TetehnyaaJisung

Dunia megah yang diisi dengan luka.

“Saranita benar-benar nggak mau pulang ke rumah?”

Suara Ferdi masuk ke dalam rungu Saranita ketika gadis itu sedang bersiap untuk keluar dari mobilnya. Pergerakannya pelan-pelan terhenti, netranya menatap Ferdi seraya menggelengkan kepala. Rasanya Saranita hanya butuh waktu untuk sendiri saja, menenangkan dirinya setelah mengetahui fakta yang baru saja diterimanya tiga puluh menit lalu.

Tatapan Ferdi teralih ke luar jendela, “Kamu tinggal di rumah ini?”

“Ini? Ah... nggak, Om.” Setelah itu, tangannya bergerak untuk melepas seat belt dan benar-benar bersiap untuk keluar dari kendaraan persegi milik Ferdi. “Ini rumah temennya Saranita yang kemarin, Aksara namanya.”

Saranita memang sudah berniat untuk mengunjungi Aksara setelah pulang sekolah tadi, karena Regantara tidak memberinya kabar apapun. Namun sebelum mengunjungi Aksara, gadis itu harus lebih dulu menepati janjinya dengan Ferdi, karena sejujurnya Saranita butuh informasi lebih terkait alasan Ibu membencinya sebagaimana yang dilakukan Ibu pada diri sendiri.

“Yaudah kalau gitu Saranita pamit, ya, Om.” Saranita mengambil tangan Ferdi, untuk pertama kalinya mencium punggung tangan pria yang dengan tulus menjaga Ibu. Ferdi bahkan rela dibenci oleh Saranita sebegitu parah hanya karena ia mempertahankan perasaannya pada Ibu. “Salam sama Ibu, ya, Om. Nanti kapan-kapan Saranita mampir ke rumah.”

“Saranita,” panggil Ferdi, membuat Saranita kembali menghentikan pergerakan untuk membuka pintu mobil. Satu kali lagi pertanyaan itu keluar dari bibir Ferdi, “Kamu nggak mau pulang, Sar?”

Saranita menggeleng yakin. “Enggak sekarang, Om. Saranita belum bisa berdamai sama ini,” Gadis itu menunjuk dirinya sendiri dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

Setelah Ibu, orang yang paling peduli dengan Saranita adalah Ferdinan. Diam-diam pria itu selalu menjaga Saranita atas permintaan Ibu. Senyumnya tidak pernah lepas ketika Ibu bercerita tentang Saranita, Fina, juga Mahesa yang selalu mengisi hari-harinya.

“Om Ferdi pamit, ya, Sar. Salam untuk Aksara dan orangtuanya.” kata Ferdi. Kemudian pria itu menutup jendela mobilnya, meninggalkan Saranita yang sedang menatapnya dengan senyum tipis.

Netra gadis bersurai legam itu tertutup beberapa saat, ia menarik napasnya dalam-dalam seolah sedang mengganti udara yang berada dalam paru-parunya. Senyumnya kembali terlukis kala kalimat Ferdi satu jam yang lalu kembali terdengar di kedua rungunya.

Om Ferdi pernah tanya ke Ibu tentang sebesar apa rasa Ibu untuk Om. Saranita tahu jawaban Ibu?

Saranita menggeleng, tidak berniat untuk menjawab dari pertanyaan itu. Karena tidak ada satu kata pun yang terlintas dalam benaknya. Ia hanya ingin mendengar.

Ibu bilang, rasa Ibu untuk Om Ferdi nggak pernah lebih besar dari pada rasa Ibu ke anak-anak, terutama Saranita Senja.

Tanpa disadari, kedua sudut Saranita terangkat sempurna, namun kakinya tidak berhenti melangkah. Saranita tidak sabar untuk melihat ekspresi yang dilukiskan oleh Aksara pada matanya jika ia bercerita nanti. Bercerita tentang Ibu, Om Ferdi, dan suasana hatinya yang tidak lagi membisu.

Kuasa Saranita terangkat untuk mengetuk pintu kayu di hadapannya. Bolamata yang selalu merefleksikan sebuah luka kini bersinar terang, senyumnya juga tidak hilang. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ketika pintu kayu itu terbuka, membawa pria berkaus hitam dengan rambut berantakan.

Dia Aksara.

Saranita semakin mengangkat kedua sudut bibirnya, tidak memedulikan tatapan Aksara yang justru terlihat abu-abu. Kuasa Saranita terangkat, hendak menabrakkan dirinya pada daksa yang satu hari ini menghilang dari pandangannya. Namun, ketika pergerakannya terhenti ketika Aksara justru melangkah mundur. Pria itu menghindar.

“Aksa?”

Aksara mengernyitkan alisnya, “Kamu cari siapa? Cari Pak Regantara?

Dunia Saranita runtuh seketika, kakinya terasa melayang ketika ia membaca seluruh pergerakan tubuh Aksara. Kakinya melangkah mundur dua kali, otaknya masih mencerna yang sedang terjadi. Senyum di bibirnya yang satu detik lalu ia tunjukkan, kini lenyap entah ke mana.

“Aksara ....”

Pria di hadapan Saranita menggeleng, “Saya nggak bisa dengar. Mau saya panggilkan Pak Regantara?

Tidak ada yang bisa Saranita lakukan selain mengangguk. Seluruh sendi di tubuhnya seperti mati rasa, termasuk pikirannya yang kehilangan arah. Gadis itu berpegangan pada pintu ketika Aksara memintanya untuk duduk di ruang tamu.

Sebentar, ya? Kamu duduk di sini aja dulu.

Saranita lagi-lagi hanya mengangguk karena begitu terkejut. Padahal seharusnya Saranita sudah bersiap jika hal ini terjadi, jadi hatinya tidak begitu terluka.

“Saranita,”

Saranita menoleh, “Om ...” Air mata gadis itu tidak lagi dapat ditampung. Dadanya begitu sesak ketika mendapati netra Aksara yang begitu kosong. Tidak ada lagi namanya di sana, tidak ada lagi posisinya di sana.

Regantara berjalan untuk memeluk gadis itu, “Aksara sudah menulis seluruhnya tentang Saranita. Jadi dia nggak akan benar-benar lupa sama kamu.”

“Saranita nggak menemukan apa-apa di mata Aksara, Om ...”

Saranita pernah takut jika satu hari nanti Aksara lupa akan jalan pulang, tapi hari ini, Semesta tidak cuma membiarkan Aksara lupa jalan pulang, karena ternyata Aksara lupa akan rumahnya.

Aksara, kalau suatu saat kamu lupa sama kenangan kita, tolong jangan lupain aku juga, ya?

Pria itu tertawa kecil, “Enggak akan, Sara. Kamu itu rumahku, masa aku lupakan?

Aksara penipu.

mork

Membohongi Bumi dan seisinya.

Sebelum bertemu Ibu, kamu butuh pelukan?” Setelah itu Aksara langsung merentangkan tangannya, bersiap menerima daksa Saranita.

Namun tanpa diduga, gadis itu menggeleng. “Aku cuma mau ketemu Ibu, Aksa. Biasanya juga nggak akan kenapa-napa. Kalau pun misalnya nanti ada apa-apa, di sini ada kamu. Aku nggak akan sendiri, kan?”

Tanpa sadar Aksara menurunkan tangannya, namun senyum seluas alam semesta itu tidak pernah hilang dari wajahnya. Aksara hampir lupa kalau Saranita bukan sosok yang dengan mudah mengeluarkan air mata di hadapan dunia, walaupun ia sadar bahwa perasaan itu jelas terasa dan meluap di dalam dada.

Sudah lima belas menit mereka habiskan untuk sekedar berdiri di hadapan pintu bercorak kediaman Ibu Saranita. Sedari tadi yang Saranita dan Aksara lakukan hanya menatap pintu itu tanpa mengetuknya. Namun detik ini, kuasa Saranita mulai terangkat. Gadis itu meneguk saliva, jantungnya seperti berhenti berdetak ketika pintu itu dibuka dan membawa seorang wanita yang diam-diam ia rindukan padahal pintunya belum terketuk.

Keduanya sama-sama terkejut, termasuk Aksara yang kini melangkahkan mundur. Pria itu memberi ruang untuk Saranita dan Ibunya untuk berdialog barang satu atau dua kata.

“Ibu ....” Kata-kata yang sebelumnya sudah Saranita siapkan hilang begitu saja, ia gugup. Netranya tidak pernah lepas dari wajah Ibu. Semuanya masih sama, Ibu tidak berubah. “Apa kabar?”

Di hadapan putri pertamanya, Ibu tidak bergerak sama sekali. Netranya juga tidak pernah lepas dari wajah Saranita. Wanita paruh baya itu masih begitu terkejut akan kedatangan putri yang diam-diam selalu ia rindukan hadirnya. Kakinya seperti mati rasa, tidak kuat hanya untuk sekedar menopang dirinya sendiri.

Setelah sepersekon akhirnya sadar, Ibu membuang tatapannya ke segala arah. “Kamu lihatnya saya bagaimana, Saranita?”

“Ibu,” Saranita menahan tangan Ibu ketika wanita itu hampir saja kembali menutup pintu rumahnya. “Kenapa Ibu benci banget sama Saranita, sih, Bu?”

“Saranita ada salah?”

Kalimat tanya terakhir yang keluar dari bibir Saranita ternyata mampu membuat Ibu menghentikan pergerakannya. Wanita itu mengangkat pandangan, memberanikan diri untuk menatap putri pertamanya.

Saranita nggak pernah ada salah, Nak. jerit Ibu dalam hati. Payah sekali.

“Apa karena Saranita mirip sama Ayah?” Kali ini nafas Saranita tersenggal, ia menusuk Ibu lewat tatapan matanya. Jemarinya mengepal erat untuk menyalurkan sebuah rasa yang tidak bisa ia keluarkan entah kenapa. “Apa karena makanan kesukaan Saranita sama kayak Ayah? Cara Saranita ngomong mirip sama Ayah? Cara Saranita ngeluh mirip kayak Ayah? Apa karena itu, Bu?”

Ibu membuang tatapannya satu kali lagi. “Bukan. Bukan karena kamu mirip sama Ayahmu, Saranita.”

“Terus kenapa? Kasih Saranita jawaban biar Saranita nggak punya pertanyaan lagi tentang kenapa Ibu sebegitu benci sama Saranita!” pekik gadis itu yang mebuat Om Ferdi, Fina juga Mahesa akhirnya ikut keluar dari dalam rumah itu. Rumah yang sebelumnya diisi oleh Ayah, Ibu, dan ketiga anaknya yang hidup dengan bahagia.

Satu menit tidak mendapat jawaban membuat Saranita melempar tatapannya ke sembarang arah. Jemarinya yang masih mengepal erat kini mendarat hebat di tembok sebelah kanannya. Gadis itu menyalurkan rasa di dalam dada yang tidak pernah bisa ia mengerti.

Ibu terkejut, sedikit panik ketika melihat darah yang mulai mengucur sedikit deras dari jemari putrinya. “Jawabannya,” Suara wanita itu sedikit bergetar, netranya terpejam tanpa kata. “Jawabannya karena kamu mirip sama saya, Sara! Dari semua hal yang saya sukai di dunia ini, tapi Semesta nggak pernah kasih saya kesempatan buat suka sama diri sendiri.”

Saranita diam, cukup tidak mengerti dengan tiap kata yang dilontarkan oleh Ibu.

