TetehnyaaJisung

Terluka karena badai, berakhir menjadi lara.

Di salah satu kursi yang ada di ruang tamu kos-nya, Saranita menatap lurus-lurus ke depan. Lagu dari earphone milik gadis itu sudah berhenti, berganti dengan kebisingan yang diciptakan dari kamar kos nomor dua yang kebetulan sedang ada tamu. Ia menarik nafasnya, kemudian diembuskan secara perlahan. Matanya memejam sebentar, sebelum akhirnya terbuka lebar dan disambut dengan hadirnya sosok pria berkaus hitam dengan senyum seluas jumantara. Tanpa dipinta, kedua sudut bibir Saranita terangkat separuh. Ia berdiri, kemudian melangkah untuk menghampiri kekasihnya.

Saranita ingat, beberapa bulan lalu ketika ia tidak pernah mengenal sosok pria di hadapannya ini, harinya berjalan selalu buruk. Tidak ada senyum semegah istana, tidak ada tatapan hangat atau bahkan perlakuan sederhana seperti menepuk pundaknya hanya untuk sekedar menyalurkan sebuah kekuatan. Parahnya, tidak pernah ada yang mengatakan dengan lantang bahwa lahirnya adalah sebuah keinginan. Selain Aksara, belum pernah Saranita menemukan seorang pun yang berkata bahwa ia bangga memilikinya.

Kamu lagi ngapain?

Gerakan tubuh Aksara membuat gadis bersurai legam itu kembali tertarik dari lamunan. Dia menipiskan bibir, kemudian menunjukkan kertas di tangan kanannya. “Aku udah selesaiin satu lagu.”

Seharusnya, petang itu Aksara merasa senang dan bangga. Tapi perasaan itu seketika teredam kala ia tidak melihat binar terang pada bolamata milik gadis kesayangannya. Tangannya terangkat untuk mengusap lembut puncak kepala Saranita yang dihadiahi dengan kerucutan bibir lucu dari gadisnya.

“Mau ngobrol di mana, Sa?” tanya Saranita. Jantungnya berdetak tidak pada tempatnya, darahnya berdesir luar biasa.

Setelah mengenal Aksara, gadis itu jadi tidak mengerti bagaimana caranya mengendalikan detak jantungnya. Saranita jadi tidak mengerti, kenapa perasaannya untuk Aksara selalu menggebu-gebu bahkan meluap sampai ia tenggelam oleh rasa itu sendiri.

Tangan Aksara bergerak, “Di luar aja, yuk? Kamu udah makan?

Kepalanya menggeleng, “Belum.” Berjalan untuk meletakkan kertas di atas meja. Kemudian kembali menghampiri Aksara yang tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan.

Kamu nggak pakai jaket?” Tangan Aksara bergerak, menyingkirkan anak rambut Saranita yang menutupi wajah karena tertiup oleh angin.

Saranita terkekeh, “Nggak. Jaketku ketinggalan di rumah Ibu kayanya.”

Helaan nafas begitu saja keluar dari bibir Aksara, dia menatap gadisnya sambil bergerak untuk membuka denim jaket yang menyelimuti tubuhnya. Perlahan, ia memastikan denim jaket itu berpindah untuk membalut diri gadisnya. “Anak yang kuat jangan sampai sakit.

Kekehan Saranita seolah pembenaran atas kalimat yang diungkapkan oleh Aksara. “Iya. Kalau gue sakit, dunia nyakitin siapa lagi?”

Keduanya tidak mengerti bagaimana cara Semesta bekerja. Dua remaja itu pun tidak mengerti bagaimana dunia ini memperlakukannya. Yang jelas, satu di antara keduanya—jelas saja Saranita, ia sudah merasa muak. Bumi itu bagaikan panggungnya untuk bersandiwara, menyembunyikan tiap-tiap luka berdarahnya dari kacamata orang lain. Tentu saja, Saranita membencinya.

Itu sebabnya kamu harus jaga diri, Sara. Karena selain kamu dan saya, siapa lagi yang akan jaga kamu? Yang selamatin kamu?” Tangannya menggenggam milik Saranita erat. Aksara bisa melihat dengan jelas bagaimana netra gadis itu semakin meredup setelah pertanyaan itu.

Udara malam itu dingin, termasuk bagaimana angin malam menerpa langsung ke kulit milik Aksara yang kini hanya merasakan kehangatan di bagian telapak tangan kanannya karena menggenggam milik Saranita. Namun lebih dari pada udara malam ini, rasanya keadaan di antara Aksara dan Saranita tidak lagi hangat. Keduanya kaku, terlebih ketika Saranita tidak menanggapi kalimat tanya dari Aksara. Gadis itu hanya melangkahkan kaki, beriringan dengan milik Aksara.

“Lo bener, Sa.” kata Saranita tiba-tiba. Sambil melangkahkan kaki, dia menatap Aksara dari samping. “Gue nggak perlu nyakitin diri gue sendiri karena itu udah tugas dunia dan oranglain.”

Di akhir kalimat, Saranita tertawa miris. Tawa yang membuat Aksara terluka lebih dari apapun. Bukan seperti tawa yang selalu gadis itu tunjukkan pada dunia. Bukan juga tawa bahagia yang membuat mata dari gadis itu membentuk sabit indah. Wajah cantik itu tampak muram, membuat Aksara marah entah pada siapa.

Sara, aku bukan spiderman yang bisa melindungi kamu pakai jaringnya. Aku juga bukan hulk yang punya badan besar. Aku cuma Aksara, tapi kalau untuk menjaga kamu, aku bisa.” Pergerakan tangannya berhenti ketika ia tahu bahwa Saranita menghentikan langkahnya. Tanpa sadar Aksara ikut berhenti, menatap Saranita bingung.

“Kalau kamu pergi ke Kanada, siapa yang jaga aku?”

Pertanyaan yang terlontar dari bibir Saranita membuat Aksara kalah telak. Ia bingung, sungguh. Di satu sisi, pergi ke Kanada dan melanjutkan hidupnya di negara itu adalah impiannya sejak kecil. Namun di sisi lain, impiannya bertambah sejak Saranita hadir. Ia hanya ingin menjaga gadis yang entah kenapa diperlakukan begitu tegas oleh dunia.

“Kalau kamu pergi, kita gimana?”

Aksara mendekat, menatap netra legam Saranita yang membuatnya terpikat dengan lekat. Hari ini giliran ia yang menjerit dalam hati perihal hubungan keduanya. Sebab Aksara tau, hal berat yang membuat Saranita tidak percaya pada hubungan berjarak adalah sebuah rasa. Aksara mengerti, sebab sejak awal mengenal gadis itu, ia benar-benar tidak percaya akan sebuah rasa cinta.

“Aku bukan nggak percaya sama perasaan kamu ke aku, Sa.” Yang bisa gadis itu lakukan hanya menghela nafas, menahan rasa sesak yang tiba-tiba saja menyeruak. “Aku juga bukan tipikal orang yang dengan gampang ngeletakin perasaan ke orang lain. Kamu tau itu, kan?”

Kedua pasangan itu berdiri di bawah awan gelap yang mencekam. Di atas jembatan, tengah Ibu Kota yang malam ini sepi. Namun tetap saja, isi kepala milik Saranita selalu berporak poranda seolah pemiliknya bukan manusia. Ketakutan itu, kini tercetak dengan jelas pada raut wajahnya. Hanya di hadapan Aksara, ia bisa dengan mudah mengekspresikan apa yang ia rasa. Karena entah kenapa, Aksara rasanya seperti rumah utuk bersemayam bagi Saranita.

Apa alasan yang bikin kamu nggak bisa? Alasan jelas yang katamu, kita nggak bisa.

Nafas Saranita tersenggal, seperti sisa separuh. “Aku takut Tuhan ambil kamu di saat kita jauh, Aksa.” Netranya tidak lepas, merefleksikan rasa yang menghampirinya. “Kamu tau kalau aku manusia yang payah, kan, Sa? Aku banyak takutnya, aku—”

Kalimatnya terhenti begitu saja ketika Aksara menabrakkan daksanya dengan lembut, membawa gadis itu masuk ke dalam pelukan hangatnya.

b0aad4ee-5a2a-496c-9e5a-cdaf843d5be5

Jangan takut, aku udah minta Tuhan buat ambil nyawa kita bareng-bareng.

Backstreet-Jeno

Kapan terakhir kali kamu tersenyum tanpa beban?

Ada yang pernah bilang pada Saranita, bahwa hidupnya di dunia hanya sementara. Beberapa dari mereka juga ada yang bilang bahwa Saranita hanya seorang gadis egois yang kerap memikirkan dirinya sendiri. Ia akui—terkadang, hal itu bisa saja terjadi tanpa dipinta. Benar kata Ibu, Saranita adalah anak perempuan pertama yang egois sampai ia lupa kapan terakhir kali ia menuruti keinginannya sendiri. Karena, selalu oranglain. Kedua telinganya selalu terbuka untuk oranglain, sementara dirinya diam-diam terluka begitu saja.

Kejadian malam tadi, di mana Ibu melempar satu undangan berwarna merah muda tanpa aba-aba. Membuat jantung Saranita berhenti untuk berdetak seketika. Ia bahkan hampir tersedak tulang ayam goreng yang sebelumnya ia beli di depan komplek untuk makan malam bersama Mahesa. Netranya tidak lepas dari nama yang tertera dengan jelas di undangan itu, sampai akhirnya suara Ibu masuk ke dalam rungu.

Dengan atau tanpa persetujuan kamu, Ibu dan Om Ferdi akan segera jadi menikah.” kata Ibu tanpa ragu.

Petang itu Saranita menahan dirinya untuk tidak hancur tepat di hadapan Ibu sebab sampai kapanpun ia tidak pernah sudi jika posisi Ayah digantikan dengan oranglain—termasuk Om Ferdi. Gadis berambut legam itu meneguk segelas air mineralnya, kemudian berdiri untuk menatap Ibu lebih jelas. “Emangnya Saranita di rumah ini siapa, sih, Bu? Sampai-sampai Ibu harus minta persetujuan dari Sara? Anggap aja Saranita cuma barang yang Ibu punya. Bisa disuruh ini dan itu tanpa ada keragu-raguan.

Benar saja, tanpa keragu-raguan setelah kalimatnya selesai terlontar, tangan Ibu melayang di udara, hampir saja kelewat batas kalau tidak ditahan oleh Om Ferdi yang tiba-tiba datang tanpa salam. Katanya, “Kamu kenapa bisa sekasar ini, sih, Nin? Saranita ini sama seperti Fina juga Mahesa, mereka anak kamu. Mereka sama. Derajatnya enggak bisa kamu beda-bedakan.

Harusnya melalui kalimat itu Om Ferdi dapat mengambil hati Saranita, tapi gadis itu justru semakin muak dibuatnya, entah kenapa. Mungkin saja karena perlakuan Ibu, mungkin juga memang karena suasanya tidak begitu damai, atau kemungkinan terakhir adalah ada yang salah dalam diri Saranita.

Tiba-tiba ada jemari hangat yang mampir untuk mengelus punggung tangan Saranita, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya dan disambut dengan senyum seluas jumantara dari pria bernetra elok di hadapannya—tentu saja, Aksara.

Pria itu tersenyum kecil, “Are you okay?

Untuk pertanyaan yang Saranita sendiri tidak tahu jawabannya itu, ia mengangguk, kembali menjadi gadis yang penuh dengan rahasia walau ia berada di hadapan Aksara. Satu-satunya pria yang Saranita jadikan rumah itu hanya menipiskan bibir, enggan bertanya lebih padahal ada banyak sekali pertanyaan yang bersarang di ruang kepalanya perihal gadis itu juga tas besar di sampingnya.

Cumi-nya kenapa enggak dimakan, Sar?” tanya Aksara. Ibu jarinya masih setia mengusap punggung tangan Saranita, berharap perasaan resah yang ada di dalam diri gadis itu pergi dengan segera. “Enggak enak, ya?

