Membunuh waktu untuk mengungkap sebuah rasa.

Kalau Saranita perihal apa yang paling malas ia lakukan ketika pagi hari, maka jawaban lantangnya adalah berangkat ke sekolah. Sebab tidak ada lagi Ayah yang akan mengantarnya dengan sepeda motor tua seperti tiga tahun silam, sekarang yang ia miliki hanya dua kaki yang mengantarkannya ke halte di pinggir jalan besar. Sialnya, jarak dari rumah ke halte tidak dekat. Jadi mau atau tidak mau, Saranita harus rela berkeringat sebelum sampai ke sekolah.

Pada akhirnya setelah memastikan pintu rumah tertutup dengan rapat, Saranita menghela nafas tanpa ragu. Jemarinya mengepal kuat, meyakinkan dirinya sendiri agar bisa untuk sekedar menatap netra kecokelatan milik Aksara nanti. Tangannya terangkat untuk mengambil ponsel, jemarinnya mengetik suatu pesan untuk pria yang berhasil mengisi separuh hatinya. Kedua sudut bibir Saranita terangkat sempurna ketika mendapat balasan secepat kilat seperti dugaannya.

“Sar,”

Perempuan yang namanya dipanggil itu mendongak, sedikit terkejut ketika justru Ajinaka yang ada di sana bersama dengan mobil hitam yang Saranita yakin pasti milik Ayahnya. Desahan sedikit putus asa terdengar begitu saja dari bibir Saranita, ia malas.

“Ngapain lagi, sih, Jin?”

Ajinaka menunjuk mobilnya dengan satu jari, tersenyum kecil. “Gue anter ke halte.”

“Gue punya kaki.” Lantas, perempuan itu melangkahkan kaki, meninggalkan Ajinaka yang masih berdiri di depan pagar rumahnya.

“Ada banyak hal yang mau gue omongin ke lo.” kata Ajinaka, hampir saja berteriak agar Saranita menghentikan langkah. Tapi sepertinya usaha Ajinaka sia-sia, sebab perempuan itu justru mempercepat langkahnya, sambil menyumpal telinganya dengan earphone. “Tentang Aksara.”

Saranita diam, tidak melanjutkan langkah kakinya ketika nama itu disebutkan. Matanya memejam sesaat, kemudian melepaskan earphone yang sebenarnya tidak tersambung dengan ponselnya. Daksanya memutar, tatapan matanya jatuh pada Ajinaka.

“Ada banyak hal yang enggak pernah lo tahu tentang Aksara, kan?” tanya Ajinaka, ia sampai di hadapan Saranita dengan senyum kecilnya. Pria itu merenggangkan tangan, menghirup udara dengan rakus lalu mengeluarkannya secara tulus. “Enggak adil.”

“Apa?” Dalam hati sebenarnya Saranita membenarkan kata-kata Ajinaka, karena rasanya begitu memang tidak adil ketika ia sangat terbuka di depan Aksara, berusaha menceritakan segala yang terjadi tapi pria itu justru sebaliknya.

“Mau gue anter? Kita sambil ngobrol di dalem.”

Saranita menggigit bibir bagian dalamnya, mempertimbangkan tawaran Ajinaka. Setelahnya mengangguk sebab ia benar-benar ingin tahu segalanya tentang Aksara. “Anter gue sampe halte aja.”

Ajinaka meraih pergelangan tangan Saranita, membawa perempuan itu masuk ke dalam mobilnya dengan hati-hati—tangannya bahkan beralih untuk melindungi dahi perempuan itu agar tidak terantuk langit-langit mobil.

“Pas sampe halte, gue harap lo udah selesai ngomong tentang Aksara ke gue.” Awalnya Saranita sempat terkesima dengan bagaimana cara Ajinaka memperlakukannya. Maklum saja, dulu Ayah bahkan tidak pernah memperlakukan Saranita selembut itu. Hanya Aksara dan akan selalu Aksara orang pertama yang selalu membawa pelukan hangat untuk Saranita.

“Ayahnya Aksara suka mabuk.” Kalimat pertama itu Ajinaka keluarkan, seiring dengan pria itu menjalankan mobilnya pelan. Rasanya ia hanya ingin membunuh waktu bersama Saranita di ruang ini, entah mengapa.

