Tentang detik yang terus berjalan.
Toko bunga, ditemani dengan secangkir kopi yang ia aduk sendiri.
Sudah pukul tujuh malam, namun sepertinya hujan di luar sana tidak ada pertanda ingin berhenti. Hampir setiap tahun, awal April memang terkadang diisi oleh hari yang begitu dingin. Gadis itu mengintip lewat celah jendela kaca, mendesah kecil seolah menerka bahwa sebagian kota akan direndam banjir jika hujan tidak berhenti malam ini juga. Kakinya melangkah untuk meninggalkan kursi yang sudah sejak dua jam lalu ia duduki, menggosokkan kedua telapak tangan untuk menciptakan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh. Sejak peristiwa tadi di sekolah, pikiran Saranita direnggut oleh Aksara, gadis itu tidak pernah fokus dengan apa yang sedang ia lakukan. Kedua sudut bibirnya kadang terangkat malu-malu, kemudian dengan satu tarikan paksa dibuat seolah tidak ada yang terjadi.
ting!
Saranita membawa langkah kakinya untuk berjalan ke arah luar ketika suara bel pintu masuk ke dalam rungu untuk menyambut pelanggannya. Hari ini toko bunga tidak terlalu ramai, mungkin karena hujan lebat yang melanda, membuat setiap insan lebih memilih untuk membaringkan tubuh di kasur mereka yang hangat.
“Selamat malam, selamat datang—Ajinaka? Lo ngapain?” Gadis itu terkejut, tapi berusaha sebisa mungkin mengatur ekspresi wajah. Kakinya tidak berhenti melangkah, mendekat ke arah Ajinaka di ujung pintu yang sebagian dirinya basah karena air hujan. “Lo sendiri? Naik apa?”
Ajinaka tertawa kecil, kuasanya yang basah terangkat untuk menarik sebelah pipi Saranita. “Lo bawel banget, ya.”
Sejak hari dimana Ajinaka mengajaknya berbincang di kedai kopi, Saranita lebih sering melihat tawa kecil Ajinaka ketimbang tatapan tajam penuh intimadisinya seperti dahulu. “Lo mau beli bunga apa?”
“Enggak, mau mampir aja.” Ajinaka membuka kemejanya, menyisakan kaus berwarna putih sebagai dalaman. Kemejanya hampir basah kuyup, lalu dibiarkan begitu saja di atas kursi kayu dekat pintu masuk. “Bang Abin, ada? Gue sekalian mau ambil titipan buat Mama.”
“Eh? Mas Abin keluar tadi, cuma dia emang nitip kue buat—” Saranita menggantung kalimatnya, telunjuk kanannya terangkat ke arah Ajinaka yang sekarang sedang terkekeh. “—Lo sepupunya Mas Abin?”
Kekehannya belum selesai, “Iya.” jawabnya sambil berjalan ke arah ruangan di balik tembok yang paling besar. Ajinaka berniat membuat kopi, untuk sekedar menghangatkan tubuhnya. “Sar, kopinya dimana?”
Saranita menghentikan kegiatannya, kemudian berjalan ke arah dapur untuk membantu Ajinaka menemukan kopi. “Lo di luar aja, gue yang bikinin.”
Pria itu lantas mengangguk, meninggalkan Saranita dengan secangkir kopi hangat yang ia aduk sendiri. Suara dari gawai Saranita tidak menghentikan langkah Ajinaka, ia tetap melewati meja yang dijadikan khusus untuk kasir. Pada akhirnya, daksa besar itu berlabuh pada sofa yang mengarah langsung ke jendela kaca. Netra Ajinaka tidak pernah lepas dari setiap lalu-lalang Kota Jakarta, jemarinya memainkan satu batang nikotin yang ragu-ragu ia bakar.
“Lo ngerokok?”
Saat Saranita datang, menghampiri, dan meletakkan cangkir berisi kopi itu di atas meja, disusul dengan sebuah kalimat tanya yang seharusnya tidak perlu lagi ditanyakan. Ajinaka kembali memasukkan sebatang nikotin itu ke dalam bungkusnya. “Iya.”
“Kenapa enggak jadi?”
Bukannya tidak jadi, Ajinaka hanya tidak mau merokok di hadapan Saranita dan membuat gadis itu menghirup asapnya. “Nanti aja.”