“Saranita tahu gimana rasanya memiliki isi kepala yang bising, kan? Sama. Saya juga punya hal yang sama.” Ibu memekik, rasa sakit itu membabi-buta dan membuatnya hilang kendali. “Saya benci sama kamu karena kamu sok kuat! Dari kecil kamu selalu bilang nggak apa-apa padahal saya jelas tahu kalau kamu kenapa-napa. Kamu nggak pernah minta bantuan, padahal sebenarnya kamu butuh.”

“Hati kamu nggak kuat, tapi kamu memaksa untuk jadi sosok itu.” Ibu menahan air matanya di hadapan Saranita, tapi tatapan itu tidak pernah lepas dari putri pertamanya. “Saranita ingat lima tahun lalu? Waktu itu Mahesa jatuh dari pohon. Siapa yang disalahkan sama Ayah? Saranita, kan? Gimana perasaan Saranita waktu itu? Dimarahi padahal Saranita jelas nggak ada di sana, tapi kenapa? Kenapa ketika Ibu tanya, Saranita selalu jawab kalau Saranita nggak kenapa apa?”

“Ibu ....” Saranita mengingat seluruh kejadian yang ada di dalam hidupnya, ketika ia selalu melontarkan kalimat enggak apa-apa padahal situasinya jauh dari itu. Sangat jauh.

“Saya orang yang suka menyembunyikan perasaan sendiri, sampai akhirnya saya nggak pernah bisa merasakan perasaan apapun lagi.” Ibu kalut, wanita itu bahkan melepaskan dengan kasar tangan Om Ferdi yang berusaha memeluk dan menenangkannya. “Sekarang kamu mau tahu kenapa saya sebenci itu sama kamu, kan? Karena kamu penipu, Saranita! Saya benci dibohongi, dan kamu justru membohongi saya.”

Dua menit dihabiskan untuk menatap satu sama lain. Sebelum akhirnya Ibu bergerak untuk melangkahkan kakinya maju, hendak menatap Saranita lebih jelas. “Kamu sendiri yang bilang kalau perasaan marah itu sampah, kan? Tapi kenapa kamu selalu kantungi sampah itu sendirian, Saranita?”

Kaki Saranita melemas, ia mundur tiga langkah yang beruntungnya langsung ditopang oleh Aksara. Gadis itu begitu terkejut dengan penuturan Ibu yang sama sekali tidak pernah terpikirkan sedikit pun dalam otaknya.

“Saya benci sama kamu, karena kita sama.” Ibu menarik nafasnya, kali ini ia yang membunuh Saranita lewat tatapan mata. “Kita sama-sama menipu isi dunia, termasuk diri sendiri, Saranita.”


Sudah lima menit Saranita duduk di kursi depan rumah Aksara, sedangkan pemilik rumah itu masuk ke dalam untuk mengambil kotak P3K. Tatapan gadis itu kosong, sedari tadi juga tidak mengeluarkan suara sama sekali. Aksara tentu mengerti.

Enggak apa-apa marah, tapi jangan ngelukain diri sendiri.” Aksara menggerakkan tubuhnya untuk berbicara, setelah meletakkan segelas teh hangat juga kotak berisi obat-obatan itu di atas meja. “Aku nggak suka lihat kamu hilang kendali kayak tadi.

Kini Saranita menoleh untuk menatap Aksara, gadis itu menghela nafasnya. “Enggak ada yang tahu kalau aku bakalan lepas kendali kayak tadi. Jangan kan kamu, aku aja nggak tau, Sa.”

Bukan begitu maksudku, Sara.

Saranita kembali menghela, “Terus gimana?”

Pria itu hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Saranita untuk yang pertama kalinya. Namun tangan Aksara bergerak untuk meneteskan obat merah di atas kapas, kemudian meraih tangan kanan Saranita untuk diobati. Dengan gerakan yang hati-hati ia menempelkan kapas itu yang diselipkan harapan agar gadisnya tidak merasa lebih sakit lagi. Tidak lupa, Aksara juga meniupnya, berharap rasa sakit itu segera lenyap.

“Aksa,”

Aksara menoleh, ia menatap Saranita tepat pada netranya untuk menerawang seberapa lelah berdiam diri menjadi sosok penipu.

“Makasih dan maaf buat hari ini, ya?” Saranita terkekeh, “Pagi tadi aku bahagia banget. Naik kereta, makan sup, ke Museum Wayang, makan ice cream tanpa ada perasaan kalau akhirnya aku bakalan kacau pas ketemu sama Ibu.”

Aksara meletakkan plester yang sebelumnya ia gunakan untuk menempel kassa di atas meja. Lagi-lagi pria itu mengangkat kedua sudut bibirnya. “Jangan minta maaf. Soal bahagiain kamu itu udah jadi tugas aku.

“Maaf kalau tadi aku kacau. Aku nggak bisa ngendaliin diri aku. Maaf kalau hari ini aku jadi Saranita yang payah.”

Pria berkaus hitam itu menggeleng, “Kamu nggak pernah payah, Saranita. Tetap kayak gini aja, ya? Jangan terus-terusan jadi Saranita yang suka menipu isi dunia.

Jangan terus bilang kalau kamu nggak apa-apa kalau kamu lagi ngerasa nggak baik-baik aja. Kamu tahu, kan? Aku di sini.

Saranita jelas tahu, pria itu tidak akan hilang atas keinginannya sendiri. Dia mengulum senyum, kemudian bergerak untuk menabrakkan daksanya pada milik Aksara. Bersembunyi di hangatnya pelukan pria itu sambil menyunggingkan senyum yang rasanya berbeda entah kenapa.

“Aksa, aku nggak mau jadi penipu lagi.”

IMG-20211109-160745

Gerbong ke-dua.

Stasiun-Jakarta-Kota

Aksara langsung menggenggam jemari Saranita ketika mereka memasuki Stasiun Klender sejak lima menit yang lalu. Alasannya agar mereka tidak terpisah, karena hari ini Stasiun cukup ramai. Pria itu langsung memasukkan tangan Saranita ke dalam saku sweater hitamnya, kemudian menatap lurus dengan pandangan kosong ke depan.

“Aku nggak akan hilang, Aksa.” Saranita terkekeh. Keduanya diri bersebelahan untuk menunggu kereta yang belum tiba. “Aku bukan anak kecil.”

Genggaman Aksara terlepas, tapi tidak membiarkan Saranita mengeluarkan tangannya dari saku pria itu. “Di mataku, kamu selalu kecil, Sara.” Dia tidak sedang berbohong. Bagi pria itu, Saranita adalah partikel kecil yang memiliki ruang cukup besar di hatinya. Namun, kecil-kecil begitu, Saranita memiliki pengaruh yang begitu besar untuk hidup Aksara. “Si kecil yang selalu punya pengaruh besar. Sampai aku nggak berani ngebayangin gimana aku di kehidupan selanjutnya kalau nggak ada kamu.

Gadis itu mengangguk saja, mengalihkan pandang ke segala arah untuk menyembunyikan rona merah di bagian pipi. Saranita tidak tahu harus menjelaskan dari bagian mana, yang jelas, kehadiran Aksara adalah hal terhebat di hidupnya.

Aksara datang ketika gadis itu tidak sedang mencari apapun. Menjadi seseorang yang menjadi alasannya tersenyum di segala keadaan. Dia juga datang untuk jadi tempat Saranita berkeluh-kesah tanpa takut dipojokkan dalam segala hal.

Tiba-tiba Aksara menarik Saranita lembut, membuat gadis itu sedikit terkejut. Ternyata, kereta jurusan Jakarta Kota sudah tiba di hadapan keduanya. Melangkah masuk ke dalam kendaraan yang akan mengantarkan mereka ke tujuan, jantungnya berdetak cepat. Hari ini tampak penuh, dan Saranita tidak begitu menyukai keramaian. Kakinya terus melangkah, mengikuti tiap-tiap pergerakan Aksara untuk sampai di gerbong paling depan.

Katanya, “Biar kalau sudah sampai nanti, kita nggak akan jalan jauh-jauh ke pintu keluar.” Nyatanya, itu hanya dua puluh persen alasan dari Aksara, sisanya ia sedang mencari ruang kosong karena tahu bahwa gadisnya begitu tidak nyaman. Senyumnya terbentang luas ketika menemukan satu ruang kosong di sebelah wanita berumur senja, ia meminta izin melalui pergerakan tubuh yang untung saja dimengerti dengan cepat. “Kamu duduk, aku berdiri di sini.

Tampaknya Saranita ragu, ia hanya menatap kursi kosong itu dua detik. Dengan gerakan yang cepat, Aksara membantu gadisnya untuk duduk di sana. Kemudian ia berdiri di hadapan Saranita, menatap ke arah luar lewat jendela dan tersenyum kecil.

Memora ingatannya membawa pria itu ke masa-masa di mana Bunda membawanya naik kereta untuk pertama kali. Waktu itu Aksara begitu takut akan suara bising yang dikeluarkan dari kendaraan itu. Sekarang semuanya sudah berubah seiring berjalannya waktu, rasa takut itu terbunuh sendirinya. Ingatannya terhempas begitu saja ketika ada seseorang yang menari sweater-nya pelan. Benar saja, itu gadisnya yang manis.

Aksara menunduk, menyetarakan tingginya dengan Saranita yang sedang duduk.

“Aku bisa lihat dunia di sini.” kata Saranita berbisik.

Kedua alis Aksara bertaut, dia kebingungan atas kalimat gadisnya. “Maksud kamu?

“Perspektif yang beda-beda.” Saranita menunjuk dua orang pria yang sedang bercakap di dekat pintu. “Cara tiap orang ngelihat dunia itu beda-beda, dan bener kata kamu. Tiap orang nggak punya isi kepala yang sama.”

Aksara berdiri lagi, tangan kanannya embali berpegangan pada hand strap berwarna putih di atas kepalanya. Sedangkan tangan kiri pria itu, kembali beralih untuk menggeggam jemari Saranita. Kurva di bibirnya terus terbentang, membuat Saranita diam-diam ikut tersenyum karenanya. Aksara tampan, sekali pun tanpa senyum di sana. Astaga, rasanya tidak perlu berjuta-juta kata untuk menggambarkan bahwa pria itu benar-benar tampan hanya dengan melihat netra teduhnya saja.

Ketika kereta berhenti di Stasiun selanjutnya, Aksara melepaskan kedua tangan dari dari masing-masing genggamannya. Ia menatap Saranita dari atas, “Nanti aku ajak kamu keliling Surakarta.

Tanpa disangka, Saranita justru menggeleng. “Ajak aku keliling dunia kamu, Sa.”

Aksara diam, tidak memberi jawaban apapun.

“Kasih tau aku, segala hal yang kamu butuhin. Beberapa mungkin aku nggak mampu bantu, tapi untuk ada di samping dan dengerin kamu tiap ngerasa sepi, aku sanggup.” kata Saranita, menatap netra Aksara dari posisinya. Gadis itu tidak peduli ada berapa telinga yang mendengar kalimatnya, tidak peduli juga jika ada beberapa isi kepala yang berpikir aneh tentangnya. Sebab bagi Saranita, isi kepala Aksara adalah jawaban yang segera ia butuhkan.

Wanita paruh baya di samping Saranita menoleh untuk tersenyum tipis. Tangannya tiba-tiba saja terangkat untuk mengelus pundak Saranita. Katanya, “Menjalani sebuah hubungan itu nggak mudah, ya, Nak? Apalagi di jaman sekarang, laki-laki banyak bohongnya.”

