selalu memenuhi bagian dada Aksara ketika netranya bertemu dengar milik Saranita, detak jantungnya bergemuruh bagai petir yang menggelegar di udara. Kadang, jiwa perasa itu tidak dapat meredamnya sendirian sehingga ia memilih untuk menyalurkan perasaanya dengan menggenggam jemari milik gadis di hadapannya yang sedang sibuk dengan semangkuk soto ayam.

“Lo tau dari mana di Jakarta ada warung soto ayam seenak ini?” Saranita mengalihkan pandangan tiba-tiba, membuat Aksara yang terkejut langsung mengalihkan netranya sesaat.

Pria itu mengambil buku catatan berwarna hijau miliknya dari saku jaket berwarna hitam yang selalu membalut daksanya. Menuliskan sesuatu yang selalu ingin Saranita baca. “Saya tahu dari Bunda.

Saranita selalu tahu, Aksara belajar banyak hal lewat Bundanya. Perihal membaca, menulis, berjalan sampai pada akhirnya pria kecil itu tumbuh untuk bisa berlari. Sekali pun terkadang mungkin Aksara jatuh, tapi pada akhirnya ia bisa kembali berdiri dan membawa pulang jawaban-jawaban yang pertanyaannya selalu ia lontarkan pada Tuhan.

Saranita mengambil alih pena bercinta pekat dari jemari Aksara dengan senyum tipisnya. Kemudian menuliskan sesuatu di atas buku catatan milik Aksara. “Kalau baca pergerakan bibir, belajar dari siapa?

Aksara terkekeh tanpa suara. Ia ingat ketika pertama kali ia duduk di kursi kelas satu Sekolah Menengah Pertama. Bunda mengajarinya tentang bagaimana cara membaca pergerakan bibir manusia. Aksara juga ingat kalau dulu Bunda sering datang ke panti penyandang disabilitas untuk mengajari banyak hal kepada mereka.

Tepat di bawah pertanyaan Saranita, Aksara menuliskan jawabannya. “Jawabannya Bunda juga, Sara.

Perihal wanita yang selalu disebut Bunda oleh pria bersurai legam ini, Saranita berkali-kali ingin bertemu walau mungkin ia sudah terlambat. Tapi setidaknya, Saranita ingin datang dan duduk di pemakaman wanita itu, mengucapkan berjuta-juta terima kasih karena telah melahirkan dan membesarkan pria hebat di hadapannya. Karena entah sejak kapan, Aksara bisa masuk begitu mudah ke dalam hati Saranita yang padahal sudah terikat cukup kuat.

Saranita membuka lembar yang baru di buku itu, kembali menuliskan kalimatnya untuk Aksara. “Aksa, tiket Nadin Amizahnya masih berlaku?

Pria itu menjawab lewat anggukan kepala, bersiap membaca kalimat selanjutnya yang akan dituliskan Saranita melalui goresan tinta dari pena yang berada di genggaman jemarinya.

Ayo kita nonton konser Nadin Amizah!” tulis Saranita di atas kertas putih itu, kemudian melemparkan senyum kecilnya untuk pria yang sedang menatapnya tanpa berkedip.

Saranita terpaku ketika ia ingat satu hal, perihal konser Nadin Amizah juga alat bantu dengar pria itu yang sudah tidak mampu digunakan seperti sebelumnya. Wajah gadis itu berubah muram, padahal Aksara tetap memamerkan senyum terbaik untuknya. “Aksa .... hening banget, ya?”

Aksara yang bisa menangkap pergerakan bibir Saranita langsung mengambil alih pena di jemari gadis itu. Jemari kirinya menggenggam milik Saranita, menyalurkan sedikit ketenangan untuk gadis kesayangannya. Sedang tangan yang kanan bergerak di atas kertas kosong yang baru saja dibalik menjadi lembar yang baru.

Kalau hidup dalam keheningan saya sudah biasa, tapi jangan pinta saya untuk hidup tanpa suaramu, saya bisa mati rasa.

Saranita diam, berjanji pada dirinya sendiri kalau ia akan membawakan alat bantu yang baru. Detik itu Saranita sadar kalau ada yang tertahan dalam senyum milik Aksara sejak pria itu menapaki kakinya di toko bunga tadi.

“Aksa ....”

Aksara tersenyum kecil, jempolnya bergerak untuk mengelus lembut bagian punggung tangan milik Saranita. Lagi-lagi tangan kanannya bergerak untuk menggores kalimat di atas buku. “Iya, cantik?

Tersipu malu, Saranita menarik tangannya untuk menutupi wajah. “Jangan gitu.”

Entah apa yang membuat Aksara berdiri, lalu melangkahkan kaki untuk duduk di kursi tepat di sebelah Saranita. Ditatapnya gadis itu, yang kian dekat kian membuat jantungnya ingin meledak.

“Aksara,”

Aksara tertawa kecil, sebab suara Saranita bergetar sejak ketika ia duduk di sampingnya. Gadis itu salah tingkah dan Aksara mengetahuinya dengan jelas.

“Aksara.”

Aksara suka ketika Saranita menyebut namanya dengan suara yang begitu lembut. Walaupun kali ini tidak dapat mendengar suara indah itu, tapi setidaknya Aksara dapat mengingat dengan jelas sebab suara itu terekam dan tersimpan manis di dalam ingatannya.

Saranita tidak mampu melanjutkan kalimatnya, sebab Aksara semakin merapatkan dirinya seolah-olah tidak memberikan sedikit ruang untuknya bernafas dengan bebas. Saranita begitu gugup, tubuhnya seolah lumpuh namun kurva di bibirnya tidak dapat ditahan lagi. Jika ada kata yang lebih bisa menggambarkan perasaannya dari pada kata bahagia, mungkin sudah ia gunakan sekarang juga.

Pada akhirnya Saranita mengambil pena untuk menuliskan sesuatu di atas kertas.

Aksara jangan terlalu manis, nanti gue diabetes.

Aksara terkekeh ketika ia membaca kalimat itu, kemudian mencoret kalimat Saranita lalu menuliskan kalimat balasan di bawahnya.

Saranita manis aja terus, saya suka.

IMG-20210807-WA0052

Surat dan kenangan tentang Bunda.

WATTPAD-RES-MLER-2

Sudah satu tahun lebih dua bulan setelah kepergian Bunda. Terlalu banyak semoga yang tidak pernah bisa Aksara layangkan di udara untuk wanita kesayangannya. Pria kecil itu tahu, Bunda sudah pergi dengan tenang, meninggalkannya sendirian bersama peristiwa yang sekarang hanya mampu dikenang.

Tangan Aksara bergertar ketika menyentuh amplop cokelat sederhana berisi satu surat yang entah, ia juga tidak tahu apa isinya. Air mata tidak menggenang di pelupuk matanya, hanya saja nafasnya sudah mulai tersenggal sedari tangan kanannya membuka lemari milik Bunda. Wangi tubuh wanita yang Aksara rindukan itu menyeruak sampai rongga dada, membuatnya sesak tanpa ada kata ampun.

Langkah kaki membawanya untuk duduk di sudut kasur Bunda. Ia menatap amplop cokelat yang masih menguliti surat itu cukup lama. Lamat-lamat dengan tatapan yang ia sendiri tidak mampu artikan. Setelah lima menit bergelut dengan perasaaan-nya sendiri, akhirnya berani untuk mengeluarkan satu lembar kertas yang bisa saja membuat rasa rindunya ke pada Bunda semakin membuncah.

Pelan-pelan Aksara membunuh keheningan dengan kenangan-kenangan bersama Bunda yang terekam dengan baik di kepalanya. Dengan perasaan yang mengambang, Aksara mulai membaca susunan kalimat sederhana yang dibuat Bunda khusus untuknya sebab ia membaca ukiran sederhana yang bertuliskan namanya.

Aksara, ini Bunda. Nak, kalau surat ini sudah sampai di tangan kamu, itu artinya Bunda sudah tidak lagi bisa menggenggam tanganmu. Bunda sudah tidak bisa lagi mengelus kepala Aksara ketika selesai mengerjakan tugas sekolah.

