Ibu tidak pernah gagal.
Di antara banyak hal yang pernah Saranita temukan, hanya ada satu hal yang sampai sekarang belum pernah benar-benar gadis itu pahami. Perihal sebuah pelukan yang tidak hanya menimbulkan sebuah debar menyenangkan. Tapi juga menyalurkan sebuah rasa tenang yang membuatnya nyaman. Sejak memiliki Aksara, gadis itu terpaku dengan bagaimana cara Semesta yang memberi sebuah rasa dalam bentuk rahasia. Saranita bersyukur. Karena pada akhirnya ia menemukan seorang pria yang tatapan netranya mampu membuat jantung berdebar lebih cepat, seorang pria yang jemarinya mampu mengisi ruang kosong di antara miliknya.
Beruntungnya lagi, manusia yang dikirim oleh Tuhan adalah Aksara Pranata Wijaya.
“Kamu beneran ke sini?” tanya Saranita, netranya tertuju pada Aksara yang malam ini tampak lebih tampan dibalut dengan jaket levisnya. “Udah malem, Aksara.”
Pria di ujung pagar mengangkat sedikit bibirnya. Kemudian mulai menggerakkan jemarinya, “*Aku bener-bener di sini.”
Dengan kurva yang membentang seluas Samudera, tungkai gadis itu melangkah maju. Kata-kata yang sudah disiapkan, tercekat begitu saja dalam tenggorokan ketika ia melabuhkan tatapannya pada netra kecokelatan milik Aksara. Pancaran begitu menenangkan, membuat pertanyaan-pertanyaan sialan yang berenang di kepala Saranita seketika lenyap entah ke mana. Gadis itu diam, terpaku pada pergerakan Aksara yang membawa kuasanya mendarat di bahu Saranita.
“Aksa, kenapa selalu ajak aku keluar malam-malam kalau ada Ibu di rumah?” Akhirnya Saranita dapat bernafas dengan lega. Karena setidaknya, satu pertanyaan berhasil lolos tanpa ada kalimat yang tersandung.
Pria bersurai legam itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, menipiskan bibir, kemudian menautkan jemarinya pada milik Saranita. Memasukkan genggaman itu ke dalam saku jaketnya. Andai saja bisa, maka Aksara tidak hanya memasukkan jemari kecil gadisnya saja ke dalam jaket—mungkin, juga daksanya.
Kaki Aksara melangkah pelan-pelan, membiarkan Saranita tetap meyamakan langkahnya. Dia menengadah, menatap jumantara yang malam ini jelas sedang muram. Berandai-andai, perihal kesempurnaan yang tidak dapat ia miliki. Namun diam-diam beryukur karena Tuhan berikan ia hati seluas dunia ini.
Genggaman jemarinya pada milik Saranita tiba-tiba tergenggam dengan erat. Rasanya seperti Aksara ingin membawa gadis itu pergi jauh dari belahan dunia yang sekarang sedang mereka pijaki. Kemudian hidup bahagia, membuat gadis itu lebih sering tersenyum lagi.
“Di Halte aja, Sa.” kata Saranita memecah keheningan yang sudah sejak lima menit menguasai keduanya.
Namun langkah Aksara tidak berhenti, pria itu masih berjalan seperti tidak mendengarkan kalimat sebelumnya dari Saranita. Pergerakannya membuat gadis itu melirik ke arah telinganya, kemudian tersenyum kecil ketika alat bantunya tidak sedang ada di sana. Dengan gerakan yang perlahan namun pasti, Saranita mengeratkan genggaman yang mampu membuat Aksara menoleh kebingungan. Lagi-lagi, tangan gadis itu bergerak untuk menyentuh daun telinga, dengan maksud agar prianya menggunakan alat untuk mendengarkan.
Kemudian, dua detik setelahnya, Aksara terkekeh tanpa suara. Bergerak untuk memasang alat bantunya, kemudian menatap gadis bersurai lekat itu. Bersiap untuk mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir tipisnya.
“Aksa, kenapa jarang dipakai alat bantu dengarnya?” tanya Saranita, bingung. Namun langkahnya tidak berhenti, ia membawa pria yang lebih tinggi darinya itu menuju halte yang sudah sepi.
Sebelum menjawab kalimat tanya dari gadisnya, Aksara menarik nafas dalam. Berusaha mengganti udara dalam jantungnya, kemudian mengikuti pergerakan Saranita untuk duduk di atas besi yag dijadikan untuk kursi dalam halte. Anggota tubuhnya bergerak perlahan, “Saya takut mendengar suara manusia, Sara.”