Saranita terkekeh kecil, “Ini aku makan, kok!

Kepala cumi-nya kenapa kamu pisah gitu?” tanya pria berkaus putih itu penasaran. Netranya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Saranita yang sejak tiga puluh menit lalu tidak juga menghabiskan makanannya.

Helaan nafas berembus begitu saja dari bibir Saranita. Dia menatap Aksara, “Kasihan cuminya kalau kepalanya aku makan.”

Kedua alis Aksara bertaut menjadi satu, bingung akan jawaban Saranita.

“Aku enggak pernah makan kepala ayam, kepala ikan, kepala cumi, kepala udang, atau kepala dari hewan apapun yang aku makan.” jelas Saranita, sebab ia tahu kalau kekasihnya itu sedang menerka-nerka isi kepalanya yang sama sekali tidak mudah.

Aksara jelas tahu, Saranita memang bukan gadis yang mudah sekali ditebak. Saranita bisa selalu menjadi kalimat tanya dalam semua paragrafnya, tapi ia juga bisa jadi satu-satunya jawaban atas segala pertanyaan itu sendiri. Benar kata Ananda pada saat hari pertama ia bertanya tentang Saranita pada pria itu, “Saranita itu penuh dengan kejutan. Dia enggak bisa ketebak, dia juga bisa jadi teka-teki.

Emang kenapa kamu enggak makan kepala hewan-nya?” tanya Aksara, lagi.

“Karena kasihan, kamu tau enggak, sih? Kasihan gitu. Aku enggak tega kalau makan kepala mereka, soalnya muka mereka kayak mau nangis gitu.” jelas gadis itu, tidak lupa melipat bibirnya ke dalam seolah-olah tengah bersedih hati.

Aksara menggeleng, ketawa tanpa suara sudah menjadi tugas utamanya. “Kalau kasihan, kenapa kamu makan badannya?

“Karena badannya enak!” jawab Saranita tanpa ragu-ragu. Membuat Aksara tersenyum manis karena benar saja kata Ananda bahwa Saranita adalah gadis ajaib.

Padahal hanya perihal badan dan kepala dari se-ekor cumi-cumi, tapi Aksara mampu membuat suasana hati Saranita setidaknya lebih baik dari pada sebelumnya. Kali ini gadis berkaus hitam itu kembali mempersentasikan senyumnya untuk dunia. Ia telah kembali menjadi Saranita yang penuh dengan warna-warna bahagia seolah tidak pernah ada beban di pundaknya. Hanya Aksara yang mampu memberikan warna baru dalam hidup Saranita. Hanya Aksara pula yang mampu mematahkan fakta bahwa jatuh cinta itu bukan hanya perihal luka—tetapi juga berbagi suka dan duka.

“Aku udah dapet kost-an.” ucap Saranita tiba-tiba membuat Aksara berhenti menghabiskan makanannya. “Aku mau berhenti tinggal sama Ibu, Sa. Aku mau berhenti tau segala hal tentang mereka semua. Aku mau hidup buat diriku sendiri.”

Suasana di antara keduanya berubah menjadi kaku. Aksara mengubah posisi duduk untuk membuat dirinya fokus mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir Saranita. Walaupun Aksara tahu, ia bukan pendengar yang sempurna. Tanpa alat yang saat ini bertengger di salah satu telinganya, ia bahkan tidak mampu mendengar suara gadisnya yang merdu. Netra cokelat itu tidak pernah lepas dari wajah cantik di hadapannya.

Selalu.

Saranita selalu menjadi gadis yang sama. Ia bisa menjadi gadis yang penuh warna seperti pelangi, tapi di sisi lain ia bisa menjadi gadis yang gelapnya seperti malam tanpa bintang. Gadis yang penuh kepura-puraan terlebih pada dirinya sendiri.

Aksara kira, orang seperti dirinya yang penuh dengan kepura-puraan hanya ada satu di dunia sampai pada akhirnya Tuhan mempertemukannya dengan dirinya dalam bentuk perempuan. Dia, Saranita Senja.

Mereka sama—hanya dalam beberapa point saja, sisanya berbeda dan itu tugas Aksara untuk meyakinkan gadisnya bahwa perbedaan hadir karena untuk dilengkapi.

“Tiga tahun hidup sama Ibu, aku sampe lupa kapan terakhir kali aku ngelakuin hal yang aku mau.” Gadis itu terkekeh di ujung kalimatnya. Tangannya bergerak untuk mengaduk es teh manis yang tersisa separuh, tatapannya lurus ke depan seolah menerawang sesuatu. “Padahal Ibu bilang ke Esa buat enggak cepet-cepet tumbuh dewasa. Karena dengan begitu Ibu merasa enggak becus jadi seorang Ibu. Tapi .... Ibu enggak pernah sadar ada satu anaknya yang udah terlampau dewasa di sini. Dewasa untuk diri sendiri dan andai Ibu tau, kalau punya pemikiran kayak orang dewasa di usia segini itu berat banget. Aku takut berkali-kali, aku gagal berkali-kali, aku jatuh berkali-kali, aku bahkan hampir mati, dan Ibu milih enggak peduli.”

Tidak banyak hal yang mampu Aksara lakukan untuk Saranita selain menyalurkan sebuah kehangatan melalui genggaman jemarinya juga tatapan netranya. Dia menipiskan bibir dan bersiap akan kalimat selanjutnya dari Saranita.

“Kadang aku bingung, jadi dewasa itu kenapa harus kayak gini, sih? Pemikiran orang dewasa itu kayak gimana, sih? Kadang aku capek, tapi aku enggak mau nyerah.” Saranita mengulum bibir bawah selama kalimatnya dibiarkan terjeda. Ia meraup udara sebanyak-banyaknya, mengganti oksigen di dalam dada yang rasanya sudah terlalu menyesakkan. “Sa, kamu inget enggak? Kamu pernah bilang, kalau capek itu istirahat, sebab menyerah bukan jawaban.

Aksara mengangguk dengan senyum tipisnya.

“Sampai detik ini, kalimat itu punya impact yang besar di diri aku. Aku enggak lagi pengin nyerah walau aku tau kalau aku udah capek banget. Tapi kamu bener, menyerah itu cuma buat orang-orang yang payah.” Tatapannya beralih, Saranita masuk ke dalam netra kecokelatan milik Aksara yang sedari tadi menatapnya tanpa jeda. “Makasih, ya, Sa?”

Aksara beralih tempat, ia mengisi ruang kosong di sebelah kiri Saranita. Duduk di sana, membawa jemari kekasihnya untuk masuk ke dalam saku jaket levis yang ia gunakan. Tangannya yang bebas terangkat untuk menepuk sebelah bahu Saranita, “You are always doing your best, Princess. Aku bangga.

IMG-20210914-074339

Mas Bagas manusia paling hebat!

Pukul satu dini hari. Pria berkaus hitam itu masih setia duduk di atas kasurnya sambil menatap bingkai foto di tangan kanannya. Kurva di bibirnya terangkat sedikit, kemudian berkali-kali menghela nafas berat tanpa jeda. Netranya memejam begitu tertangkap dengan jelas di kedua rungunya. Kendati begitu, tetap saja, suara badai sekali pun tidak mampu melenyapkan semua kejadian yang terekam jelas di otak Bagaskara.

Perihal kejadian tujuh belas tahun lalu. Tepat hari di mana kedua adik laki-lakinya lahir bersamaan. Hari itu yang Bagaskara tahu, ia akan memiliki dua adik kembar dengan segera. Hati senang sampai tidak mampi dikendalikan walaupun ia baru menginjak usia lima. Sayangnya, suasana bahagia itu tidak bertahan lama sampai netranya melihat Ayah menangis pilu di ujung lorong Rumah Sakit.

Malam itu, Bagaskara sungguh tidak tahu apa yang menjadi alasan Ayah duduk di lantai yang dingin tanpa alas, berlinang air mata bersamaan dengan erangan yang ditahan. Dengan keberanian yang tidak penuh, langkah Bagaskara membawa dirinya untuk berdiri di depan Ayah.

“Ayah .... kenapa nangis?”

Pukul sembilan malam, Ayah mendongakkan kepala untuk menatap wajah putra pertamanya. Kurva di bibir Ayah terangkat sedikit, jemarinya langsung terangkat untuk menghapus air mata. Saat itu, bagi Bagaskara, Ayah adalah pria yang hebat di muka Bumi. Padahal baru satu detik yang lalu ia menatap Ayahnya menangis pilu, terluka sebegitu parah. Namun tangis itu dapat berubah sepersekon setelah Ayah mendapatinya.

“Ayah enggak menangis, Bagas.” Masih dengan senyum yang sama. Ayah berdiri, menggenggam jemari Bagaskara untuk membawa anak itu duduk di kursi. “Bagas lihat! Ini adik kamu.” Tangan kanan Ayah terangkat untuk menunjukkan satu lembar kertas berisi gambar yang baru saja diberikan perawat untuknya.

Senyum manis dan binar penasaran itu hadir begitu saja di netra Bagaskara. Ia mendekat ke Ayah, kemudian menatap kertas di tangannya. Sepersekon setelah itu, alisnya bertaut menjadi satu. Bagaskara bingung.

“Ayah,”

Ayah berdeham, mengalihkan pandangan gelap itu dari kertas yang masih ditatap oleh Bagaskara. “Kenapa, Agas?”

“Kata Bunda, Bagas bakalan punya dua adik kembar.” Pandangan Bagaskara beralih, ia menatap jemari Ayah yang menggenggam satu bahan—yang entah apa itu, diremas begitu kuat sampai kukunya memutih. “Tapi kenapa di foto cuma ada satu?”

Waktu itu Bagaskara tidak tahu seberapa hancur Ayah ketika pertanyaaannya dilontarkan. Tapi Ayah mampu menjawabnya dengan tenang, menyembunyikan luka itu di hadapan anak pertamanya dengan sempurna.

“Bagas emang punya dua adik. Yang di foto ini,” Telunjuk Ayah mengarah foto di dalam kertas itu. “Namanya Aksara.”

“Adik yang satu, ke mana, Yah? Namanya siapa?” Ketika dua pertanyaan itu terlontar, binar di mata Ayah langsung hilang tidak bersisa.

“Tuhan,” Ayah menarik nafasnya dalam, kemudian diembuskan perlahan. “Tuhan lebih sayang sama adiknya Bagas yang pertama. Jadi,”

“Adiknya Bagas meninggal, ya, Yah?”

Tiga puluh menit sudah, Bagaskara terhanyut dalam kejadian masa lalu yang membuat dadanya terasa sesak sampai detik ini. Hari itu adalah awal dari hari-hari Bagaskara merasa kehilangan jati dirinya. Melihat Ayah menangis sebegitu pilu, mendengar Bunda mengucapkan kalimat-kalimat tidak perlu.

Saat itu, Bagaskara hanya diam dan tidak mengerti kenapa Ayah dan Bunda harus terlalu larut dalam sebuah kesedihan. Padahal menurut Bagaskara, setidaknya Aksara bisa menjadi satu alasan kedua orangtuanya kembali membangun hidupnya dengan bahagia.

“Maafin Mas Bagas, ya, Aksa?” Pria bersurai legam itu sengaja menengadah agar air matanya tidak terjun untuk membasahi pipi. Hatinya terasa sesak entah kenapa ketika ia kembali larut pada masa lalu. “Mas Bagas bakalan kerja lebih keras biar Aksa hidup bahagia. Biar Aksa bisa kuliah, biar Aksa bisa makan enak.” Rasa sesak itu menyeruak di dalam dada ketika kalimatnya terucap tanpa dipinta. Air mata bodohnya turun begitu saja, pelan-pelan membasahi pipi.

