Surat dan kenangan tentang Bunda.
Sudah satu tahun lebih dua bulan setelah kepergian Bunda. Terlalu banyak semoga yang tidak pernah bisa Aksara layangkan di udara untuk wanita kesayangannya. Pria kecil itu tahu, Bunda sudah pergi dengan tenang, meninggalkannya sendirian bersama peristiwa yang sekarang hanya mampu dikenang.
Tangan Aksara bergertar ketika menyentuh amplop cokelat sederhana berisi satu surat yang entah, ia juga tidak tahu apa isinya. Air mata tidak menggenang di pelupuk matanya, hanya saja nafasnya sudah mulai tersenggal sedari tangan kanannya membuka lemari milik Bunda. Wangi tubuh wanita yang Aksara rindukan itu menyeruak sampai rongga dada, membuatnya sesak tanpa ada kata ampun.
Langkah kaki membawanya untuk duduk di sudut kasur Bunda. Ia menatap amplop cokelat yang masih menguliti surat itu cukup lama. Lamat-lamat dengan tatapan yang ia sendiri tidak mampu artikan. Setelah lima menit bergelut dengan perasaaan-nya sendiri, akhirnya berani untuk mengeluarkan satu lembar kertas yang bisa saja membuat rasa rindunya ke pada Bunda semakin membuncah.
Pelan-pelan Aksara membunuh keheningan dengan kenangan-kenangan bersama Bunda yang terekam dengan baik di kepalanya. Dengan perasaan yang mengambang, Aksara mulai membaca susunan kalimat sederhana yang dibuat Bunda khusus untuknya sebab ia membaca ukiran sederhana yang bertuliskan namanya.
Aksara, ini Bunda. Nak, kalau surat ini sudah sampai di tangan kamu, itu artinya Bunda sudah tidak lagi bisa menggenggam tanganmu. Bunda sudah tidak bisa lagi mengelus kepala Aksara ketika selesai mengerjakan tugas sekolah.
Berkali-kali helaan nafas keluar begitu saja. Semakin lama, maka suara nafas Aksara seolah berkejar-kejaran dengan detik waktu. Sialnya pria itu tidak dapat mengungkapkan perasaannya lewat air mata.
Aksara, kalau Bunda pergi nanti.... ada hal yang Bunda inginkan dari Aksara. Bunda hanya ingin Aksara hidup dengan baik, Bunda ingin Aksara tidak pernah terluka di seumur hidup Aksara, Bunda ingin Aksara kerja di gedung-gedung tinggi Jakarta seperti apa yang Aksara katakan ke Bunda.
Nanti, ketika Bunda hanya bisa lihat Aksara dari atas surga, Bunda tidak pernah mau ada air mata di setiap hari-hari Aksara. Bunda ingin Aksara tersenyum dan bahagia untuk hal-hal sederhana. Sebab Aksara ingat apa yang kita bicarakan sore itu di taman, kan? Kebahagiaan bisa kita ciptakan sendiri.
Jemari Aksara sudah mulai meremat bagian ujung kertas putih itu, dadanya terasa kian memberat ketika matanya membaca kalimat-kalimat yang disusun oleh Bunda. Aksara berharap wanita yang berperan sebagai dunianya itu ada di sini, duduk sambil memeluk daksanya yang sebenarnya tidak sekuat itu.
Aksara, untuk apapun yang terjadi, Bunda mau kalau Aksara selalu ada di samping Ayah, ya? Ayah tidak pernah suka kesepian, Ayah tidak pernah suka sendirian, dan Ayah mudah terluka. Untuk apapun yang terjadi, segala bentuk perlakuan-perlakuan yang mungkin saja nantinya tidak Aksara inginkan, itu adalah sebuah bentuk kasih sayang. Aksara tahu itu, kan?
Aksara terkekeh tanpa suara. Dalam hati ia bergumam, “Bohong. Bunda bohong. Setelah kepergian Bunda, Aksara belum pernah merasa sebuah kasih dari Ayah.” Setelah itu, matanya kembali membaca setiap kata di atas kertas putih itu.
Aksara tahu kalau kamu itu anak kesayangan Bunda, kan? Kasih sayang Bunda untuk Aksara itu seperti lingkaran, tidak pernah ada ujungnya. Bunda tidak pernah peduli dengan kalimat-kalimat menyakitkan yang dilontarkan beberapa orang untuk Bunda. Tapi Bunda berkali-kali merasa terluka jika mereka bicara tentang putra kesayangan Bunda. Sudah Bunda bilang, Aksara itu adalah sebuah bentuk keistimewaan yang Tuhan berikan untuk Bunda. Karena Aksara istimewa, itu sebabnya Aksara ada di sini.
Perihal pertanyaan Aksara ketika dua tahun sebelum Bunda menulis surat ini. Waktu itu Aksara bertanya, “untuk apa Aksara dilahirkan dengan keadaan yang seperti ini, kan?” Bunda benar-benar kelu. Pikiran Bunda buntu. Tapi hari ini Bunda punya jawabannya. Ketika Tuhan minta Aksara untuk dilahirkan ke dunia, ketika itu pula dunia yang besar ini membutuhkan Aksara. Terima kasih ya, jagoan kecil Bunda. Terima kasih karena tidak pernah mengeluh karena sudah terlahir dari rahim Bunda yang tidak sempurna. Terima kasih sudah menerima segala bentuk pemberian Tuhan untuk Aksara.
Pria berkaus abu-abu itu tersenyum kecil walau air mata sudah membasahi seluruh bagian pipinya. Jemarinya mengepak erat seolah menyalurkan rasa yang menjalar di dalam dada.
Sekarang, Bunda pamit, ya? Terlalu banyak semoga yang ingin sekali Bunda panjatkan untuk Aksara. Tapi bagian terpentingnya adalah, semoga Tuhan memberikan satu orang yang mampu membuat Aksara bahagia dengan hal-hal sederhana. Semoga Tuhan kasih satu orang yang menjaga perasaan anak Bunda dengan kekuatan yang penuh. Semoga Tuhan kasih orang yang tepat untuk jadi teman Aksara.
“Aamiin.”
Aksara tersenyum kecil ketika ia menghabiskan setiap kalimat yang dituliskan oleh Bunda. Pandangannya mengedar di setiap sudut kamar persegi yang selalu gelap milik Bunda, sebab setelah kepergian wanita itu, Ayah sudah tidak pernah suka berada di ruangan yang wanginya selalu sama seperti Bunda.
Dari bingkai-bingkai foto kecil di atas meja Aksara sadar, terlalu banyak waktu yang ia habiskan bersama Bunda. Tapi setelah satu tahun kehilangan seseorang yang tidak akan pernah ia lupakan, Aksara akhirnya bisa hidup dengan sendirinya. Walau tergopoh-gopoh, Bunda pasti bangga ketika melihat senyum manis yang selalu Aksara bawa ke mana-mana.
Ada waktu di mana Aksara selalu minta sama Tuhan untuk kembalikan Bunda di Semesta yang luas ini. Rasanya Aksara ingin menggenggam telapak tangan Bunda, melihat senyum Bunda dan membawanya ke seluruh dunia untuk dipamerkan bahwa ia memiliki satu wanita yang selalu menjaga hatinya.