Gadis itu tidak begitu menangkap dasar ketakutan dari sorot netra kecokelatan prianya. “Mereka jahat sama kamu, ya? Aksa, jangan takut lagi. Kan, aku udah ada sama kamu.” katanya. Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Saranita, tanpa sadar bahwa ia-lah manusia yang paling memiliki banyak ketakutan di Dunia ini.
Aksara menatap netra milik gadisnya dalam, seolah sedang menenggelamkan dirinya di sana. Mencari segala pertanyaan-pertanyaan yang selalu berenang di dalam kepalanya. Detik itu, ia baru sadar bahwa Saranita tidak memiliki banyak jawab atas tanya-nya. Gadis itu hanya memiliki satu gubuk menghangatkan yang dibangun khusus untuknya.
“Aku enggak takut lagi, Sara. Kan, kamu jago berantem.” jawab Aksara, dengan senyuman seluas jumantara di akhir kalimtnya. “*Kamu sering-sering bersuara, ya, Sar?”
“Emang kenapa?”
Aksara tidak tahu apa alasan jelasnya. Tapi, mendengar suara Saranita adalah bagaimana caranya jatuh cinta paling sederhana. Seperti saat kali pertama ia menemukan sosok gadis itu. Hanya karena Saranita menyumbangkan suaranya untuk perpisahan dua angkatan sebelum mereka.
Tangannya bergerak, “Aku udah pernah bilang, kalau aku selalu suka sama suaramu, kan?”
Tidak pernah Saranita bayangkan, kalau ternyata ia selalu menjadi beruntung ketika Aksara datang dalam hidupnya. Sekarang gadis itu percaya bahwa rencana Semesta memang dan akan selalu lebih indah dari segala permintaannya. Juga, Saranita menyadari satu hal bahwa Semesta memang selalu mengabulkan segala bentuk permintaan, namun waktunya saja yang berbeda.
Pukul dua dini hari, Aksara baru mengajak Saranita pulang. Diantar dengan selamat, bahkan pria itu membalut tubuh Saranita dengan jaketnya. Sedangkan ia membiarkan angin malam menyapu kulitnya sendiri.
Setelah prianya pergi dari halaman rumah, kaki Saranita melangkah masuk. Gadis itu berniat untuk langsung tidur dan melupakan segala bentuk kejadian malam ini—kecuali bersama Aksara. Sebab Saranita berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah melupakan satu detik pun bersama prianya.
“Mahesa sudah makan?”
Suara Ibu membuat langkah kaki Saranita berhenti begitu saja, tepat di depan pintu kamar yang ditempati oleh Ibu dan Mahesa. Pertanyaan itu, pertanyaan yang tidak pernah sekalipun Ibu lontarkan untuk Saranita. Tapi tiba-tiba hatinya menghangat ketika Ibu bertanya pada anak bungsunya.
“Udah, Bu. Esa udah makan.” jawab Mahesa yang Saranita yakini sedang tenggelam dalam pelukan Ibu.
“Makan pakai apa, Mahesa?”
“Makan pakai Mie instan, Bu. Soalnya Esa tahu kalau Kak Sara enggak begitu punya uang lebih untuk biayai hidup kita berdua.”
Setelah jawaban itu dilontarkan dari bibir Mahesa, ada isak tangis yang tanpa permisi masuk ke dalam rungu Saranita. Gadis itu yakin, suaranya milik Ibu. Kakinya melemas, detik terasa berhenti ketika lagi-lagi ia mendengar hal yang membuat hatinya begitu terluka.
Kata Ibu, “Mahesa jangan cepat dewasa, ya?”
“Emang kenapa, Bu?”
Lagi-lagi isak tangis itu memenuhi rungu Saranita. Tangannya bergerak untuk meremas dadanya sendiri, berusaha meredakan seluruh rasa sakit yang menjalar di dalam sana.
“Kata orang, kalau anak-anak cepat berpikir dewasa, itu artinya orangtua mereka enggak merawatnya dengan benar.” Di dalam sana, tangan Ibu terangkat untuk mengelus puncak kepala Mahesa yang masih menatap langit-langit kamar. Napas wanita itu hampir tercekat kala mengingat bagaimana ia membesarkan anak di dalam dekapannya itu. “Mahesa, jangan cepat dewasa, ya, nak?”
Di balik pintu kamar Ibu, kaki Saranita melemas begitu saja. Bahkan, hanya untuk sekedar menopang daksanya sendiri saja ia tidak mampu. Gadis itu berjongkok, menahan rasa sesak di dalam dada yang tiba-tiba menjalar di setiap aliran darahnya ketika kalimat-kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Ibu. Saranita tidak pernah tahu, bahwa Ibu memiliki pemikiran sejauh itu. Saranita juga tidak pernah tahu, bahwa Ibu sebenarnya selalu mengkhawatirkan perasaan anaknya. Entah perasaan ketiga anaknya atau hanya Mahesa saja—setidaknya hal itu membuat Saranita menyadari satu hal; bahwa Ibu juga takut gagal.