Sebab tiba-tiba Bagaskara ingat ketika adiknya itu berumur dua tahun, sedangkan ia baru menginjak usia tujuh. Waktu itu Bunda juga Ayah masih belum bisa menerima segala keistimewaan yang Tuhan berikan pada Aksara, dan Bagaskara-lah satu-satunya tiang untuk adiknya itu berdiri lebih kokoh. Waktu itu, Bunda bahkan tidak mau memberi Aksara makan, hanya Bagas yang dengan ikhlas menemani adiknya sampai sebesar ini.

Tapi tiba-tiba senyum di bibir Bagaskara terbit dengan sempurna ketika mengingat hari pertama kali Aksara masuk sekolah. Saat itu Bunda mulai menerima keadaan. Bunda membeli baju seragam, sepatu hitam juga tas berwarna biru muda untuk Aksara.

Kalau kembaran Aksara masih ada di sini, mungkin Bunda akan lebih repot.” kata Bunda pagi itu setelah membantu Aksara memakai seragam sekolah.

“Bagas,”

Bagaskara terkesiap kaget ketika suara Yunandha masuk ke dalam rungunya. Pria berkaus abu-abu itu ternyata sudah duduk di sofa ujung kamar Bagaskara.

“Kalau mau masuk ke kamar orang, permisi dulu.” sindir Bagaskara. Ia meletakkan bingkai foto keluarganya di atas nakas. “Ngapain lo?”

Yunandha cengigisan, memegangi perutnya sendiri. “Gue laper. Makan, nyok!

Yunandha, pemuda rantau dari Bogor yang bekerja satu kantor dengan Bagaskara itu memang menjadi satu-satunya manusia yang tahu lika-liku hidupnya. Bahkan Yunandha tahu bagaimana cara Bagaskara mengatur pemasukan yang tidak seberapa itu untuk dikirim ke adiknya di Jakarta. Terkadang, Yunandha juga menyisihkan sedikit dari upahnya untuk adik dari karibnya itu—walau berkali-kali ditolak.

Bagaskara mengangguk dan berjalan untuk menyambar jaket hitamnya. “Nasi goreng?”

“Lo habis nangis, ya, Gas?”

Kalimat tanya yang terlontar dari bibir tipis milik Yunandha membuat pria bernetra bulat itu menghentikan seluruh pergerakannya. Berbalik untuk menatap Yunandha sambil tersenyum kecil, “Gue kangen sama Aksara, Nan.”

oneshoot-twoshoot-Lalisa-Manoban-ceritapendek-Cerita-pendek-amreading-books-wattpad

Yunandha menarik nafasnya. Sudah berkali-kali ia katakan, “Gue udah sering bilang, ambil cuti aja satu minggu. Enggak akan dipecat, Gas. Bos pasti kasih, kok! Lo enggak pernah neko-neko di kantor soalnya.”

“Ongkos ke Jakarta mahal, Nan. Uangnya lebih baik gue simpan dan kirim ke Aksara, kan?” kata Bagaskara sambil merapikan penampilannya di depan kaca. “Gue kayaknya enggak akan pulang sebelum emang dapet batu loncatan kerjaan pasti di Jakarta. Lo tahu sendiri, jaman sekarang susah banget cari pekerjaan.”

Yunandha tahu, Bagaskara adalah manusia pekerja keras. Terlebih, tujuannya mengerjakan apapun adalah adik semata wayangnya. Diam-diam sukma Yunandha berteriak, menegaskan pada dirinya sendiri bahwa suatu saat Dunia pun bisa ditaklukan oleh Bagaskara.

Mas Bagas manusia paling hebat!

Pukul satu dini hari. Pria berkaus hitam itu masih setia duduk di atas kasurnya sambil menatap bingkai foto di tangan kanannya. Kurva di bibirnya terangkat sedikit, kemudian berkali-kali menghela nafas berat tanpa jeda. Netranya memejam begitu tertangkap dengan jelas di kedua rungunya. Kendati begitu, tetap saja, suara badai sekali pun tidak mampu melenyapkan semua kejadian yang terekam jelas di otak Bagaskara.

Perihal kejadian tujuh belas tahun lalu. Tepat hari di mana kedua adik laki-lakinya lahir bersamaan. Hari itu yang Bagaskara tahu, ia akan memiliki dua adik kembar dengan segera. Hati senang sampai tidak mampi dikendalikan walaupun ia baru menginjak usia lima. Sayangnya, suasana bahagia itu tidak bertahan lama sampai netranya melihat Ayah menangis pilu di ujung lorong Rumah Sakit.

Malam itu, Bagaskara sungguh tidak tahu apa yang menjadi alasan Ayah duduk di lantai yang dingin tanpa alas, berlinang air mata bersamaan dengan erangan yang ditahan. Dengan keberanian yang tidak penuh, langkah Bagaskara membawa dirinya untuk berdiri di depan Ayah.

“Ayah .... kenapa nangis?”

Pukul sembilan malam, Ayah mendongakkan kepala untuk menatap wajah putra pertamanya. Kurva di bibir Ayah terangkat sedikit, jemarinya langsung terangkat untuk menghapus air mata. Saat itu, bagi Bagaskara, Ayah adalah pria yang hebat di muka Bumi. Padahal baru satu detik yang lalu ia menatap Ayahnya menangis pilu, terluka sebegitu parah. Namun tangis itu dapat berubah sepersekon setelah Ayah mendapatinya.

“Ayah enggak menangis, Bagas.” Masih dengan senyum yang sama. Ayah berdiri, menggenggam jemari Bagaskara untuk membawa anak itu duduk di kursi. “Bagas lihat! Ini adik kamu.” Tangan kanan Ayah terangkat untuk menunjukkan satu lembar kertas berisi gambar yang baru saja diberikan perawat untuknya.

Senyum manis dan binar penasaran itu hadir begitu saja di netra Bagaskara. Ia mendekat ke Ayah, kemudian menatap kertas di tangannya. Sepersekon setelah itu, alisnya bertaut menjadi satu. Bagaskara bingung.

“Ayah,”

Ayah berdeham, mengalihkan pandangan gelap itu dari kertas yang masih ditatap oleh Bagaskara. “Kenapa, Agas?”

“Kata Bunda, Bagas bakalan punya dua adik kembar.” Pandangan Bagaskara beralih, ia menatap jemari Ayah yang menggenggam satu bahan—yang entah apa itu, diremas begitu kuat sampai kukunya memutih. “Tapi kenapa di foto cuma ada satu?”

Waktu itu Bagaskara tidak tahu seberapa hancur Ayah ketika pertanyaaannya dilontarkan. Tapi Ayah mampu menjawabnya dengan tenang, menyembunyikan luka itu di hadapan anak pertamanya dengan sempurna.

“Bagas emang punya dua adik. Yang di foto ini,” Telunjuk Ayah mengarah foto di dalam kertas itu. “Namanya Aksara.”

“Adik yang satu, ke mana, Yah? Namanya siapa?” Ketika dua pertanyaan itu terlontar, binar di mata Ayah langsung hilang tidak bersisa.

“Tuhan,” Ayah menarik nafasnya dalam, kemudian diembuskan perlahan. “Tuhan lebih sayang sama adiknya Bagas yang pertama. Jadi,”

“Adiknya Bagas meninggal, ya, Yah?”

Tiga puluh menit sudah, Bagaskara terhanyut dalam kejadian masa lalu yang membuat dadanya terasa sesak sampai detik ini. Hari itu adalah awal dari hari-hari Bagaskara merasa kehilangan jati dirinya. Melihat Ayah menangis sebegitu pilu, mendengar Bunda mengucapkan kalimat-kalimat tidak perlu.

Saat itu, Bagaskara hanya diam dan tidak mengerti kenapa Ayah dan Bunda harus terlalu larut dalam sebuah kesedihan. Padahal menurut Bagaskara, setidaknya Aksara bisa menjadi satu alasan kedua orangtuanya kembali membangun hidupnya dengan bahagia.

“Maafin Mas Bagas, ya, Aksa?” Pria bersurai legam itu sengaja menengadah agar air matanya tidak terjun untuk membasahi pipi. Hatinya terasa sesak entah kenapa ketika ia kembali larut pada masa lalu. “Mas Bagas bakalan kerja lebih keras biar Aksa hidup bahagia. Biar Aksa bisa kuliah, biar Aksa bisa makan enak.” Rasa sesak itu menyeruak di dalam dada ketika kalimatnya terucap tanpa dipinta. Air mata bodohnya turun begitu saja, pelan-pelan membasahi pipi.

Sebab tiba-tiba Bagaskara ingat ketika adiknya itu berumur dua tahun, sedangkan ia baru menginjak usia tujuh. Waktu itu Bunda juga Ayah masih belum bisa menerima segala keistimewaan yang Tuhan berikan pada Aksara, dan Bagaskara-lah satu-satunya tiang untuk adiknya itu berdiri lebih kokoh. Waktu itu, Bunda bahkan tidak mau memberi Aksara makan, hanya Bagas yang dengan ikhlas menemani adiknya sampai sebesar ini.

Tapi tiba-tiba senyum di bibir Bagaskara terbit dengan sempurna ketika mengingat hari pertama kali Aksara masuk sekolah. Saat itu Bunda mulai menerima keadaan. Bunda membeli baju seragam, sepatu hitam juga tas berwarna biru muda untuk Aksara.

Kalau kembaran Aksara masih ada di sini, mungkin Bunda akan lebih repot.” kata Bunda pagi itu setelah membantu Aksara memakai seragam sekolah.

“Bagas,”

Bagaskara terkesiap kaget ketika suara Yunandha masuk ke dalam rungunya. Pria berkaus abu-abu itu ternyata sudah duduk di sofa ujung kamar Bagaskara.

“Kalau mau masuk ke kamar orang, permisi dulu.” sindir Bagaskara. Ia meletakkan bingkai foto keluarganya di atas nakas. “Ngapain lo?”

Yunandha cengigisan, memegangi perutnya sendiri. “Gue laper. Makan, nyok!

Yunandha, pemuda rantau dari Bogor yang bekerja satu kantor dengan Bagaskara itu memang menjadi satu-satunya manusia yang tahu lika-liku hidupnya. Bahkan Yunandha tahu bagaimana cara Bagaskara mengatur pemasukan yang tidak seberapa itu untuk dikirim ke adiknya di Jakarta. Terkadang, Yunandha juga menyisihkan sedikit dari upahnya untuk adik dari karibnya itu—walau berkali-kali ditolak.

Bagaskara mengangguk dan berjalan untuk menyambar jaket hitamnya. “Nasi goreng?”

“Lo habis nangis, ya, Gas?”

Kalimat tanya yang terlontar dari bibir tipis milik Yunandha membuat pria bernetra bulat itu menghentikan seluruh pergerakannya. Berbalik untuk menatap Yunandha sambil tersenyum kecil, “Gue kangen sama Aksara, Nan.”

oneshoot-twoshoot-Lalisa-Manoban-ceritapendek-Cerita-pendek-amreading-books-wattpad

Yunandha menarik nafasnya. Sudah berkali-kali ia katakan, “Gue udah sering bilang, ambil cuti aja satu minggu. Enggak akan dipecat, Gas. Bos pasti kasih, kok! Lo enggak pernah neko-neko di kantor soalnya.”

“Ongkos ke Jakarta mahal, Nan. Uangnya lebih baik gue simpan dan kirim ke Aksara, kan?” kata Bagaskara sambil merapikan penampilannya di depan kaca. “Gue kayaknya enggak akan pulang sebelum emang dapet batu loncatan kerjaan pasti di Jakarta. Lo tahu sendiri, jaman sekarang susah banget cari pekerjaan.”

Yunandha tahu, Bagaskara adalah manusia pekerja keras. Terlebih, tujuannya mengerjakan apapun adalah adik semata wayangnya. Diam-diam sukma Yunandha berteriak, menegaskan pada dirinya sendiri bahwa suatu saat Dunia pun bisa ditaklukan oleh Bagaskara.

Ibu tidak pernah gagal.

