Kapan terakhir kali kamu tersenyum tanpa beban?
Ada yang pernah bilang pada Saranita, bahwa hidupnya di dunia hanya sementara. Beberapa dari mereka juga ada yang bilang bahwa Saranita hanya seorang gadis egois yang kerap memikirkan dirinya sendiri. Ia akui—terkadang, hal itu bisa saja terjadi tanpa dipinta. Benar kata Ibu, Saranita adalah anak perempuan pertama yang egois sampai ia lupa kapan terakhir kali ia menuruti keinginannya sendiri. Karena, selalu oranglain. Kedua telinganya selalu terbuka untuk oranglain, sementara dirinya diam-diam terluka begitu saja.
Kejadian malam tadi, di mana Ibu melempar satu undangan berwarna merah muda tanpa aba-aba. Membuat jantung Saranita berhenti untuk berdetak seketika. Ia bahkan hampir tersedak tulang ayam goreng yang sebelumnya ia beli di depan komplek untuk makan malam bersama Mahesa. Netranya tidak lepas dari nama yang tertera dengan jelas di undangan itu, sampai akhirnya suara Ibu masuk ke dalam rungu.
“Dengan atau tanpa persetujuan kamu, Ibu dan Om Ferdi akan segera jadi menikah.” kata Ibu tanpa ragu.
Petang itu Saranita menahan dirinya untuk tidak hancur tepat di hadapan Ibu sebab sampai kapanpun ia tidak pernah sudi jika posisi Ayah digantikan dengan oranglain—termasuk Om Ferdi. Gadis berambut legam itu meneguk segelas air mineralnya, kemudian berdiri untuk menatap Ibu lebih jelas. “Emangnya Saranita di rumah ini siapa, sih, Bu? Sampai-sampai Ibu harus minta persetujuan dari Sara? Anggap aja Saranita cuma barang yang Ibu punya. Bisa disuruh ini dan itu tanpa ada keragu-raguan.”
Benar saja, tanpa keragu-raguan setelah kalimatnya selesai terlontar, tangan Ibu melayang di udara, hampir saja kelewat batas kalau tidak ditahan oleh Om Ferdi yang tiba-tiba datang tanpa salam. Katanya, “Kamu kenapa bisa sekasar ini, sih, Nin? Saranita ini sama seperti Fina juga Mahesa, mereka anak kamu. Mereka sama. Derajatnya enggak bisa kamu beda-bedakan.”
Harusnya melalui kalimat itu Om Ferdi dapat mengambil hati Saranita, tapi gadis itu justru semakin muak dibuatnya, entah kenapa. Mungkin saja karena perlakuan Ibu, mungkin juga memang karena suasanya tidak begitu damai, atau kemungkinan terakhir adalah ada yang salah dalam diri Saranita.
Tiba-tiba ada jemari hangat yang mampir untuk mengelus punggung tangan Saranita, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya dan disambut dengan senyum seluas jumantara dari pria bernetra elok di hadapannya—tentu saja, Aksara.
Pria itu tersenyum kecil, “Are you okay?”
Untuk pertanyaan yang Saranita sendiri tidak tahu jawabannya itu, ia mengangguk, kembali menjadi gadis yang penuh dengan rahasia walau ia berada di hadapan Aksara. Satu-satunya pria yang Saranita jadikan rumah itu hanya menipiskan bibir, enggan bertanya lebih padahal ada banyak sekali pertanyaan yang bersarang di ruang kepalanya perihal gadis itu juga tas besar di sampingnya.
“Cumi-nya kenapa enggak dimakan, Sar?” tanya Aksara. Ibu jarinya masih setia mengusap punggung tangan Saranita, berharap perasaan resah yang ada di dalam diri gadis itu pergi dengan segera. “Enggak enak, ya?”
Saranita terkekeh kecil, “Ini aku makan, kok!”
“Kepala cumi-nya kenapa kamu pisah gitu?” tanya pria berkaus putih itu penasaran. Netranya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Saranita yang sejak tiga puluh menit lalu tidak juga menghabiskan makanannya.
Helaan nafas berembus begitu saja dari bibir Saranita. Dia menatap Aksara, “Kasihan cuminya kalau kepalanya aku makan.”
Kedua alis Aksara bertaut menjadi satu, bingung akan jawaban Saranita.
“Aku enggak pernah makan kepala ayam, kepala ikan, kepala cumi, kepala udang, atau kepala dari hewan apapun yang aku makan.” jelas Saranita, sebab ia tahu kalau kekasihnya itu sedang menerka-nerka isi kepalanya yang sama sekali tidak mudah.
Aksara jelas tahu, Saranita memang bukan gadis yang mudah sekali ditebak. Saranita bisa selalu menjadi kalimat tanya dalam semua paragrafnya, tapi ia juga bisa jadi satu-satunya jawaban atas segala pertanyaan itu sendiri. Benar kata Ananda pada saat hari pertama ia bertanya tentang Saranita pada pria itu, “Saranita itu penuh dengan kejutan. Dia enggak bisa ketebak, dia juga bisa jadi teka-teki.”
“Emang kenapa kamu enggak makan kepala hewan-nya?” tanya Aksara, lagi.