Berkali-kali helaan nafas keluar begitu saja. Semakin lama, maka suara nafas Aksara seolah berkejar-kejaran dengan detik waktu. Sialnya pria itu tidak dapat mengungkapkan perasaannya lewat air mata.

Aksara, kalau Bunda pergi nanti.... ada hal yang Bunda inginkan dari Aksara. Bunda hanya ingin Aksara hidup dengan baik, Bunda ingin Aksara tidak pernah terluka di seumur hidup Aksara, Bunda ingin Aksara kerja di gedung-gedung tinggi Jakarta seperti apa yang Aksara katakan ke Bunda.

Nanti, ketika Bunda hanya bisa lihat Aksara dari atas surga, Bunda tidak pernah mau ada air mata di setiap hari-hari Aksara. Bunda ingin Aksara tersenyum dan bahagia untuk hal-hal sederhana. Sebab Aksara ingat apa yang kita bicarakan sore itu di taman, kan? Kebahagiaan bisa kita ciptakan sendiri.

Jemari Aksara sudah mulai meremat bagian ujung kertas putih itu, dadanya terasa kian memberat ketika matanya membaca kalimat-kalimat yang disusun oleh Bunda. Aksara berharap wanita yang berperan sebagai dunianya itu ada di sini, duduk sambil memeluk daksanya yang sebenarnya tidak sekuat itu.

Aksara, untuk apapun yang terjadi, Bunda mau kalau Aksara selalu ada di samping Ayah, ya? Ayah tidak pernah suka kesepian, Ayah tidak pernah suka sendirian, dan Ayah mudah terluka. Untuk apapun yang terjadi, segala bentuk perlakuan-perlakuan yang mungkin saja nantinya tidak Aksara inginkan, itu adalah sebuah bentuk kasih sayang. Aksara tahu itu, kan?

Aksara terkekeh tanpa suara. Dalam hati ia bergumam, “Bohong. Bunda bohong. Setelah kepergian Bunda, Aksara belum pernah merasa sebuah kasih dari Ayah.” Setelah itu, matanya kembali membaca setiap kata di atas kertas putih itu.

Aksara tahu kalau kamu itu anak kesayangan Bunda, kan? Kasih sayang Bunda untuk Aksara itu seperti lingkaran, tidak pernah ada ujungnya. Bunda tidak pernah peduli dengan kalimat-kalimat menyakitkan yang dilontarkan beberapa orang untuk Bunda. Tapi Bunda berkali-kali merasa terluka jika mereka bicara tentang putra kesayangan Bunda. Sudah Bunda bilang, Aksara itu adalah sebuah bentuk keistimewaan yang Tuhan berikan untuk Bunda. Karena Aksara istimewa, itu sebabnya Aksara ada di sini.

Perihal pertanyaan Aksara ketika dua tahun sebelum Bunda menulis surat ini. Waktu itu Aksara bertanya, “untuk apa Aksara dilahirkan dengan keadaan yang seperti ini, kan?” Bunda benar-benar kelu. Pikiran Bunda buntu. Tapi hari ini Bunda punya jawabannya. Ketika Tuhan minta Aksara untuk dilahirkan ke dunia, ketika itu pula dunia yang besar ini membutuhkan Aksara. Terima kasih ya, jagoan kecil Bunda. Terima kasih karena tidak pernah mengeluh karena sudah terlahir dari rahim Bunda yang tidak sempurna. Terima kasih sudah menerima segala bentuk pemberian Tuhan untuk Aksara.

Pria berkaus abu-abu itu tersenyum kecil walau air mata sudah membasahi seluruh bagian pipinya. Jemarinya mengepak erat seolah menyalurkan rasa yang menjalar di dalam dada.

Sekarang, Bunda pamit, ya? Terlalu banyak semoga yang ingin sekali Bunda panjatkan untuk Aksara. Tapi bagian terpentingnya adalah, semoga Tuhan memberikan satu orang yang mampu membuat Aksara bahagia dengan hal-hal sederhana. Semoga Tuhan kasih satu orang yang menjaga perasaan anak Bunda dengan kekuatan yang penuh. Semoga Tuhan kasih orang yang tepat untuk jadi teman Aksara.

Aamiin.

Aksara tersenyum kecil ketika ia menghabiskan setiap kalimat yang dituliskan oleh Bunda. Pandangannya mengedar di setiap sudut kamar persegi yang selalu gelap milik Bunda, sebab setelah kepergian wanita itu, Ayah sudah tidak pernah suka berada di ruangan yang wanginya selalu sama seperti Bunda.

Dari bingkai-bingkai foto kecil di atas meja Aksara sadar, terlalu banyak waktu yang ia habiskan bersama Bunda. Tapi setelah satu tahun kehilangan seseorang yang tidak akan pernah ia lupakan, Aksara akhirnya bisa hidup dengan sendirinya. Walau tergopoh-gopoh, Bunda pasti bangga ketika melihat senyum manis yang selalu Aksara bawa ke mana-mana.

Ada waktu di mana Aksara selalu minta sama Tuhan untuk kembalikan Bunda di Semesta yang luas ini. Rasanya Aksara ingin menggenggam telapak tangan Bunda, melihat senyum Bunda dan membawanya ke seluruh dunia untuk dipamerkan bahwa ia memiliki satu wanita yang selalu menjaga hatinya.

IMG-20210705-125114

Bunda, Jakarta dan Saranita.

on-Twitter-1

Kali ini, bunga mawar merah yang berada di genggaman Aksara. Ditemani dengan buku catatan berwarna merah muda yang pernah diberikan oleh Bunda, pria berkaus putih itu berdiam diri di hadapan gundukan tanah dengan batu nisan dengan nama Bunda yang diukir apik di atasnya. Senyum manis itu terbit, ia berjalan perlahan untuk menghampiri rumah terakhir Bundanya.

Ketika kakinya melangkah, perlahan demi perlahan, hatinya makin menyempit. Aksara berteriak walau ia tidak mampu membuat kebisingan di muka bumi. Ia ingin Bunda kembali, pulang dan sarapan lontong sayur kesukaannya.

Bunda, Aksara di sini.” Air muka Aksara berubah, ia berusaha sebisa mungkin menahan tangisnya. Hebatnya, dia kembali melukis sebuah senyum indah di kanvas wajahnya. “Bunda apa kabar? Aksara bawa mawar merah minggu ini.

Aksara tidak pernah mengerti kenapa Tuhan ambil nyawa Bunda di saat ia membutuhkan wanita hebat itu lebih dari siapapun. Aksara juga tidak pernah mengerti kenapa Ayah yang justru menjadi satu-satunya harapan untuk bertahan, justru menjadi sosok yang berbeda setelah kepergian Bunda. Aksara tidak pernah mengerti bagaimana cara Semesta bekerja, mengatur orang-orang di dalamnya agar merasa diperlakukan dengan adil.

Aksara... benar-benar tidak pernah mengerti teka-teki yang diciptakan Semesta, harus berakhir pada bagian mana ia berlabuh. Entah berlabuh, atau bahkan tenggelam dalam palung yang teramat dalam.

Tangannya bergerak untuk meletakkan bunga mawar merah itu di atas makan Bunda, senyum secerah pagi ini tidak pernah lepas dari bibirnya. Walaupun hanya sebuah kepura-puraan semata, tapi tidak apa. Di hadapan Bunda, Aksara harus tidak terlihat lemah.

Di surga nyaman, ya, Bun?” Dia tertawa, sudah pasti tanpa suara. Tangannya berpindah untuk mengelus batu nisan yang terukir nama Bunda, seolah tidak membiarkan hewan sekecil apapun singgah. “Kalau lebih nyaman di surga, Bunda kok enggak ajak Aksara?

Aksara tahu, kalau Bunda berdiri di hadpannya sekarang, Bunda pasti bilang, “Kalau Aksara belum dipanggil sama Yang Kuasa, itu artinya Bumi masih membutuhkan manusia hebat seperti Aksara.” Sambil mengelus kepalanya lembut, menyisir rambut legamnya dengan jemari hangat.

