Lima hari keberuntungan Aksara.

Sepeninggalan Ayah tiga tahun lalu, Saranita tidak pernah memberanikan dirinya untuk duduk di kursi halaman barang sejenak. Karena rasanya, ia semakin merindukan sosok pria yang selalu meletakkan sebuah kepercayaan penuh padanya. Setiap netranya berlabuh pada dua kursi itu, bayang-bayang Ayah selalu terputar tanpa diminta di memora ingatan. Tapi kali ini, gadis berkaus biru langit itu melangkahkan kaki untuk duduk di kursi kayu kesukaan Ayah.

Kedua kurva di bibir Saranita membentang sedikit, kursi tua itu masih terasa sama. Hanya saja, tidak ada Ayah dengan segelas kopi berwarna pekat juga pisang goreng yang disediakan oleh Ibu. Semua kalimat-kalimat yang pernah dilontarkan Ayah untuk Saranita, terputar begitu saja bagai potongan film di ingatannya. Membuat gadis bersurai pekat itu terkekeh kecil.

Saranita ingat, satu minggu sebelum Ayah mengangkat kakinya dari rumah bercat abu-abu itu. Ayah membentaknya di depan sana, tepat di depan dua kursi yang sering kali menjadi tempat pertemuan keduanya dan berbincang hal-hal sederhana. Waktu itu pertama kali Ayah membuat Saranita bingung dalam banyak hal, Ayah juga penyebab kepala Saranita kerap sekali berisik di tiap sekon waktu. Padahal hanya perihal Saranita pergi menemui dan berbincang sedikit hal dengan wanita yang waktu itu ia ketahui sebagai selingkuhan Ayah. Saranita tidak membentak wanita itu, hanya mengungkapkan dan memintanya untuk sekedar membayangkan jika ia ada di posisi yang sama.

Tapi benar saja, wanita itu akan menjadi sosok paling brengsek dalam cerita hidup Saranita. Sebab ia sudah membuat Ayah mengangkat tangannya dan menjadi bedebah dengan menampar pipi anak perempuan pertamanya.

Hari itu, Ibu duduk sambil memeluk Saranita. Menenangkan anak pertamanya yang sudah dibakar dengan api-api kebencian. Sebab untuk pertama kalinya, Saranita tidak percaya bahwa cinta adalah bentuk paling menyenangkan di muka bumi. Sampai saat ini suara Ibu masih suka berputar dan mengisi kebisingan dalam ingatan Saranita. Waktu itu Ibu berkali-kali bilang, “*You did well, Saranita. Terima kasih sudah jadi anak Ibu yang hebat.”

Percaya atau tidak percaya, Ibu pernah selembut itu sebelum semua badai yang menerpa karena kepergian Ayah. Waktu itu, Ibu percaya sekali bahwa wanita selingkuhan Ayah lebih baik dari pada dirinya. Karena katanya, mungkin Ayah mendapatkan apa yang tidak ditemukan dalam diri Ibu. Kata Ibu sore itu, “Enggak apa-apa, Sara. Mungkin wanita itu lebih baik untuk Ayah dari pada Ibu.”

Saranita ingat setelah kalimat itu dilontarkan oleh Ibu, ia marah. Gadis itu berteriak di depan Ibu juga Ayah, “Enggak ada wanita baik yang pacaran sama laki-laki beristri juga beranak tiga, Ibu! Enggak ada juga wanita baik yang bikin seorang Ayah menampar anaknya sendiri! Enggak ada wanita baik yang bikin seorang Ayah lemah-lembut menjadi laki-laki yang bajingan!”

Balasan Ayah waktu itu hanya tatapan tajam karena tidak pernah mengira bahwa Saranita—anak pertama yang sejak awal tidak pernah ia inginkan dan mati-matian ia terima dalam hidupnya akan mengungkapkan kalimat kasar penuh kebencian.

Saranita tertawa kecil ketika ia mengingat bahwa sore itu kalimat kasarnya terlontar tanpa ia mau. Ia naik pitam sejak Ayah menamparnya untuk pertama kali hanya karena membela wanita simpanannya. Ia menghela nafas begitu tersadar bahwa sudah tenggelam terlalu dalam di lautan masa lalu. “Kalau Ayah enggak pergi, gue juga enggak pernah tau sesakit apa rasanya ditinggalin.” Dia menghela, netranya menatap lurus ke depan seolah menerawang tentang kejadian sore itu. “Kalau aja Ayah masih di sini, gue enggak akan menanggung beban seberat ini.”

