Sewu rasa yang bersorak-sorai untuk Aksara.
Entah sudah berapa langkah yang membawa Saranita berdiri di ujung jalan seperti ini. Netranya memindai jalan raya yang sepi entah kenapa. Mungkin karena suasana kota jauh lebih dingin kali ini, akibat hujan yang turun sore tadi. Gadis itu berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti langkah kaki yang membawanya pergi. Saranita hanya tidak ingin berada di rumah, kepalanya begitu berisik ditambah lagi oleh Ibu yang akhir-akhir ini sering memakinya tanpa sebab.
Helaan nafas keluar begitu saja, bersamaan dengan angin malam yang berembus sampai menusuk tulangnya. Saranita tidak pernah mengerti bagaimana cara Semesta bekerja, seolah mempermainkan hidupnya yang tidak memiliki arah.
“Sar, Sar. Hujan badai kemarin-kemarin bisa lo lewatin, masa pas ada ujian kecil kaya gerimis gini lo malah ngeluh, sih?” desisnya pada diri sendiri. Pikiran gadis itu berantakan, terlalu banyak hal-hal yang membuatnya semakin kebingungan belakangan ini.
Terlebih perihal Aksara dan penyakitnya yang baru saja Saranita tahu, daksanya mendadak kaku. Langkahnya berhenti tepat di depan halte bus yang sudah gelap. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya ada Saranita dan kesendiriannya. Pikirannya mengapung di udara, jiwanya terasa mati rasa.
Alzheimer.
Nama penyakit yang asing di telinga gadis itu. Bahkan, baru pertama kali Saranita tahu keberadaan penyakit itu di dunia. Ia tidak tahu apa penyebabnya dan bagaimana cara pengobatanya, tapi sukmanya berteriak bahwa Aksara pasti sembuh.
Diam-diam tangan Saranita bergerak untuk mengambil ponselnya dari saku celana. Netranya beralih, terlebih saat ada pesan masuk dari Aksara—entah kenapa menjadi manusia yang paling ingin Saranita hindari malam ini.
Saranita bersandar di halte bus, memejam dan mengatur nafasnya yang entah sejak kapan menjadi berantakan. Bahunya bergerak naik-turun seiring nafas yang memburu karena tiba-tiba detak jantungnya berpacu dengan cepat. Emosi Saranita berada di puncak kepala, ia ingin memukul Aksara jika saja pria itu ada di hadapannya.
Seperti ada yang mendengar desisan-desisan yang hanya ia lontarkan dalam hati. Wangi yang tidak asing kinu menyeruak masuk ke dalam indera penciuman Saranita, bersamaan dengan suara langkah kaki yang kian mendekat. Kendati begitu, gadis berkaus putih itu tetap memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya pada tiang halte.
“Gue enggak bilang mau ditemenin sama lo.” ucap Saranita dengan nada bicara yang lembut. Jiwanya sudah mendadak lumpuh, ia tidak bisa apa-apa karena terlalu lelah.
Malam itu Aksara terkekeh tanpa suara dan tanpa sepengetahuan Saranita. Netranya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan gadis di hadapannya, sebab ia ingin membaca gerak bibir dan mengerti setiap kata yang dilontarkan. Setelah menyadari bahwa Saranita sedikit tidak nyaman atas kehadirannya, sebisa mungkin Aksara tidak mengeluarkan suara di setiap pergerakannya. Niatnya untuk menggenggam jemari Saranita diredam begitu saja saat ia menyadari bahwa kehadirannya hanya sebagai pengganggu.
Tiba-tiba Saranita membuka mata setelah beberapa menit membiarkan keheningan mengambil alih di antara keduanya. Tatapan matanya yang lembut berlabuh pada wajah Aksara yang sangat dekat. Bisa-bisanya pria itu membuat pipi Saranita memanas. Jarak antara wajahnya dengan Aksara membuat gadis bersurai legam itu hampir gila sepertinya.
“Jangan bikin gue—” Kalimatnya menggantung ketika Aksara tanpa aba mengangkat kedua sudut bibirnya, membentuk setengah bulan yang sempurna.
“Jangan bikin gue terus-terusan jatuh cinta sama lo, Aksara.” Sayangnya kalimat itu tidak mampu keluar dari bibir Saranita, hanya tercekat di dalam tenggerokan yang membuat gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam. Perasaanya pada Aksara seperti jalan berbatu yang susah payah ia lalui demi sebuah keyakinan yang sempurna. Tapi rasanya, Aksara adalah jawaban yang buntu dan membuat Saranita berdiri dalam sebuah angan.