Kata Bunda, enggak pernah ada yang lebih menakutkan dari pada kematian. Tapi nyatanya, justru kehidupan adalah hal yang paling menakutkan di dunia.” Akhirnya, air mata Aksara turun membasahi pipi. Jemarinya terkepal kuat, menahan rasa sakit yang memeluknya erat. Aksara tahu, saat itu Bunda tidak berbohong. Sebab ketika Bunda berbicara seperti itu, ia masih ada di dunia. Setelah kehilangan Bunda, nyatanya tidak ada yang lebih berat dari pada kehidupan.

Bodoh, bangun! Katanya lo bakalan pergi lima menit kalau gue pergi. Tapi nyatanya, lo enggak ada di sini. Bodoh, lo emang bodoh banget.*”

Aksara mengalihkan pandang, menatap seorang gadis yang sedang marah-marah di depan makam seseorang. Tanahnya masih basah, membuat Aksara cukup tahu kalau ternyata itu baru. Gadis itu memakai gaun hitam selutut, ada goresan panjang di bagian kakinya. Netra yang dilindungi oleh kacamata hitam itu tidak beralih dari papan kayu dengan nama Naratama Adhy di sana. Yang Aksara lihat, gadis itu tidak membawa bunga. Ia hanya marah-marah seperti orang kehilangan akal. Dari gadis itu Aksara mengerti, ada banyak sekali cara ungkap manusia-manusia di muka bumi. Entah dari mengungkap sebuah kekecewaan, kesedihan atau bahkan kebahagiaan yang Aksara belum pernah temukan.

Bunda, Aksara izin pamit, ya? Nanti kalau ada kesempatan, Aksara mampir lagi ke sini, mengenalkan dunia Aksara yang digenggam oleh gadis manis bernama Saranita.” Sebelum berucap dalam hati, tatapan Aksara kembali beralih. Kurva di bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyum yang hampir menyentuh kata sempurna.

Pria itu berdiri, kemudian melangkah pergi. Meninggalkan Bunda, dengan pamit yang sementara. Dalam hati, ia meminta pada Semesta agar diizinkan untuk kembali pada rumah Bunda yang terakhir, bersama dengan Saranita dan menggenggam jemari gadis itu.

Ah, Saranita memang tidak pernah membuat Aksara merasakan sebuah rasa bernama kecewa. Hanya dengan menyebut namanya saja, Aksara sudah seperti mabuk kepayang. Membayangkan senyum manis gadis kecil itu, seluas himalaya dan tidak pernah abu-abu.

Tangannya bergerak untuk melepaskan alat bantu dengar. Sebenarnya Aksara tidak suka alat itu, sebab ia akan mendengar seluruh ucapan menyakitkan yang disebabkan oleh manusia untuknya. Kemudian gerakan di tangannya berubah untuk mengambil ponsel di dalam saku kemejanya.

Saranita, ia harus menghubungi Saranita.

Saranita dan perasaannya untuk Aksara.

Aksara-BS-1

Beruntung sekali, hari ini Jakarta bercuaca cerah.

Saranita menghela nafasnya sesaat, netranya menyipit ketika ia mendongakkan kepala, langsung menatap langit Jakarta. Kota ini begitu cerah, berbeda sekali dengan suasana hatinya. Diam-diam tangannya merogoh saku jaket hitam yang membalut tubuhnya, mengambil satu batang nikotin yang sebelumnya ia beli di warung samping sekolah. Tatapan gadis itu tidak lepas dari benda di tangannya, kedua sudut bibirnya terangkat sedikit.

“Punya korek, enggak?”

Suara tidak asing itu masuk ke dalam rungu Saranita tanpa permisi, membuatnya menoleh dan mendapati seorang pria dengan seragam yang berbeda dengan miliknya. “Kok bisa di sini?” Saranita bingung, pasalnya ia sedang berada di atap sekolahnya untuk menghindari pelajaran yang tidak ia sukai.

Pria tadi menoleh, “Kenalin, gue Ajinaka.”

“Iya, gue kenal.” Saranita masih tidak mampu untuk menyembunyikan wajah penasarannya. Gadis itu kembali memasukkan sebatang nikotin ke dalam sakunya, kemudian berdiri untuk menghampiri Ajinaka yang sedang bersandar di ujung pintu masuk atap.

“Di sana aja, biar gue yang jalan.” Setelah mengutarakan kalimatnya, Ajinaka benar-benar menghampiri Saranita, duduk di samping gadis yang masih kebingungan itu. Tangan pria itu bergerak untuk merogoh saku celananya sendiri, “Gue masuk lewat pintu kantin sekolah lo. Mau kembaliin ini,”

Selembar kertas yang disodorkan oleh Ajinaka membuat netra Saranita beralih, gadis itu mengambilnya ragu-ragu. Tatapannya berubah jadi sendu saat menerima selembar kertas itu. “Lo baca isinya, Jin?”

Tanya yang keluar dari bibir Saranita dijawab melalui sebuah gelengan kepala oleh Ajinaka. Pria itu menatap lurus-lurus ke arah langit, sambil menarik napasnya dalam-dalam. Perlahan, bibirnya terangkat sempurna melukiskan sebuah senyum manis yang belum pernah terpancar sebelumnya. Sebab Ajinaka tidak pernah tahu kalau berdiri di atas gedung seperti saat ini membuat seluruh beban yang berada di pundaknya seolah hilang dibawa oleh angin yang berembus kencang.

“Makasih, ya, Jin.” balas Saranita, ia melipat selembar kertas yang berisi tagihan uang ujian praktik itu ke dalam saku jaket. Ingatannya seperti kembali ditarik ke hari dimana Pak Aan memberikan selembaran itu di depan ruang guru sembari marah-marah. Saat itu Saranita tidak malu, yang ia pikirkan hanya satu nama—Ibu.

“Gue bisa bantu lo, kalau lo mau.”

Kalimat Ajinaka membuat Saranita menoleh beberapa detik, kemudian menipiskan bibir sambil menggelengkan kepalanya tanpa ragu. Saranita bukannya menolak, ia hanya tidak ingin memiliki hutang pada manusia seperti Ajinaka. Walaupun Saranita tahu, Ajinaka memiliki hati yang tidak seperti penampilan luarnya.

“Oh iya, gue lupa say thanks sama kertasnya.”

“Ngapain lo ucap makasih ke kertas?” Tanpa menoleh ke arah Ajinaka, gadis itu melontarkan sebuah kalimat tanya hanya untuk sekedar berbasa-basi. Sebenarnya Saranita tahu, pria itu pasti sudah membaca keseluruhan isi kertas itu.

“Ya .... makasih, aja. Karena kertas itu, gue jadi bisa lihat kalau lo baik-baik aja.” Pria itu tersenyum, menatap wajah Saranita lamat-lamat dari tempatnya berdiri. Tanpa sadar, pelan-pelan tangan Ajinaka bergerak untuk menyelipkan sehelai surai legam yang menutupi wajah Saranita karena tertiup angin. “Kalau begini, cantiknya nambah.”

“Jin,” Tangan kanan Saranita terangkat untuk menghentikan pergerakan Ajinaka. “Kalau semua yang lo lakuin ke gue ini adalah upaya untuk menjauhkan gue dari Aksara karena Utami, lo gagal. Karena,”

“Karena lo justru percaya sama Aksara dan perasaan cinta yang selalu lo anggap sampah itu, Sar?” Ajinaka berdiri dari posisinya, sedikit menjauh guna menatap Saranita tepat pada netranya. Napas pria itu tersenggal, bahunya naik turun menahan sebuah rasa yang entah .... Ajinaka juga tidak dapat menjelaskannya secara sempurna.

“Lo bener. Gue justru percaya sama Aksara dan perasaan yang dari dulu selalu gue anggap sebagai sampah. Jin, gue enggak pernah bisa jatuh cinta, gue enggak pernah bisa ngerti perasaan gue sendiri, dan Aksara berhasil ngeruntuhin perasaan ini.” Saranita memukul dadanya sendiri, meyakinkan Ajinaka bahwa perasaannya untuk Aksara adalah sebuah perasaan paling sempurna yang pernah dirasakan. Padahal Saranita sendiri dari dulu tidak pernah mengerti, ia tidak dapat mengenali perasaannya sendiri.

