Mas Bagas manusia paling hebat!
Pukul satu dini hari. Pria berkaus hitam itu masih setia duduk di atas kasurnya sambil menatap bingkai foto di tangan kanannya. Kurva di bibirnya terangkat sedikit, kemudian berkali-kali menghela nafas berat tanpa jeda. Netranya memejam begitu tertangkap dengan jelas di kedua rungunya. Kendati begitu, tetap saja, suara badai sekali pun tidak mampu melenyapkan semua kejadian yang terekam jelas di otak Bagaskara.
Perihal kejadian tujuh belas tahun lalu. Tepat hari di mana kedua adik laki-lakinya lahir bersamaan. Hari itu yang Bagaskara tahu, ia akan memiliki dua adik kembar dengan segera. Hati senang sampai tidak mampi dikendalikan walaupun ia baru menginjak usia lima. Sayangnya, suasana bahagia itu tidak bertahan lama sampai netranya melihat Ayah menangis pilu di ujung lorong Rumah Sakit.
Malam itu, Bagaskara sungguh tidak tahu apa yang menjadi alasan Ayah duduk di lantai yang dingin tanpa alas, berlinang air mata bersamaan dengan erangan yang ditahan. Dengan keberanian yang tidak penuh, langkah Bagaskara membawa dirinya untuk berdiri di depan Ayah.
“Ayah .... kenapa nangis?”
Pukul sembilan malam, Ayah mendongakkan kepala untuk menatap wajah putra pertamanya. Kurva di bibir Ayah terangkat sedikit, jemarinya langsung terangkat untuk menghapus air mata. Saat itu, bagi Bagaskara, Ayah adalah pria yang hebat di muka Bumi. Padahal baru satu detik yang lalu ia menatap Ayahnya menangis pilu, terluka sebegitu parah. Namun tangis itu dapat berubah sepersekon setelah Ayah mendapatinya.
“Ayah enggak menangis, Bagas.” Masih dengan senyum yang sama. Ayah berdiri, menggenggam jemari Bagaskara untuk membawa anak itu duduk di kursi. “Bagas lihat! Ini adik kamu.” Tangan kanan Ayah terangkat untuk menunjukkan satu lembar kertas berisi gambar yang baru saja diberikan perawat untuknya.
Senyum manis dan binar penasaran itu hadir begitu saja di netra Bagaskara. Ia mendekat ke Ayah, kemudian menatap kertas di tangannya. Sepersekon setelah itu, alisnya bertaut menjadi satu. Bagaskara bingung.
“Ayah,”
Ayah berdeham, mengalihkan pandangan gelap itu dari kertas yang masih ditatap oleh Bagaskara. “Kenapa, Agas?”
“Kata Bunda, Bagas bakalan punya dua adik kembar.” Pandangan Bagaskara beralih, ia menatap jemari Ayah yang menggenggam satu bahan—yang entah apa itu, diremas begitu kuat sampai kukunya memutih. “Tapi kenapa di foto cuma ada satu?”
Waktu itu Bagaskara tidak tahu seberapa hancur Ayah ketika pertanyaaannya dilontarkan. Tapi Ayah mampu menjawabnya dengan tenang, menyembunyikan luka itu di hadapan anak pertamanya dengan sempurna.
“Bagas emang punya dua adik. Yang di foto ini,” Telunjuk Ayah mengarah foto di dalam kertas itu. “Namanya Aksara.”
“Adik yang satu, ke mana, Yah? Namanya siapa?” Ketika dua pertanyaan itu terlontar, binar di mata Ayah langsung hilang tidak bersisa.
“Tuhan,” Ayah menarik nafasnya dalam, kemudian diembuskan perlahan. “Tuhan lebih sayang sama adiknya Bagas yang pertama. Jadi,”
“Adiknya Bagas meninggal, ya, Yah?”
Tiga puluh menit sudah, Bagaskara terhanyut dalam kejadian masa lalu yang membuat dadanya terasa sesak sampai detik ini. Hari itu adalah awal dari hari-hari Bagaskara merasa kehilangan jati dirinya. Melihat Ayah menangis sebegitu pilu, mendengar Bunda mengucapkan kalimat-kalimat tidak perlu.
