Tutup telinga.

Ini empat sore. Sakit karena tiba-tiba kena serangan anak-anak yang sedang mengadu nyawa akhirnya dapat ditaklukan oleh senyum Aksara yang saat ini terlukis dengan jelas di wajahnya. Pria itu dengan hati-hati menuangkan alkohol di atas kapas lalu membersihkan luka milik Saranita. Alih-alih berteriak karena rasa sakit, gadis itu justru melabuhkan pandangannya pada wajah tampan milik Aksara.

“Ganteng banget.” katanya tanpa sengaja. Masih belum menyadari kata apa yang keluar dari bibirnya, senyum manis itu masih bertengger dengan sempurna di wajahnya.

“Woi!” Teriakan itu datang bersamaan dengan gebrakan meja dari Nugraha yang datang bersama Ananda.

Saranita terkejut bukan main, jantungnya seperti akan berhenti berdetak saat itu juga sebelum netranya mendapati Nugraha yang sedang terbahak sambil mengambil gorengan di atas meja. “Kalo gue mati, gimana?! Dateng itu salam, bukan gebrak meja. Kelakuan lo kaya Abu Lahab aja.”

Tanpa ada rasa bersalah, Nugraha justru sibuk mengambil satu kursi untuk duduk di samping Saranita. “Katanya lo enggak ikut?”

“Ya, emang enggak.” jawab Saranita ketus.

“Terus kenapa bisa babak belur kaya gini?” Kini gantian, Ananda yang mengambil alih segala pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di dalam kepala Nugraha. Pria berjaket hijau itu menatap Saranita tajam, berharap mendapat sebuah jawaban atas pertanyaannya.

Helaan nafas keluar begitu saja dari bibir Saranita. Pandangannya kini teralih, tidak lagi menatap wajah Aksara dengan senyum manisnya. Netra kecokelatan itu berlabuh pada Nugraha dan Ananda bergantian.

“Gue lagi beli gorengan di samping Titan, enggak pakai jaket. Terus diserang gitu aja. Mungkin mereka kenal sama muka gue.” jelas Saranita tanpa minat. Gadis itu terlalu malas kalau sudah berhadapan dengan Ananda, pria itu selalu menyuguhinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tidak ingin Saranita berikan jawabannya.

“Terus tadi lo udah ke ruang konseling karena kejadian tempo hari?” tanya Ananda lagi.

Bolamata Saranita bergerak memutar, sebelum akhirnya berlabuh pada Aksara yang melemparkan tatapan kalau pria itu butuh sebuah penjelasan. Bahu Saranita terangkat malas, “Udah. Gue juga udah jalanin hukumannya.” Gadis itu berdiri, menyambar tasnya yang diletakkan di atas meja. Kemudian kuasanya terangkat untuk menarik Aksara untuk meninggalkan warung sederhana itu.

Namun belum sempat kakinya melangkah, Ananda kembali melontarkan sebuah kalimat untuk Saranita. “Hidup lo cuma perihal menerima hukuman, ya, Sar?”

Genggaman tangan Saranita pada pergelangan tangan Aksara mengeras, membuat pria bersurai legam itu harus menahan rasa sakitnya. Tapi kemudian Aksara tersenyum kecil, kini tangannya bergerak untuk menggenggam jemari Saranita guna menyalurkan sebuah kehangatan yang ia punya. Jika saja ia bisa bicara, maka akan ia ucapkan kalimat-kalimat yang berlarian di otaknya untuk Saranita.

“Nan, kita temenan udah berapa lama?” tanya Saranita dengan nada bicara yang teramat kecil. Kalau saja Aksara tidak menggenggam jemarinya, mungkin air mata yang sudah berbicara sekarang. Atau mungkin paling parah, Saranita tidak mampu menatap wajah Ananda.

Saranita kira, selain Aksara, Ananda bisa menjadi tempatnya untuk melepas seluruh beban di pundaknya. Tapi sepertinya Saranita salah, Ananda bukan orangnya. Sebab Ananda ternyata tidak pernah atau parahnya tidak mau mengerti bagaimana tentang Saranita.

“Gue kira kita udah kenal cukup lama, Nan. Gue kira lo udah paham mana yang harusnya lo tahu dan mengerti atau mana yang harusnya cuma lo tahu tanpa menguliknya dari hidup gue. Gue kira,” Bahu Saranita naik turun seiring dengan nafasnya yang memburu begitu cepat. “Gue kira, gue udah cukup tau diri lo yang sebenernya.”