Kalimat itu ditepis dengan kurva yang melengkung manis di kedua sudut bibir Saranita. Rambut legam yang membingkai wajahnya ia selipkan di belakang daun telinga. “Bu, menjalin hubungan itu soal kepercayaan. Saya pernah marah ketika mengira pacar saya bohong, saya menuduh untuk hal-hal yang nggak pernah dia lakuin.”

Wanita itu tergelak, “Menuduh?”

Genggaman tangan Saranita semakin erat pada milik Aksara. Sebelum menjawab pertanyaan singkat itu, Saranita lebih dulu menatap netra milik prianya. “Iya, menuduh. Dulu saya nggak punya rasa percaya, Bu. Saya hanya tahu tentang pacar saya lewat orang lain, tapi sekarang, saya pilih untuk percaya sama dia apapun jawabannya.”

Ketika wanita itu hendak melontarkan kalimatnya, Saranita lebih dulu berdiri, karena kereta sudah tiba di Stasiun Jakarta Kota. “Bu, kita duluan, ya.”

Kaki Saranita melangkah, kali ini ia yang memimpin perjalanan. Jemarinya masih digenggam oleh Aksara, tidak pernah lepas barang satu detik pun. Ketika baru saja turun dari kereta, berdesakan dengan beberapa penumpang lainnya, Saranita hampir terjatuh karena tali sepatunya terlepas entah kenapa.

Aksara mengambil alih, membawa gadis itu untuk berdiri menjauh dari peron. Saat kakinya menginjak lantai Stasiun, Aksara menunduk untuk menyimpul tali sepatu berwarna abu-abu kekasihnya. Kemudian ia berdiri setelah selesai, menatap Saranita yang tidak lebih tinggi darinya. “*Ikat tali sepatunya yang benar. Kalau kamu pergi sendirian, terus tali sepatunya lepas, gimana?”

“Jatuh, ke bawah.” balas Saranita sambil terkekeh pelan. Ia menatap kedua tali sepatu yang disimpul dengan rapi oleh Aksara. “Makasih, ya!”

Kata terima kasih tidak pernah lepas dari tiap kalimat Saranita ketika gadis itu telah menerima sebuah bantuan. Hal itu membuat Aksara punya pandangan tersendiri untuk gadisnya. Walau begajulan begini, Saranita tetap memiliki tata krama.

Pria itu meraih tangan Saranita lagi, menipiskan bibir kemudian menggerakkan anggota tubuhnya. “Sar, kamu tau kenapa Jakarta lebih istimewa dari pada Jogjakarta buat aku?

“Jogjakarta kota paling istimewa, Aksa. Semua orang tahu itu, kok! Kota lahirku, paling istimewa.”

Kini keduanya sudah mulai melangkah, menempuh perjalanan ke Kota Tua dan menemukan sebuah kedai Sup Kambing kesukaan Bunda.

Dia nggak punya kamu, Sara. Dia nggak bisa bawa aku untuk ketemu sama kamu di sana. Dia kurang Istimewa.

Saranita berhenti melangkah, tepat di pelataran Stasiun Jakarta Kota.

“Semua keistimewaan di Bumi ini udah diambil sama kamu, Aksa.”

ad49b627-695c-4249-b74f-0fb588d8fea4

Percobaan yang gagal.

Kurang dari satu jam lagi menuju tengah malam, dan Saranita tahu kalau kekasihnya sudah berdiri di depan pintu kamar kosnya sejak tujuh menit yang lalu. Pada ketukan pintu yang ke lima kali gadis berambut legam itu baru beranjak dari posisinya. Memberanikan untuk menekan knop pintu kamar kos yang langsung disambut dengan seorang pria yang sangat dirindukan bersama dengn tas karton di tangan kanannya. Saranita menggigit bibir bagian dalam, netranya bergerak untuk menatap Aksara yang tampak pucat. Berkali-kali dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, begitu terus sampai tiga kali.

Perhatian Saranita berhenti ketika dia mendapati senyum Aksara yang begitu tipis, netra pria itu tidak bersinar terang seperti biasanya. Kuasa gadis itu terangkat untuk mengelus kepala Aksara perlahan, “Kamu pasti cape banget, ya?”

Di tempatnya, Aksara hanya tersenyum kecil, menunggu reaksi lain dari gadisnya. Namun tanpa aba, mata gadisnya malah berkaca-kaca. Dia langsung meletakkan tas karton-nya di lantai, kemudian bergerak, “Hari ini nggak baik-baik aja, ya?” Bisa Aksara rasakan bara di dadanya menggebu dengan jelas, ada sesuatu di netra gadisnya yang tidak dapat ia baca. Seberapa keras pria itu mencoba memahami makna dari tatapan mata Saranita, sekeras itu juga Aksara tidak pernah mengerti.

“Enggak,” Saranita menggeleng sembari menelan salivanya untuk menutupi sebuah rasa gugup ketika pria bersurai legam itu membunuhnya lewat tatapan mata. Dia menarik nafasnya, “Semuanya berjalan baik-baik aja, Aksa. Kamu, gimana?”

Gadisnya bohong, dan Aksara tahu itu.

Ingin sekali Aksara menjawab pertanyaan dari kekasihnya tanpa ada bohong, tapi rasanya begitu cepat. Aksara tidak mau membuat tatapan gadis itu berubah menjadi lebih muram. Sepersekian sekon Aksara baru mulai menggerakkan tubuhnya. “Semuanya baik-baik aja.”

“Aksa, kamu nggak lupa tentang kabar baiknya, kan?”

Walau samar-samar Aksara mendengar kalimat tanya dari gadisnya, ia tetap menganggukan kepala.

“Mau cerita di dalam?” Saranita langsung mengambil tas karton yang diletakkan oleh Aksara di atas lantai, kemudian menarik satu tangan pria itu untuk duduk di sofa ujung ruangan.

Keheningan malam ini kembali menyelimuti, Saranita sengaja membuka jendela kamar yang kebetulan mengarah langsung ke jalan raya. Tatapan kedua pasang mata dari dua insan ciptaan Tuhan itu tertuju ke luar jendela, tidak ada yang berani membuka obrolan. Sampai pada akhirnya Saranita berdiri dari posisinya. Gadis itu hendak jalan untuk mengambilkan setidaknya satu gelas berisi air mineral untuk Aksara, tapi ketika kakinya melangkah, Aksara mencekal pergelangan tangannya.

“Aku mau ambilin kamu minum dulu, Aksa. Pasti capek, ya?”

Aksara menggeleng. Setelah apa yang terjadi hari ini, perihal kalimat-kalimat Dokter yang tidak sengaja didengarkan ketika berbicara bersama Ayah, rasanya Aksara hanya ingin beristirahat penuh. Begitu lelah walaupun raganya tidak melakukan aktifitas apa-apa.

Aksara menepuk ruang di sampingnya, persis tempat di mana Saranita duduk. “Aku nggak haus. Sini, duduk lagi.

Dari pada menghabiskan waktu untuk berpikir, Saranita bergegas untuk kembali duduk di posisi sebelumnya. Setelah itu, ia rasakan dengan jelas jika kepala Aksara mendarat di atas pangkuannya. Pria itu membaringkan tubuh, kemudian memejamkan mata tanpa memberi Saranita penjelasan lebih dulu. Bodohnya, entah pergerakan dari mana, kuasa Saranita terangkat untuk mengelus rambut Aksara dengan lembut.

“Aku ... aku hari ini ke sekolah Fina bareng Arsen. Aku kira, kalau Fina tahu aku di sana, seenggaknya aku bisa lihat Fina senyum di depan aku.” Tubuhnya ia sandarkan pada sofa, kuasanya tidak berhenti bergerak untuk mengelus rambut Aksara. Napasnya hampir saja berhenti ketika ia mengingat-ingat apa yang dilakukan Fina kepadanya. “Ternyata aku salah, Aksa. Fina bahkan lari pas lihat aku. Fina nggak mau ketemu aku.”

Ketika Aksara membuka matanya, ia melihat dengan jelas tatapan tertusuk pilu hadir pada netra milik gadisnya. Ketentraman yang selama ini ditujukan pada dunia runtuh begitu saja, tidak ada lagi yang tersisa. Aksara yakin, perasaan gadisnya melebur bersama dengan emosi yang kini tidak dapat tersalurkan secara sempurna.

Kamu bohong, Sara.

Melihat pergerakan Aksara yang bangun dari posisinya, Saranita langsung mengubah posisi duduk untuk menatap pria itu penuh. Netra milik Aksara entah kenapa dapat membawa kehangatan yang menjalar bersamaan dengan darahnya setiap sekon.

Kamu bilang hari ini baik, padahal hari ini jauh dari kata itu.

Saranita mengangguk, tanpa mengeluarkan air mata, ia justru tertawa kecil. “Iya. Seenggaknya aku mencoba.”

Percobaanmu gagal, Sara.

Lagi-lagi Saranita tertawa atas jawaban dari Aksara yang tidak akan pernah ada habisnya. “Aku nggak pernah berhasil bohong ke kamu, ya, Aksara?”

Kini, senyum Aksara terangkat semegah Samudera. Dia memahami dengan jelas kalimat dari gadisnya yang secara tidak gamblang menyatakan bahwa dirinya adalah manusia paling penting. “Kepalamu berisik lagi, ya?

Saranita tidak memberi jawaban, ia hanya menghela nafasnya sembari kembali menyandarkan tubuh di sofa. Matanya terpejam, tangannya terangkat untuk menutup telinganya sendiri, berharap agar suara-suara yang entah dari mana asalnya itu hilang dengan segera. Sedangkan Aksara berjalan ke arah nakas, mengambil tape recorder yang pernah ia berikan pada gadis itu beberapa waktu lalu. Kemudian pria itu kembali duduk, memasangkan headset putih itu di kedua telinga Saranita, kemudian menyalakan benda itu.

Suara Bunda Aksara mengalun dengan lembut di kedua telinga Saranita, membuat gadis itu terpaku untuk beberapa saat karena merasa aneh. Tangannya terangkat untuk menghentikan suara dari tape recorder itu. Dia tertawa sambil menatap Aksara, “Aneh. Aku kaya lagi dengerin suaraku sendiri.”

Jelas saja Aksara langsung tersenyum lagi. “Aku sudah bilang, 'kan? Segalanya tentang kamu, mirip sekali sama Bunda.

“Aksara,”

Aksara mengubah posisi duduknya, ia menatap Saranita tepat pada matanya.

“Aku kangen sama Ibu.”

Aksara bergeser, merapatkan tubuhnya pada milik Saranita. Tangannya merangkul gadis itu, “besok kita ke rumah Ibu, ya? Sekarang kamu tidur dulu.”

“Ibu ... kangen sama aku nggak, ya?”

Aksara bukan tipikal manusia yang akan memberi Saranita jawaban dan berisi sebuah angan. Dia tidak ingin membuat gadisnya berharap lebih untuk jawabannya kali ini.

Kita lihat besok, ya? Apapun jawabannya, jangan pernah ngerasa kecewa. Kamu nggak pernah sendirian, Sara. Aku di sini.”

Sudah hampir sepuluh menit, Aksara tidak mendapat jawaban setelahnya. Namun ia dapat merasakan dengan jelas bahwa gadisnya bernafas dengan teratur di dalam pelukannya.