Buku catatan kecil yang mendarat di atas pangkuan membuat Saranita terkejut. Sebelum membaca kalimat di atas buku bersampul hijau itu Saranita menatap Aksara lebih dulu. Pria itu sedang tersenyum dengan ikhlas, pancaran matanya begitu bening yang membuat Saranita diam-diam tenggelam ke dalamnya.
Maaf, ya? Saya enggak bermaksud bohongi kamu. Saya cuma enggak mau kamu terluka, Sara.
Saranita tidak tahu berapa lapis kebaikan yang Tuhan ciptakan dalam diri pria di hadapannya. Seharusnya ia mengkhawatirkan dirinya sendiri karena penyakit yang tiba-tiba ada di dalam dirinya. Tapi ia justru mengkhawairkan orang lain, terlebih Saranita. Walaupun Saranita tahu kalau pria itu akan memprioritaskannya lebih dari apapun.
“Lo bakal sembunyiin rasa sakit lo berapa lama lagi, Sa?” tanya Saranita telak. Gadis itu merasa bersalah karena pernah merasa begitu beruntung ketika ia memiliki Aksara yang selalu mengerti bagaimana dirinya. Tanpa sadar, Saranita lupa kalau pria itu juga memiliki sebuah luka yang hampir tidak pernah ia ketahui.
Aksara merasa kalah dengan kalimat tanya yang dilontarkan gadis di depannya. Ia sudah terbiasa hidup dengan pasrah, tidak ingin membagi rasa sakitnya pada siapapun.
“Berapa banyak hari lagi yang bakalan lo lewatin sendirian, Sa?” Saranita hilang kendali, ia membentak Aksara dengan pertanyaan yang sebenarnya membuat hati gadis itu terluka juga. “Terus kalau akhirnya—” Gadis itu menghela, kalimatnya tergantung begitu saja saat netranya bertemu dengan milik Aksara. “—kalau akhirnya Tuhan enggak izinin lo hidup lebih lama, lo tega biarin gue hidup dalam penyesalan? Lo tega, Aksara?”
Daksa milik Aksara mendadak kaku ketika ia membaca pergerakan bibir Saranita. Netranya bergerak ke sana-sini, berharap air mata sialan itu tidak jatuh pada detik yang sama saat Saranita menatapnya. Dalam otak Aksara hanya tergambar bagaimana Saranita menangis dengan pilu dan terluka ketika ia pergi tanpa aba. Akhirnya ia menyadari satu hal, bahwa kepergian tanpa kata bukanlah sesuatu yang dengan mudah diterima.
“Gue enggak peduli seberapa banyak nantinya lo bakalan lupa sama gue, sama segala sesuatu tentang gue. Tapi tolong ....” Suara Saranita tiba-tiba saja melemah. Air mata gadis itu sudah membasahi bagian pipinya. “Tolong jangan pernah pergi. Jangan pernah tinggalin gue. Jangan pernah—”
Belum selesai Saranita menyelesaikan kalimatnya tapi Aksara dengan cepat membawa daksa gadis itu untuk masuk ke dalam pelukan. Pria tanpa suara itu berkali-kali meraup udara dengan rakus agar rasa sesak di dalam dadanya tergantikan. Jika bisa, maka Aksara akan menyampaikan kalimat-kalimat penenang untuk gadis kesayangannya. Tangannya terangkat untuk mengelus punggung Saranita lembut, namun ketika jemarinya berlabuh pada punggung itu, ia mendengar rintihan kecil keluar dari bibir Saranita.
“Jangan dipegang!” kata Saranita, segera menjauh dari Aksara yang justru menatapnya kebingungan. Gadis itu dengan cepat menghapus jejak air mata dari wajahnya, kemudian tersenyum kecil. “Tadi gue jatuh di rumah.”
Aksara bukan tipikal pria yang mudah percaya begitu saja. Dengan cepat tangannya beralih untuk mengambil buku catatan juga pena yang sempat terhempas di atas kursi begitu saja.
Saya lihat lukanya, boleh? Setelah itu diobati.