“Tapi Aksara tuli, Saranita. Dia enggak pernah bisa mendengar seluruh kalimat yang lo ucapin.” Ajinaka pria yang keras, hatinya seperti batu.

“Tapi Aksara punya perasaan. Aksara berhak ngerasain seluruh rasa seperti orang lain, Ajinaka. Selagi Aksara ada di dunia ini, perasaan gue enggak akan pernah habis buat dia.” Napas Saranita tersenggal-senggal, ia menatap Ajinaka seolah menyalurkan seluruh kalimatnya agar pria itu mengerti.

Ajinaka tiba-tiba terkekeh sumbang, “Lo tahu alasan kenapa gue mati-matian mau Aksara selalu ada buat Utami?”

Gadis bersurai legam itu menggeleng tanpa kata, ia masih lelah.

“Utami sakit, Sar.”

ITZY-Straykids-NCT-Dream-Tersebar-gosip-aneh-di-sekolah-mengena-fiksipenggemar-Fiksi-Penggemar-amrea

Saranita dan perasaannya untuk Aksara.

Beruntung sekali, hari ini Jakarta bercuaca cerah.

Saranita menghela nafasnya sesaat, netranya menyipit ketika ia mendongakkan kepala, langsung menatap langit Jakarta. Kota ini begitu cerah, berbeda sekali dengan suasana hatinya. Diam-diam tangannya merogoh saku jaket hitam yang membalut tubuhnya, mengambil satu batang nikotin yang sebelumnya ia beli di warung samping sekolah. Tatapan gadis itu tidak lepas dari benda di tangannya, kedua sudut bibirnya terangkat sedikit.

“Punya korek, enggak?”

Suara tidak asing itu masuk ke dalam rungu Saranita tanpa permisi, membuatnya menoleh dan mendapati seorang pria dengan seragam yang berbeda dengan miliknya. “Kok bisa di sini?” Saranita bingung, pasalnya ia sedang berada di atap sekolahnya untuk menghindari pelajaran yang tidak ia sukai.

Pria tadi menoleh, “Kenalin, gue Ajinaka.”

“Iya, gue kenal.” Saranita masih tidak mampu untuk menyembunyikan wajah penasarannya. Gadis itu kembali memasukkan sebatang nikotin ke dalam sakunya, kemudian berdiri untuk menghampiri Ajinaka yang sedang bersandar di ujung pintu masuk atap.

“Di sana aja, biar gue yang jalan.” Setelah mengutarakan kalimatnya, Ajinaka benar-benar menghampiri Saranita, duduk di samping gadis yang masih kebingungan itu. Tangan pria itu bergerak untuk merogoh saku celananya sendiri, “Gue masuk lewat pintu kantin sekolah lo. Mau kembaliin ini,”

Selembar kertas yang disodorkan oleh Ajinaka membuat netra Saranita beralih, gadis itu mengambilnya ragu-ragu. Tatapannya berubah jadi sendu saat menerima selembar kertas itu. “Lo baca isinya, Jin?”

Tanya yang keluar dari bibir Saranita dijawab melalui sebuah gelengan kepala oleh Ajinaka. Pria itu menatap lurus-lurus ke arah langit, sambil menarik napasnya dalam-dalam. Perlahan, bibirnya terangkat sempurna melukiskan sebuah senyum manis yang belum pernah terpancar sebelumnya. Sebab Ajinaka tidak pernah tahu kalau berdiri di atas gedung seperti saat ini membuat seluruh beban yang berada di pundaknya seolah hilang dibawa oleh angin yang berembus kencang.

“Makasih, ya, Jin.” balas Saranita, ia melipat selembar kertas yang berisi tagihan uang ujian praktik itu ke dalam saku jaket. Ingatannya seperti kembali ditarik ke hari dimana Pak Aan memberikan selembaran itu di depan ruang guru sembari marah-marah. Saat itu Saranita tidak malu, yang ia pikirkan hanya satu nama—Ibu.

“Gue bisa bantu lo, kalau lo mau.”

Kalimat Ajinaka membuat Saranita menoleh beberapa detik, kemudian menipiskan bibir sambil menggelengkan kepalanya tanpa ragu. Saranita bukannya menolak, ia hanya tidak ingin memiliki hutang pada manusia seperti Ajinaka. Walaupun Saranita tahu, Ajinaka memiliki hati yang tidak seperti penampilan luarnya.

“Oh iya, gue lupa say thanks sama kertasnya.”

“Ngapain lo ucap makasih ke kertas?” Tanpa menoleh ke arah Ajinaka, gadis itu melontarkan sebuah kalimat tanya hanya untuk sekedar berbasa-basi. Sebenarnya Saranita tahu, pria itu pasti sudah membaca keseluruhan isi kertas itu.

“Ya .... makasih, aja. Karena kertas itu, gue jadi bisa lihat kalau lo baik-baik aja.” Pria itu tersenyum, menatap wajah Saranita lamat-lamat dari tempatnya berdiri. Tanpa sadar, pelan-pelan tangan Ajinaka bergerak untuk menyelipkan sehelai surai legam yang menutupi wajah Saranita karena tertiup angin. “Kalau begini, cantiknya nambah.”

“Jin,” Tangan kanan Saranita terangkat untuk menghentikan pergerakan Ajinaka. “Kalau semua yang lo lakuin ke gue ini adalah upaya untuk menjauhkan gue dari Aksara karena Utami, lo gagal. Karena,”

“Karena lo justru percaya sama Aksara dan perasaan cinta yang selalu lo anggap sampah itu, Sar?” Ajinaka berdiri dari posisinya, sedikit menjauh guna menatap Saranita tepat pada netranya. Napas pria itu tersenggal, bahunya naik turun menahan sebuah rasa yang entah .... Ajinaka juga tidak dapat menjelaskannya secara sempurna.

“Lo bener. Gue justru percaya sama Aksara dan perasaan yang dari dulu selalu gue anggap sebagai sampah. Jin, gue enggak pernah bisa jatuh cinta, gue enggak pernah bisa ngerti perasaan gue sendiri, dan Aksara berhasil ngeruntuhin perasaan ini.” Saranita memukul dadanya sendiri, meyakinkan Ajinaka bahwa perasaannya untuk Aksara adalah sebuah perasaan paling sempurna yang pernah dirasakan. Padahal Saranita sendiri dari dulu tidak pernah mengerti, ia tidak dapat mengenali perasaannya sendiri.

“Tapi Aksara tuli, Saranita. Dia enggak pernah bisa mendengar seluruh kalimat yang lo ucapin.” Ajinaka pria yang keras, hatinya seperti batu.

“Tapi Aksara punya perasaan. Aksara berhak ngerasain seluruh rasa seperti orang lain, Ajinaka. Selagi Aksara ada di dunia ini, perasaan gue enggak akan pernah habis buat dia.” Napas Saranita tersenggal-senggal, ia menatap Ajinaka seolah menyalurkan seluruh kalimatnya agar pria itu mengerti.

Ajinaka tiba-tiba terkekeh sumbang, “Lo tahu alasan kenapa gue mati-matian mau Aksara selalu ada buat Utami?”

Gadis bersurai legam itu menggeleng tanpa kata, ia masih lelah.

“Utami sakit, Sar.”

ITZY-Straykids-NCT-Dream-Tersebar-gosip-aneh-di-sekolah-mengena-fiksipenggemar-Fiksi-Penggemar-amrea

Tentang detik yang terus berjalan.

Aesthetic-shared-by-sera-on-We-Heart-It

Toko bunga, ditemani dengan secangkir kopi yang ia aduk sendiri.

