Bunda, Jakarta dan Saranita.
Kali ini, bunga mawar merah yang berada di genggaman Aksara. Ditemani dengan buku catatan berwarna merah muda yang pernah diberikan oleh Bunda, pria berkaus putih itu berdiam diri di hadapan gundukan tanah dengan batu nisan dengan nama Bunda yang diukir apik di atasnya. Senyum manis itu terbit, ia berjalan perlahan untuk menghampiri rumah terakhir Bundanya.
Ketika kakinya melangkah, perlahan demi perlahan, hatinya makin menyempit. Aksara berteriak walau ia tidak mampu membuat kebisingan di muka bumi. Ia ingin Bunda kembali, pulang dan sarapan lontong sayur kesukaannya.
“Bunda, Aksara di sini.” Air muka Aksara berubah, ia berusaha sebisa mungkin menahan tangisnya. Hebatnya, dia kembali melukis sebuah senyum indah di kanvas wajahnya. “Bunda apa kabar? Aksara bawa mawar merah minggu ini.”
Aksara tidak pernah mengerti kenapa Tuhan ambil nyawa Bunda di saat ia membutuhkan wanita hebat itu lebih dari siapapun. Aksara juga tidak pernah mengerti kenapa Ayah yang justru menjadi satu-satunya harapan untuk bertahan, justru menjadi sosok yang berbeda setelah kepergian Bunda. Aksara tidak pernah mengerti bagaimana cara Semesta bekerja, mengatur orang-orang di dalamnya agar merasa diperlakukan dengan adil.
Aksara... benar-benar tidak pernah mengerti teka-teki yang diciptakan Semesta, harus berakhir pada bagian mana ia berlabuh. Entah berlabuh, atau bahkan tenggelam dalam palung yang teramat dalam.
Tangannya bergerak untuk meletakkan bunga mawar merah itu di atas makan Bunda, senyum secerah pagi ini tidak pernah lepas dari bibirnya. Walaupun hanya sebuah kepura-puraan semata, tapi tidak apa. Di hadapan Bunda, Aksara harus tidak terlihat lemah.
“Di surga nyaman, ya, Bun?” Dia tertawa, sudah pasti tanpa suara. Tangannya berpindah untuk mengelus batu nisan yang terukir nama Bunda, seolah tidak membiarkan hewan sekecil apapun singgah. “Kalau lebih nyaman di surga, Bunda kok enggak ajak Aksara?”
Aksara tahu, kalau Bunda berdiri di hadpannya sekarang, Bunda pasti bilang, “Kalau Aksara belum dipanggil sama Yang Kuasa, itu artinya Bumi masih membutuhkan manusia hebat seperti Aksara.” Sambil mengelus kepalanya lembut, menyisir rambut legamnya dengan jemari hangat.
“Kata Bunda, enggak pernah ada yang lebih menakutkan dari pada kematian. Tapi nyatanya, justru kehidupan adalah hal yang paling menakutkan di dunia.” Akhirnya, air mata Aksara turun membasahi pipi. Jemarinya terkepal kuat, menahan rasa sakit yang memeluknya erat. Aksara tahu, saat itu Bunda tidak berbohong. Sebab ketika Bunda berbicara seperti itu, ia masih ada di dunia. Setelah kehilangan Bunda, nyatanya tidak ada yang lebih berat dari pada kehidupan.
“Bodoh, bangun! Katanya lo bakalan pergi lima menit kalau gue pergi. Tapi nyatanya, lo enggak ada di sini. Bodoh, lo emang bodoh banget.*”
Aksara mengalihkan pandang, menatap seorang gadis yang sedang marah-marah di depan makam seseorang. Tanahnya masih basah, membuat Aksara cukup tahu kalau ternyata itu baru. Gadis itu memakai gaun hitam selutut, ada goresan panjang di bagian kakinya. Netra yang dilindungi oleh kacamata hitam itu tidak beralih dari papan kayu dengan nama Naratama Adhy di sana. Yang Aksara lihat, gadis itu tidak membawa bunga. Ia hanya marah-marah seperti orang kehilangan akal. Dari gadis itu Aksara mengerti, ada banyak sekali cara ungkap manusia-manusia di muka bumi. Entah dari mengungkap sebuah kekecewaan, kesedihan atau bahkan kebahagiaan yang Aksara belum pernah temukan.
“Bunda, Aksara izin pamit, ya? Nanti kalau ada kesempatan, Aksara mampir lagi ke sini, mengenalkan dunia Aksara yang digenggam oleh gadis manis bernama Saranita.” Sebelum berucap dalam hati, tatapan Aksara kembali beralih. Kurva di bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyum yang hampir menyentuh kata sempurna.
Pria itu berdiri, kemudian melangkah pergi. Meninggalkan Bunda, dengan pamit yang sementara. Dalam hati, ia meminta pada Semesta agar diizinkan untuk kembali pada rumah Bunda yang terakhir, bersama dengan Saranita dan menggenggam jemari gadis itu.
Ah, Saranita memang tidak pernah membuat Aksara merasakan sebuah rasa bernama kecewa. Hanya dengan menyebut namanya saja, Aksara sudah seperti mabuk kepayang. Membayangkan senyum manis gadis kecil itu, seluas himalaya dan tidak pernah abu-abu.
Tangannya bergerak untuk melepaskan alat bantu dengar. Sebenarnya Aksara tidak suka alat itu, sebab ia akan mendengar seluruh ucapan menyakitkan yang disebabkan oleh manusia untuknya. Kemudian gerakan di tangannya berubah untuk mengambil ponsel di dalam saku kemejanya.
Saranita, ia harus menghubungi Saranita.