Netra Saranita beralih sesaat setelah ia membaca kalimat di atas kertas putih itu. Kemudian gadis itu menggeleng, “Ini beberapa hari juga sembuh, Aksa. Kita ngobrolin tentang lo aja, ya? Tolong, satu kali ini aja jangan pernah menghindar dari pertanyaan-pertanyaan gue tentang lo.”
Andai saja gadis itu tahu seberapa banyak rasa khawatir di dalam diri Aksara tentangnya dan luka lebam yang berada di bagian tubuh gadis itu. Mungkin ia tidak akan menolak untuk diobati karena rasanya hampir ingin menangis saja melihat Saranita tidak baik-baik saja.
Saya lihat lukanya dulu, ya? Setelah itu saya ceritakan semuanya. Tanpa tersisa.
Saranita tahu kalau Aksara adalah sosok pemaksa. Pria itu bahkan memaksa masuk ke dalam hatinya yang bahkan sudah terikat dengan rantai, digembok dan kuncinya hilang entah ke mana. Jadi, mau atau tidak mau, Saranita mengangguk. Pelan-pelan gadis itu mengubah posisi duduknya untuk membelakangi Aksara, kemudian membiarkan pria itu melihat lebam akibat pukulan Ibu dengan penggaris besi di bagian leher belakangnya.
Netra Aksara langsung membelalak begitu melihat goresan panjang yang sepertinya akan terasa begitu perih ketika ia tuang alkohol ke dalamnya. Otak pria itu berputar, mencari cara agar Saranita tidak merasa sakit ketika ia menyentuh luka itu. Aksara sama sekali tidak membiarkan Saranita merasa sakit pun lebih terluka. Alih-alih mengambil kapas dan alkohol untuk membersihkan luka Saranita, pria itu justru mengambil catatan juga penanya.
Ini kena apa?
Ketika buku itu sampai pada tangan Saranita, gadis itu kembali memutarbalik tubuhnya. “Jatuh, Aksa.”
Tatapan Aksara tidak beralih seolah tahu kalau ada yang disembunyikan oleh gadis itu. Tangannya kembali bergerak untuk mengisi lembaran di buku catatan.
Saranita terkekeh. Ia ingat betul bagaimana rasa perih yang menjalar di bagian punggungnya ketika penggaris besi milik Fina dihantamkan oleh Ibu. Begitu perih walau semuanya teredam ketika ia mendapati amarah Ibu tiba-tiba lenyap begitu saja.
“Tadi enggak sengaja kegores penggaris besi sama Ibu.” balasnya.
Saranita tidak pernah mengerti kenapa Ibu selalu melempar benda di hadapannya ketika ia sedang marah. Kemudian ketika benda itu mengenai Saranita, maka amarah Ibu akan redam dengan sendirinya. Wanita itu justru berjalan mendekat ke arah Saranita, berulang kali meminta maaf karena tidak sengaja.
Awalnya Saranita pikir memang begitu, Ibu tidak sengaja. Tapi setelah berulang kali ia menghadapi amarah Ibu setelah ditinggal oleh Ayah, wanita itu benar-benar sulit dimengerti.
Kedua sudut bibir Saranita terangkat sempurna. “Lo tahu kalau gue perempuan yang kuat, kan? Ayo, katanya mau obatin gue.” Kemudian langsung bergerak untuk membelakangi Aksara lagi.
Dengan pergerakan yang begitu hati-hati Aksara membersihkan luka di belakang leher gadis itu. Diam-diam ia berterima kasih pada Ayah yang membuatnya harus membawa kotak obat ke mana-mana untuk mengobati lukanya sendiri ketika Ayah sedang tidak bisa mengontrol emosinya.
Beberapa menit keheningan menguasai keadaan. Saranita diam-diam menahan rasa perih ketika Aksara perlahan menutup lukanya dengan perban. Ini sudah pukul dua pagi, rasa kantuk tiba-tiba menguasai diri gadis itu. Berkali-kali ia menahan dirinya untuk tetap sadar, membuat Aksara berkali-kali juga terkekeh tanpa suara.
Aksara membuka jaket hitamnya setelah buku catatan itu mendarat di pangkuan Saranita. Pria yang sekarang hanya dibalut dengan kaus hitam berlengan pendek itu membantu Saranita memakai jaketnya, kemudian berjongkok di hadapan Saranita tanpa dipinta.
Perlakuan Aksara memang sederhana, tapi mampu membuat Saranita harus menjatuhkan rasanya berkali-kali pada pria itu dengan cara yang istimewa.