Sudah pukul tujuh malam, namun sepertinya hujan di luar sana tidak ada pertanda ingin berhenti. Hampir setiap tahun, awal April memang terkadang diisi oleh hari yang begitu dingin. Gadis itu mengintip lewat celah jendela kaca, mendesah kecil seolah menerka bahwa sebagian kota akan direndam banjir jika hujan tidak berhenti malam ini juga. Kakinya melangkah untuk meninggalkan kursi yang sudah sejak dua jam lalu ia duduki, menggosokkan kedua telapak tangan untuk menciptakan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh. Sejak peristiwa tadi di sekolah, pikiran Saranita direnggut oleh Aksara, gadis itu tidak pernah fokus dengan apa yang sedang ia lakukan. Kedua sudut bibirnya kadang terangkat malu-malu, kemudian dengan satu tarikan paksa dibuat seolah tidak ada yang terjadi.

ting!

Saranita membawa langkah kakinya untuk berjalan ke arah luar ketika suara bel pintu masuk ke dalam rungu untuk menyambut pelanggannya. Hari ini toko bunga tidak terlalu ramai, mungkin karena hujan lebat yang melanda, membuat setiap insan lebih memilih untuk membaringkan tubuh di kasur mereka yang hangat.

“Selamat malam, selamat datang—Ajinaka? Lo ngapain?” Gadis itu terkejut, tapi berusaha sebisa mungkin mengatur ekspresi wajah. Kakinya tidak berhenti melangkah, mendekat ke arah Ajinaka di ujung pintu yang sebagian dirinya basah karena air hujan. “Lo sendiri? Naik apa?”

WAKETOS-Maze-of-memories-Yohan

Ajinaka tertawa kecil, kuasanya yang basah terangkat untuk menarik sebelah pipi Saranita. “Lo bawel banget, ya.”

Sejak hari dimana Ajinaka mengajaknya berbincang di kedai kopi, Saranita lebih sering melihat tawa kecil Ajinaka ketimbang tatapan tajam penuh intimadisinya seperti dahulu. “Lo mau beli bunga apa?”

“Enggak, mau mampir aja.” Ajinaka membuka kemejanya, menyisakan kaus berwarna putih sebagai dalaman. Kemejanya hampir basah kuyup, lalu dibiarkan begitu saja di atas kursi kayu dekat pintu masuk. “Bang Abin, ada? Gue sekalian mau ambil titipan buat Mama.”

Eh? Mas Abin keluar tadi, cuma dia emang nitip kue buat—” Saranita menggantung kalimatnya, telunjuk kanannya terangkat ke arah Ajinaka yang sekarang sedang terkekeh. “—Lo sepupunya Mas Abin?”

Kekehannya belum selesai, “Iya.” jawabnya sambil berjalan ke arah ruangan di balik tembok yang paling besar. Ajinaka berniat membuat kopi, untuk sekedar menghangatkan tubuhnya. “Sar, kopinya dimana?”

Saranita menghentikan kegiatannya, kemudian berjalan ke arah dapur untuk membantu Ajinaka menemukan kopi. “Lo di luar aja, gue yang bikinin.”

Pria itu lantas mengangguk, meninggalkan Saranita dengan secangkir kopi hangat yang ia aduk sendiri. Suara dari gawai Saranita tidak menghentikan langkah Ajinaka, ia tetap melewati meja yang dijadikan khusus untuk kasir. Pada akhirnya, daksa besar itu berlabuh pada sofa yang mengarah langsung ke jendela kaca. Netra Ajinaka tidak pernah lepas dari setiap lalu-lalang Kota Jakarta, jemarinya memainkan satu batang nikotin yang ragu-ragu ia bakar.

“Lo ngerokok?”

Saat Saranita datang, menghampiri, dan meletakkan cangkir berisi kopi itu di atas meja, disusul dengan sebuah kalimat tanya yang seharusnya tidak perlu lagi ditanyakan. Ajinaka kembali memasukkan sebatang nikotin itu ke dalam bungkusnya. “Iya.”

“Kenapa enggak jadi?”

Bukannya tidak jadi, Ajinaka hanya tidak mau merokok di hadapan Saranita dan membuat gadis itu menghirup asapnya. “Nanti aja.”

Seolah tahu kenapa Ajinaka mengurungkan niatnya, Saranita kembali mengeluarkan sebatang nikotin dari bungkusnya. Kemudian menaruhnya di bibir sendiri yang membuat Ajinaka dengan cepat menarik kembali benda itu sebelum Saranita membakarnya.

“Jangan ngerokok, nanti sakit.” kata Ajinaka, kemudian membuang bungkus nikotin itu ke sembarang arah. Netranya kembali fokus pada jalanan yang tidak pernah sepi walau hujan tidak juga berhenti. Berkali-kali pria itu menghela nafas seolah ada beban tersendiri di atas dadanya.

“Terus, lo kenapa?”

Kening Ajinaka mengerut, tatapannya teralih pada gadis berambut sebahu yang akhir-akhir ini mengalihkan dunianya entah sejak kapan. “Kenapa apanya?”

“Ngerokok.”

Ajinaka menyeruput kopi dengan kepulan asap tebal di atasnya. Dia banyak terkekeh hari ini, entah apa alasannya. Tapi Saranita tahu, sorot mata Ajinaka makin lama justru sendu. “Pikiran gue ruwet, Sara.”

“Tentang Utami, ya?” Dengan hati-hati dan kekuatan penuh, Saranita bertanya. Jemari gadis itu meremas apron yang melekat pada tubuhnya. Saranita takut kalau Ajinaka akan memintanya untuk melepaskan Aksara lagi.

Jika diminta untuk pergi, Saranita akan membawa Aksara kemanapun gadis itu memijakkan kakinya. Saranita tidak takut ketika diminta untuk pergi, yang Saranita takut ketika ia tidak lagi bisa melihat Aksara.

“Sar,” Ajinaka menarik tangan kanan Saranita dengan lembut, membawanya untuk digenggam erat seolah-olah gadis itu adalah harta paling berharga. Namun ketika bibirnya sudah terbuka, ingin melanjutkan kalimatnya, dering ponsel Saranita masuk ke dalam rungu masing-masing dua insan itu. Dengan cepat Saranita menarik tangannya, membuka ponselnya dan mengetikkan sesuatu di atas sana.

“Jin, udah jam delapan, gue harus balik. Lo masih mau di sini atau mau balik juga?”

Tadinya Ajinaka berniat untuk mengantar Saranita pulang, tapi netranya menangkap pergerakan pria yang punggungnya ia kenali lewat jendela. “Lo duluan aja, Sar. Balik sendiri?”

Gadis itu mengangguk bohong, kemudian berjalan ke arah meja kasir untuk merapikan barang-barangnya. Saranita tidak tahu kalau ternyata Ajinaka menyadari kehadiran Aksara yang sedang menunggunya di luar dengan satu payung untuk melindungi tubuhnya di bawah derasnya hujan.

“Jin, kue yang dari Mas Abin ada di salam kulkas. Nanti kuncinya lo bawa aja, ya. Gue udah bilang ke Mas Abin, kok.” jelasnya. Saranita berlari kecil ke arah luar tanpa menunggu jawaban dari Ajinaka yang padahal sudah berada di ujung lidah. Pemandangan pertama yang gadis itu dapati adalah Aksara di bawah derasnya hujan, berlindung di balik payung berwarna transparan sedang menengadahkan telapak tangannya, membiarkan sebagian kulitnya dibasahi oleh air hujan dengan sengaja.

“Aksa,”

Aksara memutarbalik-kan tubuhnya, melempar senyum manis yang sejak kecil selalu dipuji oleh Bunda. Pria itu melangkah kecil, menyodorkan selembar kertas yang sedari tadi sudah ia persiapkan untuk Saranita.

IMG-20210717-134815

Saranita menipiskan bibir, kakinya masih berpijak di halaman toko bunga sehingga sepatunya sudah mulai basah akibat cipratan air dari langit. “Gue enggak bawa payung, Sa.”

Tanpa berpikir panjang Aksara menyodorkan payungnya ke hadapan gadis itu, membiarkan dirinya basah walau sudah dibalut dengan jaket tebat berwarna hitam pemberiang Mas Bagas satu tahun yang lalu.

“Aksa,” Saranita menarik tangan Aksara untuk masuk ke dalam satu payung yang sama, kemudian dibalas dengan rengkuhan lembut di bahunya. Gadis itu menengadah, menatap Aksara dari posisinya. “Nanti sakit kalau kehujanan.”