Close-to-You

Aksara masih betah di Bumi.

on-Twitter-3

Bau obat-obatan menyeruak masuk ke dalam indera penciuman milik Regantara. Bau yang sudah lama yang tidak pernah ia temukan lagi sejak tujuh belas tahun yang lalu. Kepalanya terasa begitu nyeri, membuat langkah kaki lama-kelamaan kian melambat. Jantung pria itu berdebar tidak karuan, sampai rasanya sesak di bagian dada.

Regantara ingat, tujuh belas tahun yang lalu. Di gedung yang sama, rungunya dipenuhi dengan suara tangis bayi di salah satu ruangan. Ruang persegi yang pernah membuatnya kehilangan separuh jiwa. Ruang persalinan. Kini ruang itu berjarak sepuluh meter dari hadapannya. Diam-diam ia membuka kotak hitam di ingatannya, tentang masa lalu yang sebenarnya tidak lagi ingin ia bahas.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Regantara dengan sigap mengambil benda persegi itu dari saku celana. Kemudian menggeser tombol hijau yang menandakan bahwa ia menerima sebuah panggilan masuk.

Om, ini Saranita.”

Regantara berdeham, berusaha untuk menetralkan suara sebisanya. “Iya. Ada apa, Sar?”

Hari ini Aksara nggak masuk sekolah, ponselnya juga nggak aktif. Saranita khawatir, jadi Saranita mampir sebentar ke rumah Om Regan.” Di seberang sana Saranita berusaha untuk mengintip ke dalam rumah bercat putih itu melalui jendela yang tertutup dengan tirai abu-abu. “Di rumah kaya nggak ada orang, ya, Om? Emang pada di mana?

Regantara sempat kehilangan kalimatnya untuk beberapa saat. Kaki pria itu perlahan terangkat untuk melangkah pelan-pelan. “Di rumah Kakak-nya Om Regan sedang ada acara, Sara. Tadi Om udah sempat hubungi wali kelas Aksara untuk izin, kok. Om sama Aksara lagi ada di Bandung.”

Di Bandung, Om? Kok Aksara nggak kabarin Saranita, ya?” tanya Saranita.

Sejujurnya Regantara tidak pernah tega untuk mengucapkan kalimat-kalimat penuh kebohongan untuk Saranita, karena rasanya sudah banyak sekali kebohongan yang gadis itu terima di hidupnya. Namun kali ini Regantara tidak bisa apa-apa, karena semuanya atas dasar permintaan Aksara.

Om? Kok nggak ada suaranya? Sinyalnya jelek, ya?

Regantara menggeleng walaupun ia tahu kalau Saranita tidak akan melihatnya. “Iya, Sara. Aksara nggak dapat jaringan di sini. Saranita jangan khawatir, ya? Aksara baik-baik aja.”

Dapat terdengar dengan jelas di telinga Regantara bahwa gadis itu menghela nafas yang terdengar sangat lega. “Yaudah kalau gitu, Om. Maaf ganggu, dan makasih banyak, Om. Saranita tutup telepon-nya, ya.

“Sar, sebentar,” cegah Regantara. Pria itu menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. “Saranita bisa janji satu hal untuk Om Regan?”

Janji?” tanya Saranita kebingungan. “Janji gimana, Om?

Regantara menengadah agar air matanya tidak mengalir untuk membasahi pipi. Kakinya baru saja sampai tepat di depan pintu, di mana Aksara sedang menutup matanya di atas brangkar rumah sakit. “Untuk apapun yang terjadi ke depannya, janji sama Om Regantara untuk selalu menerima, ya?”

Perasaan Saranita mulai tidak enak. Ia bingung. “Maksudnya gimana, Om?

“Sar, kita nggak pernah tahu apa rencana Tuhan untuk kita ke depannya, kan?” Regantara menatap Aksara melalui kaca yang berada di pintu ruangan Aksara. Netra kecokelatan itu berlabuh pada daksa putranya. “Untuk apapun yang direncanakan sama Tuhan, tolong Saranita terima, ya? Tentang keluarga, tentang nasib, rejeki, maut, dan tentang Aksara.”

Om ... Semuanya baik-baik aja, kan? Aksara nggak kenapa-napa, kan?” Kaki Saranita mulai melemah. Daksanya bersandar pada tembok rumah Aksara. Nafasnya tersenggal-senggal seperti baru saja lari ribuan kilo meter. “Om Regan, tolong jujur!

“Semuanya baik-baik aja, Sara, tapi Om nggak janji untuk ke depannya.” jawab Regantara dengan satu kali tarikan nafas. “Om Regan tutup telepon-nya, ya? Jangan lupa istirahat, Saranita.”

Tangan kanan Regantara bergetar ketika mendarat di gagang pintu, kakinya terasa begitu berat untuk melangkah. Berkali-kali pria dengan usia hampir senja itu menarik nafas, berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, Regantara harus jadi sosok yang paling kuat untuk menghadapi takdir dan kenyataannya.

“Aksa, Ayah di sini.” desis Regantara hampir tidak terdengar ketika ia berhasil masuk ke dalam ruangan Aksara. Netranya tidak pernah lepas dari daksa milik anak terakhirnya. Regantara duduk, meraih jemari Aksara untuk digenggam. “Aksara kenapa nggak pernah cerita, nak? Setidaknya ke Mas Bagas. Aksara kenapa selalu merasa hidup sendiri?”

Dalam hidup Regantara, hanya tiga kali dirinya bisa menangis selantang hari ini. Hatinya terasa begitu sakit seperti ditusuk ribuan jarum di satu waktu yang sama. Ia ingat, hari pertamanya menangis dengan lantang ketika Dokter menyatakan bahwa satu dari dua anak kembarnya lahir dengan jantung yang tidak berdetak. Hari kedua ia menangis dengan lantang adalah, ketika istrinya meninggalkan mereka semua tanpa aba-aba. Kemudian hari ini adalah hari ketiga.

Regantara benci kehilangan. Benci sekali.

Pelan-pelan mata Aksara terbuka, membuat Regantara dengan cepat menghapus air matanya. Bertindak seolah tidak terjadi apa-apa padahal beberapa detik yang lalu ia terlihat sebagai manusia yang paling menyedihkan di muka bumi.

“Aksara sudah bangun, nak?” Regantara tersenyum tipis, masih dengan mengelus punggung tangan Aksara dengan lembut—persis seperti apa yang dilakukan istrinya dulu ketika ia sedang sakit.

Dengan kekuatan separuh, Aksara membuat kurva di bibirnya. “Ayah ... Aksa lupa di mana taruh ponsel. Boleh nggak, kalau Aksara minta tolong Ayah untuk kabarin Saranita? Tolong jangan bilang kalau kita di rumah sakit dan Aksara drop, ya? Nanti Saranita kepikiran.”

“Sudah, Aksa. Ayah sudah kabari Saranita.” Regantara mengangguk. Seiring berjalannya waktu ia mengerti kenapa akhir-akhir ini Aksara menjadi manusia pelupa, itu semua karena penyakit yang diindapnya.

Ayah ...” Tangan Aksara terangkat untuk menghapus sisa jejak air mata di pipi Regantara. “Jangan nangis! Pria yang sedang terbaring itu masih mengangkat kedua sudut bibir walau matanya mengatakan dengan jelas bahwa ia tidak bisa berbohong perihal rasa sakit yang selalu ditahan. “Dulu Ayah pernah bilang kalau Aksara bakalan jadi superhero, kan? Sekarang ... sekarang Aksara lagi berjuang untuk wujudin kata-kata Ayah.

Tangis Regantara kembali pecah, ia menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan agar setidaknya Aksara tidak melihatnya dengan jelas. Mau seberapa kali pria itu meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi berkali-kali pula rasa takut itu menyerang tanpa henti.

“Aksara bisa janji sama Ayah, nak?” tanya Regantara dengan suara yang masih bergetar, membuat Aksara menatapnya takut-takut. “Aksara, ayo berjuang satu kali lagi. Ayo berjuang bareng-bareng sama Ayah untuk tetap hidup di dunia. Aksara tahu? Bumi ini membutuhkan manusia seperti Aksara.”

Pria yang akan selalu kecil di mata Regantara itu mengangguk. “Aksara akan selalu di sini untuk Ayah, Mas Bagas, dan Saranita. Aksara masih betah di Bumi, Ayah.

“Ayah takut, Aksa ...”

Aksara menggeleng, “Enggak apa-apa, Ayah. Aksara nggak bakalan kenapa-napa. Semuanya bakalan baik-baik aja.

Regantara dapat melihat dengan jelas di setiap pergerakan putranya itu terungkap penuh harap. Sorot matanya melambangkan bahwa setiap kata yang ia ungkapkan akan terwujud dengan segera. Setiap pergerakannya begitu kentara bahwa Aksara juga memiliki sebuah ketakutan yang sama besarnya.

Ayah, Aksara sudah kehilangan Bunda. Apa sekarang Aksara harus kehilangan semua kenangan tentang Bunda yang tersisa di kepala Aksara juga?

IMG-20211030-013754

Beberapa pembicara memilih untuk bisu.

Kurva di bibir Saranita tidak pernah lenyap ketika Ayah dari Aksara ternyata menyambutnya dengan hangat. Pria itu justru menjadi jiwa yang paling antusias dalam acara masak-masak kali ini. Berkali-kali pria paruh baya itu tidak peduli jika bajunya terkena tepung untuk membuat bakso. Pria itu justru tertawa, terlebih ketika Saranita meminta bantuannya untuk memotong cabai.

“Kalau mau diblender, nggak perlu dipotong, Sara.” kata Ayahnya Aksara, kemudian mengambil alih beberapa cabai dari tempatnya. “Sini,” Tangan pria itu terangkat, meminta Saranita untuk segera mendekat ke arahnya. “Cabainya nggak usah banyak-banyak, nanti sakit perut.”

Saranita mengangguk setuju, kemudian melakukan sesuai instruksi dari Ayahnya Aksara. Namun ternyata ada beberapa hal yang mengganggu pikiran Saranita sedari tadi. “Om,”

Pria bersurai legam yang walau sudah memasuki usia senja tapi tetap gagah itu menghentikan pergerakannya dalam membentuk bakso dari adonan. “Kenapa, Sara? Ada yang susah?”

Saranita menggeleng, “Enggak. Saranita boleh tanya satu hal sama Om Regan?”

Regantara mengangguk sambil kembali melakukan kegiatannya.

“Sebenernya Sara udah tanyain ini ke Aksara beberapa waktu lalu. Cuma, Sara nggak pernah dapet jawaban tentang ini.” Saranita berjalan mendekat ke arah Regantara, mengambil mangkuk sebagai wadah untuk sambal. “Aksara punya adik atau kakak kembar, ya, Om?”

Adonan yang ada di tangan Regantara jatuh semua ke lantai. Tatapan pria itu kosong setelah rungunya mendengar kalimat tanya dari Saranita. Kakinya melangkah mundur dua kali. Dia berusaha untuk menetralkan nafasnya yang tersenggal-senggal.

“Astaga!” Saranita beralih untuk merapikan adonan di atas lantai, kemudian mendekat ke arah Regantara. “Om, Om Regan nggak apa-apa?”

