Rumah yang rumpang.
“Kok cuma digantungin di pagar, Sar?”
Pertanyaan itu diungkapkan Aksara melalui pergerakan anggota tubuhnya beberapa menit usai ia mendapati Saranita yang hanya berdiam diri di depan pagar rumahnya dan menggantungkan dua bungkus sate ayam untuk Fina dan Mahesa. Saranita sendiri bingung, kenapa dirinya sepayah itu karena tidak mau bertemu langsung dengan Fina juga Mahesa. “Aku takut ketemu sama Ibu.”
Setelah mendapat jawaban, Aksara hanya diam. Kembali membiarkan gadisnya menatap lurus-lurus ke bangunan sederhana yang sejak satu minggu lalu tidak lagi menjadi tempat tinggalnya. Sampai beberapa menit, Aksara tidak tau apa yang ada dalam pikiran Saranita. “Kamu nggak hubungi Fina untuk ambil makanannya?”
Saranita menghela, kemudian menipiskan bibirnya sambil menatap Aksara penuh. “Nanti. Aku kasih tau Fina kalau kita udah pergi dari sini aja. Aku nggak mau ketemu sama Fina atau Esa.”
Keduanya berdiam diri di sana untuk beberapa waktu. Membiarkan angin sore berembus lembut menerpa kulit masing-masing. Tidak ada yang mulai perbincangan sebelum akhirnya suara Ibu mengalun dingin masuk ke dalam rungu.
“Kamu masih ingat pulang?” tanya Ibu, beberapa detik setelah tangannya menyentuh pagar untuk membuka kuncinya. “Ibu kira sudah lupa.”
Hal pertama yang Saranita lakukan ketika netranya menangkap Ibu datang bersama Om Ferdi adalah menghela nafas. Membuang tatapan dan berusaha menguatkan dirinya sendiri. Jemarinya mengepal keras ketika Ibu menusuknya lewat tatapan mata. “Saya cuma datang, bukan mau pulang.”
Mendengar jawaban yang terlontar dari bibir putri pertamanya, Ibu kehilangan kalimat yang sudah tersusun rapi dalam otaknya. Hatinya begitu terluka ketika tau melalui tatapan Saranita bahwa ia sudah tidak ada lagi di sana. Anak perempuan pertamanya, secara terang-terangan menghilangkan peran Ibu dalam hidupnya.
“Lagian, rumah ini udah nggak layak lagi untuk disebut rumah.” Saranita melirik sekilas ke arah Om Ferdi. “Biasanya yang disebut rumah itu tempat beristirahat. Dan saya udah nggak pernah lagi dapetin itu semua sejak lima tahun yang lalu.”
Tangan Ibu bergerak untuk meraih Saranita yang langsung ditepis cukup kasar. “Jaga ucapan kamu, Saranita!” bentaknya cukup keras sampai beberapa orang yang berlalu menghentikan langkah masing-masing. Lagi-lagi Saranita membuat Ibu hilang kendali akan dirinya sendiri, merasakan sesak yang entah datangnya dari mana.
“Jangan di sini. Malu.” Akhirnya Om Ferdi mengeluarkan suara, bergerak untuk menghentikan pergerakan Ibu yang hampir saja melayangkan tangannya ke arah Saranita.
Mendengar kalimat itu, Saranita tertawa. Tatapannya beralih ke arah Om Ferdi yang berusaha menenangkan Ibu. “Malu? Anda bahkan nggak peduli keadaan saya dan hanya memikirkan citra?” Gadis bersurai legam itu berdecih, tidak menyangka kalau justru kalimat yang keluar dari bibir Om Ferdi malah menambah kadar kebenciannya. “Pantes aja kalian jadi satu. Ternyata cocok. Cocok banget.”
“Sara!” Jemari milik Ibu mengepal erat. “Saya ini Ibu kamu. Saya ini orang yang paling sayang sama kamu setelah Ayah kamu pilih buat ninggalin kita!”
“Di mana?” tanya Saranita dengan suara rendah. Dia bingung. Katanya, Ibu adalah orang yang paling menyayangi setelah kepergian Ayah. Tapi Saranita tidak dapat merasakan itu semua. Seluruh kasih sayang Ibu, sudah habis untuk Fina dan Mahesa.
“Maksud kamu?” Ibu bingung, kehilangan arah pembicaraan.
“Di mana anda di saat saya nangis setiap malem? Di mana anda di saat saya ngeluh karena capek sama dunia ini.” Nafasnya memburu, menahan segala rasa sesak di dalam dada. “Di mana anda di saat saya cuma mau pergi dan lenyap? Ada? Apa anda ada di sana? Sekali pun nggak!”
Keadaanya berubah menjadi hening. Musim gugur di bulan Oktober membuat rasa dingin di setiap angin yang berembus pelan. Setiap pasang mata kini mengarah ke keduanya, terutama Ibu yang bahkan terlihat lebih kacau dari apapun.