Di antara banyak hal yang pernah Saranita temukan, hanya ada satu hal yang sampai sekarang belum pernah benar-benar gadis itu pahami. Perihal sebuah pelukan yang tidak hanya menimbulkan sebuah debar menyenangkan. Tapi juga menyalurkan sebuah rasa tenang yang membuatnya nyaman. Sejak memiliki Aksara, gadis itu terpaku dengan bagaimana cara Semesta yang memberi sebuah rasa dalam bentuk rahasia. Saranita bersyukur. Karena pada akhirnya ia menemukan seorang pria yang tatapan netranya mampu membuat jantung berdebar lebih cepat, seorang pria yang jemarinya mampu mengisi ruang kosong di antara miliknya.

Beruntungnya lagi, manusia yang dikirim oleh Tuhan adalah Aksara Pranata Wijaya.

“Kamu beneran ke sini?” tanya Saranita, netranya tertuju pada Aksara yang malam ini tampak lebih tampan dibalut dengan jaket levisnya. “Udah malem, Aksara.”

Pria di ujung pagar mengangkat sedikit bibirnya. Kemudian mulai menggerakkan jemarinya, “*Aku bener-bener di sini.”

Dengan kurva yang membentang seluas Samudera, tungkai gadis itu melangkah maju. Kata-kata yang sudah disiapkan, tercekat begitu saja dalam tenggorokan ketika ia melabuhkan tatapannya pada netra kecokelatan milik Aksara. Pancaran begitu menenangkan, membuat pertanyaan-pertanyaan sialan yang berenang di kepala Saranita seketika lenyap entah ke mana. Gadis itu diam, terpaku pada pergerakan Aksara yang membawa kuasanya mendarat di bahu Saranita.

“Aksa, kenapa selalu ajak aku keluar malam-malam kalau ada Ibu di rumah?” Akhirnya Saranita dapat bernafas dengan lega. Karena setidaknya, satu pertanyaan berhasil lolos tanpa ada kalimat yang tersandung.

Pria bersurai legam itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, menipiskan bibir, kemudian menautkan jemarinya pada milik Saranita. Memasukkan genggaman itu ke dalam saku jaketnya. Andai saja bisa, maka Aksara tidak hanya memasukkan jemari kecil gadisnya saja ke dalam jaket—mungkin, juga daksanya.

Kaki Aksara melangkah pelan-pelan, membiarkan Saranita tetap meyamakan langkahnya. Dia menengadah, menatap jumantara yang malam ini jelas sedang muram. Berandai-andai, perihal kesempurnaan yang tidak dapat ia miliki. Namun diam-diam beryukur karena Tuhan berikan ia hati seluas dunia ini.

Genggaman jemarinya pada milik Saranita tiba-tiba tergenggam dengan erat. Rasanya seperti Aksara ingin membawa gadis itu pergi jauh dari belahan dunia yang sekarang sedang mereka pijaki. Kemudian hidup bahagia, membuat gadis itu lebih sering tersenyum lagi.

“Di Halte aja, Sa.” kata Saranita memecah keheningan yang sudah sejak lima menit menguasai keduanya.

Namun langkah Aksara tidak berhenti, pria itu masih berjalan seperti tidak mendengarkan kalimat sebelumnya dari Saranita. Pergerakannya membuat gadis itu melirik ke arah telinganya, kemudian tersenyum kecil ketika alat bantunya tidak sedang ada di sana. Dengan gerakan yang perlahan namun pasti, Saranita mengeratkan genggaman yang mampu membuat Aksara menoleh kebingungan. Lagi-lagi, tangan gadis itu bergerak untuk menyentuh daun telinga, dengan maksud agar prianya menggunakan alat untuk mendengarkan.

Kemudian, dua detik setelahnya, Aksara terkekeh tanpa suara. Bergerak untuk memasang alat bantunya, kemudian menatap gadis bersurai lekat itu. Bersiap untuk mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir tipisnya.

“Aksa, kenapa jarang dipakai alat bantu dengarnya?” tanya Saranita, bingung. Namun langkahnya tidak berhenti, ia membawa pria yang lebih tinggi darinya itu menuju halte yang sudah sepi.

Sebelum menjawab kalimat tanya dari gadisnya, Aksara menarik nafas dalam. Berusaha mengganti udara dalam jantungnya, kemudian mengikuti pergerakan Saranita untuk duduk di atas besi yag dijadikan untuk kursi dalam halte. Anggota tubuhnya bergerak perlahan, “Saya takut mendengar suara manusia, Sara.”

Gadis itu tidak begitu menangkap dasar ketakutan dari sorot netra kecokelatan prianya. “Mereka jahat sama kamu, ya? Aksa, jangan takut lagi. Kan, aku udah ada sama kamu.” katanya. Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Saranita, tanpa sadar bahwa ia-lah manusia yang paling memiliki banyak ketakutan di Dunia ini.

Aksara menatap netra milik gadisnya dalam, seolah sedang menenggelamkan dirinya di sana. Mencari segala pertanyaan-pertanyaan yang selalu berenang di dalam kepalanya. Detik itu, ia baru sadar bahwa Saranita tidak memiliki banyak jawab atas tanya-nya. Gadis itu hanya memiliki satu gubuk menghangatkan yang dibangun khusus untuknya.

Aku enggak takut lagi, Sara. Kan, kamu jago berantem.” jawab Aksara, dengan senyuman seluas jumantara di akhir kalimtnya. “*Kamu sering-sering bersuara, ya, Sar?”

“Emang kenapa?”

Aksara tidak tahu apa alasan jelasnya. Tapi, mendengar suara Saranita adalah bagaimana caranya jatuh cinta paling sederhana. Seperti saat kali pertama ia menemukan sosok gadis itu. Hanya karena Saranita menyumbangkan suaranya untuk perpisahan dua angkatan sebelum mereka.

Tangannya bergerak, “Aku udah pernah bilang, kalau aku selalu suka sama suaramu, kan?

Tidak pernah Saranita bayangkan, kalau ternyata ia selalu menjadi beruntung ketika Aksara datang dalam hidupnya. Sekarang gadis itu percaya bahwa rencana Semesta memang dan akan selalu lebih indah dari segala permintaannya. Juga, Saranita menyadari satu hal bahwa Semesta memang selalu mengabulkan segala bentuk permintaan, namun waktunya saja yang berbeda.


Pukul dua dini hari, Aksara baru mengajak Saranita pulang. Diantar dengan selamat, bahkan pria itu membalut tubuh Saranita dengan jaketnya. Sedangkan ia membiarkan angin malam menyapu kulitnya sendiri.

Setelah prianya pergi dari halaman rumah, kaki Saranita melangkah masuk. Gadis itu berniat untuk langsung tidur dan melupakan segala bentuk kejadian malam ini—kecuali bersama Aksara. Sebab Saranita berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah melupakan satu detik pun bersama prianya.

“Mahesa sudah makan?”

Suara Ibu membuat langkah kaki Saranita berhenti begitu saja, tepat di depan pintu kamar yang ditempati oleh Ibu dan Mahesa. Pertanyaan itu, pertanyaan yang tidak pernah sekalipun Ibu lontarkan untuk Saranita. Tapi tiba-tiba hatinya menghangat ketika Ibu bertanya pada anak bungsunya.

6c5eb224-dfcf-428a-89d6-1b566e1eee18

“Udah, Bu. Esa udah makan.” jawab Mahesa yang Saranita yakini sedang tenggelam dalam pelukan Ibu.

“Makan pakai apa, Mahesa?”

“Makan pakai Mie instan, Bu. Soalnya Esa tahu kalau Kak Sara enggak begitu punya uang lebih untuk biayai hidup kita berdua.”

Setelah jawaban itu dilontarkan dari bibir Mahesa, ada isak tangis yang tanpa permisi masuk ke dalam rungu Saranita. Gadis itu yakin, suaranya milik Ibu. Kakinya melemas, detik terasa berhenti ketika lagi-lagi ia mendengar hal yang membuat hatinya begitu terluka.

Kata Ibu, “Mahesa jangan cepat dewasa, ya?”

“Emang kenapa, Bu?”

Lagi-lagi isak tangis itu memenuhi rungu Saranita. Tangannya bergerak untuk meremas dadanya sendiri, berusaha meredakan seluruh rasa sakit yang menjalar di dalam sana.

“Kata orang, kalau anak-anak cepat berpikir dewasa, itu artinya orangtua mereka enggak merawatnya dengan benar.” Di dalam sana, tangan Ibu terangkat untuk mengelus puncak kepala Mahesa yang masih menatap langit-langit kamar. Napas wanita itu hampir tercekat kala mengingat bagaimana ia membesarkan anak di dalam dekapannya itu. “Mahesa, jangan cepat dewasa, ya, nak?”

Di balik pintu kamar Ibu, kaki Saranita melemas begitu saja. Bahkan, hanya untuk sekedar menopang daksanya sendiri saja ia tidak mampu. Gadis itu berjongkok, menahan rasa sesak di dalam dada yang tiba-tiba menjalar di setiap aliran darahnya ketika kalimat-kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Ibu. Saranita tidak pernah tahu, bahwa Ibu memiliki pemikiran sejauh itu. Saranita juga tidak pernah tahu, bahwa Ibu sebenarnya selalu mengkhawatirkan perasaan anaknya. Entah perasaan ketiga anaknya atau hanya Mahesa saja—setidaknya hal itu membuat Saranita menyadari satu hal; bahwa Ibu juga takut gagal.

Setelah Ayah meninggalkan Ibu dan ketika anaknya, Ibu pernah bilang pada Saranita bahwa, “Sara, Ibu sudah gagal jadi seorang istri. Tapi kamu tolong ingat satu hal, ya? Ibu akan selalu berusaha untuk enggak pernah gagal jadi seorang Ibu untuk kalian.” Pada akhirnya, kalimat itu yang mampu membuat Saranita bertahan pada pikirannya, bahwa sebenarnya Ibu tidak gagal. Hanya saja, Ibu sedikit egois untuk dirinya sendiri.

“Sara,”

Pintu kamar terbuka, bersamaan dengan Ibu yang menunduk, menatap putri pertamanya jongkok di depan sana sambil memeluk lututnya sendiri. Satu hal yang malam itu ada di pikiran Ibu, perihal Saranita adalah sekuat-kuatnya manusia yang ada di muka bumi. Kakinya melangkah maju, kemudian ikut menyetarakan tubuhnya di hadapan anaknya itu. “Sara, maaf.”

Saranita diam, menatap netra Ibu dalam. Gadis itu mencari kehangatan di dalam sana yang setelah Ayah pergi, sudah tidak ada lagi peristirahatannya. Detik itu Saranita sadar, di sana kosong. Ibu sendirian, tidak mampu membangun sebuah tembok kehangatan—bahkan untuk dirinya sendiri.

“Ibu,”

Tangan Ibu terangkat, mengelus puncak kepala anak gadisnya dengan lembut. Wanita itu sadar, bahwa banyak sekali ketakutan yang menetap dalam diri anaknya itu. “Ibu gagal jadi seorang Ibu, ya, Sara?”

“Ibu .... Ibu enggak pernah gagal, Bu. Hanya saja, Saranita enggak pernah mengerti bagaimana cara Ibu berpikir. Saranita enggak pernah dikasih kesempatan untuk tahu segalanya tentang Ibu.” Kalimat itu keluar begitu saja tanpa direncanakan. Saranita bahkan menahan nafasnya dan mengepalkan seluruh jemari. “Ibu selalu bikin Saranita bingung karena perasaan Ibu. Terkadang, Ibu bisa jadi penjahat yang selau Saranita takuti. Tapi terkadang, Ibu jadi orang yang pertama kali Saranita cari ketika ingin mengadu.”

Dengan satu gerakan pasti, Ibu membawa anak pertamanya masuk ke dalam pelukan. Wanita itu menangis dalam diam, menahan isak agar Saranita tidak ikut mengeluarkan air mata, walau Ibu tahu bahwa anaknya itu bukan sosok yang mudah sekali mengeluarkan air mata.

“Maaf kalau Ibu enggak pernah bisa atur emosi dan perasaan Ibu, Sara.”