“Karena kasihan, kamu tau enggak, sih? Kasihan gitu. Aku enggak tega kalau makan kepala mereka, soalnya muka mereka kayak mau nangis gitu.” jelas gadis itu, tidak lupa melipat bibirnya ke dalam seolah-olah tengah bersedih hati.
Aksara menggeleng, ketawa tanpa suara sudah menjadi tugas utamanya. “Kalau kasihan, kenapa kamu makan badannya?”
“Karena badannya enak!” jawab Saranita tanpa ragu-ragu. Membuat Aksara tersenyum manis karena benar saja kata Ananda bahwa Saranita adalah gadis ajaib.
Padahal hanya perihal badan dan kepala dari se-ekor cumi-cumi, tapi Aksara mampu membuat suasana hati Saranita setidaknya lebih baik dari pada sebelumnya. Kali ini gadis berkaus hitam itu kembali mempersentasikan senyumnya untuk dunia. Ia telah kembali menjadi Saranita yang penuh dengan warna-warna bahagia seolah tidak pernah ada beban di pundaknya. Hanya Aksara yang mampu memberikan warna baru dalam hidup Saranita. Hanya Aksara pula yang mampu mematahkan fakta bahwa jatuh cinta itu bukan hanya perihal luka—tetapi juga berbagi suka dan duka.
“Aku udah dapet kost-an.” ucap Saranita tiba-tiba membuat Aksara berhenti menghabiskan makanannya. “Aku mau berhenti tinggal sama Ibu, Sa. Aku mau berhenti tau segala hal tentang mereka semua. Aku mau hidup buat diriku sendiri.”
Suasana di antara keduanya berubah menjadi kaku. Aksara mengubah posisi duduk untuk membuat dirinya fokus mendengarkan kata demi kata yang keluar dari bibir Saranita. Walaupun Aksara tahu, ia bukan pendengar yang sempurna. Tanpa alat yang saat ini bertengger di salah satu telinganya, ia bahkan tidak mampu mendengar suara gadisnya yang merdu. Netra cokelat itu tidak pernah lepas dari wajah cantik di hadapannya.
Selalu.
Saranita selalu menjadi gadis yang sama. Ia bisa menjadi gadis yang penuh warna seperti pelangi, tapi di sisi lain ia bisa menjadi gadis yang gelapnya seperti malam tanpa bintang. Gadis yang penuh kepura-puraan terlebih pada dirinya sendiri.
Aksara kira, orang seperti dirinya yang penuh dengan kepura-puraan hanya ada satu di dunia sampai pada akhirnya Tuhan mempertemukannya dengan dirinya dalam bentuk perempuan. Dia, Saranita Senja.
Mereka sama—hanya dalam beberapa point saja, sisanya berbeda dan itu tugas Aksara untuk meyakinkan gadisnya bahwa perbedaan hadir karena untuk dilengkapi.
“Tiga tahun hidup sama Ibu, aku sampe lupa kapan terakhir kali aku ngelakuin hal yang aku mau.” Gadis itu terkekeh di ujung kalimatnya. Tangannya bergerak untuk mengaduk es teh manis yang tersisa separuh, tatapannya lurus ke depan seolah menerawang sesuatu. “Padahal Ibu bilang ke Esa buat enggak cepet-cepet tumbuh dewasa. Karena dengan begitu Ibu merasa enggak becus jadi seorang Ibu. Tapi .... Ibu enggak pernah sadar ada satu anaknya yang udah terlampau dewasa di sini. Dewasa untuk diri sendiri dan andai Ibu tau, kalau punya pemikiran kayak orang dewasa di usia segini itu berat banget. Aku takut berkali-kali, aku gagal berkali-kali, aku jatuh berkali-kali, aku bahkan hampir mati, dan Ibu milih enggak peduli.”
Tidak banyak hal yang mampu Aksara lakukan untuk Saranita selain menyalurkan sebuah kehangatan melalui genggaman jemarinya juga tatapan netranya. Dia menipiskan bibir dan bersiap akan kalimat selanjutnya dari Saranita.
“Kadang aku bingung, jadi dewasa itu kenapa harus kayak gini, sih? Pemikiran orang dewasa itu kayak gimana, sih? Kadang aku capek, tapi aku enggak mau nyerah.” Saranita mengulum bibir bawah selama kalimatnya dibiarkan terjeda. Ia meraup udara sebanyak-banyaknya, mengganti oksigen di dalam dada yang rasanya sudah terlalu menyesakkan. “Sa, kamu inget enggak? Kamu pernah bilang, kalau capek itu istirahat, sebab menyerah bukan jawaban.”
Aksara mengangguk dengan senyum tipisnya.
“Sampai detik ini, kalimat itu punya impact yang besar di diri aku. Aku enggak lagi pengin nyerah walau aku tau kalau aku udah capek banget. Tapi kamu bener, menyerah itu cuma buat orang-orang yang payah.” Tatapannya beralih, Saranita masuk ke dalam netra kecokelatan milik Aksara yang sedari tadi menatapnya tanpa jeda. “Makasih, ya, Sa?”
Aksara beralih tempat, ia mengisi ruang kosong di sebelah kiri Saranita. Duduk di sana, membawa jemari kekasihnya untuk masuk ke dalam saku jaket levis yang ia gunakan. Tangannya yang bebas terangkat untuk menepuk sebelah bahu Saranita, “You are always doing your best, Princess. Aku bangga.”