Tiap sekon waktu yang berisi namanya.
Tidak akan pernah ada habisnya jika kita membahas tentang bagaimana Aksara bersama perasaannya untuk Saranita. Menggambarkan suasana-suasana yang membuat bumi kian elok ketika kedua netranya berlabuh pada wajah manis milik gadis manis itu. Riuh sorak sorai selalu memenuhi bagian dada Aksara ketika netranya bertemu dengar milik Saranita, detak jantungnya bergemuruh bagai petir yang menggelegar di udara. Kadang, jiwa perasa itu tidak dapat meredamnya sendirian sehingga ia memilih untuk menyalurkan perasaanya dengan menggenggam jemari milik gadis di hadapannya yang sedang sibuk dengan semangkuk soto ayam.
“Lo tau dari mana di Jakarta ada warung soto ayam seenak ini?” Saranita mengalihkan pandangan tiba-tiba, membuat Aksara yang terkejut langsung mengalihkan netranya sesaat.
Pria itu mengambil buku catatan berwarna hijau miliknya dari saku jaket berwarna hitam yang selalu membalut daksanya. Menuliskan sesuatu yang selalu ingin Saranita baca. “Saya tahu dari Bunda.”
Saranita selalu tahu, Aksara belajar banyak hal lewat Bundanya. Perihal membaca, menulis, berjalan sampai pada akhirnya pria kecil itu tumbuh untuk bisa berlari. Sekali pun terkadang mungkin Aksara jatuh, tapi pada akhirnya ia bisa kembali berdiri dan membawa pulang jawaban-jawaban yang pertanyaannya selalu ia lontarkan pada Tuhan.
Saranita mengambil alih pena bercinta pekat dari jemari Aksara dengan senyum tipisnya. Kemudian menuliskan sesuatu di atas buku catatan milik Aksara. “Kalau baca pergerakan bibir, belajar dari siapa?”
Aksara terkekeh tanpa suara. Ia ingat ketika pertama kali ia duduk di kursi kelas satu Sekolah Menengah Pertama. Bunda mengajarinya tentang bagaimana cara membaca pergerakan bibir manusia. Aksara juga ingat kalau dulu Bunda sering datang ke panti penyandang disabilitas untuk mengajari banyak hal kepada mereka.
Tepat di bawah pertanyaan Saranita, Aksara menuliskan jawabannya. “Jawabannya Bunda juga, Sara.”
Perihal wanita yang selalu disebut Bunda oleh pria bersurai legam ini, Saranita berkali-kali ingin bertemu walau mungkin ia sudah terlambat. Tapi setidaknya, Saranita ingin datang dan duduk di pemakaman wanita itu, mengucapkan berjuta-juta terima kasih karena telah melahirkan dan membesarkan pria hebat di hadapannya. Karena entah sejak kapan, Aksara bisa masuk begitu mudah ke dalam hati Saranita yang padahal sudah terikat cukup kuat.
Saranita membuka lembar yang baru di buku itu, kembali menuliskan kalimatnya untuk Aksara. “Aksa, tiket Nadin Amizahnya masih berlaku?”
Pria itu menjawab lewat anggukan kepala, bersiap membaca kalimat selanjutnya yang akan dituliskan Saranita melalui goresan tinta dari pena yang berada di genggaman jemarinya.
“Ayo kita nonton konser Nadin Amizah!” tulis Saranita di atas kertas putih itu, kemudian melemparkan senyum kecilnya untuk pria yang sedang menatapnya tanpa berkedip.
Saranita terpaku ketika ia ingat satu hal, perihal konser Nadin Amizah juga alat bantu dengar pria itu yang sudah tidak mampu digunakan seperti sebelumnya. Wajah gadis itu berubah muram, padahal Aksara tetap memamerkan senyum terbaik untuknya. “Aksa .... hening banget, ya?”
Aksara yang bisa menangkap pergerakan bibir Saranita langsung mengambil alih pena di jemari gadis itu. Jemari kirinya menggenggam milik Saranita, menyalurkan sedikit ketenangan untuk gadis kesayangannya. Sedang tangan yang kanan bergerak di atas kertas kosong yang baru saja dibalik menjadi lembar yang baru.
“Kalau hidup dalam keheningan saya sudah biasa, tapi jangan pinta saya untuk hidup tanpa suaramu, saya bisa mati rasa.”
Saranita diam, berjanji pada dirinya sendiri kalau ia akan membawakan alat bantu yang baru. Detik itu Saranita sadar kalau ada yang tertahan dalam senyum milik Aksara sejak pria itu menapaki kakinya di toko bunga tadi.
“Aksa ....”
Aksara tersenyum kecil, jempolnya bergerak untuk mengelus lembut bagian punggung tangan milik Saranita. Lagi-lagi tangan kanannya bergerak untuk menggores kalimat di atas buku. “Iya, cantik?”
Tersipu malu, Saranita menarik tangannya untuk menutupi wajah. “Jangan gitu.”
Entah apa yang membuat Aksara berdiri, lalu melangkahkan kaki untuk duduk di kursi tepat di sebelah Saranita. Ditatapnya gadis itu, yang kian dekat kian membuat jantungnya ingin meledak.
“Aksara,”
Aksara tertawa kecil, sebab suara Saranita bergetar sejak ketika ia duduk di sampingnya. Gadis itu salah tingkah dan Aksara mengetahuinya dengan jelas.
“Aksara.”
Aksara suka ketika Saranita menyebut namanya dengan suara yang begitu lembut. Walaupun kali ini tidak dapat mendengar suara indah itu, tapi setidaknya Aksara dapat mengingat dengan jelas sebab suara itu terekam dan tersimpan manis di dalam ingatannya.
Saranita tidak mampu melanjutkan kalimatnya, sebab Aksara semakin merapatkan dirinya seolah-olah tidak memberikan sedikit ruang untuknya bernafas dengan bebas. Saranita begitu gugup, tubuhnya seolah lumpuh namun kurva di bibirnya tidak dapat ditahan lagi. Jika ada kata yang lebih bisa menggambarkan perasaannya dari pada kata bahagia, mungkin sudah ia gunakan sekarang juga.
Pada akhirnya Saranita mengambil pena untuk menuliskan sesuatu di atas kertas.
“Aksara jangan terlalu manis, nanti gue diabetes.”
Aksara terkekeh ketika ia membaca kalimat itu, kemudian mencoret kalimat Saranita lalu menuliskan kalimat balasan di bawahnya.
“Saranita manis aja terus, saya suka.”