Bagaikan manekin, Saranita tidak bergeming walau daksanya ditarik masuk ke dalam pelukan Ibu yang begitu ia rindukan. Rasanya begitu asing, sampai Saranita tidak menemukan apa-apa lagi di dalm sana.

“Ibu,”

Ibu menggeleng di perpotongan leher Saranita. “Ibu gagal, Sara.”

“Ibu,”

Tidak ada jawaban, hanya suara isak tangis Ibu yang kian terdengar jelas di rungu Saranita.

“Ibu,” Gadis itu menggigit bibir bawahnya sampai terasa perih. Ia sudah memiliki satu kalimat sederhana untuk Ibu dalam hatinya, tapi sulit sekali rasanya untuk diungkap entah kenapa.

“Saranita, maaf, ya? Ibu akan terus berusaha untuk kalian, ya?”

”Ibu,”

Ibu menjauhkan daksanya, menatap netra legam anak perempuan pertama yang bahunya sekuat baja. “Marah aja, Sara. Kamu bisa teriak-teriak di depan Ibu. Kamu boleh marah sama Ibu.”

“Ibu,”

Kedua tangan Ibu berlabuh di pundak Saranita, “Ayo, marah! Ibu dengarkan, Sara.”

“Saranita sayang sama Ibu.” Kali ini, Saranita yang meraih daksa Ibu, masuk ke dalam pelukan yang begitu ia rindukan sambil menahan rasa sesak di dalam dada karena entah kenapa ia tidak dapat mengeluarkan air mata. “Mau segagal apapun, Ibu tetap Ibu-nya Saranita.”

Lima hari keberuntungan Aksara.

Sepeninggalan Ayah tiga tahun lalu, Saranita tidak pernah memberanikan dirinya untuk duduk di kursi halaman barang sejenak. Karena rasanya, ia semakin merindukan sosok pria yang selalu meletakkan sebuah kepercayaan penuh padanya. Setiap netranya berlabuh pada dua kursi itu, bayang-bayang Ayah selalu terputar tanpa diminta di memora ingatan. Tapi kali ini, gadis berkaus biru langit itu melangkahkan kaki untuk duduk di kursi kayu kesukaan Ayah.

Kedua kurva di bibir Saranita membentang sedikit, kursi tua itu masih terasa sama. Hanya saja, tidak ada Ayah dengan segelas kopi berwarna pekat juga pisang goreng yang disediakan oleh Ibu. Semua kalimat-kalimat yang pernah dilontarkan Ayah untuk Saranita, terputar begitu saja bagai potongan film di ingatannya. Membuat gadis bersurai pekat itu terkekeh kecil.

Saranita ingat, satu minggu sebelum Ayah mengangkat kakinya dari rumah bercat abu-abu itu. Ayah membentaknya di depan sana, tepat di depan dua kursi yang sering kali menjadi tempat pertemuan keduanya dan berbincang hal-hal sederhana. Waktu itu pertama kali Ayah membuat Saranita bingung dalam banyak hal, Ayah juga penyebab kepala Saranita kerap sekali berisik di tiap sekon waktu. Padahal hanya perihal Saranita pergi menemui dan berbincang sedikit hal dengan wanita yang waktu itu ia ketahui sebagai selingkuhan Ayah. Saranita tidak membentak wanita itu, hanya mengungkapkan dan memintanya untuk sekedar membayangkan jika ia ada di posisi yang sama.

Tapi benar saja, wanita itu akan menjadi sosok paling brengsek dalam cerita hidup Saranita. Sebab ia sudah membuat Ayah mengangkat tangannya dan menjadi bedebah dengan menampar pipi anak perempuan pertamanya.

Hari itu, Ibu duduk sambil memeluk Saranita. Menenangkan anak pertamanya yang sudah dibakar dengan api-api kebencian. Sebab untuk pertama kalinya, Saranita tidak percaya bahwa cinta adalah bentuk paling menyenangkan di muka bumi. Sampai saat ini suara Ibu masih suka berputar dan mengisi kebisingan dalam ingatan Saranita. Waktu itu Ibu berkali-kali bilang, “*You did well, Saranita. Terima kasih sudah jadi anak Ibu yang hebat.”

Percaya atau tidak percaya, Ibu pernah selembut itu sebelum semua badai yang menerpa karena kepergian Ayah. Waktu itu, Ibu percaya sekali bahwa wanita selingkuhan Ayah lebih baik dari pada dirinya. Karena katanya, mungkin Ayah mendapatkan apa yang tidak ditemukan dalam diri Ibu. Kata Ibu sore itu, “Enggak apa-apa, Sara. Mungkin wanita itu lebih baik untuk Ayah dari pada Ibu.”

Saranita ingat setelah kalimat itu dilontarkan oleh Ibu, ia marah. Gadis itu berteriak di depan Ibu juga Ayah, “Enggak ada wanita baik yang pacaran sama laki-laki beristri juga beranak tiga, Ibu! Enggak ada juga wanita baik yang bikin seorang Ayah menampar anaknya sendiri! Enggak ada wanita baik yang bikin seorang Ayah lemah-lembut menjadi laki-laki yang bajingan!”

Balasan Ayah waktu itu hanya tatapan tajam karena tidak pernah mengira bahwa Saranita—anak pertama yang sejak awal tidak pernah ia inginkan dan mati-matian ia terima dalam hidupnya akan mengungkapkan kalimat kasar penuh kebencian.

Saranita tertawa kecil ketika ia mengingat bahwa sore itu kalimat kasarnya terlontar tanpa ia mau. Ia naik pitam sejak Ayah menamparnya untuk pertama kali hanya karena membela wanita simpanannya. Ia menghela nafas begitu tersadar bahwa sudah tenggelam terlalu dalam di lautan masa lalu. “Kalau Ayah enggak pergi, gue juga enggak pernah tau sesakit apa rasanya ditinggalin.” Dia menghela, netranya menatap lurus ke depan seolah menerawang tentang kejadian sore itu. “Kalau aja Ayah masih di sini, gue enggak akan menanggung beban seberat ini.”

Tanpa sadar, cairan bening lolos begitu saja dari netra milik Saranita. Kemudian gadis itu terkekeh, menghapus air matanya dengan punggung tangan. Rasanya lucu karena hari itu ia mati-matian memperjuangkan keluarganya, tapi ada dua manusia yang menentang perjuangan itu—Ayah juga Ibu. Tapi dibandingkan dulu, kalau sekarang Saranita lebih bisa berdamai dengan hari itu—hari di mana ia marah pada Semesta. Kali ini rasa marah itu berpindah, pelabuhannya ada di manusia yang hari itu pernah menjadi paling kuat darinya—Ibu. Dibandingkan rasa kesalnya pada Ayah, Saranita lebih kesal pada Ibu. Sebab Ibu bisa bertingkah semaunya, Ibu membingungkan.

“Kakak!”

Ketika suara Mahesa masuk ke dalam rungunya, ia langsung berdiri. Netranya menatap Mahesa yang baru saja datang selepas bermain dengan tetangga di sebelah rumah. Di belakang Mahesa, ada Aksara yang menyunggingkan senyum paling manis sejagad raya. Senyum yang tidak pernah Saranita kira bisa berdampak pada perubahan suasana hatinya. Senyum yang selalu membuat Saranita ingin ikut mengangkat kurva di bibirnya sesempurna bulan sabit.

“Esa, kok bisa bareng Kak Aksara?” Saranita berjongkok, menyetarakan tinggi tubuhnya pada Mahesa. Tangannya terangkat untuk merapikan rambut anak itu yang sedikit dibasahi oleh keringat.

Mahesa mengangguk, tatapannya beralih pada Aksara yang sekarang sedang meletakkan sebungkus bubur juga dua bungkus nasi padang di atas meja. “Tadi Esa lapar, lagi lihat Ayam di warung Nasi Padang. Terus Kak Aksara datang untuk belikan Esa Nasi Padang pakai ayam bakar.” Binar di mata anak itu terlukis dengan jelas, bercerita dengan senyum yang tidak pernah lepas.

“Kok enggak bilang sama Kak Sara kalau lapar?”

Mahesa tertawa kecil, “Tadi malam Esa dengan Kak Sara nangis. Hari ini Kak Sara juga enggak pergi ke sekolah. Jadi Esa pikir, Kak Sara lagi sedih.” Binar di netranya tenggelam, seperti di bawa oleh ombak perasaan terluka.

Sedangkan Saranita tersenyum kecil. “Besok-besok kalau Esa lapar, bilang ke Kak Sara, ya? Jangan pernah ditahan. Apapun yang lagi Kakak lakukan, bilang aja.”

Mahesa menundukkan kepala, “Maaf, ya, Kak.”

No need to say sorry, anak ganteng. Besok-besok jangan diulang, ya?” Saranita berdiri dari posisinya, “Sekarang Esa mandi, setelah itu makan Nasi Padang sama Kak Aksara, oke?”

Kedua Ibu jari Mahesa terangkat, kemudian melangkahkan kaki dengan perasaan bahagia masuk ke dalam rumah. Sejak mengenal Aksara, rasanya Mahesa selalu punya sayap yang melengkapi Kakaknya—Saranita. Sebab bagi Mahesa, Saranita memiliki sisa setengah sayap untuk melindungi dirinya, Fina juga Mahesa. Sedangkan Aksara adalah setengah sayap lainnya yang hadir sebagai pelengkap.

“Aksa, ayo masuk!” pinta Saranita, membuka lebih lebar pintu putih rumahnya.

Aksara menggeleng, tangannya bergerak pelan-pelan. “Kamu habis nangis, ya?

Bagi Saranita, hanya ada satu orang yang tidak pernah bisa ia bohongi sejak pria di hadapannya hadir. Dia tersenyum kecil, sebelum akhirnya pertahanan itu runtuh begitu saja ketika menatap netra Aksara begitu dalam. Kakinya melangkah, masuk ke dalam pelukan Aksara tanpa dipinta. Dengan rasa sesak mengucap kalimat yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya, “Aku kangen sama Ayah, Aksa ...”

Spontan tangan Aksara terangkat untuk mengelus belakang kepala gadisnya. Berkali-kali ia menghirup surai legam milik Saranita, kemudian ditepuk-tepuk punggung gadis itu dengan lembut. Yang ada di pikiran Aksara sekarang adalah Saranita memang diciptakan oleh Tuhan untuknya. Sebab Aksara tidak pernah menemukan satu manusia yang hatinya bisa setabah gadis itu. Aksara juga tidak pernag menemukan seorang gadis yang mampu tersenyum lepas padahal ada jutaan ton beban di punggungnya.

Dijauhkan sedikit daksa itu, tangan Aksara bergerak untuk mengungkap kaimatnya. “Engga apa-apa, Sara. Rasa rindu pasti bisa ditebus. Mungkin enggak sekarang, tapi nanti. Selagi Ayah masih ada di dunia ini, kamu pasti bisa ketemu sama Ayah.

Saranita mengangguk, lagi-lagi tertawa kecil. “Aku cengeng banget kalau di depan kamu. Maaf, ya?”

Enggak apa-apa, Sara. Jangan minta maaf buat hal-hal yang enggak ada salahnya dilakukan. Aku emang suka lihat kamu ketawa, tapi bukan berarti aku benci lihat kamu nangis.” Pergerakan tangannya berhenti, diakhiri dengan senyum manis seluas cakrawala. Perpotongan kejadian tadi malam terlintas begitu saja dalam benak Aksara, membuat pria itu berjanji untuk tidak akan menyakiti gadis di hadapannya lagi.

Jika saja ia memiliki kartu kesempatan yang sudah pasti setiap do'anya dikabulkan oleh Tuhan, maka Saranita akan meminta satu hal—semoga Tuhan tidak pernah menghentikan kisahnya bersama Aksara. Sebab tidak sedikit pun terlintas dalam pikiran gadis itu jika harinya tanpa Aksara, sepi dalam kekosongan.

