Terluka karena badai, berakhir menjadi lara.

Di salah satu kursi yang ada di ruang tamu kos-nya, Saranita menatap lurus-lurus ke depan. Lagu dari earphone milik gadis itu sudah berhenti, berganti dengan kebisingan yang diciptakan dari kamar kos nomor dua yang kebetulan sedang ada tamu. Ia menarik nafasnya, kemudian diembuskan secara perlahan. Matanya memejam sebentar, sebelum akhirnya terbuka lebar dan disambut dengan hadirnya sosok pria berkaus hitam dengan senyum seluas jumantara. Tanpa dipinta, kedua sudut bibir Saranita terangkat separuh. Ia berdiri, kemudian melangkah untuk menghampiri kekasihnya.

Saranita ingat, beberapa bulan lalu ketika ia tidak pernah mengenal sosok pria di hadapannya ini, harinya berjalan selalu buruk. Tidak ada senyum semegah istana, tidak ada tatapan hangat atau bahkan perlakuan sederhana seperti menepuk pundaknya hanya untuk sekedar menyalurkan sebuah kekuatan. Parahnya, tidak pernah ada yang mengatakan dengan lantang bahwa lahirnya adalah sebuah keinginan. Selain Aksara, belum pernah Saranita menemukan seorang pun yang berkata bahwa ia bangga memilikinya.

Kamu lagi ngapain?

Gerakan tubuh Aksara membuat gadis bersurai legam itu kembali tertarik dari lamunan. Dia menipiskan bibir, kemudian menunjukkan kertas di tangan kanannya. “Aku udah selesaiin satu lagu.”

Seharusnya, petang itu Aksara merasa senang dan bangga. Tapi perasaan itu seketika teredam kala ia tidak melihat binar terang pada bolamata milik gadis kesayangannya. Tangannya terangkat untuk mengusap lembut puncak kepala Saranita yang dihadiahi dengan kerucutan bibir lucu dari gadisnya.

“Mau ngobrol di mana, Sa?” tanya Saranita. Jantungnya berdetak tidak pada tempatnya, darahnya berdesir luar biasa.

Setelah mengenal Aksara, gadis itu jadi tidak mengerti bagaimana caranya mengendalikan detak jantungnya. Saranita jadi tidak mengerti, kenapa perasaannya untuk Aksara selalu menggebu-gebu bahkan meluap sampai ia tenggelam oleh rasa itu sendiri.

Tangan Aksara bergerak, “Di luar aja, yuk? Kamu udah makan?

Kepalanya menggeleng, “Belum.” Berjalan untuk meletakkan kertas di atas meja. Kemudian kembali menghampiri Aksara yang tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan.

Kamu nggak pakai jaket?” Tangan Aksara bergerak, menyingkirkan anak rambut Saranita yang menutupi wajah karena tertiup oleh angin.

Saranita terkekeh, “Nggak. Jaketku ketinggalan di rumah Ibu kayanya.”

Helaan nafas begitu saja keluar dari bibir Aksara, dia menatap gadisnya sambil bergerak untuk membuka denim jaket yang menyelimuti tubuhnya. Perlahan, ia memastikan denim jaket itu berpindah untuk membalut diri gadisnya. “Anak yang kuat jangan sampai sakit.

Kekehan Saranita seolah pembenaran atas kalimat yang diungkapkan oleh Aksara. “Iya. Kalau gue sakit, dunia nyakitin siapa lagi?”

Keduanya tidak mengerti bagaimana cara Semesta bekerja. Dua remaja itu pun tidak mengerti bagaimana dunia ini memperlakukannya. Yang jelas, satu di antara keduanya—jelas saja Saranita, ia sudah merasa muak. Bumi itu bagaikan panggungnya untuk bersandiwara, menyembunyikan tiap-tiap luka berdarahnya dari kacamata orang lain. Tentu saja, Saranita membencinya.

Itu sebabnya kamu harus jaga diri, Sara. Karena selain kamu dan saya, siapa lagi yang akan jaga kamu? Yang selamatin kamu?” Tangannya menggenggam milik Saranita erat. Aksara bisa melihat dengan jelas bagaimana netra gadis itu semakin meredup setelah pertanyaan itu.