Seolah tahu kenapa Ajinaka mengurungkan niatnya, Saranita kembali mengeluarkan sebatang nikotin dari bungkusnya. Kemudian menaruhnya di bibir sendiri yang membuat Ajinaka dengan cepat menarik kembali benda itu sebelum Saranita membakarnya.
“Jangan ngerokok, nanti sakit.” kata Ajinaka, kemudian membuang bungkus nikotin itu ke sembarang arah. Netranya kembali fokus pada jalanan yang tidak pernah sepi walau hujan tidak juga berhenti. Berkali-kali pria itu menghela nafas seolah ada beban tersendiri di atas dadanya.
“Terus, lo kenapa?”
Kening Ajinaka mengerut, tatapannya teralih pada gadis berambut sebahu yang akhir-akhir ini mengalihkan dunianya entah sejak kapan. “Kenapa apanya?”
“Ngerokok.”
Ajinaka menyeruput kopi dengan kepulan asap tebal di atasnya. Dia banyak terkekeh hari ini, entah apa alasannya. Tapi Saranita tahu, sorot mata Ajinaka makin lama justru sendu. “Pikiran gue ruwet, Sara.”
“Tentang Utami, ya?” Dengan hati-hati dan kekuatan penuh, Saranita bertanya. Jemari gadis itu meremas apron yang melekat pada tubuhnya. Saranita takut kalau Ajinaka akan memintanya untuk melepaskan Aksara lagi.
Jika diminta untuk pergi, Saranita akan membawa Aksara kemanapun gadis itu memijakkan kakinya. Saranita tidak takut ketika diminta untuk pergi, yang Saranita takut ketika ia tidak lagi bisa melihat Aksara.
“Sar,” Ajinaka menarik tangan kanan Saranita dengan lembut, membawanya untuk digenggam erat seolah-olah gadis itu adalah harta paling berharga. Namun ketika bibirnya sudah terbuka, ingin melanjutkan kalimatnya, dering ponsel Saranita masuk ke dalam rungu masing-masing dua insan itu. Dengan cepat Saranita menarik tangannya, membuka ponselnya dan mengetikkan sesuatu di atas sana.
“Jin, udah jam delapan, gue harus balik. Lo masih mau di sini atau mau balik juga?”
Tadinya Ajinaka berniat untuk mengantar Saranita pulang, tapi netranya menangkap pergerakan pria yang punggungnya ia kenali lewat jendela. “Lo duluan aja, Sar. Balik sendiri?”
Gadis itu mengangguk bohong, kemudian berjalan ke arah meja kasir untuk merapikan barang-barangnya. Saranita tidak tahu kalau ternyata Ajinaka menyadari kehadiran Aksara yang sedang menunggunya di luar dengan satu payung untuk melindungi tubuhnya di bawah derasnya hujan.
“Jin, kue yang dari Mas Abin ada di salam kulkas. Nanti kuncinya lo bawa aja, ya. Gue udah bilang ke Mas Abin, kok.” jelasnya. Saranita berlari kecil ke arah luar tanpa menunggu jawaban dari Ajinaka yang padahal sudah berada di ujung lidah. Pemandangan pertama yang gadis itu dapati adalah Aksara di bawah derasnya hujan, berlindung di balik payung berwarna transparan sedang menengadahkan telapak tangannya, membiarkan sebagian kulitnya dibasahi oleh air hujan dengan sengaja.
“Aksa,”
Aksara memutarbalik-kan tubuhnya, melempar senyum manis yang sejak kecil selalu dipuji oleh Bunda. Pria itu melangkah kecil, menyodorkan selembar kertas yang sedari tadi sudah ia persiapkan untuk Saranita.
Saranita menipiskan bibir, kakinya masih berpijak di halaman toko bunga sehingga sepatunya sudah mulai basah akibat cipratan air dari langit. “Gue enggak bawa payung, Sa.”
Tanpa berpikir panjang Aksara menyodorkan payungnya ke hadapan gadis itu, membiarkan dirinya basah walau sudah dibalut dengan jaket tebat berwarna hitam pemberiang Mas Bagas satu tahun yang lalu.
“Aksa,” Saranita menarik tangan Aksara untuk masuk ke dalam satu payung yang sama, kemudian dibalas dengan rengkuhan lembut di bahunya. Gadis itu menengadah, menatap Aksara dari posisinya. “Nanti sakit kalau kehujanan.”