Memori di ingatan Regantara kembali ke tujuh belas tahun lalu. Tahun di mana kakinya tidak lagi bisa berdiri dengan tegak, bahkan tidak mampu untuk menopang tubuhnya sendiri. Suara tangisan bayi tiba-tiba berdengung keras di kedua telinga Regantara, membuat pria itu menjauh dari Saranita karena ketakutan. Regantara pikir, ia akan baik-baik saja ketika suatu saat nanti ada seseorang yang berhasil menyinggung kejadian yang amat ia sesali tujuh belas tahun lalu. Ternyata ia salah besar, Regantara salah besar.

“Om,” panggil Saranita. Gadis itu jelas tidak mengerti dengan reaksi yang diberikan oleh Regantara ketika pertanyaan yang sedari ditahan, berhasil lolos dari bibirnya. Kakinya melangkah ke arah meja makan, menuang air mineral dari dalam teko ke gelas bening. “Om, minum dulu.”

Dengan pergerakan yang pelan-pelan, Regantara mengambil alih dan menghabiskan air mineral yang disodorkan oleh Saranita. Pria itu mengeluarkan diri dari memora ingatan masa lalu, kemudian tersenyum kecil untuk Saranita. “Maaf, ya? Om Regan bikin Saranita kaget, ya?”

“Enggak, Om.” Saranita beralibi sambil menggelengkan kepalanya. Gadis itu berbohong karena berpikir bahwa Regantara pasti punya trauma sendiri dengan pertanyaan tadi. “Saranita yang harusnya minta maaf sama Om Regan.”

Kali ini Regantara menggeleng, “Bukan salah Saranita. Memang Om Regan aja yang pengecut ketika mengingat hal itu. Nanti kalau Aksara sudah pulang dari beli telur, Om ceritakan semuanya.”

Ada banyak hal yang sebenarnya ingin Saranita tanyakan pada Regantara, tapi mati-matian gadis itu menahan seluruh pertanyaannya di kepala. Dia tidak mau kalau Regantara berpikir yang tidak-tidak tentangnya.

Regantara tertawa kecil ketika ia mendapati wajah kebingungan Saranita. Kemudian bersandar di depan kulkas untuk membantu menopan tubuhnya sendiri. “Kamu tipikal orang yang selalu ingin tahu isi dunia, ya, Sara?”

Pertanyaan Regantara membuat Saranita merasa tertarik dari lamunannya. Gadis bersurai legam itu menggerakkan bolamatanya ke sana-kemari. “Kadang, gitu, Om ...”

“Pertanyaan tadi itu, karena kamu ingin menyelam lebih dalam ke dunianya Aksara, kan?” tanya Regantara telak. Pria itu menarik nafas, meneliti setiap pergerakan Saranita. “Perasaan kamu ke anak Om Regan begitu besar, ya, Sara?”

Saranita tertawa kecil, “Besar banget, Om. Sampai Saranita nggak bisa menggenggamnya. Saranita kadang nggak tau apa yang Aksara mau, Saranita nggak tau apa yang Aksara rasain. Padahal dari pertama kali Saranita milih buat letakkin perasaan ke Aksara, Saranita selalu berusaha untuk kasih dunia Saranita ke Aksara.”

“Maksud kamu?” Regantara kebingungan sendiri.

Kali ini Saranita memberanikan diri untuk menatap Regantara tepat pada matanya. “Om ... Ada banyak hal yang nggak Saranita tau tentang Aksara. Kadang, Aksara itu abu-abu kecuali pada perasaanya.”


“Om ... Ada banyak hal yang nggak Saranita tau tentang Aksara. Kadang, Aksara itu abu-abu kecuali pada perasaanya.”

Langkah kaki Aksara berhenti begitu saja ketika rungunya mendapati suara yang sangat ia kenali. Aksara tau, pendengarannya tidak seperti pada manusia biasanya, tapi Aksara yakin, kalimat yang keluar dari bibir gadisnya adalah sebuah kalimat kekecewaan. Pria itu berdiri di balik tembok yang memisahkan antara ruang keluarga dan dapur untuk mendengarkan percakapan antara Ayah dan gadis kesayangannya.

“Saranita sayang sama Aksara, Om. Sayang banget.” Senyum manis Saranita terukir dengan kelas di wajahnya. Surai legam yang membingkai wajah itu kini ia kuncir asal, membuat beberapa anak rambut ikut jatuh di samping telinganya. “Aksara selalu tau apa yang Saranita butuhin, tapi Aksara nggak pernah kasih tau apa yang dia butuhin ke Saranita.”

Netra Aksara menangkap kalau Ayahnya memilih untuk diam pada posisinya, sedangkan Saranita mundur tiga langkah entah kenapa.

“Om ... Kadang Saranita mau udahan sama Aksara.”

Kalimat itu membuat jantung Aksara berhenti berdetak untuk beberapa menit.

“Aksara nyakitin Saranita?” tanya Regantara.

Saranita menggeleng, “Aksara tumbuh jadi sosok penolong dalam hidup Saranita, Om. Cuma dalam beberapa keadaan Saranita selalu mikir kalau Saranita ini nggak berhak atas Aksara.” Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu menatap Regantara tulus. “Om, Aksara itu terlalu sempurna. Aksara satu-satunya orang yang nggak pernah anggap Saranita sebagai sampah. Aksara selalu bangga karena punya Saranita, padahal Ibu atau Ayah nggak pernah bilang itu secara gamblang.”

Hening untuk beberapa detik menguasai, sebelum suara Saranita kembali menguar di udara. “Hal-hal sederhana yang Saranita lakuin, Aksara selalu bangga. Aksara selalu jadi orang pertama yang tepuk tangan ketika Saranita berhasil mengerjakan tugas dengan hasil sendiri. Aksara selalu jadi orang pertama yang peluk Saranita ketika berhasil menyelesaikan satu lagu di depan banyak orang. Aksara selalu jadi orang pertama yang lakuin hal-hal sederhana yang nggak pernah Saranita dapetin sebelumnya.”

Kali ini, kedua sudut bibir Aksara terangkat penuh walau ada sebagian kalimat dari Saranita yang ingin sekali ia tanyakan. Tapi tidak apa-apa, Aksara akan menahan perasaan ingin tau itu sampai nanti. Sampai setidaknya Saranita merasa bahwa ia baik-baik saja.

“Aksara itu udah kaya waktu buat Saranita, Om. Setiap detik yang ada di pikiran Saranita itu cuma Aksara. Sampai kadang Saranita mikir, Tuhan serius ciptain Aksara untuk Saranita?

Regantara melangkah untuk mendekati gadis kecil yang memiliki perasaan tulus untuk putranya. “Tuhan udah pertemukan Aksara dengan Saranita, itu artinya kalian memang ditakdirkan untuk bertemu dan jadi satu, Sara.”

“Untuk saat ini mungkin iya, tapi nanti?”

Regantara mengerinyitkan alisnya, “Nanti? Kenapa?”

“Om Regan tau kalau Aksara sakit, kan?”

Regantara membisu sampai akhirnya netra pekat itu mendapati Aksara yang berjalan dengan sekantung berisi telur di tangannya. “Nih, Aksara sudah datang. Ayo kita lanjut!”

Setelah kalimat itu terlontar, Saranita akhirnya sadar bahwa beberapa orang memilih untuk menyembunyikan lukanya.

0c5d3c4d-e224-4749-aa55-0ae6dd8dbec7

Harap yang tak pernah hirap.

Mamah-Muda-REVISI

Suara musik yang lumayan keras, asap-asap mengepul di udara membuat pandangan Aksara sedikit terhalangi. Satu yang pertama kali menjadi objek saat kakinya melangkah masuk ke dalam ruang persegi itu adalah punggung Saranita. Gadis itu sibuk dengan satu batang nikotin di jemarinya, menatap lurus-lurus ke luar jendela. Kakinya kembali melangkah setelah bergerak untuk menutup pintu. Aksara mengambil ruang di sebelah kiri Saranita tiba-tiba, membuat gadis itu terkejut dan mematikan benda nikotin itu dengan segera.

Netra Saranita beralih ke jam dinding, kemudian menatap Aksara kebingungan pada detik berikutnya. “Udah jam segini, kamu ngapain?”

Alih-alih menjawab pertanyaan Saranita, Aksara justru mengangkat kedua tangannya untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah gadisnya. Ia mengambil ikat rambut dari pergelangan Saranita, kemudian mengikat surai itu perlahan.

“Aksara.” Sama halnya seperti menyukai musik, Saranita juga tidak memiliki alasan yang tepat kenapa ia begitu menyukai netra kecokelatan milik pria di hadapannya. “Pertanyaan itu ada untuk dijawab, katamu.”

Pria berkaus hitam itu terkekeh tanpa suara, namun netranya tidak pernah lepas dari milik Saranita. “Aku mau mastiin kamu nggak lebih dari satu batang.

Lima menit dihabuskan Saranita untuk tenggelam dalam netra elok milik Aksara. Rasanya seperti semua beban hilang begitu saja, seluruh rasa sakit seperti menemukan obatnya, dan rasa khawatir perlahan hilang digantikan oleh ketenangan. Terkadang Saranita tidak ingin banyak bicara, hanya ingin mengembuskan nafasnya yang memburu secara perlahan, kemudian tenggelam dalam pandangan netra Aksara seolah bercerita. Saranita mungkin bukan manusia yang paling sempurna di Bumi—walau beberapa orang bilang bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Namun Saranita selalu mampu mengenali perasaan yang sebelumnya tidak pernah ia tau kepada Aksara. Caranya tidak sempurna, tapi masuk ke dalam usaha sebaik-baiknya dalam hidup gadis itu.

“Aku capek.” ucap Saranita. Gadis itu berdiri, meninggalkan Aksara untuk mematikan musik yang sengaja ia nyalakan untuk menemaninya. Terkhusus untuk malam ini, entah kenapa Saranita membenci kesepian. “Aku baru sadar kalau ternyata selama ini aku cuma pengin di akuin kalau aku ada. Sampe aku lupa kalau sikapku ke Ibu atau Ayah, kadang berlebihan.”

Aksara bangkit dari posisinya, berjalan mendekat ke arah Saranita untuk duduk di atas ranjang. Kos persegi ini tidak memiliki begitu banyak ruang. Hanya ada satu lemari kecil, meja, dan satu ranjang. Tangan pria itu terangkat untuk mengelus lembut puncak kepala Saranita. “Aku sama sekali nggak membenarkan sikap kamu ke Ayah atau Ibu, tapi kamu punya alasan, Sara. Itu cara kamu protes, cara kamu buat ungkapin perasaan kamu ke mereka.

Tidak pernah satu hari pun Saranita lewatkan tanpa bertanya kepada Tuhan, tentang apa yang sedang dilakukan ketika menciptakan manusia yang hampir sempurna seperti Aksara. Sebab Saranita penasaran, terlebih alasan kenapa bisa pria itu meletakkan hati untuknya. Untuk ia yang tidak sempurna, untuk ia yang sering sekali mengeluh, dan untuk ia yang sering sekali lupa mengucap syukur.

Sar, Tuhan ciptain manusia dengan perasaan yang beda-beda. Begitu juga sama cara ungkapnya.” Aksara menghentikan pergerakan tubuhnya, kemudian mengambil kertas dan pena yang berada di atas meja nakas. Kini tangan kanan itu bergerak membawa kepala Saranita untuk bersandar di atas bahunya. Kemudian tangannya kembali bergerak menuliskan kalimatnya di atas kertas tadi.