Saranita memutar bolamatanya malas, “Lo bilang mau ngomong tentang Aksara, bukan Ayahnya.”

“Aksara ....” Ajinaka menggantungkan kalimatnya, ia bingung bukan main. “Aksara itu penyebab Bundanya meninggal.”

Saranita membeku, tidak percaya begitu saja dengan kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh bibir Ajinaka. Ia berdeham, “Kematian itu kepergian yang mutlak, Ajinaka. Enggak ada orang yang bisa disalahkan dengan kepergian itu sendiri. Lagian, kenapa kepergian harus disalahkan? Setiap orang datang ke dalam hidup kita pasti untuk pergi.”

“Berarti lo tahu kalau suatu saat Aksara bakalan pergi dari hidup lo?” Ajinaka menghentikan mobilnya di bahu jalan, tepat menghadap ke arah halte yang mana ada Aksara di sana sedang mengamati beberapa metro mini yang hanya sekedar mampir atau bahkan melewati halte itu. “Lo sayang sama Aksara, ya, Sar?”

Saranita diam, tangannya meremat rok abunya cukup keras. Netra perempuan itu tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Aksara di halte. “Gue .... enggak pernah bisa mengenali rasa gue sendiri, Jin. Gue enggak tahu gimana rasanya jatuh cinta, sayang sama orang lain selain ke Ibu sama adek-adek gue.” Suaranya bergetar, namun netranya masih bersinar bagai purnama di gelapnya malam. “Aksara ....” Saranita menggantungkan kalimatnya, ia menyipit ketika mendapati Utami yang tiba-tiba saja datang dan duduk di halte bersama dengan Aksara. Awalnya Saranita ingin mengungkapkan seluruh perasaannya pada Aksara di depan Ajinaka, agar pria itu bisa mencegah adiknya untuk mendekat lebih jauh. Namun kalimat itu hanya sekedar sampai pada tenggorokannya, Saranita tidak mampu. “Aksara .... cuma sebagian orang yang ditugaskan Semesta cuma buat mampir di kehidupan gue. Itu sebabnya gue sebisa mungkin memanfaatkan waktu dan kesempatan buat kenal dia lebih jauh.”

Awalnya Ajinaka hanya diam, namun kini ia memberanikan diri untuk mengelus rambut Saranita dengan tangannya yang bergetar. “Lo udah mempersiapkan semuanya kalau tiba-tiba Aksara pergi dari hidup lo?”

Saranita terkekeh, menatap Ajinaka lamat-lamat. “Enggak ada kehilangan yang dipersiapkan dengan baik, Ajinaka.” Meraup udara dengan rakus, mengganti rasa sesak di dalam dadanya. Kemudian tangannya mengambil ponsel, mengirim pesan singkat untuk Aksara.

“Tapi gue yakin, suatu hari nanti ketika gue kehilangan Aksara, gue bakalan catet tanggal itu.”

“Kenapa?”

Saranita mengalihkan pandangan ke arah Ajinaka, “Biar tahun depan-nya gue bisa merayakan kehilangan.” Tiba-tiba ia tertawa, “Jin, anter gue ke sekolah, ya? Kalau nunggu metro mini selanjutnya pasti gue terlambat.”

Ajinaka mengangguk, kemudian menjalankan mobilnya lagi. Sebelum berbicara dengan Saranita, tidak pernah rasanya Ajinaka merasakan getaran seperti hari ini ketika mendengar penuturan hangat dari bibir perempuan itu. Ajinaka pada akhirnya menyadari satu hal, rasa Saranita untuk Aksara sudah pada tahap bisa merelakan jika sesuatu terjadi pada pria itu. Aksara tahu, semakin dalam rasa itu, maka akan semakin dalam pula lukanya nanti.

“Sar,” tangan Aksara bergerak untuk menggenggam milik Saranita tanpa permisi, mengelus punggung tangan perempuan itu menggunakan ibu jarinya. “Aksara enggak akan pernah nyakitin lo. Percaya sama gue, ya?”

“Jin,” Saranita segera menarik tangannya. “Lo aneh.”

“Aneh?” Ajinaka membagi fokusnya, sekilas melirik Saranita yang sedang tersenyum kecil.

“Lo suka sama gue, ya?”