Semesta malam ini benar-benar membingungkan. Belum ada satu jam yang lalu Saranita tidak dibiarkan sakit karena menghisap sebatang nikotin oleh Ajinaka, tapi detik ini gadis itu justru melabuhkan seluruh perhatiannya pada Aksara. Tanpa dipinta tiba-tiba Aksara mengambil alih payung itu, seolah tidak membiarkan Saranita kesulitan karena tinggi badan mereka yang cukup berbeda.
Tadi di jalan pulang, tiba-tiba perut Saranita bunyi yang membuat Aksara langsung membawa gadis itu masuk ke dalam kedai bakso sederhana di pinggir jalan. Rasanya satu detik pun Aksara tidak akan pernah membiarkan Saranita merasa menderita, entah kenapa. Seperti pria itu memiliki sebuah tanggung-jawab untuk menjaga gadis yang ada di hadapannya sekarang.
Saranita menggeleng untuk menjawab kalimat tanya yang Aksara tulis beberapa detik lalu di atas buku catatannya. “Bukan enggak enak, Aksa.”
Saranita menarik mangkuk bakso, meraciknya dengan tambahan sambal yang sudah disediakan di atas meja. Seluruh pergerakannya berhenti ketika suara yang tidak asing masuk ke dalam rungunya.
“Loh, Sara? Sudah lama enggak ke sini. Ayah apa kabar?” tanya pemilik kedai bakso sambil meletakkan dua gelas es teh manis hangat yang dipesan oleh Aksara. Saranita ingat, namanya Pak'De Amin, teman Ayah waktu di rumah yang dulu. “Sejak kalian pindah rumah, jadi sepi.”
Saranita mengangkat kedua sudut bibirnya, “Ayah baik sepertinya, Pak'De.”
“Sepertinya?”
“Sara sudah enggak tinggal sama Ayah soalnya.” jawab Saranita mutlak, berharap Pak'De Amin tidak bertanya lagi perihal keluarganya yang memang sudah tidak ada yang tersisa semenjak mereka pergi dari rumah lama.
Tapi sepertinya harapan hanya sekedar harapan, Pak'De Amin justru duduk di sebelah Aksara, bersedia untuk menyimak cerita dari bibir kecil Saranita. “Kok kamu bisa enggak tinggal sama Ayah? Kalau Ibu, gimana?”
Aksara mengerti bahwa menceritakan tentang keluarganya selalu membuat Saranita merasa tidak ada gunanya. Oleh karena itu ia meminta dengan sopan agar Pak'De Amin meninggalkan mereka berdua dengan alasan Aksara hanya ingin berdua dengan Saranita tanpa diganggu. Sepeninggalan Pak'De Amin, Aksara menggenggam tangan Saranita di atas meja seolah menyalurkan sedikit ketenangan yang ia punya.
“Gue payah banget, ya, Sa?”
Aksara justru menggeleng, kembali menulis di atas buku catatannya.
Saranita menatap Aksara dalam, gadis itu bingung kenapa pria seperti Aksara selalu memiliki kalimat yang tidak bisa diberikan orang lain untuknya? Saranita bingung, kenapa pria seperti Aksara justru lebih mampu menyuarakan kalimat syukur yang tidak pernah ada habisnya ketimbang ia?
Saranita bingung, kenapa Aksara bisa menerobos masuk ke dalam hatinya padahal ia sudah mengunci dengan rapat dan kuncinya sudah dibuang entah kemana. Sebab Saranita tahu, ketika ia jatuh cinta pada seseorang maka ada sebuah rasa yang harus ia pertanggung-jawabkan, entah rasanya sendiri atau bahkan rasa milik Aksara juga.
Sebelum mengenal Aksara, gadis itu tidak pernah tahu bagaimana caranya menangis, ia tidak pernah tahu berapa banyak perasaan sakit yang terus menggores bagian hatinya. Waktu itu ia kaku, tidak pernah tahu bagaimana kalau hatinya berdetak di depan wajah Aksara yang lugu. Pria itu hadir, mengembalikan suasana mencekam yang terancam punah di bagian hatinya terdalam. Kedua sudut bibirnya terangkat, ia memerhatikan Aksara yang kini berpindah tempat.
Tentu, Saranita mengangguk tanpa aba. Ia bahkan bersedia untuk menabrakkan daksanya pada milik Aksara, menenggelamkan wajahnya di dada bidang pria itu yang dibalut dengan jaket berwarna hitam. Malu-malu kedua sudut bibirnya kembali terangkat penuh, tidak dibiarkan terbenam apalagi rapuh.