“Aksa, soal dua hari lalu tentang Utami, aku juga minta maaf, ya? Aku salah—” Sebelum menyelesaikan kalimatnya, tangan Saranita sudah digenggam erat oleh Aksara.

Pria berkaus hitam itu menipiskan bibirnya dengan tatapan mata yang sengaja ia tenggelamkan ke dalam milik Saranita. Perlahan tangannya terangkat di udara, “Tadi aku udah bilang, kamu enggak perlu minta maaf untuk hal-hal yang enggak ada salahnya buat dilakukan. Soal Utami, aku minta maaf. Hari itu aku yang salah.”

“Aksara,”

Aksara diam, tidak lagi melanjutkan kalimatnya. Ia justru menunggu kalimat-kalimat yang begitu sempurna terlontar dari bibir Saranita.

“Makasih udah bikin aku percaya kalau enggak setiap laki-laki hadir menjadi sosok brengsek yang datang tanpa dipinta, kemudian pergi tanpa aba.” Tawa kecil itu hadir di bagian akhir kata dari kalimatnya. “Makasih udah bikin aku percaya buat meletakkan separuh diri aku di kamu.”

Kali ini Aksara mengangguk, tapi tidak sedikit pun bergerak atau bahkan mengalihkan tatapannya. Senyumnya tidak reda, hanya saja tatapan itu tidak lagi sama. Dia lebih menatap Saranita dengan perasaan terluka, sebab ia juga tidak bisa menjanjikan apapun perihal kepergian yang sesungguhnya.

Sar, ada banyak orang yang kepengin punya kamu dalam hidupnya. Tapi cuma ada satu orang yang beruntung karena udah dipilih sama kamu. Makasih juga udah pilih aku sebagai satu orang beruntung itu.

Saranita mengangguk dengan senyum tipisnya. Tidak pernah terbayangkan bagaimana waktu itu sepulang sekolah kalau ia tidak menemukan Aksara. Bisa saja hari ini ia masih harus sendirian dengan beban di punggungnya.

Kamu tau, aku cuma pernah lima kali merasa beruntung di dunia ini.

“Kapan aja?” tanya Saranita menanggapi.

Aksara tertawa kecil. Tawa yang Saranita yakini berkumandang dengan merdu ketika ia dapat bersuara. “*Pertama, ketika aku dilahirkan. Ke-dua, ketika aku lihat Bunda tersenyum karena aku. Ke-tiga, ketika aku pertama kali kenal sama kamu. Ke-empat, ketika aku bisa masuk ke dalam hati kamu. Ke-lima, ketika kamu jadi milik aku.”

on-Twitter

Saranita tidak pernah baik-baik saja

Semilir angin lembut langsung menyapu seluruh kulit ketika Saranita membuka pintu rumahnya. Gadis itu langsung disapa oleh Aksara yang hanya menatapnya datar, tidak ada senyum sekecil apapun di sana. Lekungan di bibir pria itu menghilang begitu saja, seolah-olah ditenggelamkan oleh sang malam. Perlahan kaki tuas Saranita bergerak, melangkah untuk mendekati Aksara yang dibalut dengan jaket hitam kesayangannya.

Ada banyak hal yang selalu Saranita sadari tentang Aksara. Salah satunya tentang benda-benda yang digunakan oleh pria itu. Dia bukan pria yang dengan mudah melupakan barang lama begitu saja walau barang itu sudah serusak apapun. Selagi masih bisa dipakai, maka akan ia gunakan. Ia bukan tidak mampu membeli yang baru, hanya saja, Aksara begitu setia juga menghargai setiap pemberian orang lain untuknya.

Ketika Saranita sampai tepat di hadapan Aksara, menatap netra legam itu tanpa kata, ia hanya tertawa kecil. Kemudian, meminta pria yang sudah menjadi miliknya itu untuk melihat pesan yang baru saja dikirimkan olehnya.

IMG-20210823-213408

Setelah membaca pesan masuk yang berupa kalimat tanya dari gadis di hadapannya, Aksara langsung melangkahkan kakinya—membuat Saranita mundur begitu saja. Tangan pria itu bergerak di udara pelan-pelan, seolah tahu bahwa Saranita masih dalam tahap mempelajari bahasa yang ia gunakan dalam sehari-hari.

Kita bicara sekarang. Aku enggak mau terlalu lama bikin kamu marah.

Kurva di bibir Saranita terangkat sedikit, kemudian disusul dengan kekehan tanpa suara. Netranya berlabuh pada telinga prianya, terselip alat bantu dengar yang baru saja ia berikan sebagai ganti yang lama minggu lalu. “Aku enggak marah, Aksa.”

Tapi kamu sedih, kan?” tanya pria itu, kembali menggerakkan tubuhnya perlahan. “Tujuanku untuk hadir di kehidupan kamu bukan untuk bikin kamu sedih, Sara.

Kini tangan Saranita terangkat, menyematkan jemarinya pada milik Aksara. Lalu membawa pria bersurai legam itu untuk duduk di teras rumah. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika Saranita merasakan genggaman yang begitu hangat, netranya lalu teralih untuk menatap jumantara yang sedang menjadi saksi bisu hari ini.

“Sebelum Ayah dan Ibu pisah, waktu itu Ayah pernah tanya. Aku disuruh pilih mau ikut sama siapa, padahal bagiku mereka bukan pilihan.” Di bagian akhir kalimatnya, Saranita tertawa miris. Netra gadis itu tidak lepas dari langit yang hanya diisi oleh beberapa bintang. “Malem itu aku sedih, tapi aku enggak nangis. Karena aku enggak pernah bisa nangis sebelum kenal sama kamu. Belum pernah ada rumah dalam bentuk manusia yang aku temuin selain kamu.”

Malam itu Aksara hanya diam, sama sekali tidak berminat untuk memotong kalimat yang keluar dari bibir kekasihnya. Namun hati pria itu diam-diam terasa begitu terluka ketika tiba-tiba terdengar suara isak tangis yang tertahan dari Saranita. Pelan-pelan Aksara merenggangkan jemarinya, melepaskan milik Saranita kemudian dihempas begitu saja. Tanpa kata juga gerakan yang tidak pernah ragu, Aksara membawa gadisnya untuk masuk ke dalam pelukan yang hangat. Sebab Aksara tahu, pasti tidak mudah untuk Saranit menceritakan apa-apa yang ia lewati.

“Waktu itu mau kelulusan Sekolah Menengah Pertama. Ketika aku pilih untuk terus bareng Ibu, yang ada di pikiranku cuma satu.” Kalimat Saranita terjeda, ia melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk pinggang Aksara dan menenggelamkan dirinya di daksa pria itu. “Waktu itu aku cuma mikir, yang aku punya cuma tersisa Ibu. Jadi, kalau aku enggak bisa membantu, se-enggaknya jangan memberatkan.

Aksara menepuk punggung Saranita, seolah-olah berkata dengan bangga melalui sebuah dekapan. Saranita melakukan yang terbaik di antara hal baik, Aksara tahu itu. Tepukan itu lama-kelamaan berubah menjadi elusan hangat di punggung gadis itu, seperti Aksara sedang menyalurkan kekuatannya untuk Saranita.

“Aku lebih sayang sama Ibu ketimbang sama Ayah. Tapi ketika aku kehilangan Ayah, aku takut sampai tiba-tiba aku nangis.” Matanya terpejam, membayangkan kejadian sore itu ketika Ayah pergi dari rumah dengan tas besar berwarna abu-abu di tangannya. Ekspresi di wajah Ayah masih tergambar dengan jelas di lubuk ingatan Saranita sampai detik ini, bahkan rasa takut tiba-tiba saja kembali hadir menghantuinya. “Dari sana aku sadar, semua yang aku miliki, akan pergi suatu saat nanti. Entah karena diminta orang lain, atau bahkan diminta pulang sama Yang Kuasa.

Kali ini kuasa Aksara bergerak, hendak menjauhkan daksa Saranita dari miliknya. Setelahnya, keduanya berlabuh di atas bahu Saranita. Netra Aksara menatap lekat milik gadisnya, kemudian tersenyum kecil. Tangannya bergerak, “Waktu itu kamu yang bilang kalau enggak akan ada yang pergi di antara kita, kan? Aku juga enggak akan pergi, Sar. Tapi tolong kasih aku sedikit ruang, sebab enggak semua hal harus kamu tau.

Saranita terkekeh, “Kamu ngerasa kalau ruang gerakmu dibatasi, ya? Aku terlalu ribet dan enggak pengertian, ya, Aksa? Aku .... aku egois, ya, kalau aku maunya kamu cuma buat aku? Aku—” Kalimatnya terhenti begitu saja ketika Aksara tiba-tiba saja berdiri dengan tatapan yang tidak pernah Saranita mengerti.

Sar, hubungan kita berdua. Tolong jangan selalu mikirin perasaan kamu aja. Aku juga harus ikut andil di dalamnya.” kata Aksara lewat sebuah gerakan tubuhnya dengan tergesa.

Bayangan Ayah pergi meninggalkan Saranita tiga tahun lalu tiba-tiba saja terputar dengan cepat bagai potongan film dalam otak gadis itu. Tentang ketakutan-ketakutan itu, Saranita dapat merasa bahwa mereka dapat membunuhnya malam itu juga.

Saranita banyak takutnya.

Benar.

Ada beberapa hal yang Saranita takuti, terlebih akan sebuah kehilangan yang sampai kapan ia hidup di Bumi ini, maka ia harus siap dengan kehilangan-kehilangan dalam bentuk apapun.

“Aksa .... aku takut.” Kakinya mundur dua langkah, semakin menjauhkan dirinya dari Aksara yang justru kebingungan. Tangan Saranita terangkat untuk menutup telinganya sendiri sebab tiba-tiba saja ada bising yang memenuhi isi kepala.

Aksara tidak mengerti dan tidak pernah tahu bahwa Saranita bisa menjadi gadis paling hancur yang pernah ia lihat di depan mata kepalanya sendiri. Kepingan-kepingan itu, terlihat jelas di depan Aksara ketika Saranita mulai melindungi wajahnya dengan telapak tangan dengan isakan yang tertahan. Sebab Aksara tahu, gadis itu sedang mengusahakan bahwa dirinya baik-baik saja padahal ada banyak sekali ketakutan yang tidak pernah terduga oleh siapapun.

Langkah kaki Aksara bergerak maju, membawa dirinya untuk meraih daksa Saranita yang langsung menepis kasar pergelangan tangannya.

“Aksa .... kenapa dateng kalau cuma mau pamit?”

SONDER-OSH-Oh-Sehun-1

Ibu memang tidak pernah bisa dimengerti.

tw // mention of sexual harrasment.

Ahad malam di bawah gemintang yang bersinar dengan terang, jantung Saranita berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Tidak pernah gadis itu bayangkan sebelumnya bahwa Ibu tidak berdiri bersamanya juga Fina ketika ia mengadu tentang apa yang terjadi. Tanpa sadar air mata sialan itu jatuh dari netra yang selalu terang benderang milik Saranita.

“Ibu ....” Gadis itu marah, tapi seluruh kalimat untuk Ibu tidak dapat dikeluarkan dengan fasih. Lidahnya begitu kelu, bahkan hanya sekedar untuk memanggil Ibu saja suaranya bergetar hebat.

Di depan sana, Ibu menarik nafasnya dalam. Netra legam itu tenggelam dalam milik Saranita yang entah kenapa seperti terluka begitu parah. “Ada beberapa kemungkinan yang terjadi, Sara. Mungkin Om Ginanjar mencari apa yang enggak pernah lagi ia dapat dari istrinya atau—”

“Harusnya enggak ke Fina, Ibu! Fina anak, loh?” potong Sarania dengan cepat. Sejak lahir ke dunia sampai gadis itu beranjak dewasa, ia tidak pernah sekalipun mengerti dengan jalan yang ada di pikiran milik Ibu.

Ibu itu kelabu, terkadang terang, kadang juga redup.