Semesta malam ini benar-benar membingungkan. Belum ada satu jam yang lalu Saranita tidak dibiarkan sakit karena menghisap sebatang nikotin oleh Ajinaka, tapi detik ini gadis itu justru melabuhkan seluruh perhatiannya pada Aksara. Tanpa dipinta tiba-tiba Aksara mengambil alih payung itu, seolah tidak membiarkan Saranita kesulitan karena tinggi badan mereka yang cukup berbeda.

IMG-20210717-134800

Tadi di jalan pulang, tiba-tiba perut Saranita bunyi yang membuat Aksara langsung membawa gadis itu masuk ke dalam kedai bakso sederhana di pinggir jalan. Rasanya satu detik pun Aksara tidak akan pernah membiarkan Saranita merasa menderita, entah kenapa. Seperti pria itu memiliki sebuah tanggung-jawab untuk menjaga gadis yang ada di hadapannya sekarang.

Saranita menggeleng untuk menjawab kalimat tanya yang Aksara tulis beberapa detik lalu di atas buku catatannya. “Bukan enggak enak, Aksa.”

IMG-20210717-134747

Saranita menarik mangkuk bakso, meraciknya dengan tambahan sambal yang sudah disediakan di atas meja. Seluruh pergerakannya berhenti ketika suara yang tidak asing masuk ke dalam rungunya.

Loh, Sara? Sudah lama enggak ke sini. Ayah apa kabar?” tanya pemilik kedai bakso sambil meletakkan dua gelas es teh manis hangat yang dipesan oleh Aksara. Saranita ingat, namanya Pak'De Amin, teman Ayah waktu di rumah yang dulu. “Sejak kalian pindah rumah, jadi sepi.”

Saranita mengangkat kedua sudut bibirnya, “Ayah baik sepertinya, Pak'De.”

“Sepertinya?”

“Sara sudah enggak tinggal sama Ayah soalnya.” jawab Saranita mutlak, berharap Pak'De Amin tidak bertanya lagi perihal keluarganya yang memang sudah tidak ada yang tersisa semenjak mereka pergi dari rumah lama.

Tapi sepertinya harapan hanya sekedar harapan, Pak'De Amin justru duduk di sebelah Aksara, bersedia untuk menyimak cerita dari bibir kecil Saranita. “Kok kamu bisa enggak tinggal sama Ayah? Kalau Ibu, gimana?”

Aksara mengerti bahwa menceritakan tentang keluarganya selalu membuat Saranita merasa tidak ada gunanya. Oleh karena itu ia meminta dengan sopan agar Pak'De Amin meninggalkan mereka berdua dengan alasan Aksara hanya ingin berdua dengan Saranita tanpa diganggu. Sepeninggalan Pak'De Amin, Aksara menggenggam tangan Saranita di atas meja seolah menyalurkan sedikit ketenangan yang ia punya.

“Gue payah banget, ya, Sa?”

Aksara justru menggeleng, kembali menulis di atas buku catatannya.

IMG-20210717-134733

Saranita menatap Aksara dalam, gadis itu bingung kenapa pria seperti Aksara selalu memiliki kalimat yang tidak bisa diberikan orang lain untuknya? Saranita bingung, kenapa pria seperti Aksara justru lebih mampu menyuarakan kalimat syukur yang tidak pernah ada habisnya ketimbang ia?

Saranita bingung, kenapa Aksara bisa menerobos masuk ke dalam hatinya padahal ia sudah mengunci dengan rapat dan kuncinya sudah dibuang entah kemana. Sebab Saranita tahu, ketika ia jatuh cinta pada seseorang maka ada sebuah rasa yang harus ia pertanggung-jawabkan, entah rasanya sendiri atau bahkan rasa milik Aksara juga.

IMG-20210717-134656

Sebelum mengenal Aksara, gadis itu tidak pernah tahu bagaimana caranya menangis, ia tidak pernah tahu berapa banyak perasaan sakit yang terus menggores bagian hatinya. Waktu itu ia kaku, tidak pernah tahu bagaimana kalau hatinya berdetak di depan wajah Aksara yang lugu. Pria itu hadir, mengembalikan suasana mencekam yang terancam punah di bagian hatinya terdalam. Kedua sudut bibirnya terangkat, ia memerhatikan Aksara yang kini berpindah tempat.

IMG-20210717-134714

Tentu, Saranita mengangguk tanpa aba. Ia bahkan bersedia untuk menabrakkan daksanya pada milik Aksara, menenggelamkan wajahnya di dada bidang pria itu yang dibalut dengan jaket berwarna hitam. Malu-malu kedua sudut bibirnya kembali terangkat penuh, tidak dibiarkan terbenam apalagi rapuh.

Love-Hate-MARKHYUCK

cr. to owner.

Membunuh waktu untuk mengungkap sebuah rasa.

Kalau Saranita perihal apa yang paling malas ia lakukan ketika pagi hari, maka jawaban lantangnya adalah berangkat ke sekolah. Sebab tidak ada lagi Ayah yang akan mengantarnya dengan sepeda motor tua seperti tiga tahun silam, sekarang yang ia miliki hanya dua kaki yang mengantarkannya ke halte di pinggir jalan besar. Sialnya, jarak dari rumah ke halte tidak dekat. Jadi mau atau tidak mau, Saranita harus rela berkeringat sebelum sampai ke sekolah.

Pada akhirnya setelah memastikan pintu rumah tertutup dengan rapat, Saranita menghela nafas tanpa ragu. Jemarinya mengepal kuat, meyakinkan dirinya sendiri agar bisa untuk sekedar menatap netra kecokelatan milik Aksara nanti. Tangannya terangkat untuk mengambil ponsel, jemarinnya mengetik suatu pesan untuk pria yang berhasil mengisi separuh hatinya. Kedua sudut bibir Saranita terangkat sempurna ketika mendapat balasan secepat kilat seperti dugaannya.

“Sar,”

Perempuan yang namanya dipanggil itu mendongak, sedikit terkejut ketika justru Ajinaka yang ada di sana bersama dengan mobil hitam yang Saranita yakin pasti milik Ayahnya. Desahan sedikit putus asa terdengar begitu saja dari bibir Saranita, ia malas.

“Ngapain lagi, sih, Jin?”

Ajinaka menunjuk mobilnya dengan satu jari, tersenyum kecil. “Gue anter ke halte.”

“Gue punya kaki.” Lantas, perempuan itu melangkahkan kaki, meninggalkan Ajinaka yang masih berdiri di depan pagar rumahnya.

“Ada banyak hal yang mau gue omongin ke lo.” kata Ajinaka, hampir saja berteriak agar Saranita menghentikan langkah. Tapi sepertinya usaha Ajinaka sia-sia, sebab perempuan itu justru mempercepat langkahnya, sambil menyumpal telinganya dengan earphone. “Tentang Aksara.”

Saranita diam, tidak melanjutkan langkah kakinya ketika nama itu disebutkan. Matanya memejam sesaat, kemudian melepaskan earphone yang sebenarnya tidak tersambung dengan ponselnya. Daksanya memutar, tatapan matanya jatuh pada Ajinaka.

“Ada banyak hal yang enggak pernah lo tahu tentang Aksara, kan?” tanya Ajinaka, ia sampai di hadapan Saranita dengan senyum kecilnya. Pria itu merenggangkan tangan, menghirup udara dengan rakus lalu mengeluarkannya secara tulus. “Enggak adil.”

“Apa?” Dalam hati sebenarnya Saranita membenarkan kata-kata Ajinaka, karena rasanya begitu memang tidak adil ketika ia sangat terbuka di depan Aksara, berusaha menceritakan segala yang terjadi tapi pria itu justru sebaliknya.

“Mau gue anter? Kita sambil ngobrol di dalem.”

Saranita menggigit bibir bagian dalamnya, mempertimbangkan tawaran Ajinaka. Setelahnya mengangguk sebab ia benar-benar ingin tahu segalanya tentang Aksara. “Anter gue sampe halte aja.”

Ajinaka meraih pergelangan tangan Saranita, membawa perempuan itu masuk ke dalam mobilnya dengan hati-hati—tangannya bahkan beralih untuk melindungi dahi perempuan itu agar tidak terantuk langit-langit mobil.