Inget yang pernah aku bilang, kan?

Gadis bersurai legam itu mengangguk, “Saranita, menangis itu bukan hal yang nggak boleh dilakukan. Bahkan saat pertama kali lahir di dunia, hal yang pertama yang bisa kamu lakukan menangis, kan?” Saranita ingat betul, Aksara pernah dengan jelas menulis kalimat itu di atas buku kesayangan ketika menemuinya di halte, sebelum memeluknya dengan erat.

Aksara mengangkat kurva di bibirnya. Walau tidak melihat wajah gadisnya, setidaknya ia merasakan sedikit pergerakan di bahunya, ia tau bahwa Saranita juga mengulas senyum.

Nangis aja. Aku temenin.

Perlahan Saranita melingkarkan kedua tangannya di perut Aksara, menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher pria itu. Mulai mengeluarkan rasa sakitnya lewat isakan yang lama-kelamaan menjadi suara yang pecah. Aksara tidak mengeluarkan suaranya, hanya menggerakkan jemarinya untuk mengusap punggung Saranita. Hal yang tidak pernah pria itu lakukan ketika gadisnya menangis adalah tidak pernah memintanya untuk berhenti. Sebab Aksara tau, Saranita bukan gadis yang dengan mudah mengungkapkan perasaannya lewat air mata. Pun jika saja ia mampu mengeluarkan kata, pria itu akan tetap memilih diam.

“Sejak aku duduk di kursi kelas empat, aku sadar kalau aku nggak pernah tau apa yang aku mau.” Saranita menarik nafas, kemudian diembuskan secara perlahan. “Waktu itu Fina jatuh dari tangga, aku nggak tau. Tetep, aku yang salah. Kata Ayah, aku nggak jagain Fina dengan benar.”

Aksara tidak pernah tau dengan persis bagaimana rasanya berada di posisi Saranita, itu sebabnya ia hanya memilih untuk diam. Kembali mendengarkan suara-suara yang mungkin sudah lama dipendam oleh gadisnya.

“Aksa, aku nggak pernah minta jadi anak perempuan pertama yang selalu diandalkan.” Suaranya kecil di akhir kata, hatinya seperti tertusuk ribuan jarum panjang. “Aku nggak pernah janji sama Ayah atau Ibu untuk jaga Fina dengan benar, tapi aku berusaha untuk itu.” Isaknya semakin jelas memenuhi ruangan persegi itu. Aksara memindahkan kepala Saranita untuk mendarat di dadanya, mengajak gadis itu masuk ke dalam peluknya. “Aku nggak tau apa yang aku mau, Aksa. Aku nggak tau siapa aku di lima tahun yang akan datang. Kenapa semua tanggungan diserahin ke aku termasuk perasaan semua orang?”

Aksara tau dengan jelas, ada seseorang yang tidak pernah meminta dilahirkan. Ada seseorang yang benci sekali karena sekedar tumbuh menjadi dewasa. Bahkan ada seseorang yang membenci diri dan juga hidupnya.

“Aku nggak mau lagi berusaha untuk bikin Ayah sama Ibu bangga, Sa. Sekeras apapun aku berusaha, semuanya sia-sia.” Saranita menengadah, menatap Aksara dari bawah. Mulai dari mata, hidung, dan bibirnya. Semua terlukis dengan sempurna. “Aku nggak pernah minta penghargaan dari Ayah sama Ibu, Sa. Aku cuma mau dihargai. Perasaanku, diri aku, usahaku. Semuanya nyata.”

Pada akhirnya, semua orang diminta untuk mensyukuri apapun yang terjadi. Walau terkadang apapun yang diminta tidak akan pernah datang dengan segera.

Aksara melepaskan pelukan Saranita perlahan. Jemarinya mendarat untuk menghapus air mata gadisnya. Kemudian mengecup kedua matanya yang mulai membengkak. Tangan pria itu bergerak, “Enggak apa-apa, Sara. Enggak apa-apa. Tuhan tebus semua yang kamu mau lewat aku. Kamu cuma perlu kasih tau aku apapun yang kamu mau mulai sekarang, ya?

IMG-20211018-214842

Cerita singkat bersama Ayah.

Aksara tidak ingat pasti, kapan terakhir kali Ayah menggenggam jemarinya sebelum kepergian Bunda. Tapi Aksara ingat dengan jelas, bagaimana jemari kekar itu menyalurkan sebuah kehangatan yang tidak pernah ia dapatkan dari siapa-siapa. Genggaman jemari Ayah, memang selalu Aksara harapkan di setiap harinya. Namun entah kenapa ketika hari itu tiba, jantungnya seolah berhenti berdetak. Ada rasa bergejolak di dalam dada yang tidak mampu Aksara jelaskan, namun terasa begitu nyata bahwa rasa itu membawa sebuah kerinduan.

Masih sama. Genggaman milik Ayah masih terasa sama seperti hari terakhir di mana jemarinya bertaut pada milik anak bungsunya. Langkah kaki Aksara tiba-tiba berhenti ketika Ayah membawanya untuk mendekat ke rumah peristirahatan terakhir Bunda.

Alis Ayah bertaut kebingungan. Pria itu melepaskan genggaman tangan dari milik Aksara. Anggota tubuhnya bergerak, “Kenapa, Aksara?

Aksara menggeleng, sebab memang tidak ada alasan yang jelas kenapa tiba-tiba saja ia berhenti melangkah. Kedua sudut bibirnya terangkat, ia mempersilahkan Ayah untuk berjalan lebih dulu di depan.

“Hanin, saya datang sama Aksara. Anak kesayangan kamu.” kata Ayah pertama kali setelah berlutut di depan nisan yang bertuliskan nama Bunda. Senyum pria itu tipis, air matanya hampir saja jatuh kalau saja Aksara tidak menyentuh pundaknya. “Aksara nggak pernah ninggalin saya di keadaan apapun, Hanin.” Ayah terisak. Dalam benaknya teringat kejadian-kejadian di mana ia bersikap kasar dalam satu tahun terakhir ke anak terakhirnya.

Aksara diam di tempat, setia mendengarkan tiap kalimat yang diucapkan oleh Ayah tanpa ada niat untuk memotongnya. Aksara tidak pernah terluka karena Ayah, sebab Aksara mengerti bagaimana terpukulnya Ayah ketika ditinggakkan oleh satu-satunya manusia yang selalu ada di sampingnya.

Ayah pernah bilang, bahwa Bunda adalah satu-satunya perempuan yang menemani di saat semua orang—bahkan dunia sekalipun menjauhinya. Hanya Bunda yang selalu setia menyediakan bahu untuk Ayah beristirahat. Bunda pula yang menjadi alasan Ayah untuk tetap bertahan di dunia ini ketika Ayah harus menerima fakta paling menyakitkan dalam hidupnya. Ketika Dokter bilang bahwa salah satu dari kedua anaknya meninggal di dalam rahim.

“Saya ... saya yang selalu ninggalin Aksara, Nin. Maaf ...” Ayah terisak pada sekon berikutnya. Tatapannya tidak teralih dari nama Bunda yang terukir di atas batu nisan. “Maaf kalau saya ingkar janji, Nin. Maaf kalau pada akhirnya saya yang melukai Aksara. Maaf—”

Kalimat Ayah terhenti ketika Aksara tanpa aba memeluknya dari sebelah kanan. Pelukan yang Ayah kira rasanya masih sama seperti dulu, kini rasanya sudah berubah. Pelukan itu lebih hangat, seiring dengan napasnya yang tidak beraturan. Ayah tau dengan jelas kalau bukan hanya ia yang menangis, tapi Aksara juga.

Setelah beberapa menit, Aksara melepaskan pelukannya dari daksa milik Ayah. Pria berkaus abu-abu itu menghapus air matanya menggunakan punggung tangan, kemudian mengangkat sudut bibirnya sedikit. “Ayah, terima kasih, ya?

Ayah kebingungan. “Terima kasih untuk apa, Aksa?

Karena Ayah sudah minta maaf ke Bunda. Karena dalam permintaan maaf Ayah, Ayah mengakui satu persatu kesalahan Ayah.

Tangan Ayah terangkat untuk mengacak rambut Aksara. Pria berkacamata itu menipiskan bibir, kemudian kembali mengalihkan pandangan ke arah nisan Bunda. “Hanin, kamu lihat, 'kan? Anak ini tumbuh dengan baik.”

“Anak yang selalu kamu banggakan pada semua orang, pada dunia. Anak ini yang punya hati seluas jumantara, persis seperti kamu.” Ayah terkekeh di akhir kalimatnya. Tatapannya kini berlabuh lagi pada anak bungsunya. “Aksara tau? Bunda pernah cemburu ke Ayah.

Kini Aksara kebingungan. Ia menatap nisan Bunda seolah bertanya maksud dari kalimat Ayah. “Cemburu bagaimana, Yah?

Kata Bunda, Aksara mirip sekali dengan Ayah. Wajah Aksara, cara jalan Aksara, senyum Aksara, dan segalanya yang ada di tubuh Aksara mirip sekali dengan Ayah.” Ayah menatap Aksara dengan tatapan menggebu seolah banyak sekali hal yang selalu ingin ia ceritakan pada putranya itu. “Tapi setelah Ayah sadari, ternyata hati Aksara lebih mirip dengan Bunda.

Aksara hanya diam, lebih memilih untuk tenggelam di tatapan milik Ayah. Tatapan yang selalu Aksara rindukan kehangatannya.

Hati Aksara seluas langit.” kata Ayah.

Aksara tertawa tanpa suara. “Ayah, setelah ini, ayo kita makan di rumah makan yang sering kita kunjungi waktu bersama Bunda!

Kaki Ayah melemas ketika melihat binar ceria dari netra milik Aksara. Ada banyak hal yang disesali oleh Ayah setelah melihat binar elok di sana. Bagaimana bisa ia membenci darah dagingnya sendiri? Bagaimana bisa ia bersikap kasar dan menyalahkannya atas segala kesialan dalam hidupnya sementara anak itu tidak tau apa-apa? Bagaimana bisa?

“Aksara,” panggil Ayah.

Aksara berhenti tersenyum ketika suara bergetar milik Ayah masuk ke dalam rungu. “Ayah ... jangan nangis.

Ayah menyodorkan satu benda persegi panjang dengan ukuran kecil yang ia keluarkan dari saku celana-nya. “Semua tulisan Aksara yang Ayah hapus di laptop, sudah Ayah pindahkan ke dalam sini sebelumnya.

Ayah baca?

Ayah mengangguk. “Ayah baca seluruh isinya. Termasuk dokumen khusus untuk Ayah.

Tangan Aksara bergetar hebat saat tau segala isi hatinya perihal Ayah, ternyata sudah sampai pada pria itu. “Dokumen dengan nama Ejaan untuk Ayah?”

Ayah mengangguk, bergerak untuk membawa Aksara masuk ke dalam pelukannya. “Aksara, tidak ada anak yang tidak diharapkan oleh orangtuanya. Sebab anak tidak pernah minta dilahirkan ke dunia. Orangtua-lah yang meminta pada Tuhan untuk selalu dititipkan ciptaan-nya.

Aksara tersenyum manis. Manis sekali dengan pacaran elok di kedua netranya. Membuat Ayah terkejut, “Sebentar! Tetap senyum seperti itu, Aksara!” Ia mengeluarkan kamera dari dalam tasnya, kemudian mengambil foto Aksara tanpa aba.