Udara malam itu dingin, termasuk bagaimana angin malam menerpa langsung ke kulit milik Aksara yang kini hanya merasakan kehangatan di bagian telapak tangan kanannya karena menggenggam milik Saranita. Namun lebih dari pada udara malam ini, rasanya keadaan di antara Aksara dan Saranita tidak lagi hangat. Keduanya kaku, terlebih ketika Saranita tidak menanggapi kalimat tanya dari Aksara. Gadis itu hanya melangkahkan kaki, beriringan dengan milik Aksara.

“Lo bener, Sa.” kata Saranita tiba-tiba. Sambil melangkahkan kaki, dia menatap Aksara dari samping. “Gue nggak perlu nyakitin diri gue sendiri karena itu udah tugas dunia dan oranglain.”

Di akhir kalimat, Saranita tertawa miris. Tawa yang membuat Aksara terluka lebih dari apapun. Bukan seperti tawa yang selalu gadis itu tunjukkan pada dunia. Bukan juga tawa bahagia yang membuat mata dari gadis itu membentuk sabit indah. Wajah cantik itu tampak muram, membuat Aksara marah entah pada siapa.

Sara, aku bukan spiderman yang bisa melindungi kamu pakai jaringnya. Aku juga bukan hulk yang punya badan besar. Aku cuma Aksara, tapi kalau untuk menjaga kamu, aku bisa.” Pergerakan tangannya berhenti ketika ia tahu bahwa Saranita menghentikan langkahnya. Tanpa sadar Aksara ikut berhenti, menatap Saranita bingung.

“Kalau kamu pergi ke Kanada, siapa yang jaga aku?”

Pertanyaan yang terlontar dari bibir Saranita membuat Aksara kalah telak. Ia bingung, sungguh. Di satu sisi, pergi ke Kanada dan melanjutkan hidupnya di negara itu adalah impiannya sejak kecil. Namun di sisi lain, impiannya bertambah sejak Saranita hadir. Ia hanya ingin menjaga gadis yang entah kenapa diperlakukan begitu tegas oleh dunia.

“Kalau kamu pergi, kita gimana?”

Aksara mendekat, menatap netra legam Saranita yang membuatnya terpikat dengan lekat. Hari ini giliran ia yang menjerit dalam hati perihal hubungan keduanya. Sebab Aksara tau, hal berat yang membuat Saranita tidak percaya pada hubungan berjarak adalah sebuah rasa. Aksara mengerti, sebab sejak awal mengenal gadis itu, ia benar-benar tidak percaya akan sebuah rasa cinta.

“Aku bukan nggak percaya sama perasaan kamu ke aku, Sa.” Yang bisa gadis itu lakukan hanya menghela nafas, menahan rasa sesak yang tiba-tiba saja menyeruak. “Aku juga bukan tipikal orang yang dengan gampang ngeletakin perasaan ke orang lain. Kamu tau itu, kan?”

Kedua pasangan itu berdiri di bawah awan gelap yang mencekam. Di atas jembatan, tengah Ibu Kota yang malam ini sepi. Namun tetap saja, isi kepala milik Saranita selalu berporak poranda seolah pemiliknya bukan manusia. Ketakutan itu, kini tercetak dengan jelas pada raut wajahnya. Hanya di hadapan Aksara, ia bisa dengan mudah mengekspresikan apa yang ia rasa. Karena entah kenapa, Aksara rasanya seperti rumah utuk bersemayam bagi Saranita.

Apa alasan yang bikin kamu nggak bisa? Alasan jelas yang katamu, kita nggak bisa.

Nafas Saranita tersenggal, seperti sisa separuh. “Aku takut Tuhan ambil kamu di saat kita jauh, Aksa.” Netranya tidak lepas, merefleksikan rasa yang menghampirinya. “Kamu tau kalau aku manusia yang payah, kan, Sa? Aku banyak takutnya, aku—”

Kalimatnya terhenti begitu saja ketika Aksara menabrakkan daksanya dengan lembut, membawa gadis itu masuk ke dalam pelukan hangatnya.

b0aad4ee-5a2a-496c-9e5a-cdaf843d5be5

Jangan takut, aku udah minta Tuhan buat ambil nyawa kita bareng-bareng.

Backstreet-Jeno