“Pas sampe halte, gue harap lo udah selesai ngomong tentang Aksara ke gue.” Awalnya Saranita sempat terkesima dengan bagaimana cara Ajinaka memperlakukannya. Maklum saja, dulu Ayah bahkan tidak pernah memperlakukan Saranita selembut itu. Hanya Aksara dan akan selalu Aksara orang pertama yang selalu membawa pelukan hangat untuk Saranita.

“Ayahnya Aksara suka mabuk.” Kalimat pertama itu Ajinaka keluarkan, seiring dengan pria itu menjalankan mobilnya pelan. Rasanya ia hanya ingin membunuh waktu bersama Saranita di ruang ini, entah mengapa.

Saranita memutar bolamatanya malas, “Lo bilang mau ngomong tentang Aksara, bukan Ayahnya.”

“Aksara ....” Ajinaka menggantungkan kalimatnya, ia bingung bukan main. “Aksara itu penyebab Bundanya meninggal.”

Saranita membeku, tidak percaya begitu saja dengan kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh bibir Ajinaka. Ia berdeham, “Kematian itu kepergian yang mutlak, Ajinaka. Enggak ada orang yang bisa disalahkan dengan kepergian itu sendiri. Lagian, kenapa kepergian harus disalahkan? Setiap orang datang ke dalam hidup kita pasti untuk pergi.”

“Berarti lo tahu kalau suatu saat Aksara bakalan pergi dari hidup lo?” Ajinaka menghentikan mobilnya di bahu jalan, tepat menghadap ke arah halte yang mana ada Aksara di sana sedang mengamati beberapa metro mini yang hanya sekedar mampir atau bahkan melewati halte itu. “Lo sayang sama Aksara, ya, Sar?”

Saranita diam, tangannya meremat rok abunya cukup keras. Netra perempuan itu tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Aksara di halte. “Gue .... enggak pernah bisa mengenali rasa gue sendiri, Jin. Gue enggak tahu gimana rasanya jatuh cinta, sayang sama orang lain selain ke Ibu sama adek-adek gue.” Suaranya bergetar, namun netranya masih bersinar bagai purnama di gelapnya malam. “Aksara ....” Saranita menggantungkan kalimatnya, ia menyipit ketika mendapati Utami yang tiba-tiba saja datang dan duduk di halte bersama dengan Aksara. Awalnya Saranita ingin mengungkapkan seluruh perasaannya pada Aksara di depan Ajinaka, agar pria itu bisa mencegah adiknya untuk mendekat lebih jauh. Namun kalimat itu hanya sekedar sampai pada tenggorokannya, Saranita tidak mampu. “Aksara .... cuma sebagian orang yang ditugaskan Semesta cuma buat mampir di kehidupan gue. Itu sebabnya gue sebisa mungkin memanfaatkan waktu dan kesempatan buat kenal dia lebih jauh.”

Awalnya Ajinaka hanya diam, namun kini ia memberanikan diri untuk mengelus rambut Saranita dengan tangannya yang bergetar. “Lo udah mempersiapkan semuanya kalau tiba-tiba Aksara pergi dari hidup lo?”

Saranita terkekeh, menatap Ajinaka lamat-lamat. “Enggak ada kehilangan yang dipersiapkan dengan baik, Ajinaka.” Meraup udara dengan rakus, mengganti rasa sesak di dalam dadanya. Kemudian tangannya mengambil ponsel, mengirim pesan singkat untuk Aksara.

“Tapi gue yakin, suatu hari nanti ketika gue kehilangan Aksara, gue bakalan catet tanggal itu.”

“Kenapa?”

Saranita mengalihkan pandangan ke arah Ajinaka, “Biar tahun depan-nya gue bisa merayakan kehilangan.” Tiba-tiba ia tertawa, “Jin, anter gue ke sekolah, ya? Kalau nunggu metro mini selanjutnya pasti gue terlambat.”

Ajinaka mengangguk, kemudian menjalankan mobilnya lagi. Sebelum berbicara dengan Saranita, tidak pernah rasanya Ajinaka merasakan getaran seperti hari ini ketika mendengar penuturan hangat dari bibir perempuan itu. Ajinaka pada akhirnya menyadari satu hal, rasa Saranita untuk Aksara sudah pada tahap bisa merelakan jika sesuatu terjadi pada pria itu. Aksara tahu, semakin dalam rasa itu, maka akan semakin dalam pula lukanya nanti.

“Sar,” tangan Aksara bergerak untuk menggenggam milik Saranita tanpa permisi, mengelus punggung tangan perempuan itu menggunakan ibu jarinya. “Aksara enggak akan pernah nyakitin lo. Percaya sama gue, ya?”

“Jin,” Saranita segera menarik tangannya. “Lo aneh.”

“Aneh?” Ajinaka membagi fokusnya, sekilas melirik Saranita yang sedang tersenyum kecil.

“Lo suka sama gue, ya?”

Semua yang dilakukan, beserta dengan alasan.

Sudah satu minggu terlewati, tapi keadaan sama sekali tidak berubah. Terlebih untuk pria berkaus putih yang sedang menggenggam erat penanya. Perasaan pria itu campur aduk kala netranya mendapati seorang perempuan yang satu tahun lebih muda darinya, sedang fokus menatap beberapa buku tebal yang dua hari lalu diberikan oleh Mamanya.

“Kak Ajin,” panggil perempuan itu, mengalihkan pandangan dari buku fisikanya.

Pena di genggaman Ajinaka jatuh begitu saja. Matanya membulat, ia terkejut ketika Utami memanggil namanya tanpa aba. “Y-ya? Kenapa, Tami? Ada yang enggak ngerti?”

Helaan nafas berembus begitu saja dari bibir perempuan berpita biru di rambutnya itu. Kuasanya beralih untuk menutup buku, kemudian menatap lekat ke arah Kakak kandungnya. “Kakak ngomong apa ke Kak Aksara?”

Jemari Ajinaka mengepal kuat ketika nama seseorang yang sangat ia benci diucapkan dengan lantang oleh Utami. Ia sungguh tidak pernah mengerti kenapa perempuan yang memiliki status sebagai adiknya itu begitu terobsesi untuk menempati singgasana paling dalam di lubuk hati pria bernama Aksara. Padahal Utami tahu bahwa Ajinaka begitu membencinya dan Ayahnya.

“Gue enggak ada ngomong apa-apa sama Aksara.” balas Ajinaka senetral mungkin. Jemarinya kembali mengenggam pena, berusaha mengalihkan perhatian Utami dengan terus fokus pada buku di hadapannya.

“Bohong.”

Ajinaka mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Utami yang mengintimidasinya. “Gue enggak bohong.” Benar, Ajinaka tidak berbohong. Memang dekat-dekat ini ia sudah tidak lagi bertemu dengan Aksara, mengikuti seluruh permintaan Utami untuk tidak mendekati pria itu.

“Jangan bohong, Kak!” teriak Utami yang membuat rahang Ajinaka mengeras.

Baru saja Ajinaka ingin menjelaskan tentang apa yang terjadi—termasuk hari dimana teman-temannya yang berusaha menghabisi Saranita, tapi sebuah suara berhasil mengalihkan perhatiannya. Ajinaka menunduk dalam—begitu pula dengan Utami—kala seorang wanita dengan gaun hitam dan sepatu merahnya berjalan menghampiri mereka.

“Utami sudah selesai belajarnya?” tanya wanita itu, melepaskan kacamata hitam yang bertengger di batang hidung. “Kalau sudah, boleh tinggalkan Mama dan Kak Ajinaka berdua di sini? Ada yang harus Mama bicarakan.”

Utami mengangguk, langsung beralih mengemas barang-barangnya dan meninggalkan ruang belajar, menyisakan Yuna dan Ajinaka dalam diam untuk beberapa menit. Sepeninggalan Utami, ruang persegi ini hanya berisi suara denting jarum jam yang terus berjalan detik demi detik. Jantung Ajinaka berdetak dua kali lebih cepat dari pada biasanya ketika melihat Mama membuka sabuk yang melingkar di pinggangnya.

