Saranita dan perasaannya untuk Aksara.
Beruntung sekali, hari ini Jakarta bercuaca cerah.
Saranita menghela nafasnya sesaat, netranya menyipit ketika ia mendongakkan kepala, langsung menatap langit Jakarta. Kota ini begitu cerah, berbeda sekali dengan suasana hatinya. Diam-diam tangannya merogoh saku jaket hitam yang membalut tubuhnya, mengambil satu batang nikotin yang sebelumnya ia beli di warung samping sekolah. Tatapan gadis itu tidak lepas dari benda di tangannya, kedua sudut bibirnya terangkat sedikit.
“Punya korek, enggak?”
Suara tidak asing itu masuk ke dalam rungu Saranita tanpa permisi, membuatnya menoleh dan mendapati seorang pria dengan seragam yang berbeda dengan miliknya. “Kok bisa di sini?” Saranita bingung, pasalnya ia sedang berada di atap sekolahnya untuk menghindari pelajaran yang tidak ia sukai.
Pria tadi menoleh, “Kenalin, gue Ajinaka.”
“Iya, gue kenal.” Saranita masih tidak mampu untuk menyembunyikan wajah penasarannya. Gadis itu kembali memasukkan sebatang nikotin ke dalam sakunya, kemudian berdiri untuk menghampiri Ajinaka yang sedang bersandar di ujung pintu masuk atap.
“Di sana aja, biar gue yang jalan.” Setelah mengutarakan kalimatnya, Ajinaka benar-benar menghampiri Saranita, duduk di samping gadis yang masih kebingungan itu. Tangan pria itu bergerak untuk merogoh saku celananya sendiri, “Gue masuk lewat pintu kantin sekolah lo. Mau kembaliin ini,”
Selembar kertas yang disodorkan oleh Ajinaka membuat netra Saranita beralih, gadis itu mengambilnya ragu-ragu. Tatapannya berubah jadi sendu saat menerima selembar kertas itu. “Lo baca isinya, Jin?”
Tanya yang keluar dari bibir Saranita dijawab melalui sebuah gelengan kepala oleh Ajinaka. Pria itu menatap lurus-lurus ke arah langit, sambil menarik napasnya dalam-dalam. Perlahan, bibirnya terangkat sempurna melukiskan sebuah senyum manis yang belum pernah terpancar sebelumnya. Sebab Ajinaka tidak pernah tahu kalau berdiri di atas gedung seperti saat ini membuat seluruh beban yang berada di pundaknya seolah hilang dibawa oleh angin yang berembus kencang.
“Makasih, ya, Jin.” balas Saranita, ia melipat selembar kertas yang berisi tagihan uang ujian praktik itu ke dalam saku jaket. Ingatannya seperti kembali ditarik ke hari dimana Pak Aan memberikan selembaran itu di depan ruang guru sembari marah-marah. Saat itu Saranita tidak malu, yang ia pikirkan hanya satu nama—Ibu.
“Gue bisa bantu lo, kalau lo mau.”
Kalimat Ajinaka membuat Saranita menoleh beberapa detik, kemudian menipiskan bibir sambil menggelengkan kepalanya tanpa ragu. Saranita bukannya menolak, ia hanya tidak ingin memiliki hutang pada manusia seperti Ajinaka. Walaupun Saranita tahu, Ajinaka memiliki hati yang tidak seperti penampilan luarnya.
“Oh iya, gue lupa say thanks sama kertasnya.”
“Ngapain lo ucap makasih ke kertas?” Tanpa menoleh ke arah Ajinaka, gadis itu melontarkan sebuah kalimat tanya hanya untuk sekedar berbasa-basi. Sebenarnya Saranita tahu, pria itu pasti sudah membaca keseluruhan isi kertas itu.
“Ya .... makasih, aja. Karena kertas itu, gue jadi bisa lihat kalau lo baik-baik aja.” Pria itu tersenyum, menatap wajah Saranita lamat-lamat dari tempatnya berdiri. Tanpa sadar, pelan-pelan tangan Ajinaka bergerak untuk menyelipkan sehelai surai legam yang menutupi wajah Saranita karena tertiup angin. “Kalau begini, cantiknya nambah.”
“Jin,” Tangan kanan Saranita terangkat untuk menghentikan pergerakan Ajinaka. “Kalau semua yang lo lakuin ke gue ini adalah upaya untuk menjauhkan gue dari Aksara karena Utami, lo gagal. Karena,”
“Karena lo justru percaya sama Aksara dan perasaan cinta yang selalu lo anggap sampah itu, Sar?” Ajinaka berdiri dari posisinya, sedikit menjauh guna menatap Saranita tepat pada netranya. Napas pria itu tersenggal, bahunya naik turun menahan sebuah rasa yang entah .... Ajinaka juga tidak dapat menjelaskannya secara sempurna.
“Lo bener. Gue justru percaya sama Aksara dan perasaan yang dari dulu selalu gue anggap sebagai sampah. Jin, gue enggak pernah bisa jatuh cinta, gue enggak pernah bisa ngerti perasaan gue sendiri, dan Aksara berhasil ngeruntuhin perasaan ini.” Saranita memukul dadanya sendiri, meyakinkan Ajinaka bahwa perasaannya untuk Aksara adalah sebuah perasaan paling sempurna yang pernah dirasakan. Padahal Saranita sendiri dari dulu tidak pernah mengerti, ia tidak dapat mengenali perasaannya sendiri.
“Tapi Aksara tuli, Saranita. Dia enggak pernah bisa mendengar seluruh kalimat yang lo ucapin.” Ajinaka pria yang keras, hatinya seperti batu.
“Tapi Aksara punya perasaan. Aksara berhak ngerasain seluruh rasa seperti orang lain, Ajinaka. Selagi Aksara ada di dunia ini, perasaan gue enggak akan pernah habis buat dia.” Napas Saranita tersenggal-senggal, ia menatap Ajinaka seolah menyalurkan seluruh kalimatnya agar pria itu mengerti.
Ajinaka tiba-tiba terkekeh sumbang, “Lo tahu alasan kenapa gue mati-matian mau Aksara selalu ada buat Utami?”
Gadis bersurai legam itu menggeleng tanpa kata, ia masih lelah.
“Utami sakit, Sar.”