“Sara, Ibu belum selesai bicara.” Tidak peduli dengan air mata yang keluar dari netra milik anak gadis pertamanya, Ibu tetap melanjutkan kalimat bodohnya. “Ibu enggak bisa langsung adu-kan ke Tante Anggun. Kamu tahu, kan, Sara? Kita enggak punya bukti. Lagi pula, kalau Om Ginanjar benar-benar melalukan hal itu ke Fina, kenapa Fina enggak teriak biar Tante Anggun langsung tahu?”

Kan, Saranita berkali-kali tidak pernah diberi kesempatan untuk mengerti tentang Ibu. Wanita yang terkadang ingin selalu menang atas kalimatnya, tapi terkadang juga ia mendahulukan anak-anaknya. Ibu itu benar-benar abu.

“Bu,” Saranita menunduk, punggung tangannya ia gunakan untuk menghapus cairan bening yang berhasil membasahi pipinya. “Refleks setiap orang itu beda-beda. Kadang, ada yang ketika mereka dilecehkan, mereka langsung teriak. Kadang, ada juga yang diam dulu untuk mencerna apa yang terjadi karena dia juga enggak ngerti dengan apa yang terjadi. Bu, Fina ada di opsi kedua.”

“Sara, Om kamu enggak sebrengsek itu.” balas Ibu. Tatapannya menusuk Saranita, seperti tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.

Satu menit hanya keheningan yang mengelilingi antara Ibu dan Saranita. Sampai pada akhirnya gadis berkaus hitam pekat itu berdiri, hendak meninggalkan Ibu dengan sejuta rasa kesal di dalam dada.

“Ibu pasti akan datangi Om Ginanjar suatu saat nanti, Sara. Tenang aja, ya? Ibu juga memikirkan Fina.” Ibu mengehala nafas, ia berdiri untuk menghentikan kaki Saranita yang hendak melangkah ke arah kamar. “Fina juga anak Ibu. Sama seperti Sara dan Esa.”

Harusnya Saranita senang ketika Ibu mengungkapkan kalau wanita itu akan berusaha untuk bicara dengan Om Ginanjar, tapi sekon itu Saranita tersenyum kecil ke arah Ibu. Menatap mata wanita hampir senja itu remeh, “Ibu baru aja ngeraguin anak Ibu, kan?”

“Maksud Ibu bukan gitu, Sara.” balas Ibu, menghela nafas lelah.

Saranita tertawa seolah-olah ia tidak peduli dengan helaan nafas Ibu. “Bu, yang Sara punya tinggal Ibu. Ayah udah jadi Ayahnya orang lain, udah jadi milik orang lain. Kalau bukan ke Ibu, Sara harus ngadu ke siapa, Bu?”

Ibu hanya dia, berjalan ke arah Saranita dengan segelas penuh air yang sedari tadi ada di atas meja. Kemudian, wanita itu menyiram putrinya dengan air di tangannya.

“Ibu ....” Saranita menatap Ibu tidak percaya ketika segelas air itu membawahi wajahnya tanpa celah. Sebagian air dalam gelas yang dilempar dengan Ibu masuk ke dalam hidung yang membuat dadanya kian sesak. “Sara sendirian, Bu. Sara enggak pernah punya tempat buat ngadu, Sara juga sama capeknya kayak Ibu. Tapi kenapa Tuhan enggak pernah beri Sara kesempatan buat marah sama Ibu, sih?!”

“Kamu sendirian, kan, Sara?”

Gadis itu mengangguk tanpa aba. Kepalanya bergerak sendiri tanpa kendali.

“Kalau gitu, anggap saja Ibu sudah enggak ada.”Ahad malam di bawah gemintang yang bersinar dengan terang, jantung Saranita berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Tidak pernah gadis itu bayangkan sebelumnya bahwa Ibu tidak berdiri bersamanya juga Fina ketika ia mengadu tentang apa yang terjadi. Tanpa sadar air mata sialan itu jatuh dari netra yang selalu terang benderang milik Saranita.

“Ibu ....” Gadis itu marah, tapi seluruh kalimat untuk Ibu tidak dapat dikeluarkan dengan fasih. Lidahnya begitu kelu, bahkan hanya sekedar untuk memanggil Ibu saja suaranya bergetar hebat.

Di depan sana, Ibu menarik nafasnya dalam. Netra legam itu tenggelam dalam milik Saranita yang entah kenapa seperti terluka begitu parah. “Ada beberapa kemungkinan yang terjadi, Sara. Mungkin Om Ginanjar mencari apa yang enggak pernah lagi ia dapat dari istrinya atau—”

“Harusnya enggak ke Fina, Ibu! Fina anak, loh?” potong Sarania dengan cepat. Sejak lahir ke dunia sampai gadis itu beranjak dewasa, ia tidak pernah sekalipun mengerti dengan jalan yang ada di pikiran milik Ibu.

Ibu itu kelabu, terkadang terang, kadang juga redup.

“Sara, Ibu belum selesai bicara.” Tidak peduli dengan air mata yang keluar dari netra milik anak gadis pertamanya, Ibu tetap melanjutkan kalimat bodohnya. “Ibu enggak bisa langsung adu-kan ke Tante Anggun. Kamu tahu, kan, Sara? Kita enggak punya bukti. Lagi pula, kalau Om Ginanjar benar-benar melalukan hal itu ke Fina, kenapa Fina enggak teriak biar Tante Anggun langsung tahu?”

Kan, Saranita berkali-kali tidak pernah diberi kesempatan untuk mengerti tentang Ibu. Wanita yang terkadang ingin selalu menang atas kalimatnya, tapi terkadang juga ia mendahulukan anak-anaknya. Ibu itu benar-benar abu.

“Bu,” Saranita menunduk, punggung tangannya ia gunakan untuk menghapus cairan bening yang berhasil membasahi pipinya. “Refleks setiap orang itu beda-beda. Kadang, ada yang ketika mereka dilecehkan, mereka langsung teriak. Kadang, ada juga yang diam dulu untuk mencerna apa yang terjadi karena dia juga enggak ngerti dengan apa yang terjadi. Bu, Fina ada di opsi kedua.”

“Sara, Om kamu enggak sebrengsek itu.” balas Ibu. Tatapannya menusuk Saranita, seperti tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.

Satu menit hanya keheningan yang mengelilingi antara Ibu dan Saranita. Sampai pada akhirnya gadis berkaus hitam pekat itu berdiri, hendak meninggalkan Ibu dengan sejuta rasa kesal di dalam dada.

“Ibu pasti akan datangi Om Ginanjar suatu saat nanti, Sara. Tenang aja, ya? Ibu juga memikirkan Fina.” Ibu mengehala nafas, ia berdiri untuk menghentikan kaki Saranita yang hendak melangkah ke arah kamar. “Fina juga anak Ibu. Sama seperti Sara dan Esa.”

Harusnya Saranita senang ketika Ibu mengungkapkan kalau wanita itu akan berusaha untuk bicara dengan Om Ginanjar, tapi sekon itu Saranita tersenyum kecil ke arah Ibu. Menatap mata wanita hampir senja itu remeh, “Ibu baru aja ngeraguin anak Ibu, kan?”

“Maksud Ibu bukan gitu, Sara.” balas Ibu, menghela nafas lelah.

Saranita tertawa seolah-olah ia tidak peduli dengan helaan nafas Ibu. “Bu, yang Sara punya tinggal Ibu. Ayah udah jadi Ayahnya orang lain, udah jadi milik orang lain. Kalau bukan ke Ibu, Sara harus ngadu ke siapa, Bu?”

Ibu hanya dia, berjalan ke arah Saranita dengan segelas penuh air yang sedari tadi ada di atas meja. Kemudian, wanita itu menyiram putrinya dengan air di tangannya.

“Ibu ....” Saranita menatap Ibu tidak percaya ketika segelas air itu membawahi wajahnya tanpa celah. Sebagian air dalam gelas yang dilempar dengan Ibu masuk ke dalam hidung yang membuat dadanya kian sesak. “Sara sendirian, Bu. Sara enggak pernah punya tempat buat ngadu, Sara juga sama capeknya kayak Ibu. Tapi kenapa Tuhan enggak pernah beri Sara kesempatan buat marah sama Ibu, sih?!”

“Kamu sendirian, kan, Sara?”

Gadis itu mengangguk tanpa aba. Kepalanya bergerak sendiri tanpa kendali.

“Kalau gitu, anggap saja Ibu sudah enggak ada.”

IMG-20210819-200551

Ibu memang tidak pernah bisa dimengerti.

Ahad malam di bawah gemintang yang bersinar dengan terang, jantung Saranita berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Tidak pernah gadis itu bayangkan sebelumnya bahwa Ibu tidak berdiri bersamanya juga Fina ketika ia mengadu tentang apa yang terjadi. Tanpa sadar air mata sialan itu jatuh dari netra yang selalu terang benderang milik Saranita.

“Ibu ....” Gadis itu marah, tapi seluruh kalimat untuk Ibu tidak dapat dikeluarkan dengan fasih. Lidahnya begitu kelu, bahkan hanya sekedar untuk memanggil Ibu saja suaranya bergetar hebat.

Di depan sana, Ibu menarik nafasnya dalam. Netra legam itu tenggelam dalam milik Saranita yang entah kenapa seperti terluka begitu parah. “Ada beberapa kemungkinan yang terjadi, Sara. Mungkin Om Ginanjar mencari apa yang enggak pernah lagi ia dapat dari istrinya atau—”

“Harusnya enggak ke Fina, Ibu! Fina anak, loh?” potong Sarania dengan cepat. Sejak lahir ke dunia sampai gadis itu beranjak dewasa, ia tidak pernah sekalipun mengerti dengan jalan yang ada di pikiran milik Ibu.

Ibu itu kelabu, terkadang terang, kadang juga redup.

“Sara, Ibu belum selesai bicara.” Tidak peduli dengan air mata yang keluar dari netra milik anak gadis pertamanya, Ibu tetap melanjutkan kalimat bodohnya. “Ibu enggak bisa langsung adu-kan ke Tante Anggun. Kamu tahu, kan, Sara? Kita enggak punya bukti. Lagi pula, kalau Om Ginanjar benar-benar melalukan hal itu ke Fina, kenapa Fina enggak teriak biar Tante Anggun langsung tahu?”

Kan, Saranita berkali-kali tidak pernah diberi kesempatan untuk mengerti tentang Ibu. Wanita yang terkadang ingin selalu menang atas kalimatnya, tapi terkadang juga ia mendahulukan anak-anaknya. Ibu itu benar-benar abu.

“Bu,” Saranita menunduk, punggung tangannya ia gunakan untuk menghapus cairan bening yang berhasil membasahi pipinya. “Refleks setiap orang itu beda-beda. Kadang, ada yang ketika mereka dilecehkan, mereka langsung teriak. Kadang, ada juga yang diam dulu untuk mencerna apa yang terjadi karena dia juga enggak ngerti dengan apa yang terjadi. Bu, Fina ada di opsi kedua.”

“Sara, Om kamu enggak sebrengsek itu.” balas Ibu. Tatapannya menusuk Saranita, seperti tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.

Satu menit hanya keheningan yang mengelilingi antara Ibu dan Saranita. Sampai pada akhirnya gadis berkaus hitam pekat itu berdiri, hendak meninggalkan Ibu dengan sejuta rasa kesal di dalam dada.

“Ibu pasti akan datangi Om Ginanjar suatu saat nanti, Sara. Tenang aja, ya? Ibu juga memikirkan Fina.” Ibu mengehala nafas, ia berdiri untuk menghentikan kaki Saranita yang hendak melangkah ke arah kamar. “Fina juga anak Ibu. Sama seperti Sara dan Esa.”

Harusnya Saranita senang ketika Ibu mengungkapkan kalau wanita itu akan berusaha untuk bicara dengan Om Ginanjar, tapi sekon itu Saranita tersenyum kecil ke arah Ibu. Menatap mata wanita hampir senja itu remeh, “Ibu baru aja ngeraguin anak Ibu, kan?”