“Saya bisa dengar setiap kali anda bilang kalau anda sayang sama saya. Tapi,” Kalimatnya terjeda untuk beberapa detik, menyiapkan kata lain yang ia harap tidak pernah menimbulkan air matanya sendiri. “Tapi saya nggak pernah merasakan itu. Sejak perpisahan anda dengan Ayah, saya sendirian. Apa anda pernah satu kali aja tanya perihal bagaimana perasaan saya? Apa anda pernah tau gimana rasanya takut akan hari-hari selanjutnya?”
Ibu mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin. Dengan nada yang rendah, kembali membuka suara. “Saranita benar-benar gadis yang nggak punya perasaan.”
“Iya!” Bola mata legam milik Saranita mulai berkaca-kaca ketika rungunya mendapati kalimat yang tidak pernah ia harapkan dari Ibu. “Perasaan saya udah hilang setelah perpisahan kalian. Saya bahkan lupa gimana rasanya menangis karena hati saya nggak pernah merespon rasa sakit untuk waktu yang cukup lama.”
Setelah diam beberapa saat untuk mencerna apa yang terjadi, Aksara bergerak untuk menarik tangan Saranita. Kurva di bibirnya membentuk sempurna ketika gadis itu menatapnya kosong. “Jangan hilang kendali, Sara. Gimana pun juga, beliau Ibu kamu.”
Saranita menoleh ke arah Aksara untuk waktu yang tidak lama. Kemudian tatapan itu kembai berlabuh pada Ibu yang kini tengah ditenangkan oleh Om Ferdi. “Saya selau berharap kalau bisa hidup sebagaimana manusia lainnya. Manusia yang nggak punya ketakutan berlebih untuk menghadapi tiap detik yang akan datang. Apa anda tau?”
Kalimat itu membuat darah Ibu naik. Tatapan tajamnya kini menyayat bagian wajah milik Saranita. Tidak peduli lagi berapa banyak pasang mata yang memerhatikan mereka. “Kamu juga nggak pernah tau gimana Ibu berusaha buat melindungi kamu, Sara!”
“Pernah nggak saya minta?” Pertanyaannya terlontar satu detik setelah Ibu menghabiskan kalimatnya. “Pernah nggak satu kali aja saya minta anda buat melindungi saya? Menjaga perasaan saya? Nggak! Saya cuma minta satu hal, tetap di samping saya apapun keadaannya karena saya nggak sekali pun minta anda mengerti gimana rasanya jadi saya!” Saranita hilang kendali, sampai ia tanpa sadar menepis kasar tangan Aksara yang berusaha menghentikan. Air mata sialan itu membasahi pipi tanpa aba, dadanya naik turun menahan seluruh rasa yang bersarang di dalam dada.
Dunia Ibu runtuh, untuk pertama kalinya melihat Saranita kacau di depan mata. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika air mata membasahi pipi putrinya. Ibu pernah mengira bahwa Saranita adalah sosok yang paling kuat dalam perjalanan ini, tapi Ibu tidak pernah menduga bahwa sosok paling kuat itu punya kacaunya sendiri. Sosok itu punya lukanya juga, sosok itu hanya berpura-pura selama ini. Berpura-pura tertawa, berpura-pura tidak mengkhawatirkan hal yang terjadi, dan berpura-pura bahwa dunia seolah bertidak baik padanya.
Lutut dan kaki Ibu terasa lemas, bahkan tidak mampu untuk sekedar menopang dirinya sendiri. Tangannya terangkat di udara, berharap dapat menyentuh wajah Saranita. Dengan nada rendah yang bahkan hampir tidak terdengar, “Kenapa Sara nggak pernah bisa menjadi penurut seperti anak-anak lain, sih?”
“Anda bisa nggak jadi kaya orang lain?” Saranita masih kacau, nafasnya tersenggal dan seluruh darah yang mengalir di tiap nadinya seolah beku. Rasanya kembali mati, hanya ada sakit untuk dirinya sendiri. Dia tidak egois sebab memikirkan dirinya sendiri. Bertahun-tahun, yang ada di pikirannya hanya perihal cara membahagiakan orang lain tanpa ada kata itu untuk dirinya sendiri. “Saya dari awal nggak pernah minta banyak hal ke anda.”
“Sar, udah.” Om Ferdi menghentikan pergerakan Saranita. Membuat gadis itu bersedih dan membuang tatapan ke segala arah.
“Udah? Apa?” Saranita memukul dadanya sendiri cukup keras berkali-kali. “Semuanya penderitaan saya nggak akan pernah berhenti sebelum perempuan ini juga berhenti.”
Tangan Ibu melayang setelah Saranita berhasil menyelesaikan kalimatnya. Di balik semua perlakuan Ibu, sebenarnya wanita itu sendiri tidak pernah mengerti ada apa dengan dirinya. Ibu tidak pernah mengerti kenapa selalu ada waktu di mana ia marah pada anak pertamanya tanpa alasan. Ibu juga tidak paham kenapa tangannya selalu melayang dengan mudah untuk memberikan sebuah pukulan pada Saranita. “Sara ....”