Tanpa sadar, cairan bening lolos begitu saja dari netra milik Saranita. Kemudian gadis itu terkekeh, menghapus air matanya dengan punggung tangan. Rasanya lucu karena hari itu ia mati-matian memperjuangkan keluarganya, tapi ada dua manusia yang menentang perjuangan itu—Ayah juga Ibu. Tapi dibandingkan dulu, kalau sekarang Saranita lebih bisa berdamai dengan hari itu—hari di mana ia marah pada Semesta. Kali ini rasa marah itu berpindah, pelabuhannya ada di manusia yang hari itu pernah menjadi paling kuat darinya—Ibu. Dibandingkan rasa kesalnya pada Ayah, Saranita lebih kesal pada Ibu. Sebab Ibu bisa bertingkah semaunya, Ibu membingungkan.

“Kakak!”

Ketika suara Mahesa masuk ke dalam rungunya, ia langsung berdiri. Netranya menatap Mahesa yang baru saja datang selepas bermain dengan tetangga di sebelah rumah. Di belakang Mahesa, ada Aksara yang menyunggingkan senyum paling manis sejagad raya. Senyum yang tidak pernah Saranita kira bisa berdampak pada perubahan suasana hatinya. Senyum yang selalu membuat Saranita ingin ikut mengangkat kurva di bibirnya sesempurna bulan sabit.

“Esa, kok bisa bareng Kak Aksara?” Saranita berjongkok, menyetarakan tinggi tubuhnya pada Mahesa. Tangannya terangkat untuk merapikan rambut anak itu yang sedikit dibasahi oleh keringat.

Mahesa mengangguk, tatapannya beralih pada Aksara yang sekarang sedang meletakkan sebungkus bubur juga dua bungkus nasi padang di atas meja. “Tadi Esa lapar, lagi lihat Ayam di warung Nasi Padang. Terus Kak Aksara datang untuk belikan Esa Nasi Padang pakai ayam bakar.” Binar di mata anak itu terlukis dengan jelas, bercerita dengan senyum yang tidak pernah lepas.

“Kok enggak bilang sama Kak Sara kalau lapar?”

Mahesa tertawa kecil, “Tadi malam Esa dengan Kak Sara nangis. Hari ini Kak Sara juga enggak pergi ke sekolah. Jadi Esa pikir, Kak Sara lagi sedih.” Binar di netranya tenggelam, seperti di bawa oleh ombak perasaan terluka.

Sedangkan Saranita tersenyum kecil. “Besok-besok kalau Esa lapar, bilang ke Kak Sara, ya? Jangan pernah ditahan. Apapun yang lagi Kakak lakukan, bilang aja.”

Mahesa menundukkan kepala, “Maaf, ya, Kak.”

No need to say sorry, anak ganteng. Besok-besok jangan diulang, ya?” Saranita berdiri dari posisinya, “Sekarang Esa mandi, setelah itu makan Nasi Padang sama Kak Aksara, oke?”

Kedua Ibu jari Mahesa terangkat, kemudian melangkahkan kaki dengan perasaan bahagia masuk ke dalam rumah. Sejak mengenal Aksara, rasanya Mahesa selalu punya sayap yang melengkapi Kakaknya—Saranita. Sebab bagi Mahesa, Saranita memiliki sisa setengah sayap untuk melindungi dirinya, Fina juga Mahesa. Sedangkan Aksara adalah setengah sayap lainnya yang hadir sebagai pelengkap.

“Aksa, ayo masuk!” pinta Saranita, membuka lebih lebar pintu putih rumahnya.

Aksara menggeleng, tangannya bergerak pelan-pelan. “Kamu habis nangis, ya?

Bagi Saranita, hanya ada satu orang yang tidak pernah bisa ia bohongi sejak pria di hadapannya hadir. Dia tersenyum kecil, sebelum akhirnya pertahanan itu runtuh begitu saja ketika menatap netra Aksara begitu dalam. Kakinya melangkah, masuk ke dalam pelukan Aksara tanpa dipinta. Dengan rasa sesak mengucap kalimat yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya, “Aku kangen sama Ayah, Aksa ...”