IMG-20211014-203345

QueenZa

Rumah yang rumpang.

download

Image-about-couple-in-matchy-by-on-We-Heart-It

Kok cuma digantungin di pagar, Sar?

Pertanyaan itu diungkapkan Aksara melalui pergerakan anggota tubuhnya beberapa menit usai ia mendapati Saranita yang hanya berdiam diri di depan pagar rumahnya dan menggantungkan dua bungkus sate ayam untuk Fina dan Mahesa. Saranita sendiri bingung, kenapa dirinya sepayah itu karena tidak mau bertemu langsung dengan Fina juga Mahesa. “Aku takut ketemu sama Ibu.”

Setelah mendapat jawaban, Aksara hanya diam. Kembali membiarkan gadisnya menatap lurus-lurus ke bangunan sederhana yang sejak satu minggu lalu tidak lagi menjadi tempat tinggalnya. Sampai beberapa menit, Aksara tidak tau apa yang ada dalam pikiran Saranita. “Kamu nggak hubungi Fina untuk ambil makanannya?

Saranita menghela, kemudian menipiskan bibirnya sambil menatap Aksara penuh. “Nanti. Aku kasih tau Fina kalau kita udah pergi dari sini aja. Aku nggak mau ketemu sama Fina atau Esa.”

Keduanya berdiam diri di sana untuk beberapa waktu. Membiarkan angin sore berembus lembut menerpa kulit masing-masing. Tidak ada yang mulai perbincangan sebelum akhirnya suara Ibu mengalun dingin masuk ke dalam rungu.

“Kamu masih ingat pulang?” tanya Ibu, beberapa detik setelah tangannya menyentuh pagar untuk membuka kuncinya. “Ibu kira sudah lupa.”

Hal pertama yang Saranita lakukan ketika netranya menangkap Ibu datang bersama Om Ferdi adalah menghela nafas. Membuang tatapan dan berusaha menguatkan dirinya sendiri. Jemarinya mengepal keras ketika Ibu menusuknya lewat tatapan mata. “Saya cuma datang, bukan mau pulang.”

Go-Yoon-Jung-1

Mendengar jawaban yang terlontar dari bibir putri pertamanya, Ibu kehilangan kalimat yang sudah tersusun rapi dalam otaknya. Hatinya begitu terluka ketika tau melalui tatapan Saranita bahwa ia sudah tidak ada lagi di sana. Anak perempuan pertamanya, secara terang-terangan menghilangkan peran Ibu dalam hidupnya.

“Lagian, rumah ini udah nggak layak lagi untuk disebut rumah.” Saranita melirik sekilas ke arah Om Ferdi. “Biasanya yang disebut rumah itu tempat beristirahat. Dan saya udah nggak pernah lagi dapetin itu semua sejak lima tahun yang lalu.”

Tangan Ibu bergerak untuk meraih Saranita yang langsung ditepis cukup kasar. “Jaga ucapan kamu, Saranita!” bentaknya cukup keras sampai beberapa orang yang berlalu menghentikan langkah masing-masing. Lagi-lagi Saranita membuat Ibu hilang kendali akan dirinya sendiri, merasakan sesak yang entah datangnya dari mana.

“Jangan di sini. Malu.” Akhirnya Om Ferdi mengeluarkan suara, bergerak untuk menghentikan pergerakan Ibu yang hampir saja melayangkan tangannya ke arah Saranita.

Mendengar kalimat itu, Saranita tertawa. Tatapannya beralih ke arah Om Ferdi yang berusaha menenangkan Ibu. “Malu? Anda bahkan nggak peduli keadaan saya dan hanya memikirkan citra?” Gadis bersurai legam itu berdecih, tidak menyangka kalau justru kalimat yang keluar dari bibir Om Ferdi malah menambah kadar kebenciannya. “Pantes aja kalian jadi satu. Ternyata cocok. Cocok banget.”

“Sara!” Jemari milik Ibu mengepal erat. “Saya ini Ibu kamu. Saya ini orang yang paling sayang sama kamu setelah Ayah kamu pilih buat ninggalin kita!”

“Di mana?” tanya Saranita dengan suara rendah. Dia bingung. Katanya, Ibu adalah orang yang paling menyayangi setelah kepergian Ayah. Tapi Saranita tidak dapat merasakan itu semua. Seluruh kasih sayang Ibu, sudah habis untuk Fina dan Mahesa.

“Maksud kamu?” Ibu bingung, kehilangan arah pembicaraan.

“Di mana anda di saat saya nangis setiap malem? Di mana anda di saat saya ngeluh karena capek sama dunia ini.” Nafasnya memburu, menahan segala rasa sesak di dalam dada. “Di mana anda di saat saya cuma mau pergi dan lenyap? Ada? Apa anda ada di sana? Sekali pun nggak!”

Keadaanya berubah menjadi hening. Musim gugur di bulan Oktober membuat rasa dingin di setiap angin yang berembus pelan. Setiap pasang mata kini mengarah ke keduanya, terutama Ibu yang bahkan terlihat lebih kacau dari apapun.

“Saya bisa dengar setiap kali anda bilang kalau anda sayang sama saya. Tapi,” Kalimatnya terjeda untuk beberapa detik, menyiapkan kata lain yang ia harap tidak pernah menimbulkan air matanya sendiri. “Tapi saya nggak pernah merasakan itu. Sejak perpisahan anda dengan Ayah, saya sendirian. Apa anda pernah satu kali aja tanya perihal bagaimana perasaan saya? Apa anda pernah tau gimana rasanya takut akan hari-hari selanjutnya?”

Ibu mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin. Dengan nada yang rendah, kembali membuka suara. “Saranita benar-benar gadis yang nggak punya perasaan.”

“Iya!” Bola mata legam milik Saranita mulai berkaca-kaca ketika rungunya mendapati kalimat yang tidak pernah ia harapkan dari Ibu. “Perasaan saya udah hilang setelah perpisahan kalian. Saya bahkan lupa gimana rasanya menangis karena hati saya nggak pernah merespon rasa sakit untuk waktu yang cukup lama.”

Setelah diam beberapa saat untuk mencerna apa yang terjadi, Aksara bergerak untuk menarik tangan Saranita. Kurva di bibirnya membentuk sempurna ketika gadis itu menatapnya kosong. “Jangan hilang kendali, Sara. Gimana pun juga, beliau Ibu kamu.

Saranita menoleh ke arah Aksara untuk waktu yang tidak lama. Kemudian tatapan itu kembai berlabuh pada Ibu yang kini tengah ditenangkan oleh Om Ferdi. “Saya selau berharap kalau bisa hidup sebagaimana manusia lainnya. Manusia yang nggak punya ketakutan berlebih untuk menghadapi tiap detik yang akan datang. Apa anda tau?”

Kalimat itu membuat darah Ibu naik. Tatapan tajamnya kini menyayat bagian wajah milik Saranita. Tidak peduli lagi berapa banyak pasang mata yang memerhatikan mereka. “Kamu juga nggak pernah tau gimana Ibu berusaha buat melindungi kamu, Sara!”

“Pernah nggak saya minta?” Pertanyaannya terlontar satu detik setelah Ibu menghabiskan kalimatnya. “Pernah nggak satu kali aja saya minta anda buat melindungi saya? Menjaga perasaan saya? Nggak! Saya cuma minta satu hal, tetap di samping saya apapun keadaannya karena saya nggak sekali pun minta anda mengerti gimana rasanya jadi saya!” Saranita hilang kendali, sampai ia tanpa sadar menepis kasar tangan Aksara yang berusaha menghentikan. Air mata sialan itu membasahi pipi tanpa aba, dadanya naik turun menahan seluruh rasa yang bersarang di dalam dada.

Dunia Ibu runtuh, untuk pertama kalinya melihat Saranita kacau di depan mata. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika air mata membasahi pipi putrinya. Ibu pernah mengira bahwa Saranita adalah sosok yang paling kuat dalam perjalanan ini, tapi Ibu tidak pernah menduga bahwa sosok paling kuat itu punya kacaunya sendiri. Sosok itu punya lukanya juga, sosok itu hanya berpura-pura selama ini. Berpura-pura tertawa, berpura-pura tidak mengkhawatirkan hal yang terjadi, dan berpura-pura bahwa dunia seolah bertidak baik padanya.

Lutut dan kaki Ibu terasa lemas, bahkan tidak mampu untuk sekedar menopang dirinya sendiri. Tangannya terangkat di udara, berharap dapat menyentuh wajah Saranita. Dengan nada rendah yang bahkan hampir tidak terdengar, “Kenapa Sara nggak pernah bisa menjadi penurut seperti anak-anak lain, sih?”

“Anda bisa nggak jadi kaya orang lain?” Saranita masih kacau, nafasnya tersenggal dan seluruh darah yang mengalir di tiap nadinya seolah beku. Rasanya kembali mati, hanya ada sakit untuk dirinya sendiri. Dia tidak egois sebab memikirkan dirinya sendiri. Bertahun-tahun, yang ada di pikirannya hanya perihal cara membahagiakan orang lain tanpa ada kata itu untuk dirinya sendiri. “Saya dari awal nggak pernah minta banyak hal ke anda.”

“Sar, udah.” Om Ferdi menghentikan pergerakan Saranita. Membuat gadis itu bersedih dan membuang tatapan ke segala arah.

“Udah? Apa?” Saranita memukul dadanya sendiri cukup keras berkali-kali. “Semuanya penderitaan saya nggak akan pernah berhenti sebelum perempuan ini juga berhenti.”

Tangan Ibu melayang setelah Saranita berhasil menyelesaikan kalimatnya. Di balik semua perlakuan Ibu, sebenarnya wanita itu sendiri tidak pernah mengerti ada apa dengan dirinya. Ibu tidak pernah mengerti kenapa selalu ada waktu di mana ia marah pada anak pertamanya tanpa alasan. Ibu juga tidak paham kenapa tangannya selalu melayang dengan mudah untuk memberikan sebuah pukulan pada Saranita. “Sara ....”

“Pukul, Bu!” Saranita memukul pipinya sendiri, meminta Ibu untuk melanjutkan pergerakannya. “Pukul!”

“...”

Setelah tau bahwa Ibu hanya diam, menatapnya tanpa jeda, Saranita memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya. “Saya udah bilang berkali-kali kalau sejak perselingkuhan Ayah, saya nggak pernah percaya sama apa yang namanya cinta. Saya nggak pernah suka rasa mendebarkan pas saya lagi suka sama orang. Saya benci ada sebuah rasa di sini,” Tangannya terangkat lagi untuk memukul dadanya berkali-kali.

Tidak butuh waktu lama untuk Aksara bergerak dan membawa gadis itu masuk ke dalam pelukannya, menghentikan seluruh pergerakan yang nanti akan membuat sakit dirinya sendiri. Aksara membenci segala hal yang membuat Saranita menyakiti dirinya sendiri, termasuk perasaan marah gadis itu yang selalu menggebu untuk Ibu. Perasaan marah yang sempat menjadi sampah karena ia pendam sendirian di relung hatinya.

Jika saja bisa, maka Aksara akan mengucapkan kalimat-kalimat penenang untuk Saranita saat ini juga. Tangannya kini terangkat untuk mengelus puncak kepala gadisnya, kemudian merapikan surai berantakan yang membingkai wajahnya.