“Pukul, Bu!” Saranita memukul pipinya sendiri, meminta Ibu untuk melanjutkan pergerakannya. “Pukul!”
“...”
Setelah tau bahwa Ibu hanya diam, menatapnya tanpa jeda, Saranita memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya. “Saya udah bilang berkali-kali kalau sejak perselingkuhan Ayah, saya nggak pernah percaya sama apa yang namanya cinta. Saya nggak pernah suka rasa mendebarkan pas saya lagi suka sama orang. Saya benci ada sebuah rasa di sini,” Tangannya terangkat lagi untuk memukul dadanya berkali-kali.
Tidak butuh waktu lama untuk Aksara bergerak dan membawa gadis itu masuk ke dalam pelukannya, menghentikan seluruh pergerakan yang nanti akan membuat sakit dirinya sendiri. Aksara membenci segala hal yang membuat Saranita menyakiti dirinya sendiri, termasuk perasaan marah gadis itu yang selalu menggebu untuk Ibu. Perasaan marah yang sempat menjadi sampah karena ia pendam sendirian di relung hatinya.
Jika saja bisa, maka Aksara akan mengucapkan kalimat-kalimat penenang untuk Saranita saat ini juga. Tangannya kini terangkat untuk mengelus puncak kepala gadisnya, kemudian merapikan surai berantakan yang membingkai wajahnya.
“Apa ada lagi kalimat pembelaan yang akan keluar dari bibir anda?” Saranita bertanya dengan nada rendah untuk yang terakhir kali. Sebelum akhirnya, Om Ferdi menarik tangan Ibu, membawa wanita itu untuk berdiri di belakangnya.
“Kamu sudah keterlaluan, Saranita.” Tangannya mengepal seolah menahan amarah, nafasnya tersenggal membuat dada naik dan turun. Namun masih dengan nada yang tenang ia melontarkan satu kalimat, “Kamu selalu memikirkan penderitaan sendiri, nggak pernah mau tau apa yang diderita sama Ibu kamu.”
Sebelum Saranita tambah kacau, Aksara bergerak untuk mengambil buku kecil berwarna hijau dalam saku jaketnya. “Om, maaf. Saya dan Saranita izin pergi sebelum keadaannya semakin rumit.”
Buku itu diserahkan pada Om Ferdi dengan tatapan memohon sebuah pengertian. Sampai pada akhirnya pria dengan kemeja abu-abu itu membiarkan Aksara membawa Saranita untuk meninggalkan Ibunya.
Keduanya melangkah di keheningan, berusaha menikmati setiap embusan angin yang menusuk masuk ke dalam kulit. Suhu Kota Jakarta sore ini cukup dingin, membuat Aksara menanggalkan jaket denimnya. Kemudian membalut tubuh Saranita dengan segera.
“Kamu pasti kaget banget liat aku kaya tadi.” Di akhir kalimatnya Saranita terkekeh, melirik ke arah Aksara yang sedang menipiskan bibirnya. “Tiga tahun lalu, tepat satu minggu setelah kepergian Ayah, aku selalu takut buat hadapi hari besok. Aku nggak pernah mau ketemu sama manusia karena saat itu aku tau kalau orang yang datang ke hidup aku, itu untuk sebuah kepergian.”
“...”
“Aku sempet dibilang gila sama keluarga besar karena nggak mau keluar kamar bahkan untuk sekedar makan. Aku nggak punya gairah untuk ngelakuin apapun.” Saranita menghela nafas, tapi tidak membuat langkah kakinya berhenti. “Sampai akhirnya aku sadar, setiap yang datang pasti bakalan pergi. Entah cara apa yang mereka pilih.”
Tangan Aksara mulai bergerak, “Kepergian kaya apa yang paling nggak pernah kamu harapin, Sara?”
Saranita terkekeh, kali ini kakinya berhenti melangkah yang secara otomatis membuat Aksara begitu juga. “Mana ada kepergian yang diharapin, sih, Aksa?”
Kini berganti, Aksara terkekeh tanpa suara setelah menyadari bahwa pertanyaannya salah. “Maksudku, kamu paling benci dengan kepergian yang seperti apa?”
“Kematian.” jawabnya. Gadis itu kembali melangkah perlahan, netranya menatap lurus-lurus ke arah depan.
Kedua alis Aksara bertaut menjadi satu. “Kenapa kematian?”
“Karena aku nggak bisa protes ke Tuhan. Aku nggak bisa lagi liat senyum orang yang bakalan ninggalin aku. Aku ....” Ia menghela nafasnya, “.... Aku benci kepergian tanpa kalimat selamat tinggal, kepergian tanpa pamit.”