“Ma, Ajinaka enggak berbuat apa-apa.” Hanya kalimat itu yang bisa Ajinaka lontarkan saat tatapan Mama berubah mematikan. Ajinaka benar-benar tidak pernah mengerti pada keadaan yang selama ini menguasai dirinya juga orang-orang yang ia sayang. Mama sungguh tidak berubah setelah kepergian Papa, hal itu tentu membuat Ajinaka merasa muak dengan segala perbuatan wanita itu semakin hari.

Kuasa Yuna terangkat untuk mengelus wajah anak pertamanya yang sudah duduk bersimpuh di hadapannya dengan mata yang memerah, memohon ampun sebelum akhirnya sabuk itu mengenai sebagian tubuh kekarnya. “Kamu tahu kenapa saya pulang hari ini? Padahal masih banyak yang harus saya lakukan di Italia.”

Pria berkaus putih itu meneguk salivanya, berusaha mengingat kesalahannya satu pekan ini. Namun tidak ada, semuanya berjalan sesuai dengan apa yang Yuna inginkan. Memang, Ajinaka hidup hanya untuk menuruti semua keinginan Mamanya.

“Saya pulang karena dapat email dari pihak sekolah kalau kamu dan temanmu berusaha menghabisi seorang perempuan dari sekolah lain.” Satu pukulan dari sabuk itu Yuna layangkan, mengenai Ajinaka tepat pada punggungnya. Wanita bergaun hitam itu berdiri, menyisir rambut Ajinaka dengan lembut. “Apa ini yang kamu dapatkan setelah dua belas tahun tinggal sama Papamu, Ajinaka?!”

“Ma, Ajinaka bisa jelasin.” jawabnya dengan nada merintih, berusaha sebisa mungkin menahan rasa sakit pada bagian punggungnya. Ajinaka tidak menangis, sebab ia tahu bahwa Yuna tidak akan menyukainya. “Yang ngelakuin itu bukan Ajinaka, Ma. Ajinaka cuma berusaha ngomong ke Saranita untuk segera jauhi Aksara karena—”

“Saya enggak mau mendengar alasan kamu, Ajinaka.” potong Yuna dengan nada rendahnya.

Ajinaka menggeleng, ia perlu melanjutkan kalimatnya supaya Mamanya itu mengerti. “Karena Utami sayang banget sama Aksara. Utami bilang ke Ajinaka kalau enggak bisa tidur setiap malam karena ada perempuan lain di sekitar Aksara.”

Yuna mengerinyit kebingungan. “Utami sayang sama Aksara? Sebagai apa?”

“Sebagai pria.” jawab Ajinaka dengan lantang. Pria itu berdiri, menatap Yuna dengan tatapan penuh harapan. “Putusin hubungan Mama sama Ayahnya Aksara, ya, Ma? Mama enggak mau lihat Utami terluka kayak waktu ditinggal sama Papa, kan? Mama sayang banget sama Utami, kan?”

Yuna menggeleng keras, netranya menatap Ajinaka tegas. “Mama sudah merencanakan pertunangan dengan Ayahnya Aksara.” Yuna beralih, mengambil tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja, hendak pergi meninggalkan ruang belajar yang ia buat khusus untuk kedua anaknya.

“Gimana perasaan Utami kalau tahu Aksara bakalan jadi Kakak tirinya, Ma?”

Kalimat tanya Ajinaka ternyata mampu membuat Yuna menghentikan langkahnya, matanya memejam sesaat untuk menetralisir isi pikirannya. Bagaimana pun juga rencananya untuk bertunangan dengan Sonny tidak boleh dibatalkan, bisa-bisa reputasinya sebagai fashion designer terbaik senegara ini akan hancur begitu saja. “Mama yang akan urus Utami. Kamu urus dirimu sendiri, jangan terus-terusan buat Mama mengeluarkan uang untuk tutup mulut guru-gurumu.”

Setelah kepergian Yuna, pria bersurai kecokelatan itu mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Tatapan Ajinaka beralih pada bingkai foto yang paling besar di ruang belajar, fotonya bersama Papa juga Utami yang saat itu masih berumur tujuh tahun, sedangkan dirinya berumur delapan. Setelah perpisahan Papa dan Mama, Ajinaka sudah berjanji pada Utami untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam keluarganya untuk menggantikan posisi Papa di hati Mama. Itu sebabnya Ajinaka begitu membenci Sonny, karena seluruh harapan Utami ada pada dirinya.

Ajinaka selalu mendahulukan perasaan Utami ketimbang perasaanya sendiri. Pria yang duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas itu sangat menyayangi adik satu-satunya. Ajinaka bahkan selalu mengusahakan untuk memenuhi seluruh permintaan Utami, termasuk mempertemukan perempuan kecil itu lagi pada Aksara—walau tidak bisa dipungkiri bahwa Ajinaka begitu membenci pria itu.

“Kak,” Utami datang, membawa satu gelas air mineral dan dua potong sandwich kesukaan Ajinaka. Kedua sudut bibirnya tersangka penuh, sedangkan netranya menangkap Ajinaka yang sibuk membenahi diri. “Habis belajar, makan dulu, yuk?”

Perasaan marah Ajinaka kepada Yuna lenyap begitu saja ketika netranya mendapati senyum manis yang terlukis di wajah adik satu-satunya itu. Ia berdiri, mengambil satu sandwich yang dibawakan Utami dan memasukkan ke dalam mulutnya. “Enak! Buatan siapa?”

Utami tertawa kecil, tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Ajinaka. Kuasanya terangkat perlahan untuk mendarat di punggung Ajinaka, mengelusnya dengan lembut, berharap rasa sakit itu segera pergi dari seluruh daksa Kakaknya. Utami tahu, segala yang dilakukan Mamanya pada Ajinaka, termasuk percakapan keduanya, karena sebenarnya ia tidak benar-benar pergi tadi.

“Kak,”

Ajinaka mengalihkan pandang dari makanannya ke arah Utami dengan senyum manis. Mulutnya penuh tapi ia tetap mengeluarkan kalimatnya, “Tami enggak makan? Ini enak, lho!”

Utami menggeleng, tapi air matanya meluncur begitu saja membasahi pipinya. “Maafin, Tami, Kak.”

Kalimat permintaan maaf dari Utami seketika membuat darah Ajinaka berdesir. Ia menutup matanya untuk beberapa menit karena tidak mampu untuk sekedar melihat air mata yang keluar dari manik indah Utami. Tangan besarnya terangkat, mengelus surai legam adiknya dengan lembut. “Gue enggak kenapa-napa.”

“Tami tahu apa yang Mama lakuin ke Kak Ajin.” balas Utami, masih dengan nada yang tersendat.

Ajinaka terkekeh, “Abang lo ini kuat, lihat! Otot gue gede begini, masa lo mau kasihan sama gue.”

Perempuan itu tidak tertawa, ia hanya menatap Ajinaka dalam, seolah tenggelam dalam manik pria itu untuk mencari sesuatu yang jelas-jelas disembunyikan.

“Tami,”

Utami menggeleng ketika lagi-lagi tangan Ajinaka mendarat di bahunya. “Utami enggak mau Mama nikah sama Om Sonny, Kak.”

Lagi-lagi helaan nafas yang hanya pria itu berikan untuk Utami, sebab Ajinaka tahu dengan jelas bahwa adiknya itu teramat menyayangi Papa. Tidak mungkin Utami menerima begitu saja siapapun yang masuk ke dalam hati Yuna.

“Lo enggak usah takut, Tami. Gue bisa pastiin kalau Mama enggak jadi nikah sama Ayahnya Aksara, apapun alasan-nya.”

Utami menatap Ajinaka penuh harap, “Kak, Tami sayang sama Kak Aksara...”

Ajinaka pening, ia tidak tahu apa lagi yang mampu ia lakukan untuk adiknya selain mau atau tidak mau mendekatkannya dengan Aksara. Kepalanya bertambah pening ketika bayang wajah Saranita memenuhi pandangannya, terlebih ketika perempuan manis itu tersenyum tulus.