“Apa ada lagi kalimat pembelaan yang akan keluar dari bibir anda?” Saranita bertanya dengan nada rendah untuk yang terakhir kali. Sebelum akhirnya, Om Ferdi menarik tangan Ibu, membawa wanita itu untuk berdiri di belakangnya.

“Kamu sudah keterlaluan, Saranita.” Tangannya mengepal seolah menahan amarah, nafasnya tersenggal membuat dada naik dan turun. Namun masih dengan nada yang tenang ia melontarkan satu kalimat, “Kamu selalu memikirkan penderitaan sendiri, nggak pernah mau tau apa yang diderita sama Ibu kamu.”

Sebelum Saranita tambah kacau, Aksara bergerak untuk mengambil buku kecil berwarna hijau dalam saku jaketnya. “Om, maaf. Saya dan Saranita izin pergi sebelum keadaannya semakin rumit.

Buku itu diserahkan pada Om Ferdi dengan tatapan memohon sebuah pengertian. Sampai pada akhirnya pria dengan kemeja abu-abu itu membiarkan Aksara membawa Saranita untuk meninggalkan Ibunya.

Keduanya melangkah di keheningan, berusaha menikmati setiap embusan angin yang menusuk masuk ke dalam kulit. Suhu Kota Jakarta sore ini cukup dingin, membuat Aksara menanggalkan jaket denimnya. Kemudian membalut tubuh Saranita dengan segera.

“Kamu pasti kaget banget liat aku kaya tadi.” Di akhir kalimatnya Saranita terkekeh, melirik ke arah Aksara yang sedang menipiskan bibirnya. “Tiga tahun lalu, tepat satu minggu setelah kepergian Ayah, aku selalu takut buat hadapi hari besok. Aku nggak pernah mau ketemu sama manusia karena saat itu aku tau kalau orang yang datang ke hidup aku, itu untuk sebuah kepergian.”

“...”

“Aku sempet dibilang gila sama keluarga besar karena nggak mau keluar kamar bahkan untuk sekedar makan. Aku nggak punya gairah untuk ngelakuin apapun.” Saranita menghela nafas, tapi tidak membuat langkah kakinya berhenti. “Sampai akhirnya aku sadar, setiap yang datang pasti bakalan pergi. Entah cara apa yang mereka pilih.”

Tangan Aksara mulai bergerak, “Kepergian kaya apa yang paling nggak pernah kamu harapin, Sara?

Saranita terkekeh, kali ini kakinya berhenti melangkah yang secara otomatis membuat Aksara begitu juga. “Mana ada kepergian yang diharapin, sih, Aksa?”

Kini berganti, Aksara terkekeh tanpa suara setelah menyadari bahwa pertanyaannya salah. “Maksudku, kamu paling benci dengan kepergian yang seperti apa?

“Kematian.” jawabnya. Gadis itu kembali melangkah perlahan, netranya menatap lurus-lurus ke arah depan.

Kedua alis Aksara bertaut menjadi satu. “Kenapa kematian?

“Karena aku nggak bisa protes ke Tuhan. Aku nggak bisa lagi liat senyum orang yang bakalan ninggalin aku. Aku ....” Ia menghela nafasnya, “.... Aku benci kepergian tanpa kalimat selamat tinggal, kepergian tanpa pamit.”

IMG-20210918-202502

Terluka karena badai, berakhir menjadi lara.

Di salah satu kursi yang ada di ruang tamu kos-nya, Saranita menatap lurus-lurus ke depan. Lagu dari earphone milik gadis itu sudah berhenti, berganti dengan kebisingan yang diciptakan dari kamar kos nomor dua yang kebetulan sedang ada tamu. Ia menarik nafasnya, kemudian diembuskan secara perlahan. Matanya memejam sebentar, sebelum akhirnya terbuka lebar dan disambut dengan hadirnya sosok pria berkaus hitam dengan senyum seluas jumantara. Tanpa dipinta, kedua sudut bibir Saranita terangkat separuh. Ia berdiri, kemudian melangkah untuk menghampiri kekasihnya.

Saranita ingat, beberapa bulan lalu ketika ia tidak pernah mengenal sosok pria di hadapannya ini, harinya berjalan selalu buruk. Tidak ada senyum semegah istana, tidak ada tatapan hangat atau bahkan perlakuan sederhana seperti menepuk pundaknya hanya untuk sekedar menyalurkan sebuah kekuatan. Parahnya, tidak pernah ada yang mengatakan dengan lantang bahwa lahirnya adalah sebuah keinginan. Selain Aksara, belum pernah Saranita menemukan seorang pun yang berkata bahwa ia bangga memilikinya.

Kamu lagi ngapain?

Gerakan tubuh Aksara membuat gadis bersurai legam itu kembali tertarik dari lamunan. Dia menipiskan bibir, kemudian menunjukkan kertas di tangan kanannya. “Aku udah selesaiin satu lagu.”

Seharusnya, petang itu Aksara merasa senang dan bangga. Tapi perasaan itu seketika teredam kala ia tidak melihat binar terang pada bolamata milik gadis kesayangannya. Tangannya terangkat untuk mengusap lembut puncak kepala Saranita yang dihadiahi dengan kerucutan bibir lucu dari gadisnya.

“Mau ngobrol di mana, Sa?” tanya Saranita. Jantungnya berdetak tidak pada tempatnya, darahnya berdesir luar biasa.

Setelah mengenal Aksara, gadis itu jadi tidak mengerti bagaimana caranya mengendalikan detak jantungnya. Saranita jadi tidak mengerti, kenapa perasaannya untuk Aksara selalu menggebu-gebu bahkan meluap sampai ia tenggelam oleh rasa itu sendiri.

Tangan Aksara bergerak, “Di luar aja, yuk? Kamu udah makan?

Kepalanya menggeleng, “Belum.” Berjalan untuk meletakkan kertas di atas meja. Kemudian kembali menghampiri Aksara yang tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan.

Kamu nggak pakai jaket?” Tangan Aksara bergerak, menyingkirkan anak rambut Saranita yang menutupi wajah karena tertiup oleh angin.

Saranita terkekeh, “Nggak. Jaketku ketinggalan di rumah Ibu kayanya.”

Helaan nafas begitu saja keluar dari bibir Aksara, dia menatap gadisnya sambil bergerak untuk membuka denim jaket yang menyelimuti tubuhnya. Perlahan, ia memastikan denim jaket itu berpindah untuk membalut diri gadisnya. “Anak yang kuat jangan sampai sakit.

Kekehan Saranita seolah pembenaran atas kalimat yang diungkapkan oleh Aksara. “Iya. Kalau gue sakit, dunia nyakitin siapa lagi?”

Keduanya tidak mengerti bagaimana cara Semesta bekerja. Dua remaja itu pun tidak mengerti bagaimana dunia ini memperlakukannya. Yang jelas, satu di antara keduanya—jelas saja Saranita, ia sudah merasa muak. Bumi itu bagaikan panggungnya untuk bersandiwara, menyembunyikan tiap-tiap luka berdarahnya dari kacamata orang lain. Tentu saja, Saranita membencinya.

Itu sebabnya kamu harus jaga diri, Sara. Karena selain kamu dan saya, siapa lagi yang akan jaga kamu? Yang selamatin kamu?” Tangannya menggenggam milik Saranita erat. Aksara bisa melihat dengan jelas bagaimana netra gadis itu semakin meredup setelah pertanyaan itu.

Udara malam itu dingin, termasuk bagaimana angin malam menerpa langsung ke kulit milik Aksara yang kini hanya merasakan kehangatan di bagian telapak tangan kanannya karena menggenggam milik Saranita. Namun lebih dari pada udara malam ini, rasanya keadaan di antara Aksara dan Saranita tidak lagi hangat. Keduanya kaku, terlebih ketika Saranita tidak menanggapi kalimat tanya dari Aksara. Gadis itu hanya melangkahkan kaki, beriringan dengan milik Aksara.

“Lo bener, Sa.” kata Saranita tiba-tiba. Sambil melangkahkan kaki, dia menatap Aksara dari samping. “Gue nggak perlu nyakitin diri gue sendiri karena itu udah tugas dunia dan oranglain.”

Di akhir kalimat, Saranita tertawa miris. Tawa yang membuat Aksara terluka lebih dari apapun. Bukan seperti tawa yang selalu gadis itu tunjukkan pada dunia. Bukan juga tawa bahagia yang membuat mata dari gadis itu membentuk sabit indah. Wajah cantik itu tampak muram, membuat Aksara marah entah pada siapa.

Sara, aku bukan spiderman yang bisa melindungi kamu pakai jaringnya. Aku juga bukan hulk yang punya badan besar. Aku cuma Aksara, tapi kalau untuk menjaga kamu, aku bisa.” Pergerakan tangannya berhenti ketika ia tahu bahwa Saranita menghentikan langkahnya. Tanpa sadar Aksara ikut berhenti, menatap Saranita bingung.

“Kalau kamu pergi ke Kanada, siapa yang jaga aku?”

Pertanyaan yang terlontar dari bibir Saranita membuat Aksara kalah telak. Ia bingung, sungguh. Di satu sisi, pergi ke Kanada dan melanjutkan hidupnya di negara itu adalah impiannya sejak kecil. Namun di sisi lain, impiannya bertambah sejak Saranita hadir. Ia hanya ingin menjaga gadis yang entah kenapa diperlakukan begitu tegas oleh dunia.

“Kalau kamu pergi, kita gimana?”

Aksara mendekat, menatap netra legam Saranita yang membuatnya terpikat dengan lekat. Hari ini giliran ia yang menjerit dalam hati perihal hubungan keduanya. Sebab Aksara tau, hal berat yang membuat Saranita tidak percaya pada hubungan berjarak adalah sebuah rasa. Aksara mengerti, sebab sejak awal mengenal gadis itu, ia benar-benar tidak percaya akan sebuah rasa cinta.

“Aku bukan nggak percaya sama perasaan kamu ke aku, Sa.” Yang bisa gadis itu lakukan hanya menghela nafas, menahan rasa sesak yang tiba-tiba saja menyeruak. “Aku juga bukan tipikal orang yang dengan gampang ngeletakin perasaan ke orang lain. Kamu tau itu, kan?”

Kedua pasangan itu berdiri di bawah awan gelap yang mencekam. Di atas jembatan, tengah Ibu Kota yang malam ini sepi. Namun tetap saja, isi kepala milik Saranita selalu berporak poranda seolah pemiliknya bukan manusia. Ketakutan itu, kini tercetak dengan jelas pada raut wajahnya. Hanya di hadapan Aksara, ia bisa dengan mudah mengekspresikan apa yang ia rasa. Karena entah kenapa, Aksara rasanya seperti rumah utuk bersemayam bagi Saranita.

Apa alasan yang bikin kamu nggak bisa? Alasan jelas yang katamu, kita nggak bisa.

Nafas Saranita tersenggal, seperti sisa separuh. “Aku takut Tuhan ambil kamu di saat kita jauh, Aksa.”

Perlahan, Aksara melangkahkan kaki dan membawa gadis itu masuk ke dalam peluknya yang hangat. Di sela-sela kegiatan itu, ia tersenyum kecil begitu menyadari begitu besar ketidak-siapan milik Saranita akan ​kehilangan dirinya.

b0aad4ee-5a2a-496c-9e5a-cdaf843d5be5

Jangan takut lagi, ya? Aku selalu minta sama Tuhan untuk ambil nyawa aku di depan kamu.

Backstreet-Jeno