Spontan tangan Aksara terangkat untuk mengelus belakang kepala gadisnya. Berkali-kali ia menghirup surai legam milik Saranita, kemudian ditepuk-tepuk punggung gadis itu dengan lembut. Yang ada di pikiran Aksara sekarang adalah Saranita memang diciptakan oleh Tuhan untuknya. Sebab Aksara tidak pernah menemukan satu manusia yang hatinya bisa setabah gadis itu. Aksara juga tidak pernag menemukan seorang gadis yang mampu tersenyum lepas padahal ada jutaan ton beban di punggungnya.

Dijauhkan sedikit daksa itu, tangan Aksara bergerak untuk mengungkap kaimatnya. “Engga apa-apa, Sara. Rasa rindu pasti bisa ditebus. Mungkin enggak sekarang, tapi nanti. Selagi Ayah masih ada di dunia ini, kamu pasti bisa ketemu sama Ayah.

Saranita mengangguk, lagi-lagi tertawa kecil. “Aku cengeng banget kalau di depan kamu. Maaf, ya?”

Enggak apa-apa, Sara. Jangan minta maaf buat hal-hal yang enggak ada salahnya dilakukan. Aku emang suka lihat kamu ketawa, tapi bukan berarti aku benci lihat kamu nangis.” Pergerakan tangannya berhenti, diakhiri dengan senyum manis seluas cakrawala. Perpotongan kejadian tadi malam terlintas begitu saja dalam benak Aksara, membuat pria itu berjanji untuk tidak akan menyakiti gadis di hadapannya lagi.

Jika saja ia memiliki kartu kesempatan yang sudah pasti setiap do'anya dikabulkan oleh Tuhan, maka Saranita akan meminta satu hal—semoga Tuhan tidak pernah menghentikan kisahnya bersama Aksara. Sebab tidak sedikit pun terlintas dalam pikiran gadis itu jika harinya tanpa Aksara, sepi dalam kekosongan.

“Aksa, soal dua hari lalu tentang Utami, aku juga minta maaf, ya? Aku salah—” Sebelum menyelesaikan kalimatnya, tangan Saranita sudah digenggam erat oleh Aksara.

Pria berkaus hitam itu menipiskan bibirnya dengan tatapan mata yang sengaja ia tenggelamkan ke dalam milik Saranita. Perlahan tangannya terangkat di udara, “Tadi aku udah bilang, kamu enggak perlu minta maaf untuk hal-hal yang enggak ada salahnya buat dilakukan. Soal Utami, aku minta maaf. Hari itu aku yang salah.”

“Aksara,”

Aksara diam, tidak lagi melanjutkan kalimatnya. Ia justru menunggu kalimat-kalimat yang begitu sempurna terlontar dari bibir Saranita.

“Makasih udah bikin aku percaya kalau enggak setiap laki-laki hadir menjadi sosok brengsek yang datang tanpa dipinta, kemudian pergi tanpa aba.” Tawa kecil itu hadir di bagian akhir kata dari kalimatnya. “Makasih udah bikin aku percaya buat meletakkan separuh diri aku di kamu.”

Kali ini Aksara mengangguk, tapi tidak sedikit pun bergerak atau bahkan mengalihkan tatapannya. Senyumnya tidak reda, hanya saja tatapan itu tidak lagi sama. Dia lebih menatap Saranita dengan perasaan terluka, sebab ia juga tidak bisa menjanjikan apapun perihal kepergian yang sesungguhnya.

Sar, ada banyak orang yang kepengin punya kamu dalam hidupnya. Tapi cuma ada satu orang yang beruntung karena udah dipilih sama kamu. Makasih juga udah pilih aku sebagai satu orang beruntung itu.

Saranita mengangguk dengan senyum tipisnya. Tidak pernah terbayangkan bagaimana waktu itu sepulang sekolah kalau ia tidak menemukan Aksara. Bisa saja hari ini ia masih harus sendirian dengan beban di punggungnya.

Kamu tau, aku cuma pernah lima kali merasa beruntung di dunia ini.

“Kapan aja?” tanya Saranita menanggapi.

Aksara tertawa kecil. Tawa yang Saranita yakini berkumandang dengan merdu ketika ia dapat bersuara. “*Pertama, ketika aku dilahirkan. Ke-dua, ketika aku lihat Bunda tersenyum karena aku. Ke-tiga, ketika aku pertama kali kenal sama kamu. Ke-empat, ketika aku bisa masuk ke dalam hati kamu. Ke-lima, ketika kamu jadi milik aku.”

on-Twitter