“Maksud Ibu bukan gitu, Sara.” balas Ibu, menghela nafas lelah.

Saranita tertawa seolah-olah ia tidak peduli dengan helaan nafas Ibu. “Bu, yang Sara punya tinggal Ibu. Ayah udah jadi Ayahnya orang lain, udah jadi milik orang lain. Kalau bukan ke Ibu, Sara harus ngadu ke siapa, Bu?”

Ibu hanya dia, berjalan ke arah Saranita dengan segelas penuh air yang sedari tadi ada di atas meja. Kemudian, wanita itu menyiram putrinya dengan air di tangannya.

“Ibu ....” Saranita menatap Ibu tidak percaya ketika segelas air itu membawahi wajahnya tanpa celah. Sebagian air dalam gelas yang dilempar dengan Ibu masuk ke dalam hidung yang membuat dadanya kian sesak. “Sara sendirian, Bu. Sara enggak pernah punya tempat buat ngadu, Sara juga sama capeknya kayak Ibu. Tapi kenapa Tuhan enggak pernah beri Sara kesempatan buat marah sama Ibu, sih?!”

“Kamu sendirian, kan, Sara?”

Gadis itu mengangguk tanpa aba. Kepalanya bergerak sendiri tanpa kendali.

“Kalau gitu, anggap saja Ibu sudah enggak ada.”Ahad malam di bawah gemintang yang bersinar dengan terang, jantung Saranita berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Tidak pernah gadis itu bayangkan sebelumnya bahwa Ibu tidak berdiri bersamanya juga Fina ketika ia mengadu tentang apa yang terjadi. Tanpa sadar air mata sialan itu jatuh dari netra yang selalu terang benderang milik Saranita.

“Ibu ....” Gadis itu marah, tapi seluruh kalimat untuk Ibu tidak dapat dikeluarkan dengan fasih. Lidahnya begitu kelu, bahkan hanya sekedar untuk memanggil Ibu saja suaranya bergetar hebat.

Di depan sana, Ibu menarik nafasnya dalam. Netra legam itu tenggelam dalam milik Saranita yang entah kenapa seperti terluka begitu parah. “Ada beberapa kemungkinan yang terjadi, Sara. Mungkin Om Ginanjar mencari apa yang enggak pernah lagi ia dapat dari istrinya atau—”

“Harusnya enggak ke Fina, Ibu! Fina anak, loh?” potong Sarania dengan cepat. Sejak lahir ke dunia sampai gadis itu beranjak dewasa, ia tidak pernah sekalipun mengerti dengan jalan yang ada di pikiran milik Ibu.

Ibu itu kelabu, terkadang terang, kadang juga redup.

“Sara, Ibu belum selesai bicara.” Tidak peduli dengan air mata yang keluar dari netra milik anak gadis pertamanya, Ibu tetap melanjutkan kalimat bodohnya. “Ibu enggak bisa langsung adu-kan ke Tante Anggun. Kamu tahu, kan, Sara? Kita enggak punya bukti. Lagi pula, kalau Om Ginanjar benar-benar melalukan hal itu ke Fina, kenapa Fina enggak teriak biar Tante Anggun langsung tahu?”

Kan, Saranita berkali-kali tidak pernah diberi kesempatan untuk mengerti tentang Ibu. Wanita yang terkadang ingin selalu menang atas kalimatnya, tapi terkadang juga ia mendahulukan anak-anaknya. Ibu itu benar-benar abu.

“Bu,” Saranita menunduk, punggung tangannya ia gunakan untuk menghapus cairan bening yang berhasil membasahi pipinya. “Refleks setiap orang itu beda-beda. Kadang, ada yang ketika mereka dilecehkan, mereka langsung teriak. Kadang, ada juga yang diam dulu untuk mencerna apa yang terjadi karena dia juga enggak ngerti dengan apa yang terjadi. Bu, Fina ada di opsi kedua.”

“Sara, Om kamu enggak sebrengsek itu.” balas Ibu. Tatapannya menusuk Saranita, seperti tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.

Satu menit hanya keheningan yang mengelilingi antara Ibu dan Saranita. Sampai pada akhirnya gadis berkaus hitam pekat itu berdiri, hendak meninggalkan Ibu dengan sejuta rasa kesal di dalam dada.

“Ibu pasti akan datangi Om Ginanjar suatu saat nanti, Sara. Tenang aja, ya? Ibu juga memikirkan Fina.” Ibu mengehala nafas, ia berdiri untuk menghentikan kaki Saranita yang hendak melangkah ke arah kamar. “Fina juga anak Ibu. Sama seperti Sara dan Esa.”

Harusnya Saranita senang ketika Ibu mengungkapkan kalau wanita itu akan berusaha untuk bicara dengan Om Ginanjar, tapi sekon itu Saranita tersenyum kecil ke arah Ibu. Menatap mata wanita hampir senja itu remeh, “Ibu baru aja ngeraguin anak Ibu, kan?”

“Maksud Ibu bukan gitu, Sara.” balas Ibu, menghela nafas lelah.

Saranita tertawa seolah-olah ia tidak peduli dengan helaan nafas Ibu. “Bu, yang Sara punya tinggal Ibu. Ayah udah jadi Ayahnya orang lain, udah jadi milik orang lain. Kalau bukan ke Ibu, Sara harus ngadu ke siapa, Bu?”

Ibu hanya dia, berjalan ke arah Saranita dengan segelas penuh air yang sedari tadi ada di atas meja. Kemudian, wanita itu menyiram putrinya dengan air di tangannya.

“Ibu ....” Saranita menatap Ibu tidak percaya ketika segelas air itu membawahi wajahnya tanpa celah. Sebagian air dalam gelas yang dilempar dengan Ibu masuk ke dalam hidung yang membuat dadanya kian sesak. “Sara sendirian, Bu. Sara enggak pernah punya tempat buat ngadu, Sara juga sama capeknya kayak Ibu. Tapi kenapa Tuhan enggak pernah beri Sara kesempatan buat marah sama Ibu, sih?!”

“Kamu sendirian, kan, Sara?”

Gadis itu mengangguk tanpa aba. Kepalanya bergerak sendiri tanpa kendali.

“Kalau gitu, anggap saja Ibu sudah enggak ada.”

Rumah dan pelabuhan milik Aksara.

eb4d2285-0d52-47e2-b164-ace98f4c3e94

Dalam diam, Saranita memerhatikan pria di sampingnya tanpa berpaling. Pancaran penuh cinta tanpa dipinta yang tergambar di sana. Sejak awal bagian dalam tulisan ini dimulai, ia sudah mencintainya—ingin memiliki pria bernetra elok itu sepenuhnya. Baginya, pria itu bukan hanya seseorang yang dengan khusus dikirimkan Semesta untuknya. Tapi, ia adalah pria manis yang benar-benar dilahirkan ketika Bumi bersuasana elok.

Sudah hampir empat puluh menit mereka di sini, hanya duduk dan berdiam sambil menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit. Tidak ada yang mengeluarkan suara sebelum akhirnya si gadis mengangkat kuasanya untuk mengambil satu kotak berisi alat bantu dengar yang baru saja ia beli menggunakan uangnya sendiri.

Saranita meletakkan kotak itu di samping jemari Aksara yang menopang dirinya sendiri. “Hadiah buat lo.”

Seperti dugaan, kurva di bibirnya terangkat penuh. Pria bernama Aksara itu menatap gadis di samping sebelum akhirnya mengambil kotak berpita abu itu. Jemarinya secara perlahan menarik satu ujung pita agar terlepas dan kotaknya dapat dibuka. Pancaran netra kecokelatan itu langsung teralih pada Saranita sesaat setelah pria itu tahu isinya.

Kuasa Saranita terangkat, berusaha menjelaskan dengan bahasa isyarat yang sudah ia pelajari bersama Tantenya dua minggu lalu. Katanya, “Gue beli pakai uang sendiri, tenang aja. Lo sama sekali enggak memberatkan. Anggap saja hadiah karena lo udah jadi Aksara yang hebat.

Aksara tahu, Saranita bukanlah gadis yang dibesarkan dengan penuh cinta begitu saja. Tapi di dekatnya, Aksara selalu merasa bahwa dirinya memang sedang dicintai. Di dekat Saranita juga, ia merasa bahwa Bunda berada bersamanya.

Mau gue bantu pakai?” Saranita kembali menggerakkan tubuhnya, membuat air dengan cepat memenuhi pelupuk Aksara. “Kok nangis? Hadiahnya kurang bagus, ya?

Dengan cepat Aksara menggeleng, sebab memang bukan itu alasannya. Pria itu kembali menatap netra milik Saranita dalam seolah sedang tenggelam di dalamnya, mencari sebuah kesedihan di balik netra yang selalu merefleksikan luka yang kronis. Kuasanya terangkat untuk mengambil buku kesayangan dari dalam ransel bersamaan dengan satu bulir air mata yang menitik, membasahi satu bagian kertas itu.

“Aksa, jangan nangis...” Saranita tahu bahwa Aksara tidak dapat mengertinya, pria itu tidak dapat mendengar suaranya sebab kali ini ia tidak lagi menggerakkan tubuhnya agar dimengerti.

Kuasa Aksara bergerak menggoreskan huruf menjadi kata, kemudian kata menjadi sebuah kalimat-kalimat penuh makna.

Saranita, sudah sering saya katakan bahwa kamu memang tidak pernah terduga. Terima kasih, ya?

Setelah membaca tulisan tangan kesukaan-nya, Saranita mengangguk tanpa ragu. Kemudian kembali mengikuti arah pandang Aksara untuk menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit Jakarta.

“Kenapa ngelihatin gedung segitunya?”

Beruntungnya Aksara sudah memasang alat bantu dengar di telinganya, jadi ia dapat memahami pertanyaan yang diajukan oleh Saranita. Pria berkaus abu yang sedikit usang itu mengangkat lekung di bibirnya, selanjutnya kembali menuliskan kalimat demi kalimat di atas bukunya.

Saya pernah punya cita-cita bekerja di dalam sana. Tapi kata Ayah, mereka enggak mencari orang yang untuk bicara aja sulit.

Setelah membaca kalimat yang dituliskan, Saranita menatap wajah Aksara dari sisi kirinya. Menghela napas, “Ayah lo bohong, Aksa. Suatu hari nanti lo pasti bisa kerja di sana.”

Lagi-lagi kedua sudut aksara terangkat penuh. Gadis di samping dengan kaus hitam polos itu memang paling bisa membuat dirinya kembali merasa dicintai dan layak seperti kata Bunda dahulu. Perlahan senyum itu berubah jadi tawa tanpa suara, netranya tetap mengarah pada Saranita.

“Apa? Gue enggak bohong. Suatu hari nanti lo bisa. Pasti bisa.”

Sore itu, Aksara tertawa tanpa suara. Netranya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Saranita. Diam-diam pria itu berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah melupakan setiap sisi yang ada dalam diri gadis di sampingnya. Aksara percaya bahwa Tuhan tidak tidur, ia akan mencatat seluruh keinginannya. Pasti.

Sar, ayo jadi pacar saya beneran.

Saranita membaca kalimat di atas kertas itu sekaligus menahan bibirnya sendiri agar tidak tersenyum dengan lebar. Pipinya kian memerah seiring Aksara yang menatapnya dengan senyum manis yang tiba-tiba saja membuat seluruh beban di pundak Saranita luruh begitu saja.

Tangan Saranita bergerak, “Emang yang kemarin bohongan? Gue beneran, kok.

Tanpa menuliskan kalimatnya lagi, Aksara membawa daksa Saranita untuk masuk ke dalam pelukannya. Akhir-akhir ini, pelukan milik Saranita seperti pelabuhan terakhir bagi pria itu. Menatap netra Saranita, seperti ia menemukan rumah yang sudah lama ia cari.

Bunda, Aksara pulang ...