Saat itu, Bagaskara hanya diam dan tidak mengerti kenapa Ayah dan Bunda harus terlalu larut dalam sebuah kesedihan. Padahal menurut Bagaskara, setidaknya Aksara bisa menjadi satu alasan kedua orangtuanya kembali membangun hidupnya dengan bahagia.
“Maafin Mas Bagas, ya, Aksa?” Pria bersurai legam itu sengaja menengadah agar air matanya tidak terjun untuk membasahi pipi. Hatinya terasa sesak entah kenapa ketika ia kembali larut pada masa lalu. “Mas Bagas bakalan kerja lebih keras biar Aksa hidup bahagia. Biar Aksa bisa kuliah, biar Aksa bisa makan enak.” Rasa sesak itu menyeruak di dalam dada ketika kalimatnya terucap tanpa dipinta. Air mata bodohnya turun begitu saja, pelan-pelan membasahi pipi.
Sebab tiba-tiba Bagaskara ingat ketika adiknya itu berumur dua tahun, sedangkan ia baru menginjak usia tujuh. Waktu itu Bunda juga Ayah masih belum bisa menerima segala keistimewaan yang Tuhan berikan pada Aksara, dan Bagaskara-lah satu-satunya tiang untuk adiknya itu berdiri lebih kokoh. Waktu itu, Bunda bahkan tidak mau memberi Aksara makan, hanya Bagas yang dengan ikhlas menemani adiknya sampai sebesar ini.
Tapi tiba-tiba senyum di bibir Bagaskara terbit dengan sempurna ketika mengingat hari pertama kali Aksara masuk sekolah. Saat itu Bunda mulai menerima keadaan. Bunda membeli baju seragam, sepatu hitam juga tas berwarna biru muda untuk Aksara.
“Kalau kembaran Aksara masih ada di sini, mungkin Bunda akan lebih repot.” kata Bunda pagi itu setelah membantu Aksara memakai seragam sekolah.
“Bagas,”
Bagaskara terkesiap kaget ketika suara Yunandha masuk ke dalam rungunya. Pria berkaus abu-abu itu ternyata sudah duduk di sofa ujung kamar Bagaskara.
“Kalau mau masuk ke kamar orang, permisi dulu.” sindir Bagaskara. Ia meletakkan bingkai foto keluarganya di atas nakas. “Ngapain lo?”
Yunandha cengigisan, memegangi perutnya sendiri. “Gue laper. Makan, nyok!”
Yunandha, pemuda rantau dari Bogor yang bekerja satu kantor dengan Bagaskara itu memang menjadi satu-satunya manusia yang tahu lika-liku hidupnya. Bahkan Yunandha tahu bagaimana cara Bagaskara mengatur pemasukan yang tidak seberapa itu untuk dikirim ke adiknya di Jakarta. Terkadang, Yunandha juga menyisihkan sedikit dari upahnya untuk adik dari karibnya itu—walau berkali-kali ditolak.
Bagaskara mengangguk dan berjalan untuk menyambar jaket hitamnya. “Nasi goreng?”
“Lo habis nangis, ya, Gas?”
Kalimat tanya yang terlontar dari bibir tipis milik Yunandha membuat pria bernetra bulat itu menghentikan seluruh pergerakannya. Berbalik untuk menatap Yunandha sambil tersenyum kecil, “Gue kangen sama Aksara, Nan.”
Yunandha menarik nafasnya. Sudah berkali-kali ia katakan, “Gue udah sering bilang, ambil cuti aja satu minggu. Enggak akan dipecat, Gas. Bos pasti kasih, kok! Lo enggak pernah neko-neko di kantor soalnya.”
“Ongkos ke Jakarta mahal, Nan. Uangnya lebih baik gue simpan dan kirim ke Aksara, kan?” kata Bagaskara sambil merapikan penampilannya di depan kaca. “Gue kayaknya enggak akan pulang sebelum emang dapet batu loncatan kerjaan pasti di Jakarta. Lo tahu sendiri, jaman sekarang susah banget cari pekerjaan.”
Yunandha tahu, Bagaskara adalah manusia pekerja keras. Terlebih, tujuannya mengerjakan apapun adalah adik semata wayangnya. Diam-diam sukma Yunandha berteriak, menegaskan pada dirinya sendiri bahwa suatu saat Dunia pun bisa ditaklukan oleh Bagaskara.