Ananda mendekatkan dirinya pada Saranita, hendak menarik tangan perempuan itu namun dengan cepat ditolak secara kasar. “Maaf, gue salah, Sar.”

“Lo enggak salah, Nan. Gue yang salah. Gue terlalu cepat percaya sama orang. Gue terlalu cepat ambil keputusan karena berfikir kalau lo itu udah kaya Kakak sendiri buat gue.” Melepaskan jemarinya dari milik Aksara, gadis itu berlari entah ke mana. Saranita tidak tahu kakinya akan berhenti di bagian bumi sebelah mana, karena rasanya ia hanya ingin pergi jauh sampai di mana ada satu tempat untuk bersembunyi.

Nafasnya yang tersenggal kini mereda perlahan, seiring dengan langkah kakinya yang memelan tiba-tiba. Sorak-sorai perasaan emosi sudah mereda, tapi semuanya tidak mampu ia lupa entah kenapa. Mulai dari bagaimana Ananda menatapnya, bagaimana kalimat tanya yang padahal Saranita tidak pernah bayangkan keluar dari bibir milik Ananda masih terus membekas. Sore itu Saranita tidak marah, ia hanya sedikit kecewa. Sebab dirinya terlalu banyak meletakkan sebuah harap pada Ananda.

Gadis itu duduk di kursi halte yang jaraknya sudah cukup jauh dari sekolah. Netranya menyisir tiap-tiap sudut kota Jakarta yang masih dan akan selalu dipadati oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Saranita lelah, tapi cukup sadar kalau ia tidak mewajarkan kalimat-kalimat keluhan keluar tanpa landasan dari bibirnya.

“Minum.” Seseorang menyodorkan satu botol minuman dingin di hadapan Saranita bersamaan dengan kedua kurva di bibirnya yang terangkat tulus. Dia mengambil alih ruang kosong di sebelah kiri Saranita, duduk di sana sambil membuka tutup botolnya. “Gue tahu lo lebih suka minuman bersoda. Cuma cuacanya lagi enggak begitu baik buat minum minuman kaya gitu.”

Saranita menghela, ia menatap sebotol minuman rasa jeruk dan wajah pria di sampingnya bergantian. Seragam putih pria itu hampir tidak terlihat warna aslinya karena sudah dipenuhi oleh beberapa bercak darah yang hampir kering.

“Gue diserang pas lagi di depan gerbang tadi. Ini bukan darah gue, tapi temen gue.” jelas pria itu seolah mengerti ke mana arah tatapan Saranita. Tawanya menguar di udara satu menit, tangan kirinya yang bebas terayun untuk mengambil jemari Saranita untuk menerima minuman darinya. “Lo ... mau gue anter ke rumah sakit?”

Kali ini Saranita terketh sumbang. Ajinaka memang pria yang aneh. Jelas-jelas lebam hampir memenuhi bagian wajahnya, lalu bagaimana bisa ia justru menawarkan bantuan pada Saranita yang justru sudah diobati oleh Aksara?

“Lo yang harusnya ke Rumah Sakit, kali.” balas Saranita sebelum meneguk minuman rasa jeruk dari Ajinaka. Gadis itu kembali mengalihkan netra, menatap langit yang hampir saja mendung.

Kalimat tanya yang dilontarkan Ananda tadi kembali memutar di ingatan Ajinaka. Ia sempat mendengar keributan-keributan yang terjadi walau jaraknya berdiri sedikit jauh dari warung yang berada di belakang sekolah SMA 2. Helaan nafas keluar seiringan dengan Ajinaka yang menyandarkan daksanya pada besi panjang di halte. “Omongan orang jangan dimasukin ke hati, Sar. Jangan didengerin. Lo enggak akan bisa jadi sempurna di mata mereka walaupun lo udah ikutin seluruh ucapan mereka.”

Ketika kalimat itu masuk ke dalan rungunya, Saranita merasa sendi-sendi di tubuhnya seakan mati rasa. Tubuhnya mendadak lumpuh karena kalimat Ajinaka membiusnya sampai mendarat tepat pada bagian hatinya. Selama ini Saranita selalu meletakkan perasaan orang lain di atas dirinya, tanpa sadar kalau ia menjadi gadis yang egois untuk dirinya sendiri.

Mungkin hanya lewat Aksara, gadis itu bisa mendahulukan perasaanya sendiri.

“Sar, ngapain harus dengerin orang lain kalau lo punya diri sendiri yang bisa dipercaya?”

Saranita menghela, “Masalahnya, gue aja enggak percaya sama diri gue sendiri, Ajinaka.”

Ex-Hwang-Hyunjin