Setelah Ayah meninggalkan Ibu dan ketika anaknya, Ibu pernah bilang pada Saranita bahwa, “Sara, Ibu sudah gagal jadi seorang istri. Tapi kamu tolong ingat satu hal, ya? Ibu akan selalu berusaha untuk enggak pernah gagal jadi seorang Ibu untuk kalian.” Pada akhirnya, kalimat itu yang mampu membuat Saranita bertahan pada pikirannya, bahwa sebenarnya Ibu tidak gagal. Hanya saja, Ibu sedikit egois untuk dirinya sendiri.
“Sara,”
Pintu kamar terbuka, bersamaan dengan Ibu yang menunduk, menatap putri pertamanya jongkok di depan sana sambil memeluk lututnya sendiri. Satu hal yang malam itu ada di pikiran Ibu, perihal Saranita adalah sekuat-kuatnya manusia yang ada di muka bumi. Kakinya melangkah maju, kemudian ikut menyetarakan tubuhnya di hadapan anaknya itu. “Sara, maaf.”
Saranita diam, menatap netra Ibu dalam. Gadis itu mencari kehangatan di dalam sana yang setelah Ayah pergi, sudah tidak ada lagi peristirahatannya. Detik itu Saranita sadar, di sana kosong. Ibu sendirian, tidak mampu membangun sebuah tembok kehangatan—bahkan untuk dirinya sendiri.
“Ibu,”
Tangan Ibu terangkat, mengelus puncak kepala anak gadisnya dengan lembut. Wanita itu sadar, bahwa banyak sekali ketakutan yang menetap dalam diri anaknya itu. “Ibu gagal jadi seorang Ibu, ya, Sara?”
“Ibu .... Ibu enggak pernah gagal, Bu. Hanya saja, Saranita enggak pernah mengerti bagaimana cara Ibu berpikir. Saranita enggak pernah dikasih kesempatan untuk tahu segalanya tentang Ibu.” Kalimat itu keluar begitu saja tanpa direncanakan. Saranita bahkan menahan nafasnya dan mengepalkan seluruh jemari. “Ibu selalu bikin Saranita bingung karena perasaan Ibu. Terkadang, Ibu bisa jadi penjahat yang selau Saranita takuti. Tapi terkadang, Ibu jadi orang yang pertama kali Saranita cari ketika ingin mengadu.”
Dengan satu gerakan pasti, Ibu membawa anak pertamanya masuk ke dalam pelukan. Wanita itu menangis dalam diam, menahan isak agar Saranita tidak ikut mengeluarkan air mata, walau Ibu tahu bahwa anaknya itu bukan sosok yang mudah sekali mengeluarkan air mata.
“Maaf kalau Ibu enggak pernah bisa atur emosi dan perasaan Ibu, Sara.”
Bagaikan manekin, Saranita tidak bergeming walau daksanya ditarik masuk ke dalam pelukan Ibu yang begitu ia rindukan. Rasanya begitu asing, sampai Saranita tidak menemukan apa-apa lagi di dalm sana.
“Ibu,”
Ibu menggeleng di perpotongan leher Saranita. “Ibu gagal, Sara.”
“Ibu,”
Tidak ada jawaban, hanya suara isak tangis Ibu yang kian terdengar jelas di rungu Saranita.
“Ibu,” Gadis itu menggigit bibir bawahnya sampai terasa perih. Ia sudah memiliki satu kalimat sederhana untuk Ibu dalam hatinya, tapi sulit sekali rasanya untuk diungkap entah kenapa.
“Saranita, maaf, ya? Ibu akan terus berusaha untuk kalian, ya?”
”Ibu,”
Ibu menjauhkan daksanya, menatap netra legam anak perempuan pertama yang bahunya sekuat baja. “Marah aja, Sara. Kamu bisa teriak-teriak di depan Ibu. Kamu boleh marah sama Ibu.”
“Ibu,”
Kedua tangan Ibu berlabuh di pundak Saranita, “Ayo, marah! Ibu dengarkan, Sara.”
“Saranita sayang sama Ibu.” Kali ini, Saranita yang meraih daksa Ibu, masuk ke dalam pelukan yang begitu ia rindukan sambil menahan rasa sesak di dalam dada karena entah kenapa ia tidak dapat mengeluarkan air mata. “Mau segagal apapun, Ibu tetap Ibu-nya Saranita.”